Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!

SOROTAN TERHADAP IDE REKONSTRUKSI FIQH PEREMPUAN

(Sebuah Refleksi Semangat Pembaruan)

Oleh : Qathrun Nada

Adakah relevansi antara ide pembaharuan dengan rekonstruksi fiqh, khususnya fiqh perempuan ? Tentu saja ada. Rekonstruksi fiqh dapat dikatakan sebagai sebuah upaya untuk merombak ajaran-ajaran fiqh agar sesuai dengan situasi dan kondisi sosial masyarakat. Unrtuk itu diperlukan kajian dan penafsiran ulang terrhadap hukum-hukum fiqh yang tuidak relevan lagi dengan kondisi masyarakat. Dari sini telah tampak adanya semangat untuk memperbaharui teks-teks keagamaan.

Namun selanjutnya akan muncul pertanyaan : mengapa rekonstruksi fiqh menjadi sebuah pilihan bagi perjuangan pembaharuan ? kenapa fiqh menjadi objek yang cukup populer untuk disorot ? cara-cara rekonstruksi apa yang menjadi pilihan kalangan pembaharu ini ? kemudian kita pun perlu memepertanyaanvisi dan paradignma aopa yang tersim pan dibalik langkah-langkah rekonstruksi ini ?

Penelusuran dan pengkajian terhadap persoalan-persoalan ini memungkinkan kita memahami semangat yang terkandung dalam sebuah ide-ide yang ditawarkan berikut jawaban boleh tidaknya kaum muslimin mengikuti langkah-langkah pembaharuan ini.

Fiqh perempuan, dalam pilihan rekonstruksi

Sebagian besar kaum muslimin (terutama yang sering mengkaji kitab-kitab fiqh) memahami istilah fiqh perempuan sebagai hukum-hukum syariat Islam yang mengatrur amal perbuatan manusia di dunia (sebagai manifestasi ketundukannya kepada Alloh), yang digali dari Alqur’an dan hadist Rosulullah. Amal perbuatan manusia (termasuk perempuan) didunia ini banyak sekali. Sejak ia mambuka matanya sejak bangun tidur, sampai ia tidur kembali. Tidak ada satupun yang tidak mwemliki status hukum menurut syariat Islam (kalau tidak wajib, sunah, mubah, makruh, berarti haram). Penentuan status hukum tersebut ada yang membutuhkan ijtihad karena antara lain, perbuatan itu belum pernah terjadi di masa Rasulullah SAW, atau karena Al Qur’an dan hadits menggunakan kata yang mengandung pengertian ganda (mutasyabbihat) ketika menjelaskan suatu perbuatan. Selain menentukan dengan ijtihad, ada pula yang langsung dari Al Qur’an atau hadits, karena memang sudah jelas (muhkamat) ketentuannya dalam Al Qur’an dan hadits. Untuk penentuan yang seperti ini para mujtahid (orang yang berkompeten untuk melakukan ijtihad) tidak pernah berbeda pendapat mengenai status hukum suatu perbuatan.

Namun sekarang yang perlu dipertanyakan adalah : mengapa fiqh perempuan ? Topik apa saja yang diusulkan untuk segera direkonstruksi ?

Penelusuran terhadap pendapat-pendapat kalangan yang mengajukan ide rekonstruksi fiqh perempuan ini memperlihatkan pola yang sama : yakni mereka merasa perlu merekonstruksi hukum-hukum yang mereka pandang tidak adil bagi perempuan, atau yang bertentangan dengan ide kesetaraan perempuan dan laki-laki (menurut persepsi mereka). Persepsi kalangan ini tentang keadilan dan kesetaraan tampaknya sama dengan yang dipropagandakan oleh kaum feminis, yakni keegaliteran antara laki-laki dengan perempuan. Mereka tidak merasa perlu mengkaji ulang hukum wajibnya perempuan untuk shalat, puasa, haji, menuntut ilmu dan lain-lain. Karena hukum itu sama untuk laki-laki dan perempuan. Namun apabila ditemukan ada penentuan yang berbeda untuk laki-laki dan perempuan –mereka membacanya sebagai bentuk ketidakadilan bagi perempuan--, maka saat itulah pengkajian ulang syariat dianggap sangat mendesak. Dalam hal ini pengkajian ulang tidak hanya terbatas pada hasil ijtihad semata, namun terhadap ayat-ayat yang muhkamat pun mereka merasa perlu untuk mengkaji ulang. Kalangan yang umumnya dikenal sebagai ‘pembaru’ ini menganggap semua masalah yang berhubungan dengan fiqh adalah hasil penentuan manusia. Menurut mereka, manusia itu lemah dan mutlak dipengaruhi oleh kondisi sosialnya ketika menentukan sesuatu. Bila seorang manusia berhak menentukan status hukum suatu perbuatan, maka manusia lain pun berhak untuk melakukan kajian ulang, siapa pun ia. Mujtahid atau bukan.

Beberapa Cara Melakukan Rekonstruksi

Secara garis besar ada tiga tipe cara yang dilakukan untuk merekonstruksi fiqh. Untuk mempermudah, tiga tipe ini dibedakan dengan : cara sangat halus, cara halus dan cara lugas.

  1.  
  2. Cara Sangat Halus
  3. Dengan cara ini, ayat Al Qur’an dan hadits masih digunakan sebagai sandaran untuk mengeluarkan pendapat, dengan cara-cara dan istilah-istilah penafsiran serta penakwilan yang umum dikenal di kalangan ahli tafsir. Penolakan terhadap satu larangan yang bertentangan dengan semangat keegaliteran tidak selalu dikemukakan secara tekstual. Penolakan yang non-tekstual ini hanya dapat dipahami setelah dilakukan penelusuran dan pengkajian secara detil dan runut. Contoh tipe ini adalah seperti yang dilakukan oleh Amina Wadud Muhsin. Langkah pertama yang ia lakukan adalah menjelaskan ayat-ayat yang menunjukkan bahwa di hadapan Allah, perempuan setara kedudukannya dengan laki-laki. Kesetaraan ini kemudian ia sebut sebagai Weltanschauung- nya Al Qur’an, yang selanjutnya harus berpengaruh terhadap penafsiran ayat-ayat lain yang menjelaskan secara rinci mengenai kedudukan perempuan dalam masyarakat dan hubungannya dengan laki-laki. Hukum-hukum fiqh yang akan direkonstruksi ia masukkan ke dalam bab khusus yang diberi judul : "Hak dan Peranan Wanita : Sejumlah Kontroversi". Dalam bab inilah sebenarnya Amina memaparkan hasil rekonstruksinya, tanpa menyatakan bahwa pendapat fiqh shalaf itu benar atau salah.
  4. Cara Halus
  5. Cara yang kedua ini juga masih menggunakan Al Quran dan hadits sebagai sandaran pendapatnya. Perbedannya dengan cara pertama adalah istilah baku dalam penafsiran yang telah diubah, sehingga melahirkan gaya penafsiran yang tidak pernah dikenal sebelumnya. Cara seperti ini antara lain digunakan oleh Masdar F. Mas’udi. Untuk bisa merekonstruksi fiqh, Masdar melakukan pendefinisian baru terhadap pengertian muhkamat dan mutasyabbihat. Menurutnya definisi muhkamat dan mutasyabbihat yang selama ini dikenal kaum muslimin akan menyebabkan pemahaman keagamaan kita terlalu harfiah dan akhirnya membuat fiqh kehilangan watak dinamisnya.

    Menurut versi Masdar, ajaran muhkamat (atau istilah fiqh-nya : Qoth’I) itu adalah ajaran yang prinsip dan absolut, misalnya : kebebasan dan pertanggungjawaban individu, kesetaraan manusia, tidak merugikan diri sendiri dan orang lain, tolong menolong untuk kebaikan, yang kuat menolong yang lemah, kritik dan kontrol sosial, menepati janji dan menjunjung tinggi kesepakatan, musyawarah untuk kepentingan bersama, dan lain-lain. Ajaran yang qoth'’ ini tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Sedangkan yang mutasyabbihat atau zhonni adalah sesuatu yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu, oleh situasi dan kondisi. Ajaran ini adalah ajaran atau petunjuk agama baik dari Al Qur’an maupun hadits Nabi yang bersifat jabaran (implementatif) dari prinsip prinsip yang muhkam atau qoth’I menurut persepsinya. Jadi menurut Masdar, yang penting hukum muhkamatlah yang terpenuhi. Sedangkan hukum (yang menurutnya) zhonni bisa dikaji ulang, apabila (menurutnya) bertentangan dengan hukum yang muhkamat.

    Untuk masalah fiqh perempuan, sebagaimana yang disebutkan dalam Al Qur’an surat Al Hujurat:13, An Nisaa:124 dan sebagainya tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan di hadapan Allah, adalah hukum yang bersifat qoth’I (fundamental). Sementara itu ajaran-ajaran lain yang bersifat juz’iyyah, partikular dan jabaran seperti soal waris, kesaksian, hak menikahi atau menjatuhkan talaq, seluruhnya adalah ajaran-ajaran yang bersifat kontekstual, terkait dengan dimensi ruang dan waktu. Ajaran-ajaran tersebut bersifat zhonni, tidak mutlak. Bisa terjadi modifikasi atau tetap dipertahankan sebagaimana bunyi harfiahnya. Dalam hal ini, yang penting adalah rasa keadilan bagi pihak-pihak yang bersangkutan tetap bisa diwujudkan.

  6. Cara Lugas
  • Cara rekonstruksi ini sama sekali tidak dapat dikatakan menyandarkan pendapat-pendapatnya pada Al Qur’an dan hadits. Metode-metode ilmu sosial seperti sosiologis, historis atau yang lain ditawarkan sebagai cara untuk merekonstruksi fiqh. Budhy Munawar Rahman adalah salah seorang yang menggunakan cara lugas ini. Menurutnya ada tiga kunci penting dalam proses rekonstruksi fiqh perempuan, yakni : representasi, dekonstruksi dan keterkaitan antara pengetahuan (teks) dan kekuasaan.

    Budhy berpendapat bahwa representasi berkaitan dengan teks. Kalau kita mencurigai representasi yang ada, maka yang harus dicurigai adalah teksnya. Karena menurut ilmu sosial, setiap representasi adalah hasil "buatan manusia" (bersifat kultural dan sociality constructed), maka tugas kita untuk selalu kritis terhadap teks yang dipakai tentang fiqh perempuan, yang kita anggap sudah tidak cocok dengan vision jaman kita. Kritik terhadap teks berarti mengadakan pembongkaan terhadap teks. Itu berarti menjadikan teks yang tadinya bersifat tertutup, hingga sebagiannya bersifat terbuka, dengan menolak segala norma yang dianggap sebagai "satu-satunya kebenaran" dalam penafsiran teks itu (khususnya teks lama : fiqh lama).

    Cara kedua yaitu dekonstruksi. Ini berarti kita menolak pendekatan either dan or (ini atau itu). Yang kita pakai adalah pendekatan if (kalau ini, maka ….. tapi kalau itu maka….). Dengan demikian kita bia melihat banyak kemungkinan teks, kemungkinan representasi dan berbagai macam kemungkinan peng-image-an dengan implikasi-implikasinya. Dengan begitu, terbukalah penafsiran fiqh perempuan yang plural.

    Cara ketiga adalah selalu melihat keterkaitan pengetahuan (teks dan yang lain) dengan kekuasaan. Menurutnya tidak ada pengetahuan yang bebas atau terlepas dari kekuasaan. Analisis ini membawa kita kepada pertanyaan : kepentingan siapa yang ada dalam fiqh perempuan ?

    Dengan ketiga cara yang ia ajuka ini, ia menolak image perempuan yang digambarkan oleh fiqh perempuan yang ada, yaitu : sebagai penenang suami, pendidik anak-anak, penjaga harta dan kehormatan keluarga. Ini dianggap image yang seharusnya bukan satu-satunya pilihan bagi perempuan, karena image seperti ini muncul dari kepentingan dan kekuasaan laki-laki. Kalau image perempuan yang seperti ini menimbulkan ketidakadilan bagi perempuan, maka seharusnya dibuka peluang adnya image yang luas mengenai perempuan. Akhirnya Budhy pun sampai pada pernyataan yang sangat lugas.

    "Sekarang sudah jelas bagi kita bahwa feminisme bisa menjadi alat yang membantu kita merekonstruksi fiqh perempuan yang baru, demi munculnya suatu image lain tentang perempuan dalam masyarakat muslim…."

    "….kalau kita sudah sadar tentang pentingnya suatu relasi gender yang adil apakah kita masih emerlukan fiqh perempuan ?" Menurutnya yang harus menjawab pertanyaan ini adalah para ahli fiqh.

  • Beberapa Contoh Penggunaan Al Qur’an dan Hadits dalam Rekonstruksi Fiqh

    Untuk lebih memperjelas gambaran perbadaan antara "cara sangat halus" dengan "cara halus" berikut ini diambil beberapa contoh ayat dan hadits yang mereka anggap harus direkonstruksi pemahamannya gar serasi dengan weltanschauung-nya Al Qur’an atau ajaran yang muhkamat (menurut peristilahan Masdar).

    1.  
    2. Hadits dari Abu Bakrah yang diriwayatkan oleh Bukhari
  • ‘Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang dipimpin oleh seorang perempuan’

    Dengan cara sangat halus, Amina Wadudu Muhsin memilih untuk tidak membahas hadits tadi, tetapi memilih untuk membahas bahwa Al Qur’an bercerita tentang Ratu Balqis, seorang penguasa yang baik, kepada masyarakat Arab. Hal ini untuk memberi contoh kepada bangsa Arab, bangsa yang menurutnya menganut sistem patriarki, bahwa seorang perempuan bisa menjadi penguasa yang baik. Jadi, untuk menolak keharaman seorang perempuan menjadi penguasa, Amina memilih untuk secara tidak langsung menolak hadits riwayat Bikharu tadi.

    Cara halus dalam menolah hadits namun dengan gaya yang berbeda, dapat dilihat dalam tulisan Siti Ruhaini Dzuhayatin, yakni dengan mengutip pendapat syihab (1993) dan Anwar (1994) yang menyatakan bahwa hadits tersebut tidak berlaku umum, namun hanya berlaku bagi putri Kisra yang memang tidak cakap untuk menggantikan ayahnya sebagai penguasa Kisra.

    Dengan cara halus yang lain, Masdar menggunakan gaya seperti yang digunakan oleh Fathima Mernissi. Menurutnya, dari sudut sanad, hadits tadi memang shahih, namun yang sangat perlu dicatat :

    1.  
    2. Karena statusnya sebagai hadits ahad, maka bagaimana pun menurut para ahli hadits sendiri, ‘kita tidak bia yakin secara penuh akan keotentikannya’.
    3.  
    4. Hadits tersebut baru dikemukakan oleh perawinya, yaitu Abu Bakrah, kira-kira 23 tahun sesudah Rasulullah wafat. Selama itu, tidak ada satu pun shahabat yang ikut mewartakannya, meskipun kita bisa merasakan betapa seriusnya isi hadits tersebut. Mernisi menambahkan alasan lain, yaitu keraguan atas Abu Bakrah sebagai perawi, karena Abu Bakrah pernah dihukum dalam kasus kesaksian palsu.
    5.  
    6. Hadits itu dikemukakan oleh perawi pada sat-sat konflik antara Partai Aisyah ra dengan Partai Ali, dan mulai tampak kekalahan ada di pihak Aisyah.
    7.  
    8. Hadits itu dinyatakan oleh Rasulullah, demikian menurut perawi, dalam konteks Kekaisaran Parsi yang notabene memang menyimpan kebencian terhadap Islam.
  • Untuk memperkuat pendapatnya bahwa perempuan boleh menjadi penguasa, Masdar juga mengatakan bahwa perempuan boleh menjadi imam sholat (sesuatu yang tidak dibahas Amina). Masdar pun menolak hadits riwayat Ibnu Majah :

    ‘jangan sekali-kali seorang perempuan menjadi imam sholat bagi laki-laki’

    Menurutnya hadits ini digolongkan lemah oleh Al-Shan’ani, karena dalam mata rantainya terdapat Abdullah bin Muhammad Al-Adawi, yang oleh Waki diduga keras telah melakukan pemalsuan hadits, Maka menurut Al Mazni, Abu Tsaur dan At Thabari, perempuan sah saja menjadi imam sholat bagi laki-laki dengan mengacu kepada kaidah :

    ‘Barangsiapa yang sah sholatnya sah pula imamahnya’

    Pendirian ini diperkuat oleh hadits Ummi Waraqah yang diriwayatkan oleh Ibnu Dawud dan dinilai shahih oleh Ibnu Khuzaimah :

    ‘Nabi SAW menyuruhnya (Ummi Waraqah) untuk menjadi imam sholat bagi keluarganya’

    Menurut Al-Shan’ani, diantara makmumnya ada laki-laki dewasa. Bahkan dalam riwayat lain menurut Asy-Syatibhi, diantara yang diimami oleh Ummi Waraqah ada seorang lelaki tua yang mengumandangkan azan.

    1.  
    2. Ayat 43 Surat An Nisaa :
    3. "Laki-laki adalah pemimpin (qowwam) bagi perempuan…."

      Sayyid Qutb, seperti yang dikutip oleh Amina Wadud menganggab kepemimpinan (keqiwamahan) di sini sebagai masalah yang berkaitan dengan keluarga dalam masyarakat. Ia membatasinya dalam hubungan antara suami dengan istri. Amina tidak menyalahkan tafsir yang dikemukakan oleh Sayyid Qutb, bahwa suami adalah pemimpin bagi istrinya. Namun ia hanya membuka keraguan, apakah penafsiran ini akan sesuai dengan keluarga dalam sistem masyarakat kapitalistik, ketika pendapatan tunggal sang ayah tidak cukup lagi untuk melangsungkan hidup yang nyaman ? Sebagai penguat Amina menanyakan juga, apakah seorang perempuan yang mandul juga tetap menjadi yang dipimpin seperti perempuan lain ? Pada intinya ia membuka keraguan, apakah bila sudah tidak terjadi keserasian hak dan tanggung jawab seperti yang dikemukakan oleh Al Qur’an, suami tetap bisa dianggap pemimpin bagi istrinya ?

      Sedangkan Masdar mengajukan usul untuk mengganti pemahaman qawwam sebagai pemimpin dengan qawwam sebagai penopang atau penguat (qoim). Ia menyatakan bahwa menurut makna bahasa, qawwam ada yang bermakna penopang atau penguat. Seperti yang dipakai dalam Surat Al Maidah ayat 8 dan Surat An Nisaa ayat 153. Menurutnya makna penopang atau penguat lebih sesuai dengan prinsip yang qoth’I yaitu mu’asyaroh bil ma’ruf (An Nisaa : 19) dan prinsip saling melindungi (Al Baqarah : 187).

    4. Surat An Nisaa ayat 11-12
  • "….bagian laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan…"

    Terhadap ayat mengenai waris ini Masdar mengajukan bahwa ini adalah pembagian minimal, bukan maksimal, yang penting adalah keadilan. Ayat ini sesuai dengan prinsip keadilan, karena sebelum ayat ini turun, perempuan tidak mendapat waris. Sesuai dengan kondisi an struktur ekonomi keluarga saat itu, hak waris dipandang adil dengan rumusan 2:1. Selanjutnya Masdar menggunakan kaidah :batas kuantitatif yang diberikan setelah minus, pada dasarnya bukan maksimal melainkan minimal. Artinya, jika dalam kasus-kasus lain tuntutan keadilan menghendaki pembagian laki-laki-perempuan bisa sama banyak, atau bahkan perempuan bisa lebih banyak. Lebih jauh Masdar menambahkan, sebenarnya modifikasi waris 2:1 sudah dibenarkan dan dipraktekkan lama, bahkan oleh para ahli fiqh sendiri, yakni melalui modus washiyyah. Pembagian waris dilakukan melalui perembukan keluarga sebelum orang yang mewariskan meninggal dunia. Diakui atau tidak, sistem washiyyah ini secara implisit mengakui bahwa ketentuan formal dalam Al Qur’an tentang warisan bukanlah harga mati. "Keadilan" itulah yang qoth’I dan tidak boleh ditawar-tawar.

    Seperti ini pula yang dikemukakan Amina, bahwa ayat ini hanyalah salah satu kemungkinan yang dapat dipilih, bukan suatu keharusan.

  • Perspektif di Belakang Rekonstruksi Fiqh

    Cara-cara yang dipakai kalangan pembaru ini untuk menolak hadits, serta cara penafsiran ayat dan hadits untuk menetapkan hukum perbuatan, adakalanya merupakan cara yang biasa digunakan oleh ahli tafsir (mufassir) dan mujtahid, namun ada pula yang tidak pernah dikenal sebelumnya. Kebenaran cara yang mereka pakai dapat kita nilai kemudian, namun yang lebih mendasar untuk dikaji adalah perspektif apa yang ada di balik pendapat mereka.

    Perspektif pertama yang tampak jelas dari kalangan pembaru ini adalah Islam sebagai ajaran moral dan spiritual belaka. Nilai spiritual dan moral ini terbuka untuk untuk ditafsirkan dan bagaimana cara mewujudkan nilai-nilai ini diserahkan kepada manusia. Ketika nilai keadilan dan kesetaraan menjadi terbuka penafsirannya, maka penafsiran keegaliteran bisa diterima oleh kaum muslimin. Kalau ulama shalaf bisa melihat ada keadilan bagi perempuan ketika suami itu diangkat sebagai pemimpin bagi istri dan keluarganya, tidak demikian dengan pandangan Masdar. Ia melihat hal ini sebagai bentuk ketidakadilan bagi perempuan. Bila demikian, seperti apa sesungguhnya keadilan ? Dengan perspektif seperti ini, yang penting adalah niat untuk berbuat baik. Pendapat ini sangat berbahaya. Dengan cara ini, sepertinya setiap orang bisa punya agama yang berbea-beda, walaupun semuanya mengaku sebagai umat Islam. Sebagai contoh, seorang mahasiswa pascasarjana menolong temannya yang sebenarnya tidak menguasai ilmu tertentu, dengan memberikan contekan sewaktu ujian. Ia mengatakan hal itu sebagai ‘kebaikan’, karena menurutnya ia membantu temannya lulus, sehingga temannya yang dosen itu bisa meraih gelar master, yang berarti pangkatnya bisa naik, gajinya pun naik, yang berarti pula keluarga sang teman akan bertambah sejahtera. Inilah nilai kebaikan baginya dan begitulah ia mewujudkan suatu kebaikan. Ia tidak memikirkan bagaimana nasib ratusan mahasiswa yang akan diajar oleh seorang dosen yang sebenarnya tidak memahami ilmu tersebut. Ia tidak memikirkan nasib generasi mendatang apabila budaya menyontek menjadi budaya suatu bangsa. Dengan perspektif ini makna ‘kebaikan’ dan ‘keburukan’ sebenarnya akan kehilangan kejelasannya. Islam di satu masa akan berbeda dengan masa yang lain, bukan hanya karena cara manusia mewujudkan nilai-nilai moral itu yang berubah, namun apa makna dari nilai moral itu juga telah berubah.

    Perspektif kedua yang ada pada para penyeru rekonstruksi fiqh adalah keharusan untuk mengubah pemahaman mengenai ayat Al Qur’asn dan hadits sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi jaman. Sebagian dari mereka tidak menolak bahwa hukum-hukum fiqh itu di jaman Rasul telah memberikan keadilan, kesetaraan, keserasian hidup antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat dalam sebuah sitem kehidupan tertentu. Tetapi keserasian ini sekarang tidak ada lagi karena kondisi jaman sudah berubah. Timbul pertanyaan apakah benar Al Qur’an tidak mampu mengubah kondisi jaman, kalau semua hukumnya diterapkanm seperti di jaman Rasul ? Kalau kita memilih meninggalkan sistem kehidupan serasi seperti yang Rasul contohkan, tidaklah berarti kita masuk kepada sistem kehidupan lain (baca : kehidupan kapitalistik). Bila demikian yang terjadi, betapa bahagianya musuh-musuh Islam! Rencana dan strategi mereka untuk merusak sistem kehidupan Islam begitu berhasil. Bahkan umat Islam sendiri rela melepaskan sistem hidup mereka yang sempurna. Kini selayaknya kita bertanya, benarkah dari kalangan umat Islam sendiri yang sekarang justru menjadi pejuang penegak kehidupan kapitalistik ? Bila benar,…betapa tragisnya!

    PUSTAKA

    1. Amina Wadud Muhsin dalam Wanita di dalam Al Qur’an. 1994. Penerbit Pustaka.
    2. Masdar F Mas’udi dalam Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan. Penerbit Mizan.
    3. Budhy Munawar Rachman dalam ‘ Rekonstruksi Figh Perempuan’ ( Ed. M. Hajar Dewantoro dan Asnawi ). 1996. Penerbit Ababil.
    4. Siti Ruhaini dalam ‘ Rekonstruksi Figh Perempuan’ ( Ed. M. Hajar Dewantoro dan Asnawi). 1996. Penerbit Ababil.
    5. Fathima Mernissi dalam Wanita dalam Islam. 1994. Penerbit Pustaka. ‘ Rekonstruksi Figh Perempuan’ ( Ed. M. Hajar Dewantoro dan Asnawi ). 1996. Penerbit Ababil.

    Kembali ke Menu Utama