Perjalanan Tasawuf Selayang Pandang
oleh Riza Bahtiar
Tasawuf adalah bagian integral dinamika masyarakat muslim sejak zaman berkembangnya
Islam pada masa Rasulullah SAW. Ia telah menjadi substansi yang inheren,
bahkan paling urgen meski tidak dikenal seperti sebutan tasawuf masa sekarang.
Tasawuf zaman nabi terimplementasi dalam bentuk jihad, kerja, dakwah dan
ibadah dalam skala yang luas.
Tidak mengherankan jika perhatian para orientalis terhadap Islam lebih
banyak tercurah dalam bidang tasawuf, karena mereka tahu bahwa esensi yang
ada dalam tasawuflah yang membuat umat Islam mampu bangkit. Tasawuf di
sini, yaitu yang berada dalam imbangan syariah, dunia dan akhirat diletakkan
secara proporsional.
Pengertian tasawuf
Berbagai teori banyak dikemukakan pakar, terutama tentang segi etimologis
dari tasawuf. Di antaranya ada yang mengatakan tasawuf diambil dari kata
shafa, artinya bersih. Sebab, para ahli tasawuf yang hakiki biasanya berhati
bersih.
Ada pula mengatakan terambil dari kata ahlus suffah, yaitu sekelompok orang
yang tinggal di asrama Mesjid Nabawi pada zaman Rasulullah SAW, mereka
ini berakhlak sangat mulia.
Dikatakan pula, tasawuf berasal dari kata suf artinya bulu atau wol, karena
pada mulanya ahli tasawuf sering memakai kain wol sebagai tanda bencinya
pada dunia.
Pendapat lain mengatakan, bahwa tasawuf diambil dari kata shaff yang artinya
barisan shaf ketika sembahyang, sebab para ahli tasawuf biasanya selalu
berada di shaf paling depan.
Pendapat yang paling kontroversial dikemukakan orientalis, bahwa tasawuf
diambil dari kata theo artinya tuhan, sofos artinya hikmat. Hikmat ketuhanan
dari bahasa Yunani yang ditransformasikan ke dalam bahasa Arab.
Jadi, kata tasawuf bukan asli dari bahasa Arab, kata mereka, tetapi terpengaruh
oleh filsafat Yunani.
Sebenarnya orang yang pertama dikenal bergelar sufi, sebutan bagi ahli
tasawuf adalah Abu Hasyim dari Kufah wafat tahun 761 M [159 M]. Jadi, jika
sebutan tasawuf dikatakan berasal dari Yunani adalah sangat tidak konvensional.
Sebab, era transformasi besar-besaran filsafat Yunani ke Arab adalah di
zaman khalifah Al Ma’mun [813-833 M/198-218 H], sedangkan Abu Hasyim Ash-Shufi
sendiri hidup sebelum zaman Al-Ma’mun.
Sebagai motivasi vital
Tidak dapat dipungkiri, bahwa peran tasawuf dalam dunia Islam memang sangat
determinan. Ketika umat Islam sedang berada di zaman keemasan dengan bergelimang
kemewahan dan harta benda, sehingga nyaris melupakan kehidupan akhirat,
muncullah tokoh-tokoh tasawuf yang berani mengecam perbuatan tersebut.
Seperti Abu Dzar al-Ghifari yang hidup di masa pemerintahan Usman bin Affan,
kharisma pemerintah karam oleh tumpukan harta benda yang berlimpah ruah,
maka Abu Dzar berdiri menegur Gubernur Muawiyah agar berlaku sesuai tuntunan
sunah.
Contoh lain, seperti Said bin Jubair di masa pemerintahan Al-Hajjaj, Fudhoil
bin Iyadh masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid. Namun ketika umat Islam berada
dalam rundungan duka nestapa yang mendalam, sehingga nyaris menggugurkan
semangat hidup dan kepercayaan beragama akibat serangan Hulagu dari Mongol
yang terkenal kekejaman dan kebengisannya, bangkitlah tokoh-tokoh tasawuf
seumpama Khan Ghazan yang tidak kenal takut.
Iman bukan terletak dalam bertumpuknya buku, bukan dalam tulisan, tapi
iman menyala dan bergolak di dalam dada. Bangkitlah mereka menyiarkan Islam,
agar api Islam kembali membara, menyala dan menerangi seluruh alam.
Paham yang merasuk
Abad ke 14 M umat Islam memasuki masa kemunduran, sementara di Barat tampak
tanda-tanda kebangkitan. Memang diakui setelah adanya serbuan brutal Hulagu,
kebudayaan dan peradaban Islam yang amat mahal harganya seakan pupus begitu
saja.
Dalam tasawuf pada masa-masa tersebut, masuk paham yang berkembang dengan
istilah zuhud, yaitu suatu paham yang berusaha menghilangkan pengaruh dunia
dari hati.
Paham ini selanjutnya terekstrimitasi menjadi paham yang membenci dan meninggalkan
dunia. Mulanya ia hanya merupakan reaksi, tapi lama-kelamaan berkembang
menjadi paham yang mendominasi dalam dunia percaturan tasawuf.
Para penganut paham ini biasanya menjauhkan diri dari kehidupan dunia,
membencinya dan mencelanya habis-habisan. Sebenarnya dalam dunia tasawuf,
paham yang seharusnya terakulturasi adalah paham yang tidak memisahkan
diri dari dunia karena Allah SWT tampak di sana, demikian pula ayat-ayat-Nya
juga tampak di sana.
Inilah sebenarnya paham tasawuf yang utama dalam Islam. Tidak alpa untuk
dunia dan tidak lemah di dalamnya, tetapi sebaliknya menghabiskan kepada
kebenaran dan nilai yang penuh kesempurnaan.
Tasawuf abad modern
Sejak abad 15 negeri-negeri Islam banyak yang dicaplok dan dijajah oleh
imperialis Barat. Hal ini terus berjalan selama lebih kurang tiga abad.
Selama itu pula selalu bergulir perlawanan, baik besar maupun kecil yang
mengiringi perjalanan kurun tersebut.
Yang menarik dan perlu digarisbawahi, kebanyakan perlawanan yang muncul
di negeri-negeri Islam tersebut dimotivasi dan diorganisasi oleh tarekat,
yang merupakan bagian integral dalam tasawuf.
Inilah yang kemudian dipolitisasi pihak imperialis, sehingga banyak pemahaman
yang menyesatkan terserap ke dalam tasawuf.
Melihat banyaknya pemahaman tasawuf yang serong tersebut, di abad 19 bangkitlah
tokoh seumpama Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Muhammad Iqbal, Sayid Quthub,
yang berusaha memurnikan ajaran Islam, terutama dari pemahaman tasawuf
yang menyempal, seperti ajaran fatalisme yang ujungnya menarik diri dari
jihad fi sabilillah.
Mereka berusaha merekonstruksi kembali ajaran tasawuf Islam yang murni,
dan berusaha memparalelkan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
modern. Hal ini bagi mereka memang sangat beralasan, sebab esensi dalam
tasawuf Islam yang benar-benar murnilah yang dapat memberikan jawaban bagi
gelombang imperialisme modern yang meliputi berbagai aspek kehidupan.
Inilah perkataan Iqbal, tokoh yang menyambung pekerjaan terbengkalai dari
Al-Ghazali, Jalaluddin Rumi, Ibnu Arabi dan Ibnu Taimiyah, “Tasauf adalah
hidup dan kehidupan bukan untuk kematian.”
Riza Bahtiar, Mahasiswa IAIN Antasari Fakultas Ushuluddin
[ Kembali Ke Index Bicara Dari Alam
Siber ]