MEMAHAMI POSISI AL QURAN SEBAGAI AL
WAHYU
Oleh : Ummu Khoir
Memang benar, bahwa kaum muslimin saat ini sangat
membutuhkan ahli-ahli tafsir untuk bisa menarik hukum-hukum rinci
dari ayat-ayat Al Quran. Namun dalam hal ini umat pun
perlu tahu cara-cara penafsiran yang bisa diterima dan siapa yang
sebenarnya cukup kompeten untuk menafsirkan Al Quran.
Informasi semacam ini sangatlah penting, karena akhir-akhir ini
banyak orang yang mencoba untuk menafsirkan Al Quran dengan
cara-cara baru yang tidak merujuk kepada tekstual ayat dan
hadits-hadits Rasul SAW, apalagi pendapat para shahabat. Pada
faktanya kalangan ini tampak banyak menafikan shahabat, padahal
justru para shahabatlah yang paling menguasai dan mengerti bahasa
Arab (sebagai bahasa Al Quran) dan yang paling mengetahui
kejadian-kejadian yang melatarbelakangi turunnya ayat. Para
shahabat adalah mereka yang paling dekat dengan Rasulullah SAW
(sebagai orang yang paling memahami Al Quran). Oleh
karena itu, sekalipun kaum muslimin sangat membutuhkan para ahli
tafsir untuk bisa menarik hukum-hukum rinci dari ayat-ayat Al
Quran dalam rangka menjawab persoalan-persoalan yang
berkembang, namun umat juga harus senantiasa kritis dan selektif.
Tidak selayaknya umat Islam menerima semua upaya penafsiran tanpa
diteliti terlebih dahulu kelayakannya.
Satu hal pokok yang sering luput dari perbincangan penafsiran
teks-teks keagamaan adalah, bagaimana penerimaan manusia terhadap
teks-teks tersebut. Al Quran adalah sumber hukum yang
bersifat spesifik. Upaya penafsiran terhadap teks-teks Al
Quran akan mengena, hanya setelah tumbuh keimanan dan
keyakinan terhadap Al Quran sebagai sumber yang bersifat
pasti (qothI tsubut). Keraguan terhadap Al
Quran sebagai sebuah sumber akan menggagalkan
pekerjaan penafsiran. Dengan demikian kaum
muslimin tidak dapat menerima hasil penafsiran dari orang-orang
yang masih meragukan kebenaran Al Quran sebagai sebuah
wahyu yang datang dari Allah SWT, sebagai Sang Pencipta. Orang-orang
yang meragukan sifat Al Quran sebagai Al Wahyu tidak bisa
dipercaya kejujurannya dalam mengungkapkan pemahaman ayat-ayat Al
Quran. Terlebih lagi bila Al Quran telah
dijadikan obyek pembahasan yang kemudian mereka nilai
kebenarannya dan keotentikannya dengan metodologi asing (yang
memiliki landasan filosofis yang bertentangan dengan Islam).
Hanya sebuah dugaan memang, bila kita menyatakan bahwa
musuh-musuh Islam kerapkali menyisipkan dan mengopinikan
metodologi penafsiran yang justru hendak menjauhkan makna dan
pemahaman Al Quran yang sebenarnya. Namun kenyataan
sering membuktikan kebenaran asumsi-asumsi tersebut. Perspektif
manusia demikian mudah meletakkan setiap obyek pembahasan sesuai
keinginan dan seleranya. Maka siapapun orang-orang yang
tidak menginginkan Islam hadir dengan pola tertentu, akan mencoba
meletakkan dan memandang Islam dari sudut yang mereka inginkan,
sesuai kepentingan masing-masing. Untuk itulah, dalam
rangka meletakkan Al Quran sesuai dengan posisi yang
sebenarnya, maka Al Quran harus senantiasa dipahami
berdasarkan perspektif tertentu yang telah ditetapkan Allah SWT
melalui Al Quran itu sendiri dengan bantuan RasulNya.
Apa
itu Al Quran?
Muhammad Ali Ash Shobuny dalam kitab At-Tibyaan fii Uluumil
Quran menyatakan bahwa Al Quran adalah
kalamullah yang tiada bandingannya (mujizat),yang
diturunkan kepada nabi Muhammad SAW penutup para nabi dan rasul,
dengan perantaraan malaikat Jibril as, ditulis dalam
mushaf-mushaf yang disampaikan kepada kita secara mutawatir.
Mempelajarinya merupakan ibadah, dimulai dari surat Al Fatihah
dan ditutup dengan surat An Naas.
Definisi ini menurut beliau telah disepakati para Ulama dan Ahli
Ushul. Dalam kitab yang sama beliau juga mengungkapkan
bahwa Al Quran adalah kalamullah yang lafazh dan maknanya
dari Allah SWT. Taqiyuddin An Nabhani dalam kitabnya yang
berjudul Syakhshiyyah Islamiyyah jilid I, menyebutkan bahwa Al
Quran adalah lafazh yang diturunkan kepada Muhammad SAW
bersama makna yang ditunjukkannya. Karena itu beliau
menyatakan bahwa makna saja tidak dapat dikatakan sebagai Al
Quran. Demikian pula lafazh tanpa makna, sebab lafazh
yang dibuat dan disusun tiada lain adalah untuk mengungkapkan
makna tertentu.
Lafazh Al Quran adalah lafazh bahasa Arab yang gaya
pengungkapannya sangat indah, fasih dan baligh. Tiada satu
kalimat pun yang susunannya menyimpang dari kaidah bahasa Arab.
Bahkan kepastian bahwa Al Quran berbahasa Arab telah
dijelaskan oleh Allah SWT sendiri melalui firmanNya dalam QS
Yusuf : 2 :
Sesungguhnya
Kami menurunkan berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar
kamu memahaminya.
Demikian
pula firmanNya dalam Al Quran surat Fushilat : 3, Az Zumar
: 28, Asy Syuura : 7 dan Az Zukhruf : 3
Al Quran merupakan mujizat Nabi Muhammad SAW yang
paling tinggi, paling besar dan paling ampuh untuk mensklukksn
orang-orang yang ingkar terhadap kenabian beliau. Sekalipun
Nabi Muhammad memiliki banyak mujizat, akan tetapi beliau
tidak menggunakan mujizat-mujizat yang lain sebagai
tantangan terhadap orang-orang yang mengingkari kenabian beliau.
Oleh karena itu kemujizatan Al Quran merupakan bukti
kenabian Muhammad SAW, semenjak turunnya Al Quran sampai
Hari Kiamat nanti. Sebab mujizat Al Quran
adalah mujizat yang dapat diindera dan dibuktikan oleh
seluruh manusia di setiap masa sampai Hari Kiamat. Hal ini
memang telah dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya :
Setiap
nabi pasti diberi sesuatu (mujizat) yang serupa dengannya,
manusia akan meyakininya, tetapi yang diberikan kepadaku adalah
wahyu yang diturunkan Allah kepadaku. Maka aku berharap
menjadi Nabi yang paling banyak pengikutnya.
(HR
Bukhari)
Imam
Jalaluddin As-Suyuthi memberi syarah (penjelasan) hadits tersebut
sebagai berikut :
Mujizat
para Nabi telah hilang dengan berlalunya masa mereka, tidak dapat
disaksikan kecuali oleh orang-orang yang semasa dengannya. Dalam
pada itu mujizat Al Quran senantiasa ada sampai Hari
Kiamat.
Kemujizatan Al Quran terletak pada gaya pengungkapan
(uslub) yang digunakan untuk mengungkapkan makna-makna. Gaya
pengungkapan Al Quran tersebut tampak dlaam kefasihan
(fashahah), keindahan (balaghah) dan ketinggian taraf pemikiran
yang diungkapkan sampai ke derajat yang mengagumkan.
Gaya pengungkapan yang merupakan segi kemujizatan itu
tampak jelas dalam tiga aspek :
Pertama,
lafazh-lafazh dan susunan kata (tarkiib) yang digunakan. Al
Quran telah menggunakan lafazh-lafazh dan susunan kata yang
amat unik. Makna yang lembut diungkapkan dengan lafazh yang
lembut. Makna yang kasar diungkapkan dengan lafazh yang
kasar dan seterusnya. Intinya, pemilihan lafazh disesuaikan
dengan makna yang akan diungkapkan sehingga mudah dipahami secara
mendalam oleh pendengarnya. Misalnya ayat yang
mengungkapkan surga dilafazhkan dengan lembut dengan gaya
pengungkapan yang manis sehingga membuat orang sangat
merindukannya. Sebaliknya bila mengungkapkan neraka, maka
lafazh yang digunakan adalah lafazh yang kasar sehingga membuat
pendengarnya merinding karena sangat takutnya, dan membuat orang
begitu membencinya serta terdorong kuat untuk menjauhinya.
Kedua,
irama kata yang digunakan. Susunan huruf dan kata-kata
dalam Al Quran tersusun dalam irama yng khas dan unik, yang
tidak pernah dijumpai dalam percakapan manusia, baik dalam syair
maupun prosa.
Ketiga,
lafazh dan susunan kata yang digunakan mencakup makna yang luas
dan menyeluruh. Al Quran telah menggunakan lafazh
yang ringkas untuk makna yang luas dan mendalam. Misalnya
firman Allah SWT dalam QS Al Baqarah : 179. Penggalan dari
ayat 179 tersebut di atas, lafazhnya sedikit, namun bila
diuraikan akan tergambar makna yang luas. Makna ayat
tersebut adalah, apabila seseorang mengetahui bahwa kalau ia
membunuh, akan dibunuh, maka hal ini akan mencegahnya dari
pembunuhan. Jadi, dengan qishash, kejahatan pembunuhan
tersebut akan lenyap di masyarakat. Dengan tiadanya
pembunuhan, berarti akan terjamin keberlangsungan kehidupan
kehidupan manusia di tengah masyarakat.
Tujuan dari mujizat pada hakikatnya adalah untuk meyakinkan
manusia bahwa orang yang membawa mujizat adalah benar-benar
seorang nabi, dan bahwa risalah yang dibawanya adalah benar-benar
berasal dari sisi Allah SWT. Oleh karena itu,
kemujizatan Al Quran merupakan bukti nyata dan
meyakinkan bahwa Muhammad bin Abdullah adalah benar-benar seorang
Nabi dan rasul, sekaligus membuktikan bahwa Al Quran adalah
kalamullah yang mutlak kebenarannya.
Keimanan terhadap Al Quran memiliki konsekuensi yang lebih
jauh lagi, yakni menerapkan dan mengamalkan Al Quran.
Allah SWT berfirman dalam salah satu ayat Al Quran bahwa
seseorang baru dikatakanberiman bila ia menjadikan Rasulullah
Muhammad SAW sebagai hakim (pemutus perkara) dalam perkara yang
diperselisihkan (lihat An Nisaa : 65). Dalam ayat lain
Allah SWT berfirman :
Apa
saja yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah ia. Dan
apa saja yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. (Al
Hasyr : 7).
Ayat
ketujuh surat Al Hasyr di ats mewajibkan kaum muslimin untuk
mengambil dan mengamalkan apa saja yang berasal dari Rasulullah
SAW, baik Al Quran itu sendiri maupun As Sunnah. Sebab
kata maa (apa saja) dalam ayat itu bersifat umum,
mencakup Al Quran dan As Sunnah.
Kedua ayat di atas termasuk di antara dalil syarI yang
mewajibkan kaum muslimin untuk menerapkan dan mengamalkan
syariat islam yang terkandung dalam Al Quran dan As
Sunnah. Kewajiban ini mencakup keseluruhan syariat
Islam, tidak sebagian-sebagian, sebagaimana firmanNya dalam QS Al
Baqarah : 208.
Hai
orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara
keseluruhan.
Berdasarkan hal ini, kaum muslimin harus memiliki sikap yang
benar terhadap Al Quran. Hal ini menimbulkan
konsekuensi bahwa mereka harus pula mampu memahami cara yang
benar dalam menafsirkan Kalamullah ini. Cara yang benar
dalam menafsirkan ini haris berlaku sepanjang jaman. Mujizat
Al Quran dari sisi bahasa adalah hal yang berlaku sepanjang
masa. Al Quran diturunkan dalam bahasa Arab saja yang
semurni-murninya, tidak kemasukan bahasa asing apapun juga.
Karena itu, siapapun yang hendak memahami Al Quran ia harus
memahami bahasa Arab.
Adapun mengenai pemahaman dan kreasi pengembangannya dapat
berubah, terutama jika pemahaman itu berkaitan dengan satu atau
beberapa ayat, dan si penafsir sendiri mengetahui dengan jelas
terjadinya apa yang diisyaratkan oleh ayat tersbut di
tengah-tengah kehidupan baru, seperti kemajuan corak peradabandan
lain-lain. Hal-hal semacam itu tidak tetap dalam segala
jaman akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan perubahan keadaan.
Misalnya perubahan politik, ekonomi, keuangan, perdagangan dan
hubungan internasional, baik di masa damai maupun perang. Selain
itu juga akibat terjadinya perubahan bentuk-bentuk hubungan
sosial antara pria dan wanita, peningkatan kualitas dan kuantitas
kejahatan, serta munculnya berbagai masalah baru yang belum
dikenal sebelumnya.
Dengan demikian di jaman kita ini, hal utama yang harus
diperhatikan adalah meletakkan posisi Al Quran di tempat
yang seharusnya. Akal manusia dapat berkembang dalam
memahami nash-nash Al Quran sejalan dengan fenomena
kemajuan peradabannya, namun ia harus tetap berada dalam
batas-batas makna yang ditunjukkan oleh nash-nash itu sendiri dan
dalam batas pengertian penafsiran yang harus dijaga
sebaik-baiknya agar jangan sampai terseret kepada makna atau
pengertian yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan nash-nash
Al Quran.
Wallaahu
alam bishshowab.
PUSTAKA
1.
An Nabhani. Asy Syakhsiyah Al-Islamiyah. Juz I.
2.
Muhammad Husain Abdullah. Dirasah Fil Fikril Islami. 1991.
Darul Bayariq. Beirut.