| |
![](_themes/expeditn/exphorsa.gif)
Agama anti
Diskriminasi dan anti Kekerasan:
Belajar dari Hubungan
Kristen-Islam di
Timur Tengah*
Bambang Noorsena, S.H.
*)
Makalah disampaikan dalam Seminar Sehari yang diselenggarakan
Jami’ah Mudarasah al-Qur’an (JMQ), di Pondok Pesantren "al-Hikam",
Malang 15 Februari 1999. Dalam Seminar ini hadir sebagai pembicara Islam :
Prof. Dr. Nurcholish Madjid dan Dr. Alwi Shihab, dan mewakili
pembicara Kristen/Protestan: Prof. Sri Wismoady Wahono, Ph.D.
T atkala politik
kekerasan yang berwajah konflik agama menggejala akhir-akhir ini, menyusul
desakan tokoh-tokoh agama di Ciganjur untuk segera menghentikan segala bentuk
politisasi agama, Gus Dur mengemukakan pernyataannya bahwa Indonesia harus
segera menentukan sikap: memilih Negara teokrasi (yang mendasar-kan
Negara pada agama) atau Negara sekuler (yang memisahkan Negara dari
agama). Istilah "Sekuler" sudah sejak lama menimbulkan alergi dan reaksi yang
apriori. Tetapi sebenarnya, reaksi demikian lebih diarahkan pada penerapan
sistem itu, yang sebaliknya terlalu ekstrim di Barat, di mana proses
penyelenggaraan Negara disterilkan sama sekali dari moral agama.1)
Fenomena tersebut boleh disebut Sekularisme. Padahal
istilah Sekularisasi (berasal dari kata Latin: saecu-lum,
"dunia"), justru mula-mula diarahkan untuk menghantam agama totalitas kosmik
(ontokrasi) yang mengkeramatkan segala yang ada, termasuk pendewaan
terhadap raja dan negara. Dalam kekuasaan-kekuasaan absolut tersebut, agama
dijadikan justifikasi untuk merebut dan melanggengkan kekuasaan. Justru, melalui
Sekularisasi itu ditempatkan kembali "(kekuasaan) dunia" yang selama itu
disakralkan, sebagai dunia (saeculum) yang profan belaka. Dalam sejarah
agama-agama Semitik, proses itu dimulai dari Israel (agama Musa): "Here a
breaks is made with the everlasting cycle of nature and the timeless presentness
of myth".3) (Di sini diputuslah lingkaran alam yang melilit abadi dan
mite tanpa waktu). Dengan proses itu, selanjutnya di dunia Barat melalui
Renaisance dan Aufklaerung, -- meminjam padanan istilah yang diusulan
Cak Nur, -- melakukan proses de-Sakralisasi yang menghantam kekuasaan
absolut "Droit Divin" (kekuasaan ilahi Raja),4) yang di belahan
Timur lazim disebut kekuasaan "Dewa-raja".
Mengapa catatan ini penting saya kedepankan di awal tulisan
ini? Pertama, bahwa pilihan terhadap Sekularisasi yang memisahkan Negara
dari agama, sama sekali tidak berarti menghapus peranan agama sebagai kekuatan
moral untuk melandasi penyelenggaraan Negara. Di sini, agama sebagai sumber
inspirasi, melaksanakan fungsi kritis dan korektif terhadap realitas empiris.
Kedua, justru dengan adanya inde-pendensi (dimana agama dan negara menempati
posisi dan fungsinya masing-masing), 5) maka agama dapat menjalankan
fungsi etis dan interpretatifnya dalam memandang dan meng-arahkan kenyataan
hidup, tanpa harus diperalat oleh kekuatan politik tertentu. Perlu dicatat pula,
tindakan kekerasan dengan wajah agama di Indonesia akhir-akhir ini, dapat dibaca
dari sudut pandang terakhir.
Agama,
Kekuasaan dan Kekerasan: Belajar dari Sejarah Perjumpaan
Banyak ahli sepakat adanya kaitan yang sangat erat antara
kekuasaan dan kekerasan. Ketika agama tersubordinasi di bawah kekuasaan, disana
ia gagal menjalankan fungsi profetis/ kenabiannya, lalu menjelma sebagai "alat
legitimasi" kekuasaan untuk meloloskan kemauan-kemauan politik suatu golongan.
Lebih-lebih bila agama itu mayoritas di suatu negara, ia sangat potensial
dijadikan legitimasi kekuasaan untuk memaksakan kehendaknya kepada ummat.
Sejarah perkembangan agama-agama besar sendiri telah membuktikan itu. Ketika
Konstantin agung menjadi Kristen tahun 313, ia menjadikan Kekristenan sebagai
"agama Negara". Memang, Kekristenan seperti "naik kelas": dari agama rakyat
teraniaya yang secara sembunyi-sembunyi beribadah di katakombe-katakombe
(gua-gua) wilayah kekaisaran Roma, menjadi agama negara, dengan segala atribut
kebanggaannya.
Euforia yang merayakan gegap gempitanya masa transisi dari
agama tertindas ke agama negara ini, dalam Gereja Orthodoks Syria
digambarkan dalam kisah para penghuni gua Efesus. Kisah itu secara lengkap
dijumpai dalam buku berjudul: Ahl al-Kahfi fii Mushadir Al Suryaniyyat,
6) dikisahkan tujuh orang pemuda yang bersembunyi di sebuah gua pada masa
penganiayaan Kaisar Dakeus yang memerintah tahun 249-251, yang oleh takdir Ilahi
ditidurkan panjang sampai tahun 447, ketika Kaisar Deodeus II yang sudah
menjadi Kristen dan menjadikan Kekristenan sebagai agama Negara. Tetapi sejak
Roma memposisikan dirinya menjadi "pelindung" gereja-gereja Kristen di wilayah
kekuasaannya (di Timur Tengah), justru lembar-lembar sejarah berikutnya ditandai
dengan pertumpahan demi pertumbahan darah. Kenyataannya, Gereja Orthodoks Syria
hanya sebentar saja merayakan "euphoria Konstantinus" itu, selanjutnya menjadi
Gereja yang paling teraniaya oleh sesama Kristen: mereka menjadi sasaran fitnah,
dicap sebagai aliran heresy (sesat) bahkan penganiayaan fisik oleh pihak
Byzantium, sampai --justru tentara Arab Muslimlah -- yang membebaskan mereka.
Nasib yang sama juga menimpa Gereja Koptik di Mesir,
sebagaimana dicatat oleh Aziz S. Atiya, dalam History of Eastern
Christianity. 7) Kisah gugurnya Menas saudara Ba-thrik Koptik
Benyamin, pada tahun 632 sebagai martyr (syu-hada’) di tangan Cyrrus,
utusan Kaisar Heraklitus, telah mendorong mereka lebih menyambut pemerintahan
Islam sebagai pembebas mereka kira-kira 7 tahun sesudah peristiwa tersebut.
Apakah yang dapat dipelajari dari pengalaman sejarah Gereja
Syria dan Koptik ini? Pertama, bahwa ternyata politisasi agama (oleh
pihak Byzantium) yang menggunakan kelompok mayoritas Kristen, telah menyebabkan
serangkaian penindasan atas nama "kebenaran", bukan hanya terhadap agama lain,
tetapi juga terhadap lingkungan agama sendiri yang berbeda formula keimanannya.
Kedua, pengalaman perjumpaan yang intens dengan umat beragama lain,
mengantarkan pada pengakuan terhadap nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang
lebih luas yang tidak terkungkung agama sendiri, sehingga orang-orang Kristen
tertindas ini justru menyambut tentara Arab-Islam sebagai pembebas yang adil.
Pengalaman nyata perjumpaan antar iman ini, telah mengajar orang-orang Kristen
Orthodoks di Timur Tengah untuk melakukan proses -- yang akhir-akhir ini acap
disebut "crossing over" atau "pasing over" (melintas batas Agama)
-- dan membaptiskan nilai-nilai keadilan dan kebaikan, dari manapun asalnya,
sebagai keadilan dan kebaikan sejati. Sebaliknya, mereka juga sekaligus belajar
dewasa dalam beragama, yang antara lain ditandai dengan sikap otokritik :
jujur mengakui bahwa brengsek itu tetap brengsek, kendati hal itu terjadi dalam
agama sendiri.
Urgensi Dialog Antar Agama dalam Masyarakat Plural
Pengalaman seperti ini, hendaknya mendasari sikap ke- agamaan
otentik, yang lapang dan toleran terhadap kehadiran orang lain yang berbeda
dalam keyakinan dengan kita sendiri. Jadi, perbedaan teologis (‘aqidah)
tidaklah menjadi halangan bagi Dialog antar Agama. Bahkan, akhir-akhir ini
agama-agama sibuk menggali landasan bagi Teologi agama-agama dalam rangka
membangun peradaban bersama. Dalam bangunan pemikiran yang hendak dituju, adalah
"bagaimana kita menyediakan ruang bagi yang lain", karena sadar bahwa
kita tidak berhak memutlakkan agama kita sendiri. Hanya Allah saja satu-satunya
yang mutlak di dunia ini.
Dalam sebuah doa Yahudi, yang juga menginspirasikan Yesus
ketika mengajarkan Doa Bapa Kami dalam Injil Matius 6:9-13,
kita diajar untuk memohon shalom (perdamaian, anti-kekerasan): kmo
ba-sya-mayim ke ba-arets (seperti di surga, begitu juga di atas bumi).
Seorang rabi bertanya: "Bagaima-nakah shalom di surga itu, yang harus
kita jadikan model shalom di bumi?". Ternyata kuncinya terdapat dalam
kata "surga" itu sendiri, yang dalam bahasa Ibrani: "syamayim". Rabi itu
menganalisis 2 kata yang bersembunyi di balik syamayim itu, yang
sebenarnya 2 kata yang berlawanan: esy, "api" dan mayim, "air".
Air tidak menghilangkan api, dan api tidak melenyapkan air. Keduanya berada
dalam posisi masing-masing. Melalui kata syamayim, api dan air sebagai 2
unsur yang sangat berbeda telah didamaikan, tetapi tidak terlebur satu sama
lainnya dan tidak saling meniadakan. Jadi, kunci penghadiran shalom di
bumi ialah bagaimana kita menciptakan ruang bagi yang lain: tidak saling
memaksa, membunuh atau menghilangkan eksistensi pihak lain.
Sikap keagamaan yang lapang dan tasamuh ini, -- atau
menurut istilah Cak Nur: al-Hanifiyah al-Samhah --, sangat mendesak
dikembangkan dalam masyarakat plural seperti Indonesia, khususnya melalui dialog
antaragama. Sejarah per-kembangan agama-agama di Indonesia, menunjukkan bahwa
kelemahan untuk mencapai pemahaman bersama terhadap misi agama yang
berbeda-beda, telah menyebabkan kebencian, pertumpahan darah dan kebengisan
berlarut-larut, yang justru bertolak belakang dengan hakikat agama itu sendiri.
Justru, tindakan kekerasan berwajah agama, berangkat dari suatu theological
killing (pembunuhan teologis), yang menjadi awal dari bentuk kekerasan untuk
meniadakan sesama manusia atas nama "tuhan". Di situlah, dimensi tragik itu
dimulai, tragik dari sebuah bentuk orthodoksi yang ingin mencapai wujud
absolutnya, tetapi gagal meraihnya, lalu dilakukan dengan cara memaksa pihak
lain.8)
Sejumlah narasi dalam sejarah perkembangan agama-agama di
Jawa, seperti: tragedi Hanaca-raka versi Tengger (yang melaporkan tragedi
konflik Hindu-Islam), 9) Korawacrama pasca-kehancuran Majapahit
dari abad ke-15 Masehi, 10) maupun pensakralan pementasan epos
Bharatayudha sebagai kisah pemusnahan definitif Korawa, dalam pertunjukan wayang
sekarang ini, 11) dengan jelas merekam kesadaran akan dimensi tragik
konflik agama-agama di masa lampau. Karena itu, kiranya agama-agama dapat
menjadikan fenomena di atas sebagai "rambu-rambu" dalam menerjemah-kan pesan
misi atau dakwahnya dalam masyarakat plural Indonesia.
Manusia untuk Agama, atau Agama untuk Manusia?
Setiap agama mempunyai klaim-klaim eksklusif, yang bila
dibawakan secara vulgar akan menjadi pemicu dalam hubungan antaragama. Tanpa
menyangkal adanya penegasan semacam itu dalam setiap agama, Gereja-gereja Timur
meneruskan penghayatan patristik/salafiyah Gereja, mencoba memahami
ayat-ayat eksklusif itu dengan lebih serius merenungi pribadi ‘Isa alMasih
secara theantropos. Maksudnya, memahami al-Masih dalam relasi "Yang
Ilahi-yang insani". Karena itu, kata ganti diri Aku:
menunjuk kepada Kalimatullah yang ghayr al-Makhluk (bukan
ciptaan) dan qadim, yang bersama Ruh Allah berdiam dalam Allah Yang Mahaesa,
tetapi sekaligus juga Makhluq (ciptaan) dalam nuzulNya sebagai Manusia.
Yang pertama mutlak, universal dan kekal, sedangkan yang kedua relatif, terbatas
dan temporal.
Kahal, eklesia (gereja) atau ummat adalah jalan,
bukan tujuan (betapapun paling baiknya agama tersebut dalam penghayatan
penganutnya). Dalam kesadaran penuh memproklamasikan sebuah esoterisme, ‘Isa
al-Masih merelativisir eksoterisme : "Hari Sabat (baca: agama)
diadakan untuk manusia, dan bukan manusia untuk hari Sabat (baca: agama)"
(Markus 3:27). Karena itu misi agama-agama adalah kemanusiaan.
Harus ditekankan, setiap agama mempunyai nilai-nilai
universal dalam dirinya. Tetapi ketika prinsip-prinsip itu harus berjumpa dengan
kenyataan empiris, ia dibungkus oleh bingkai partikular berupa "organized
religion". Pemutlakan terhadap agama sebagai agama (dan bukan terhadap
Allah), -- sadar atau tidak -- telah melahirkan sikap diskriminatif terhadap
pihak lain yang berbeda formula keimanannya. Karena itu, mengor-bankan
prinsip-prinsip kebenaran universal di bawah "bingkai partikular" suatu agama,
nyata-nyata suatu bentuk "de-humanisasi". Di sini religiositas, yang
lebih menunjuk pada kualitas penghayatan seseorang atas ajaran yang diyakininya,
ditun-dukkan oleh bentuk formal rumus-rumus keagamaan yang baku.
Untuk fenomena di atas, kita dapat belajar dari sejarah
panjang diskriminasi "atas nama agama". Apa yang harus kita katakan, ketika
untuk alasan "kebenaran" agama: "The medieval Church did not view the taking
of a man’s life as lightly as does the modern state"?. 12) (Gereja
abad pertengahan tidak memandang bahwa merampas nyawa manusia se-enteng yang
terjadi di Negara modern sekarang). Apa pula yang mesti kita katakan, di abad
kita sekarang inipun, kita masih membaca dalam Qanun-i Shahadat (Hukum
Pembuktian) yang berlaku di Pakistan (1984): bahwa di ruang pengadilan kesaksian
seorang pria Kristen hanya bernilai separuh dibanding kesaksian pria Muslim?.
13) Tentu saja, praktek semacam ini sangat jauh dari teladan-teladan luhur
seperti yang diberikan Nabi Muhammad dan para sahabatnya terhadap ahlu
adz-Dzimmiy (Yahudi/Kristen) pada masanya. Juga, bukankah "concerto for
violence" -- meminjam istilah Max I. Dimont, 14) -- yang tanpa
rasa bersalah selalu dimainkan oleh gereja abad-abad Pertengahan, begitu jauhnya
dengan sabda-sabda Yesus da-lam Injil, yang bahkan harus mengasihi musuh
sekalipun?.15) Kendati mungkin ini bukan satu-satunya jawaban, tetapi
dalam kedua kasus yang dicatat di atas, faktor pendorong utamanya ialah akibat
campur-aduknya agama dengan politik. Karena itu agama hendaknya ditempatkan
sesuai dengan proporsinya, khususnya dalam masyarakat majemuk Indonesia.
Catatan Kaki
1) Di salah satu negara bagian AS yang secara
konsisten memegang "Prinsip pemisahan Gereja dengan Negara", malah pernah
menjatuhkan hukuman bagi sekolah yang menyelenggarakan Reading The Bible.
Alasannya, kegiatan agama adalah kegiatan priba-di yang tidak boleh dimasukkan
dalam institusi pendidikan sekuler.
2) "The term ‘secularization’ derives from the word
seculum, the Latin equivalent of the Greek word aion, which itself is
the accepted term in the New Testament for ‘age, period, era’. Consequently the
term also came-to mean ‘world’. Whereas the Greeks always conceived of the
‘Cosmos’ in exclusively spatial terms, the Bible at once -- from the very first
verse of the Book of Genesis -- sets the world in the dimension of time and
history. Right from the start the primary reference of the Hebrew expression
‘olam is to time and history -- within which the Lord moves with the people
toward His Kingdom. It is the German theologian Fredrich Gogarten who defined
secularization most adequately as ‘Vergeschictichung der men-schlichen
Existenz’ (human exixtence comes to be ditermined by the dimenson of time
and history). This takes its beginning in Israel. Here raised the protest
against the religion of Cosmic totality, against the ‘sacralization’ of all
being, against the supremacy of fate, against the divinizing of kings and
kingdoms. Here a break ia made with the everlasting cycle of nature and the
timeless presentless of myth". Arend Th. Van Leeuwen, Christianity in
the World History. The Meeting od the Faiths of East and West
(London: Ediburgh House Press, 1966), p. 331.
3) Ibid.
4) Teori "Droit Divin" (hak ilahi Raja/Paus) berasal
dari Kardi-nal de Richelieu , yang memegang kekuasan Negara tahun 1624-1642 di
Perancis pada masa Louis XIII. Menurut de Richelieu, baik Raja maupun Paus
masing-masing menerima kekuasaan dari Allah, sehingga keduanya sederajad.
5) Dalam tradisi Kristen, landasan pemisahan kekuasaan
Gereja dan Negara ini, diinspirasikan dari sabda Yesus sendiri: "Berikanlah
kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar, dan kepada Allah apa
yang wajib kamu berikan kepada Allah" (Matius 22:22).
6) Mar Ignatius Zakka I ‘I Was, Ahl al-Kahfi fii
Mushadir al-Suryaniyat. Dirasat Al Suryaniyah Vol. IV (Halab/Aleppo :
Al-Mathran Yuhanna Ibrahim, 1980). Sumber tertua kisah ini di Gereja Timur,
mula-mula ditulis oleh Dionisius dari Tell Mahra, seorang Kristen Syria dari
abad ke-5 Masehi, dan masih menjadi perdebatan apakah aslinya ia menulis dalam
bahasa Yunani atau Syriac/Arami. Lihat: Dr. Clair Tisdall, Tanwir al-Faham
fii Musadhir al-Adyan (Villach, Austria: Light of Life, t.t.), h. 56.
7) Azis S. Atiya, History of Eastern Christianity
(Notre Dame, Indiana: University of Natre Dame, t.t.), p. 77-78.
8) Lihat: Th. Sumarthana, "Tragedi Hanacaraka dan
Kebutuh-an Berdialog", dalam Drs. Samuel Pardede, 70 Tahun Dr. T.B.
Simatupang: Saya adalah orang yang Berhutang (Jakarta: PT. Media Interaksi
Utama dan PT. Pustaka Sinar Harapan, 1990), h. 306.
9) Menurut penelitian Robert W. Hefner, suku Tengger
seba-gai sisa umat Hindu Majapahit yang menolak dakwah Islam dan memilih
bertahan dengan "Hindu Jawa"-nya di gunung Bromo Jawa Timur, mempunyai versi
khas tentang kisah terciptanya huruf Jawa: "Hanacaraka: Ada 2 orang
utusan; Datasawala: terlibat dalam perse-lisihan/hingga pertarungan
fisik; Padajayanya: sama-sama jaya; Magabatanga: tetapi akhirnya
mati semua". Kisah 2 orang utusan yang sama-sama setia pada gurunya
masing-masing (Nabi Muhammad dan Sri Ajisaka), karena tidak ada dialog dan
keterbukaan diri, akhirnya saling memusnahkan. Lihat: Robert W. Hefner, Hindu
Java-nese: Tengger Tradition and Islam (Pricenton, New Jersey: Pricenton
University Press, 1989), p. 137.
10) Dalam Serat Korawacrama (akhir abad ke-15),
dikisahkan sehabis kehancuran definitif Korawa pasca-Baratayuda, para Panda-wa
sangat berduka: ibarat siang tanpa malam, laki-laki tanpa perempuan, langit
tanpa bumi, begitulah logika berfikir Jawa yang mono-dualistik. Pendawa akhirnya
minta Bagawan Abiyasa untuk menghidupkan kembali kaum Korawa. Lihat: R.M. Ng.
Poerbatjaraka, Kapustakan Jawi (Amsterdam-Djakarta: Penerbit Djambatan, 1954),
h. 67-69.
11) Sakralisasi pementasan kisah Baratayuda
dalam pekelir-an wayang baru dimulai pada masa Jawa Tengah, yang agaknya
menyimpan trauma masa lampau tindakan kekerasan/kehancuran definitif.
12) Max I. Dimont, Jews, God and History (New
York: A Men-tor Book, 1994), p. 238-240.
13) Editorial: "Religious Apartheid", dalam
I.I.S.C. Bulletin (October/November, 1985), p. 2.
14) Max I. Dimont, Loc. Cit.
15) "Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu
dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu
menjadi anak-anak Bapamu yang di surga, yang menerbitkan matahari bagi orang
yang jahat dan orang yang baik, dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan
orang yang tidak benar. Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah
pahalamu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan apabila kamu hanya
memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya daripada
perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allahpun berbuat
demikian?" (Matius 5:44-47).
|