Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!

DI BALIK SERBUAN FEMINISME 

Oleh : F. Syariifah

 

Feminisme ternyata mampu memberi berbagai problem besar yang baru, sekaligus berhasil melahirkan tokoh-tokoh penyerunya.Umat harus hati-hati….

Gaung feminisme telah merebak ke berbagai negeri.  Tak sedikit wanita Islam yang menyambut dan memperjuangkan, di negerinya.  Namun, Pro-Kontra tak pernah berhenti, ada pula yang mengambil jalan kompromi.  Benarkah isme ini alat perjuangan pemuliaan wanita, atau tanpa disadari merupakan topeng politik yang merontokkan tatanan nilai-nilai dalam dunia Islam.

BENDERA FEMINISME

Munculnya tuntutan kebebasan (freedom) dan persamaan hak (equal rights) oleh sebagian wanita bisa dianggap sebuah kewajaran. Ketimpangan-ketimpangan yang muncul dari kedua sistem tersebut memicu dan menyuburkan isue-isue penindasan/pelecehan hak asasi, termasuk hak-hak perempuan.  Dalam masyarakat kapitalis, kebebasan dan kapital adalah sesuatu yang diagungkan, melampui batas nilai-nilai agama sekalipun.  Pembedaan perlakuan, status atau fungsi antara pria dan wanita dalam masalah yang kecil pun akan memicu protes dan kritik tajam.  Sementara itu kaum sosialis tidak akan mendiamkan aturan tradisi, budaya atau kelembagaan yang mengarah pada pengkelasan.  Setiap hierarki, menurut mereka, akan memunculkan kelompok tertindas.Maka penghapusan kelas-kelas yang ada dalam masyarakat adalah kunci menuju kesejahteraan dan keadilan.  Tak bisa dipungkiri, bahwa corak feminisme sangat dipengaruhi oleh ideologi yang dianut oleh suatu negara.  Bahkan dianut oleh suatu negara.  Bahkan dalam perkembangannya, tradisi dan kebudayaan turut menyumbang beragamnya versi feminisme. Hal ini biasanya terjadi dalam masyarakat yang tidak mau menerapkan feminisme ala-Barat secara total.

  Namun, mereka menyambut baik feminisme sembari menyesuaikan dengan tradisi dan kebudayaan yang mereka anut. Muncullah istilah feminisme sosialis, feminisme radikal, feminisme liberal, feminisme klasik, feminisme Islam (sekedar istilah) dll.Pada awalnya, tuntutan yang dilontarkan masihlah sederhana.  Para wanita protes, karena suara mereka tidak diakui dalam pemilihan umum.  Mereka juga ingin punya kesempatan bisa bekerja di luar rumah dan mengenyam pendidikan seperti yang telah dinikmati oleh kaum pria.

  Deretan tuntutan menjadi bertambah panjang menyesaki layar permasalahan wanita.  Pada aspek-aspek tertentu sering terkesan sangat berlebihan/dibesar-besarkan.  Tercapainya kebebasan dan persamaan hak secara mutlak adlah dasar perjuangan mereka.  Maka dikibarkanlah bendera feminisme sebagai simbol perjuangan kebebasan wanita memperoleh jati dirinya dan melepaskan diri dari belenggu ketertindasannya.  Beberapa konsep perubahan yang mendasar digelar untuk merealisasikan keinginan itu.  Sistem partriarki, hukum dan undang-undang yang diskriminatif, generisme, pemilikan harta, pelecehan sexual sampai pada lembaga keluarga, mereka soroti sebagai cikal bakal ketertindasan wanita.  Dan inilah yang akan mereka ubah, bahkan dimusnahkan !

FEMINISME-HIJAU

Globalisasi arus informasi dan komunikasi, menjadikan ide-ide feminisme tidak hanya bisa dimiliki dan diperjuangkan oleh orang-orang Barat.  Tak pelak, feminsime di negeri-negeri Islam adalah hal yang tidak wajar.  Hal ini bertolak dari ide-ide dasar feminisme yang sejalan dengan Islam.  Mengherankan bila putra-putri islam turut berpartisipasi mengibarkan panji-panji feminisme.

Memang sulit menentukan fenomena apa yanglebih dulu, tapi bisa dipastikan bahwa dua hal telah terjadi di dunia Islam.  Pertama, degradasi pemahaman dan keterikatan terhadap hukum-hukum Islam sebagai patokan nilai benar-salah/baik-buruk dalam masyarakat islam.  Kedua, kesengajaan kapal-kapal liberalisme memuat dan memasarkan feminisme ke berbagai negeri Islam untuk menghancurkan Islam dari dalam.  Fenomena pertama, memang memungkinkan disambutkan seruan feminisme di kalangan putra-putri Islam. Kebodohan dan kemunduran berfikir membuat mereka semakin asing dengan nilai-nilai Islam (baca : hukum-hukum Islam).  Sekalipun atribut Islam tak ingin mereka lepaskan, namun sikap dan pemikiran mereka jauh dari apa yang dikehendaki Islam.  Tolak ukur baik-buruk/benar-salah tak lagi mereka sandarkan pada Al-qur’an, Hadits, ijma shahabat ataupun qiyas.  Manfaat, hak asasi, demokrasi dan keadilan dalam persepektif manusia yang mereka jadikan pijakan berfikir.  Maka, pemahaman terhadap Islam yang baru sebatas kulitnya, bahkan pemahaman yang salah terhadap nilai-nilai Islam sering dijadikan dalil pembenaran feminisme.  Jadilah, feminisme initerkesan lebihhijau.  Dan amat merekaperlukan untuk mengangkat wanita-wanita Islam yang konon terbelakang.  Sementara fenomena kedua, bukanlah hal yang tanpa dasar dan berlebihan.  Sejak zaman Napoleon Bonaparte, orang-orang kafir tersadar bahwa Islam tak dapat dilumpuhkan dengan pedang. Pemurtadan juga bukan perkara yang gampang.  Upaya melucuti baju syari’ah satu per satu dan menggantikannya dengan baju-baju peradaban Barat akan lebih efektif menghancurkan Islam.  Diantara doktrin pasca runtuhnya khilafah di Turki adalah keharusan untuk melepas jilbab dan bahasa Arab. Layak disebut simbol kebebasan dan pembodohan.  Dengan dalih ‘kemodernan’, umat Islam semakin silau terhadap peradaban barat.  Maka pindahlah kiblat umat Islam ke arah segala yang direkayasa Barat.  Begitu juga feminisme, simbol kebebasan wanita Barat, akan menjadi propaganda yang jitu untuk memikat wanita-wanita Islam yang mendambakan kebebasan.  Lepas dari kungkungan dan keterbelakangan.

PELURU-PELURU YANG BERBAHAYA

Mengajak ummat untuk membuka mata bahwa feminisme adalah bak peluru berbisa tidaklah mudah.  Sebagian telah buta mata hatinya, sebagian lagi menjadi propagandis ide-ide barat ada juga yang tengah mabok ecstasy, yang lainnya terperangkap kebodohan yang hanya bisa ikut-ikutan.  Bila hal ini dibiarkan terus menerus menjalar dalam tubuh wanita-wanita Islam, maka tidak hanya membahayakan dirinya tapi juga menghancurkan Islam, agama yang diyakininya.  Kenyataan yang sangat ironis.  Senjata utama yang digunakan untuk menembakkan peluru-peluru feminis barat adalah kebebasan.  Tentu saja, agama harus keluar dari konteks ini.  Sebab pada dasarnya, agama, sedikit atau banyak adalah berupa keterikatan.  Hal ini tidak dikehendaki oleh feminisme atau kebebasan adalah milik yang harus dijunjung tinggi.  Tak pandang pria atau wanita.  Tak boleh ada pengikatan satu individu kepada individu yang lainnya, karena ini berarti penindasan.

Diantara warna kebebasan yang sering didengungkan antara lain:

1.Dalam bidang pendidikan, wanita harus diberi kesempatan sama seperti pria.  Tidak hanya jadi guru atau perawat tapi juga gelar sarjana, doktor, profesor atau petinju maupun bodyguard. Tak boleh ada prioritas atau pemisahan.

2.Di pentas politik, wanitapun boleh jadi presiden atau perdana menteri. Tak hanya perubahan UU dan hukum yang diskriminatif yang diinginkan, tapi juga presentase jumlah pengambil kebijakan yang sama agar wanita tidak ditindas.

3.Dalam bidang sosial dan ekonomi, wanita tak boleh dibedakan dalam hal kesempatan kerja, pemilikan, warisan dll.

4.Dalam masalah sexual, wanita bebas mau berzina, mau lesbian seperti halnya laki-laki homo, mau poliandri seperti halnya laki-laki poligami atau mau nikah, tak boleh ada yang memaksa atau melarang. Sedikit berbeda dengan feminis muslim, senjata yang dipakai adalah persamaan dan keadilan dalam Islam.  Bukan kebebasan mutlak yang digembar-gemborkan, sebab jelas Islam menolaknya.

Dalih persamaan dan keadilan akan terasa lebih pas senada dengan Islam.Orang pun tak merasa menentang atau keluar dari nilai-nilai Islam.  Diantara sorotan kaum feminis muslim yang cukup tajam adalah :

1.Al Quran harus diinterpretasi (ditafsirkan kembali) sesuai dengan perkembangan zaman,.  Bahkan sangat perlu dengan perspektif feminis.

2.Penafsiran kembali Al Quran secara kontekstual, bukan tekstual aeperti yang ada sekarang yang cenderung tidak fleksibel.

3.Penggugatan terhadap hadits-hadits yang misoginis (memojokkan wanita), karena bertentangan denagn semangat persamaan dan keadilan antara pria dan wanita yang diakui Islam.

NADA-NADA MENYESATKAN

Melihat perkembangan tuntuan dan gugatan kaum feminis yang terus bergulir, tampak banyak sekali keganjilan dan ambisi yang berlebihan.  Tradisi, budaya maupun agama bukanlah pijakan bagi mereka.  Bahkan ketiganyalah yang sedikit demi sedikit mereka runtuhkan. Dari yang bernada liberalis, sosialis, radikalis atau islamis, alur kebebasan menjadi corak khasnya. Reinterpretasi tafsir Al Quran dan fiqh dengan perspektif feminis dan gugatan terhadap hadits-hadits misogini, adalah dua kiat dasar yang strategis untuk menghancurkan tatanan hukum Islam.  Sementara syariah (hukum Islam) merupakan acuan wajib bagi setiap orang yang mengaku dirinya muslim.  Kalau dasar pijakan Al Quran dan hadits saja sudah diragukan, apalagi yang perlu dipegang dari Islam ? Tak perlu bertanya mengapa, inilah yang diinginkan kaum kafir.  Orang yang berjasad Islam tapi berotak dan berperilaku kapitalis atau sosialis. Pengacak-adukan agama tak akan membuat kaum feminis menyesal apalagi berdosa.  Tak usah jauh-jauh mencari bukti, pada penghujung tahun 1955, sebuah simposium yang digelar Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta telah menghasilkan rumusan baru fiqh perempuan.  Diantaranya, perempuan boleh menjadi imam sholat, menikah tanpa wali, menyampaikan khutbah jum’at, azan, menjadi pemimpin dan menyesuaikan busananya dengan kondisi sosial budayanya. 

ISLAM TAK BUTUH FEMINISME

Memperhatikan kerangka dan alur feminisme, tidaklah menunjukkan gerakan yang mumpuni. Pemikiran mereka ngawur dan ngelantur. Jauh dari fitrah dasar manusia sebagai khalifah (pemimpin) dan pemelihara kelestarian peradaban manusia di dunia ini.  Tak akan ada hasil pembaharuan mereka selain kerusakan dan kebobrokan yang berkelanjutan. Sangat berbeda dengan konsep Islam. Ideologi yang menempatkan fitrah laki-laki dan wanita dalam hubungan yang harmonis satu sama lain.  Dengan aturan-aturannya yang sempurna dan menyeluruh dalam segala segi kehidupan, keduanya tidak dibedakan derajatnya, kecuali dalam hal ketaqwaan kepada penciptanya.  Keterikatan terhadap hukum-hukum Allah adalah kunci meraih derajat yang paling tinggi.  Bukan prestise, kebebasan dan status sosial keduniawian.  Jelas berbeda dengan konsep kebebasan dan persamaan yang dilontarkan kaum feminis.

Benarlah komentar Dr. Quraish Shihab, bahwa keinginan mewujudkan persamaan total dengan pria akan bertentangan dengan kodrat wanita sendiri.  Tanggapan Prof. Zakiah Daradjat terhadap feminisme pun tak kalah tegas, “Islam tidak mengenal konsep feminisme, ajaran Islam tentang perempuan sudah amat jelas, tanpa perlu mendirikan feminisme”.

Yang perlu dipertanyakan sekarang adalah, sejauh mana umat Islam sungguh-sungguh memahami dan menerapkan nilai-nilai Islam sebagai refleksi keimanannya.  Rasanya, upaya memahamkan Islamsecara utuh adalah jawaban untuk mengembalikan kemuliaan wanita.  Bukan femisme !

Kembali ke Menu Utama ……