Di Balik Solusi Mereka
Sebenarnya gagasan yang berkembang di atas terjadi karena kerancuan mereka dalam memandang Islam dari sudut pandang agama lain. Padahal agama lain, termasuk Yahudi dan Nashrani, sekalipun sebagai agama samawi tidak memiliki konsep politik. Akibatnya untuk mengatasi kekosongan bidang politiK mayoritas mereka mengambil konsep ideologi kapitalis dan sebagian lainnya mengambil komunis yang secara khusus mengurusi masalah-masalah keduniavviaan. Khusus kapitalis, ideologi ini muncul dari hasil kompromis kalangan monarki yang diback-up oleh gereja dengan kaum intelektual untuk mengembalikan peran mereka pada lahan asainya. Sebelumnya, lewat tangan raja/kaisar dalam tatanan negara theokratis, gereja sangat ototiter terhadap gagasan yang bertantangan dengan doktrin-doktrinnya. Ketika posisi intelektual menguat, mereka berfikir untuk menendang kaum gerejawan dengan meniadakan peran mereka dalarn urusan kenegaraan. Konsep inilah yang akhirnya menghantarkan masa pencerahan (Renaissance) Eropa hingga menjadikannya kekuatan yang berpengaruh menggantikan dominasi Daulah Islam dalam peradaban manusia. Belajar dari sejarah kebangkitan Eropa, beberapa intelektual muslim reformis, tidak begitu saja menghilangkan pewarisan pemikiran Islam yang masih tersimpan dalam kebudayaan, undang-undang, kesejarahan dan sebagainya, akan tetapi berusaha melakukan sinkretisasi Islam dengan emikiran-pernikiran Barat yang sekularis. Akibatnya, Islam yang mereka hadirkan tidak jauh beda dengan agama lain. Islam digambarkan hanya sebagai agama ruhiyah non politis yang menyebabkan Islam harus mengadopsi konsep ideologi, sistern kenegaran, ekonomi dan sosial dari luar Islam. Faktor-faktor inilah yang mengokohkan sekularisasi dalam Islam.
Di sisi lain kaum Orientalis sangat berperan dalam menyesatkan kaum muslimin dengan perantaraan para intelektual muslim. Mereka mengakali strateginya dengan program misionaris yang berkedok pendidikan dan organisasi sosial sejak akhir abad ke-1 6 M di Malta hingga menyebar ke Syarn, Mesir, Beirut serta banyak negeri-negeri muslim lainnya. Lewat cara tersebut mereka berhasil menyusupkan pemikiran Barat dengan cara yang halus sehingga para ulama dan penguasa muslim menyarnbut bahkan mempermudah uapaya alienasi Islam. Seperti yang dilakukan lbrahim Pasya pada tahun 1840 memasukkan kurikulum Perancis ke sekolah-sekolah di Syarn. Maka muncullah tokoh-tokoh semacam Thaha Husein atau Ali Abdur Raziq alumni Oxford University yang akhirnya diusir dari Al-Azhar karena pendapat-pedapatnya yang kontroversial. Apalagi pada saat ini semakin banyak dibuka pusat-pusat studi Islam di Cornell University, Ohio University, Leiden University, McGill University di Montreal-Kanada, dsb., semakin mempermudah usaha-usaha pembaratan. Abdur Raziq sendiri melontarkan paradigma, bahwa Islam sebagaimana agama dalam pengertian Barat, tidak mempunyai dan tidak mendoktrinkan sedikit pun tentang sistem politik. baginya, Islarn hanyalah agama yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya. Di Indonesia dengan dalih untuk meningkatkan mutu para sadana IAIN, mereka dikirim ke luar negeri untuk mewujudkan impian Prof. H. A. Mukti Ali - mantan menteri agama di awal Orba- dalam mencetak sajana Islam yang ahli Barat dalam khazanah Islam. Contoh paling nyata adalah Dr. Nurcholish Madjid. Sebelum memperdalam Islarn di Chicago university, Cak Nur kerap melontarkan jargon-jargon sensitif seperti Islam res-Partai Islam No, sehulafisasi, westemisasi, rasionalisasi, dsb. Setelah pulang dafi sana dia jauh lebih arif dalam melontarkan gagasan dan mengemasnya dalam bentuk teologis yang rapi. Kemampuannya menghubungkan dan mendialogkan pernikiran politik modern dan khazanah keislaman klasik, menjadikannya tokoh Islarn yang relatif tidak banyak musuhnya (Abadi 15/18-24 Feb '99).
Kelompok intelektual binaan Barat inilah yang berusaha mengernas ayat-ayat Alquean dan Hadits sesuai dengan tujuan mereka. Mereka juga membuat terninologi khusus yang berbeda jauh dengan pernaknaan Islarn. Yang lebih parah mereka menciptakan kekuatiran urnat Islam, bila Islarn memasuki kehidupan politik. Seperti tulisan Faisar Ananda Arfa -master McGill University- bahwa keinginan mendirikan negara Islam yang dikaitkan dengan kemunculan partai-partai berasaskan Islam akan menyulut rasa curiga non muslim. Bila kecurigaan tersebut disulut oleh pihak-pihak tertentu, maka akan mengacaukan tatanan kehidupan masyarakat. Untuk menghindari kecurigaan tersebut, Arfa mengharuskan adanya upaya untuk menjauhkan agama dari eksploitasi politik. Wajar hingga pada akhirnya urnat teropini dengan jargon-jargon depolitisasi Islam dan menerapkan Islam hanya dalam bentuk substansi yang universal. Dengan dernikian tidak akan ada perbedaan Islarn dengan agama lain karena anutan mereka terhadap prinsip inklusif, humanis, pluralis, demokratis, dsb. Wajar pula hingga urnat tedena dengan kemajuan pernildran (politik) Barat yang mengakibatkan mereka tidak memahami Islam sebagaimana para shahabat mernahaminya. Wajar juga hingga akhirnya urnat tidak tahu bagaimana harus memperbaild kondisi, mengembalikan izzahnya melalui kebangkitan yang hakiki.
Islam No Politik: Benarkah ?
Ramalan John Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam Megatrend 2000 yang mengungkap tentang kebangkitan agama termasuk Islam, sebenarnya bukan hal yang baru bagi orang-orang yang yakin akan janji Allah. Bahkan Wilfrid Scawen-Blunt -futurolog asal Inggris- yang dikutip Abdul Wahid, dalam bukunya "The Future of Islam" yang ditulis sejak seabad lampau meramalkan bahwa kebangkitan Islam akan terjadi dalam waktu tak lama lagi. Potensi yang mendukungnya adalah ibadah haji, adannya khilafah, kota Mekkah yang mempertemukan manusia di dunia dan semangat reformasi (Republika, 16/4'99).
Islam tidak mungkin dilepaskan dari politik dalam perspektif teologis atau historis, demikian pendapat Dr. Maskuri Abdillah -dosen Fak. Syari'ah IAIN Syarif Hidayatullah- (Tekad, 23/5-11 April'99). Bahkan pada saat ini menurut Masykuri merupakan saat yang tepat untuk menggulirkan ide-ide orisinal dari Islam tentang politik. Dalam bukunya "Cita-cita Politik Islam di Era Reformasi", Cak Nur membagi pola hubungan Islam dan negara dalam dua hal. Pola pertama adalah yang menghendaki hubungan negara dan Islarn secara langsung dalam bentuk negara Islarn. Pola kedua hanya menghendaki Islarn sebagai sumber inspirasi moral bagi negara. Benarkah bahwa yang penting adalah makna substansi Islarn, tidak pedu menerapkan simbol alias syari'at Islam dalam negara ?. Beberapa ularna salaf seperti Al Maardi, Al Ghazali, lbnu Taimiyah dan kalangan ulama mutaakhirin seperti Rasyid Ridha, Abu'l 'Ala Al Maududi, Taqiyuddin An Nabhani, Sayyid Qutb dan Fosan Al Banna menyatakan bahwa sistern politik dalam Islarn merupakan masalah ma'lumun min ad-dini bi ad-darurah, seperti telah diketahuinya kewajiban shalat, zakat, puasa, haji, dsb.
Sebenarnya secara logis keberadaan negara Islam tidak dapat dipungkid. Paling tidak Cak Nur menyebutkan lima alasan kelompok yang mengharuskan negara Islam. Pertama adalah aneh jika Islam mengatur hal-hal kecil seperti cam masuk WC tapi tidak mengatur masyarakat dan negara yang lebih besar pengaruhnya. Kedua, aneh jika Allah menurunkan hukum tapi tidak memerintahkan hambaNya untuk membuat institusi yang bisa menjalankan hukum itu. Ketiga, Nabi adalah negarawan yang berpolitik, yang salah satunya tercermin dalam peperangan. Keempat, banyak ajaran Islarn yang tidak terealisasi tanpa institusi negara. Kelima, sejarah menunjukkan bahwa kaum muslimin banyak melakukan peduasan Vvilayah pengaruh politik. Namun sayang persepsi logis di atas tidak mampu menghantarkan Cak Nur untuk berkesimpulan bahwa negara Islarn adalah suatu keniscayaan dan suatu keharusan.
Sebagai konsekuensi keimanan, urnat Islam harus menjadikan Al Quean dan Hadits sebagai dasar hukum. Firman Allah "Dan tidaklah patut bagi laki-laki mu'mln dan tidak (pula) bagi perempuan mu'mlnan, apabila Allah dan Rasul Nya telah menetapkan suatu ketentuan akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat yang nyata (Al Ahzab:36). Tidak ada pilihan lain bagi orang-orang yang beriman terhadap Islam untuk melaksanakan hukum-hukum Allah, karena hanya hukum Allah sajalah yang membawa kebaikan.
Fakta menunjukkan bahwa tanpa kekuasaan mustahil diterapkan suatu hukum. Maka agar hukum Allah terlaksana tidak ada cara lain kecuali dengan menghadirkan sistern politik dan pernerintahan Islam dalam bentuk negara, sesuai kaidah ushul ma laayutimul wajibu ala bihi fahuwa wajib (bila tidak sempurna suatu kewajiban kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib adanya). Keharusan menegakkan negara Islarn tersebut didukung oleh hadits yang mengabarkan akan banyak khalifah sepeninggal Rasulullah SAW : "Dan sesungguhnya tidak terdapat nabi-sesudahku, tetapi akan muncul khalifah dan mereka banyak "(HR. Muslim) atau Akan ada sesudahku para imam" (HR. ahmad). Para imam atau khalifah itulah yang akan menerapkan hukum-hukum Allah, bukan hukum ciptaan manusia yang dipenuhi hawa nafsu hingga menciptakan distorsi pemikiran, sekularisme, dekadensi moral, dsb. "Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka"(Al Maidah:49).
Huston Smith dalam "The religion of man" seperti dikutip Abdul Wahid mengernukakan, Muharnmad SAW tidak hanya diutus Allah sebagai Nabi tapi juga seorang kepala negara dan pelindung jiwa rakyatnya. Rasulullah SAW mampu menjawab berbagai masalah sebagai seorang negarawan dan politikus yang mahir. Menurut Smith, keberhasilan Rasulullah merupakan keberhasilan universalistik yang patut dijadikan preseden kesejarahan di kalangan muslim maupun non muslim yang hidup di belakang hari (Republika, 16/4'99).
Bentuk negara yang dipimpin Rasulullah bukanlah seperti gambaran Cak Nur sebagai negara madani yang hanya menekankan pada substansi nilai-nilai Islarn, namun tidak menjamin pelaksanaan hukum Islarn secara utuh sehingga dia menyimpulkan gambaran masyarakat Rasulullah identik dengan Republik. Bukan pula negara theokrasi yang pada hakekatnya merupakan bentuk legalisasi penciptaan hukum manusia yang diwakili oleh para, agarnawan sebagai wakil Tuhan, bukan pelaksanaan hukum Allah yang sebenannya. Realitas kepernimpinan Rasulullah di Madinah merupakan sunnah fi'liyyah yang mengandung perintah bagi urnat Islam untuk mengikutinya. Terdapat langkah-langkah Rasulullah yang jelas-jelas mengarah kepada tindakan politik praktis. Yakni pertarna bai'at Aqabah I dan II yang menurut Munawir Syadzali (Islam dan Tata Negara, 1993) merupakan batu pertama bangunan negara, Islam. Bai'at tersebut merupakan janji setia beberapa penduduk Yastrib kepada Rasulullah SAW sebagai pengakuan bahwa Muhammad SAW tidak hanya sebagai Rasul tetao juga sebagai pernimpin, karena pengakuan sebagai Nabi cukup dilakukan dengan syahadat. Kedua piagam atau wastiqoh Madinah sebagai bentuk pejanjian komunitas masyarakat Madinah yang terdiri dari kaum Muhajirin, Anshor dan Non Muslim yakni Yahudi dan Nashrani. Piagam tersebut mengatur perlindungan hak-hak manusia seperti kebebasan beragarna dn perlindungan terhadap minoritas sejalan dengan asas dan syari'at Islam. Ketiga peran Rasulullah SAW sebagai kepala negara pada urusan dalam dan luar negeri (Ri'ayatu Asysyu'uni al ummah daakhilan wa kharijian). Urusan dalam neged meliputi masalah ekonomi, pernerintahan, militer dsb. Rasulullah membangun baitul mal untuk menghidupkan ekonomi rakyat, jaminan biaya pengobatan dan kebutuhan pokok, pernbagian zakat dsb. Dalam pernerintahan, Rasulullah SAW mengangkat Abu Bakar dan Umar sebagai wazimya, Muadz bin Jabal sebagai wali dan qadhi di Yaman, Zaid bin Haritsah sebagai panglima perang Mu'tah, sesuai hadits : "Bila Zaid gugur, Ja'far bin Abi Thalib penggantinya. Dan bila Ja'fargugur, Abdullah bin Rawahah penggantinya " (HR. Bukhari). Kepernimpinan Rasulullah dalam militer terlihat dalam memimpin langsung beberapa peperangan atau mengatur strategi seperti pada perang Uhud. Hubungan negara lain ditempuh dengan mengirim surat kepada penguasa Mesir (Muqauqis), kaisar Persia (Kisra), penguasa tertinggi Romawi di Pakistan (Heraclius), dsb atau mengutus duta. Sernua tindakan tersebut tidak mungkin dilakukan kecuali oleh sebuah institusi yang menamakan diri sebagai negara.
Dikotomi tentang peran Rasulullah SAW di Madinah sebagai kepala negara Islam atau tidak, sebenamya baru muncul belakangan ketika Islam tidak tampak dalam realitas kehidupan bermasyarakat dan bernegara (Ismail Yusanto, 1998). Umat terdahulu tidak pernah mendebatkan apakah menegakkan negara wajib atau tidak, karena semua sudah sangat jelas. Faktanya, bila sistem kapitalisme dan sosialisme yang penuh keburukan saja memerlukan negara untuk menerapkannya, apalagi Islam yamh dijamin Allah sebagai agama rahmatan lil 'alamin. Dikotomi tersebut justru muncul di kalangan orang Islam sendiri yang teracuni pikiran sekuler. Padahal L. Stoddard, seorang orientalis dalam "The New World of Islam" menyatakan, "Bangkitnya Islam barangkali suatu peristiwa yang menakjubkan dalam sejarah manusia. Dalam tempo kurang dari seabad, dari gurun tandus dan suku yang terbelakang, Islam telah tersebar hampir menggenangi separuh dunia. Menghancurkan kerajaan-kerajaan besar, memusnahkan beberapa agama besar yang telah dianut berbilang zaman dan abad" (dalam Ismail Yusanto). Realitas negara Rasulullah SAW merupakan bukti bahwa politik merupakan bagian tak terpisahkan dari Islam. Pemerintahan beliau kemudian dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin dan khilafah-khilafah lainnya dari bani Ummayah, Abbasiyah dan Utsmaniyah hingga berakhir masa itu pada tahun 1924. Bila terdapat sisi gelap dalam pemerintahan beberapa khalifah, harus difahami bahwa hal itu terjadi karena faktor kekurangan mereka sebagai manusia yang kadangkala terjerumus dalam kesalahan. Karena itulah fakta sejarah tidak boleh dijadikan sebagai sumber hukum sebagaimana Al Qur'an, Al Hadits, ljma' Shahabat dan Al Qiyas.
Khatimah
Islam sebagai agama ruhiyah dan agama siyasiyah (politik) telah paripurna merangkum aturan-aturan yang berkaitan dengan sistem kehidupan secara sempuma. Faktor itulah yang bila diterapkan secara kaaffah akan meredam kemungkinan konflik sosial, ekonomi, politik dsb. Islam memiliki konsep politis yang khas, yang membedakannya dengan konsep politik yang saat ini merajai dunia. Demi menghalangi proses aktualisasi Islam sebagai sistem polifik, musuh-musuh Islam tak henti-hentinya beropini dan mengkondisikan keadaan terhadap kemustahilan penegakan Islam politik. Upaya inilah yang patut diwaspadai kaum muslimin yang masih menginginkan pertolongan dan ridho Allah SWT.