|
Para kaum sufi hingga sekarang masih saling berbeda dalam mendifinisikan arti tasawwuf, karena mereka dalam mendefinisinya; sesungguhnya telah menterjemahkan pengalaman ruhaninya masing-masing. Mungkin ada diantara mereka yang sedang berkosentrasi pada dimensi akhlak, sehingga definisinya pun juga demikian. Ada juga yang sedang melihat pentingnya syariat dalam tasawwuf sehingga dalam mendefinisikannya, kelihatan sekali sisi ini. Dan seterusnya dan seterusnya.
Namun kalau boleh menyederhanakan arti tasawwuf, bisa digambarkan sebagai berikut: Tasawwuf intinya adalah usaha mewujudkan "takhalli" dan "tahalli".
Takhalli artinya bersih dari segala sifat yang tercela, dan
Tahalli artinya adalah menghias diri dengan sifat-sifat yang terpuji.
Dalam usaha ini, ditempuh berbagai macam 'cara', ada cara kholwat, zuhd, dzikir 'alany, dzikir sirry dan lain sebagainya. Dan cara-cara ini, dalam berbagai tempat, disebut dengan "maqom". Al murid (santri tasawwuf) tentu saja amat kesulitan dalam menempuh 'tangga' maqom-maqom ini, makanya ia membutuhkan al mursyid atau asy-syekh (guru tasawwuf).
Jadi, pada hakikatnya, al mursyid adalah pembimbing sepiritual. Jika ingin membuat permisalan yang agak mirip: ia adalah bagaikan psikiater, dan al murid adalah pasiennya. Kalau kita mengenal kelompok terapi psikologis, maka itulah gambaran kasarnya kelompok-kelompok tasawwuf. Kerja bareng demikian ini, sangat membantu perenungan spiritual mereka.
HR. Muslim dan Turmudzi:
"Tidak kumpul (duduk) suatu kaum dengan melakukan dzikir kepada Allah ta'aala, kecuali mereka dikelilingi oleh malaikat, dinaungi oleh rahmat, diturunkan kepada mereka ketenangan batin dan disebut-sebut oleh Allah dalam komunitas yang dekat dengannya".
Sebagai sang Master, al Mursyid tentu saja harus 'great' benar dalam dunia spiritual. Ia harus telah memahami betul nilai-nilai esoteris dan eksoteris. Tidak boleh ia hanya berpegang pada salah satunya saja.
Surat 6 An-Nisaa : 120
"Dan tinggalkanlah dosa yang nampak dan yang tersembunyi".
Dan karena al murid ingin berkonsultasi dengannya, maka ia harus selektif benar dalam menentukan pilihan siapa al mursyid-nya. Jangan 'asal-asalan', karena yang akan ia serahkan padanya adalah sesuatu yang gaib.
Namun yang terjadi sekarang ini sungguh memprihatinkan, dimana lembaga tasawwuf banyak yang menyerupai 'kerajaan' mini, dimana posisi guru adalah kedudukan yang layak diwaris, dari seorang ayah ke anaknya, yang seringkali tidak begitu memperdulikan fit and proper test-nya. Hal yang hampir sama juga dialami oleh al murid, yang hanya menginginkan 'ethek-ethek cer' (membaca buku wirid sebanyak-banyaknya) tanpa ada sentuhan kentemplasi yang memadahi.
Kalau kemudian ada pertanyaan, apakah benar seorang guru (al Mursyid) itu akan selalu mengawasi muridnya. Mengutip Imam Sya'rony dalam al Anwar al Qudsiyah: " ...
"Sesungguhnya wadzifah (tugas) asy Syekh adalah menampakkan (menunjukkan) kepada al murid, apa-apa yang terkandung dalam dirinya, tidak lebih dari itu. Karena sesungguhnya Allah telah menempatkan dalam setiap ruh, segala kebaikan dan keburukan yang selalu menyertai pemiliknya".
Oleh karenanya, ia sedikit punya otoritas dalam mengarahkan al murid, persis keberadaan psikiater.
Untuk menjustifikasi keberadaan mursyid ini, para sufi sering mengkaitkannya dengan Nabi dan malaikat Jibril: Jibril adalah guru spiritual Nabi, yang membimbingnya hingga mencapai tingkatan al muntaha. Namun barangkali yang harus dicermati adalah apa yang terjadi kemudian, saat ajaran-ajaran sufi telah melembaga, melewati pengejewantahan periode-periode yang kurang bertanggungjawab.
Sebagaimana fiqh, ajaran sufi yang dahulunya longgar lama kelamaan menjadi semakin sempit dan menyulitkan. Kalau dahulu, seseorang tidak ada ikatan tarekat, dikemudian hari hingga kini timbul kaidah sufi yang 'agak melarang' seseorang memasuki dua tarekat sekaligus, dan karenanya, guru atau mursyid yang membimbingnya (secara resmi) juga demikian: ia tidak diperkenankan mempunyai secara resmi lebih dari satu pembimbing. Guru yang dahulu hanya sebagai pembimbing, semakin lama ia semakin disucikan: lahirlah kultus indifidu.
al Murid memang harus memberikan kepercayaannya kepada al mursyid, namun hendaknya tetap dalam batas kewajaran, jangan sampai menimbulkan kultuisasi. Memang, al mursyid tentu (jika benar-benar mursyid) lebih berpengalaman dalam perjalanan spiritual, tapi kalau keyakinan ini akhirnya men-segala-kannya, maka ini tentu sudah melewati batas kewajaran.
Bagaimanapun, al mursyid bukanlah Tuhan yang selalu mengawasi gerak langkah maupun gerak hati kita, sehingga ketika dzikir-pun kita harus selalu mengingatnya. Sekali lagi, jangan sampai cinta murid, hormatnya dan kepercayaannya kepada mursyidnya jangan sampai men-Tuhankan atau mengkultuskannya.
Sekian.
Oleh: Ustadz Abdul Ghofur Maemun
Anggota kontemplasi tarekat Naqsyabandi
Dewan Asaatidz Pesantren Virtual