Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!

Politik dan Ideologi

AM. Saepudin, Ph.D, anggota komisi X FPP DPR-RI, anggota Dewan pakar ICMI Pusat, dalam Media Indonesia (23/08/96) Mengemukakan bahwa politik dianut oleh suatu bangsa sebagi suatu sistem kenegaraan dalam bentuk apapun, yang menyangkut hubungan kemanusiaan secara universal dengan bangsa lain .

Bila kita lihat dalam bangsa Indonesia , maka politik bisa berarti segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat, strategi, dan sebagainya) mengenai pemerintahan suatu negara atau negara lain. Politik dalam bahasa Arab biasa disamakan dengan kata siyasah. Ahmad ‘Athiyah dalam ‘Kamus Politik’-nya halaman 320 menyatakan bahwa politik bermakna memelihara dan memperlihatkan urusan rakyat. Lebih tepat dan mendasar mengenai makna ini juga dikemukakan oleh Syeikh Taqiyudin An Nabahani dalam kitab "Mafaahim As-siyasah" . Beliau mendefinisikan politik (as siyaasah), yang menyangkut aspek umat dan negara sebagai :

Pemeliharaan urusan umat dalam dan luar negeri

Dalam upaya mengatur dan memelihara urusan umat secara umum dii berbagai sistem manapun akan ada kebijakan-kebijakan atau aturan (rules).

Kebijakan atau aturan ini ditegakkan dalam rangka mengatur seluruh urusan masyarakat. Proses penetapan kebijakan bisa berlangsung berbeda-beda antar sistem politik. Bila dikatakan orientasi nilai adalah salah satu unsur dalam sistem politik (Samodra Wibawa, 1994). Maka perbedaan unsur ini akan melahirkan kebijakan politik yang tidak sama. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa sebuah ideologi secara pasti akan melahirkan warna kebijakan tertentu.

Dengan demikian wajar bila konsep politik yang muncul dari sistem dengan landasan ideologi Islam akan berbeda dengan konsep politik yang disampaikan oleh penganut ideologi lain. Kebijakan politik yang bersandarkan pada Islam, tidak akan sama dengan kebijakan kebijakan yang terlahir dari konsep politik sosialis ataupun kapitalis.

Salah satu hal yang bisa kita pelajari dalam rangka mencari akar sebuah strategi adalah konsep ‘politik kontekstual’ seperti yang dikemukakan oleh Ipong S. Azhar, dosen FISIP- USU, medan, dalam Media Indonesia (12/08/96). Sebagaimana teori-teori sosial (versi sosialis) yang difahaminya, berpolitik praktis juga perlu disesuaikan dengan konteks sistem politik yang berlaku dan permasalahan yang tengah dihadapi. Maka berpolitik yang efektif menurutnya adalah mengikuti irama sistem. Merujuk pada pendapat Max Weber, Ipong berpendapat bahwa dunia politik praktis adalah dunia profesi sebagaimana dunia kedokteran, kehakiman, perdagangan ataupun olah raga. Karena itu politisi menurutnya adalah seorang profesional sebagaimana hakim, pengacara, usahawan, atau pemain tinju. Bila masyarakat bertumpu pada aksioma yang mengatakan bahwa setiap profesi memiliki kode etik yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya, maka seorang politisi tidak akan bisa berperilaku seperti rohaniawan atau hakim dan mereka juga tidak akan dapat dicela apabila perilakunya tidak sama dengan rohaniawan atau hakim. Perkembangan teori ini mengarah pada ‘politisi memiliki kode etik dan rohaniawan serta hakim pun memiliki kode etik tersendiri’. Selanjutnya akan timbul pertanyaan bagaimana kode etik seorang politisi? Bagi Ipong, politik itu sendiri adalah segala hal yang berkenaan dengan kepentingan orang banyak (kepentingan umum). Politik adalah aktivitas yang bertujuan untuk mengelola (mengendalikan, mengatur dan mendistribusikan) kebutuhan orang banyak agar semua bisa mendapat bagian dan merasa terpuaskan. Karena berkenaan dengan kepentingan orang banyak, maka kode etik yang berlaku di dunia politik adalah paradigma (yaitu cara berfikir, bersikap dan bertindak) yang berorientasi kepada kepentingan orang banyak,dengan jalan mendahulukan kepentingan orang banyak ini daripada kepentingan pribadinya. Berpijak pada teori ini tanpa adanya standar yang senantiasa tetap dan pasti dalam memandang persoalan umat maka kebijakan akan senantiasa berubah sesuai dengan perkembangan dan pergeseran nilai yang ada ditengah masyarakat. Perspektif politik ini tidak layak diterapkan pada masyarakat yang senantiasa harus berpegang pada suatu standar yang baku, seperti kaum muslimin.

Islam sendiri adalah agama yang mengatur kehidupan manusia, termasuk negara dan politik. Islam adalah aqidah ruhiyah (yang mengatur hubungan antara sesama manusia dan dirinya sendiri). Oleh karena itu Islam tidak dapat dilepaskan dari aturan yang diberlakukan untuk mengatur urusan masyarakat dan negara. Bagi kaum muslimin cara pandang inilah yang harus senantiasa digunakannya.

Sampai saat ini umat Islam (termasuk di Indonesia) masih teramat asing dengan aturannya sendiri. Maka politik pun berkembang sebagaimana kondisi yang mereka alami. Demikian pula dengan berbagai kebijakan, yang terlahir dari konsep politik dan nilai-nilai sesuai yang ditetapkan oleh penentu kebijakan (penguasa). Nilai-nilai ini bisa bersifat nilai pribadi, kepentingan kelompok tertentu, nilai moral, kebebasan, sosial dan lain-lain yang masih sangat mudah bergeser sesuai dengan pergeseran nilai-nilai tersebut di masyarakat.

Umat Islam Harus Sadar Politik

Untuk mengatur seluruh urusannya (baik sebagai individu, masyarakat ataupun negara), ‘mau tidak mau’ rakyat harus memahami strategi pengaturan urusan ini. Kesadaran ini haruslah dalam bentuk yang universal (mencakup dunia internasional) dengan suatu sudut pandang yang khas. Sudut pandang umat sebagai kaum muslimin adalah bagaimana mereka memandang dalam kerangka kesadaran Islam tentang kehidupan, dimana pun mereka berada. Sesuai dengan makna politik, maka kesadaran ini berarti memelihara dan mengatur urusan umat atas dasar kesadaran itu. (Muhamad Isma’il, 1995)

Dewasa ini istilah ‘melek politik’ yang berkembang di tengah masyarakat (Ummat, 02/09/96), baru diartikan dengan ‘ketidaksudian’ rakyat dijadikan sebatas sarana untuk kepentingan gemerlapnya kelompok dan golongan minoritas saja. Belum dalam pengertian kesadaran umat akan makna dan kepentingan politik yang sesungguhnya. Dalam kapasitas umat sebagai kaum muslimin, tampaknya kesadaran ini belum lagi tumbuh. Kaum muslimin di Indonesia masih merasa asing bila dikatakan bahwa Islam memiliki konsep politik yang dibangun diatas aqidah Islamiyah yang berbeda dengan konsep dari ideologi manapun. Bahwa Islam pun telah menetapkan peran dan tanggung jawab berpolitik pada seluruh kaum muslimin, itu pun belum mereka ketahui. Bahkan Islam mewajibkan berdirinya partai politik yang berjuang untuk Islam, dengan tugas menyebarkan dakwah Islam kepada orang-orang kafir di seluruh dunia, termasuk kepada penguasa, itu masih asing dalam benak mereka. Padahal telah jelas Firman Allah SWT :

"Hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada al khair (dinul Islam) menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar" (QS. Ali Imran :104).

Allah SWT dalam ayat tersebut telah menjelaskan metode yang semestinya dilakukan oleh kaum muslimin dalam mengemban dakwah Islam yaitu amar ma’ruf nahi mungkar.

Fakta lain yang banyak terjadi sekarang adalah masalah politik yang hanya menjadi obyek perbincangan kalangan tertentu, bukan kebanyakan orang. Selain masih ada yang menganggap bahwa Islam tidak mengatur persoalan politik, ada pula yang menganggap bahwa perbincangan masalah politik hanya akan mempersempit ruang gerak umat islam, lalu akan melalaikannya dari selain politik, seperti masalah ibadah, aqidah dan lain-lain. Kesalahfahaman tentang makna politik ini akan bisa disadari bila umat Islam (termasuk kaum muslimin di Indonesia) menengok kembali praktek kehidupan kaum muslimin terdahulu ( mulai dari tegaknya Daulah Khilafah di Madinah sampai masa berakhirnya Kekhilafahan Islamiyah di Turki Tahun 1024). Kurangnya kesadaran umat akan politik akan bisa diatasi bila kaum muslimin mau menerima konsep politik yang shahih, yang telah ditetapkan Islam. Bagaimana dengan kaum muslimin di Indonesia?

Kembali ke Menu Utama