Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!

HARAMNYA PRESIDEN WANITA

BUKANLAH KHILAFIYAH LAGI !

Pernyataan adanya khilafiyah tentang keharaman wanita menjadi presiden masih dipolemikkan oleh sebagian kalangan umat Islam. Adanya perbedaan pandangan tentang boleh tidaknya wanita menjadi presiden ini, menjadi suatu hal yang layak diakui dalam sistem demokrasi yang memberikan jaminan hak kebebasan berpendapat. Berbagai argumentasi dihadirkan untuk melegalisasi kebolehan wanita menjadi presiden. Baik argumentasi yang menggunakan pendekatan sosial (perspektif gender), pendekatan historis (tataran empiris ), pendekatan maslahat, pendekatan ilmiah maupun pendekatan syara’. Hal ini bisa dicermati dari beberapa pendapat yang berkembang sebagai tanggapan terhadap hasil Konggres Umat Islam Indonesia yang merekomendasikan bahwa presiden dan wakil presiden harus pria atau terlarang bagi wanita menduduki kedua jabatan pemerintahan tertinggi.

Berbagai Pendekatan Argumentasi yang Membolehkan Wanita Menjadi Presiden

Pendapat-pendapat yang berkembang seputar kebolehan wanita menjadi presiden , telah dimunculkan dengan berbagai pendekatan argumentasi. Diantaranya adalah :

1. Pendekatan sosial (perspektif gender)

  • Menurut cara pandang atau perspektif gender, adanya pengharaman wanita menjadi presiden adalah pandangan bias gender yang cenderung menempatkan posisi wanita di bawah pria. Hal ini merupakan penindasan atas hak wanita yang pada dasarnya memiliki hak yang sama dengan pria termasuk dalam bidang politik. Berangkat dari pandangan demikian, maka wajar apabila kemudian muncul pertanyaan bahwa penyumbatan hak perempuan menjadi pemimpin, jelas-jelas berlatar belakang politik (Republika, 27 November 1998).
    1.  
    2. Pendekatan Historis (tataran empiris)
  • Bahwa perdebatan soal kepemimpinan perempuan seakan tidak melihat fakta sejarah yang memberi kebebasan perempuan di masa lalu duduk menjadi pemimpin. Misalnya dalam sejarah Aceh yang pada jamannya pernah dipimpin oleh wanita. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Quraish Shihab (Staf pengajar IAIN Syarif Hidayatullah) yang menegaskan bahwa kaum perempuan sebenarnya memiliki hak politik yang sama dengan kaum pria. Terlalu banyak bukti yang menyebutkan perempuan terlibat dalam kepemimpinan di jaman Rasulullah saw. Misalnya istri Rasulullah, Aisyah pernah memimpin perang. Oleh karenanya sangat keliru kalau kita hanya berdasar pada satu dua hadist soal kepemimpinan wanita. Oleh karena itu selama perempuan mampu mempersatukan bangsa dan memimpin bangsa dan negara dengan baik maka tak ada larangan bagi wanita untuk menjadi pemimpin negara. Ungkapan senada diutarakan oleh pengasuh pondok pesantren Daruttafsir Arjowinangun Cirebon, KH A. Husein Muhammad. Pakar fiqih ini mengemukakan bahwa pandangan semua ahli fiqih , peran politik dalam arti amar ma’ruf nahi munkar memberi kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan. Namun dalam berpolitik praktis kesempatan itu tdiak sama. Oleh karenanya perlu melihat realita sosial. Dimana sudah banyak perempuan yang menjadi pemimpin negara dan pemerintahan (Republika , 27 November 1998).
    1.  
    2. Pendekatan Maslahat
  • Bahwa semua pertimbangan yang memberi kesempatan kaum perempuan memimpin bangsa ini harus didasarkan pada kemaslahatan umat. Dra Keusnendar, mantan anggota DPR dari PPP menyatakan bahwa perlu ada persyaratan yang sesuai dengan kondisi bangsa dan negara agar kepemimpinan umat ini membawa manfaat bagi umat. Dalam konteks ini ia sepakat bila saat ini lebih baik kaum lelaki yang menjadi pemimpin. Dengan kata lain tidak menutup kemungkinan suatu saat wanita bisa menjadi seorang pemimpin. (Republika, 27 November 1998).
    1.  
    2. Pendekatan Ilmiah
  • Bahwa untuk memimpin sebuah negara dibutuhkan orang yang memiliki kemampuan (Kapabilitas untuk memimpin negara secara adil dan bijaksana serta mampu memajukan bangsa dan mengangkat bangsa dari keterpurukan akibat krisis ekonomi, tanpa memandang pria atau wanita. Oleh karena itu tidak perlu ada phobia terhadap munculnya wanita yang menduduki peran jabatan pemerintahan.
    1.  
    2. Pendekatan Syara’
  • Bahwa untuk memahami ayat, harus dipahami secara kontekstual progresif. Hadist yang melarang wanita menjadi penguasa, menurut Quroish Shihab bahwa sejak jaman Nabi saw telah dikenal ada pemahaman tekstual dan kontekstual. Yang memahami hadist di atas secara kontekstual mengkaitkan dengan konteksnya yakni diucapkan Nabi saw ketika putri Kaisar menggantikan ayahnya sebagai penguasa tertinggi. Dengan demikian ia hanya berlaku untuk kasus tersebut bukan untuk yang lain.
  • Pendapat-pendapat senada dengan berbagai pendekatan di atas, nampaknya akan terus berkembang. Apalagi di tengah situasi politik Indonesia yang belum menentu. Namun di pihak lain ada sebagian kalangan yang menolak kehadiran pemimpin wanita dengan tinjauan syara’. Masihkah masalah ini manjadi masalah khilafiyah ? Atau Islam telah memastikan tentang keharaman pemimpin wanita ? Darimanakah seharusnya menilai haram tidaknya wanita menjadi presiden ?

    Mengapa Muncul Khilafiyah ?

    Dimunculkannya opini adanya khilafiyah tentang presiden wanita, nampaknya berangkat dari dua kepentingan. Yakni kepentingan politik dan kepentingan ideologis. Dalam hal ini kepentingan politik yang dimaksudkan adalah kepentingan pihak ketiga (negara Kapitalis) yang masih berambisi untuk memainkan perannya di negara berkembang seperti Indonesia. Sebenarnya bagi negara Kapitalis (Amerika Serikat), bukan merupakan hal yang prinsip tentang siapa yang akan memimpin Indonesia. Namun yang menjadi prinsip adalah pemimpin Indonesia haruslah orang yang dapat dengan mudah berada di bawah kendalinya. Sehingga Amerika Serikat dapat dengan mudah mengglobalkan ide sekulernya. Saat ini, nampaknya AS melihat peluang besar pada diri Mbak Mega, oleh karena itu usaha pendekatan AS terhadap Mbak Mega , telah dilakukan jauh-jauh sebelum PEMILU, yakni sejak terpilih sebagai Ketua Umum PDI dalam Munas 1993, Megawati Sukarnoputri terus kedatangan tamu-tamu penting dari AS. Diantaranya, tokoh informal pendeta Jesse Jackson, sejumlah mantan Dubes AS Stepleton Roy yang paling sering kelihatan di berbagai acara Megawati (Realitas). Apakah ini dapat diartikan bahwa Megawati memiliki hubungan khusus dengan negara Globocop itu ? Roy mengelak : "Saya tidak hanya mengadakan pertemuan dengan Megawati, tetapi juga ketemu Amin Rais, Emil Salim dan tokoh-tokoh lainnya. Saya juga selalu kontak dengan pejabat-pejabat pemerintah" ujarnya kepada Realitas. Pernyataan Dubes AS itu tak menutupi hubungan khususnya dengan Megawati. Bahkan sekaligus membuktikan hubungan khususnya dengan tokoh-tokoh lain. Maka dengan upaya keras, akhirnya PDI-P dapat menduduki kursi tertinggi pada perolehan suara PEMILU 7 Juni 1999.

    Opini kebolehan kepemimpinan wanita pun semakin gencar yakni diantaranya dengan menjadikan isu gender sebagai alatnya. Tak ayal lagi, kondisi masyarakat Indonesia ternyata mendukung tumbuh suburnya isu gender. Dan isu inilah satu-satunya argumen yang mampu memperkuat posisi Mbak Mega untuk tetap dapat duduk di kursi kepresidenan. Meskipun saat ini mesti was-was karena adanya kalangan yang mempertanyakan kapabilitasnya.

    Anehnya tak sedikit tokoh-tokoh Islam/ulama-ulama yang secara sadar/tidak sadar mengemukakan dalil-dalil yang justru melegalisasi kebolehan presiden wanita. Dengan satu kunci bahwa dalil-dalil syara’ harus difahami secara kontekstual progresif (yakni dengan memperhatikan sosio kultural masyarakat). Cara pandang demikian, (apabila dicermati) merupakan cara pandang yang berdampak pada upaya perubahan hukum-hukum syara’ yang sudah pasti. Tanpa menyadari bahwa keberadaan hukum-hukum Islam adalah hukum-hukum yang sudah pasti yang tidak akan berubah oleh waktu dan jaman. Apabila cara pandang kontekstual progresif yang mengacu pada tujuan maslahat ini dibiarkan berkembang maka akan berdampak pada hukum-hukum syara’ lain. Sebagaimana yang dilakukan terhadap hukum tentang kepemimpinan wanita. Oleh karena itu tiada pilihan lain lagi bagi kita untuk mengembalikan hukum-hukum persoalan berdasarkan nash-nash syara’.

    Syarat Mutlak Pria Kepala Negara

    Sebagai seorang muslim maka sudah selayaknya untuk senantiasa menjadikan cara pandang Islam sebagai cara pandang dalam menghadapi berbagai persoalan dalam kehidupan, termasuk dalam masalah politik kepemimpinan wanita. Cara pandang Islam mengharuskan menempatkan hukum-hukum syara’ sebagai acuan utama dalam memandang masalah. Oleh karena itu untuk melihat layak tidaknya berbagai argumentasi yang dikemukakan untuk menolak pengharaman presiden wanita haruslah dikembalikan kepada nash-nash syara’. Syaikh Taqiyuddin An Nabhany dan Abdul Qodim Zalllum dalam kitab Nizhamul Hukm fil Islam, menulis bahwa ada tujuh syarat in-iqad (syarat mutlak) yang harus dipenuhi oleh seorang calon Khalifah sebagai kepala negara kaum muslimin, yaitu : muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka dan mampu. Ketujuh syarat itu ditetapkan sebagai syarat mutlak calon khalifah lantaran memiliki dalil-dalil yang menunjukkan kepastian hukum dari nash-nash syara’.

    Mengenai syarat laki-laki, Imam Al Qalqasyandi dalam kitab Maatsirul Inafah ila Ma’aamil Khilafah juz I/31 mengatakan bahwa syarat sahnya aqad khilafah menurut fuqoha Madzab Syaafi’iy, yang pertama adalah lelaki. Tidak terjadi aqad manakala diberikan kepada seorang wanita. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari Shahabat Abu Bakrah ra yang mengatakn bahwa tatkala mendengar kabar mengenai penyerahan kekuasaan negara Persia kepada seorang Putri Kisra yang bernama Buran sebagai ratu setelah ayahnya meninggal, maka Rasulullah saw bersabda :

    "’Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahan/kekuasaan) mereka kepada seorang wanita".

    Kata "Wallau amrahum" dalam hadist ini berarti mengangkat orang sebagai waliyul amri atau memegang tampuk pemerintahan.

    Sekalipun teks hadist tersebut berupa kalimat berita atau khabar, pemberitaan tersebut datang dalam bentuk tuntutan (thalab). Pemberitaan tersebut di dalamnya disertai celaan terhadap orang-orang yang menyerahkan urusan kekuasaan kepada wanita yakni peniadaan keberuntungan mereka, maka hal ini menjadi ‘qorinah’ (indikasi) bahwa tuntutan itu bersifat tegas dan pasti. Dengan demikian hukumnya adalah haram bagi seorang wanita memangku jabatan pemerintahan.

    Adapun selain urusan pemerintahan, maka hukumnya boleh bagi wanita untuk menduduki posisi-posisi itu misalnya menjadi pegawai negeri, kepala bagian, direktur sebuah biro administrasi, keuangan dan lain-lain. Kenapa demikian ? Sebab pembicaraan dalam hadist itu adalah mengenai putri Kisra yang menjadi Ratu Persia. Dengan demikian jabatan-jabatan yang bukan penguasa pemerintahan tidak termasuk dalam perkara yang dimaksud dalam larangan penyerahan jabatan kepada seorang wanita. Oleh karena itu dalam sistem Islam jabatan kepala negara dan kepala wilayah atau daerah seperti khalifah, Mu’awin, Tafwidl, wali dan amil tidak diperbolehkan dipegang oleh wanita.

    Adapun jabatan Qodli (hakim), kecuali Qodli Madzalim yang mengadili para pejabat diperbolehkan dijabat oleh seorang wanita. Sebab Qodli (hakim) dalam sistem pemerintahan Islam tidak termasuk jabatan kekuasan. Qodli adalah jabatan mengadili perkara perselisihan diantara anggota masyarakat atau pelanggaran ketertiban umum atau hak-hak jama’ah dimana fungsi qodli sebagai pemutus perkara adalah penyampai keputusan Allah pada tiap-tiap perkara. Dengan demikian jabatan memberitahukan hukum Allah SWT itu bisa dijabat oleh siapa saja baik laki-laki maupun perempuan yang memahami hukum Allah. Khalifah Umar bin Khatab pernah mengangkat Assyfa binti Abdullah bin Abdi Syam (seorang wanita dari Quroish yang wafat pada tahun 20 H) menjadi qodli hisbah yakni yang memutuskan perkara-perkara pelanggaran hak umum di sebuah pasar yang bertugas untuk menjatuhkan vonis hukum kepada semua orang yang melakukan pelanggaran terhadap hukum syara’.

    Jelas sekali kekuatan hukum Islam yang melarang wanita menjadi kepala negara. Terlebih lagi Al Qurán menyebut penguasa dengan kata ulil amri firman Allah dalam QS. An Nisaa’ ayat 59 :

    "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rosul-Nya dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah (Alqurán) dan Rasul-Nya (As-sunah)".

    Lafadz ulil amri adalah lafadz untuk laki-laki. Kalau untuk perempuan digunakan lafadz uulatul amri.

    Kalau ada yang mengatakan bahwa khalifah sebagai jabatan kepala negara dalam Islam kan tidak sama dengan jabatan presiden dalam sistem republik, sehingga tidak tepat kalau syarat khalifah diterapkan kepada jabatan presiden, maka teks hadist di atas sudah menjawab dengan sendirinya. Yakni, kalau Buran, putri Kisra, yang dinobatkan sebagai ratu (kepala negara dalam sistem monarki) kaum Majusi di Persia dicela (sebagai indikasi keharaman) oleh Rasulullah saw., apa bedanya dengan presiden ? Sungguh orang yang berfikir akan mudah memahaminya.

    Keharaman Presiden Wanita, Bukan Khilafiyah

    Sungguh aneh pandangan Wakil Rois Syuriah PBNU KH Sahal Mahfuzh yang mengatakan bahwa sejak awal ulama belum sepakat boleh tidaknya wanita menjadi pemimpin dan sampai sekarang masih tetap khilafiyah (Kompas, 9/11/98). Menurut Sahal waktu memberi ceramah dalam koggres tersebut, dia sudah menyinggung agar masalah itu tidak dimunculkan lantaran kita tidak bisa bersandar kepada masalah khilafiyah. Tapi benarkah khilafiyah? Ulama mana yang berikhtilaf dalam masalah ini?

    KH. Sahal memang tidak menyebut siapapun yang berikhtilaf. Rekannya, Khatib ‘Am Syuriyah KH. Dr. Said Aqiel Siradj yang sering omong nyeleneh tipikal Gus Dur mencoba memberikan penjelasan yang kelihatan ilmiah. Dalam tulisannya baru-baru ini di harian Media Indonesia ia mengatakan bahwa Imam Ibnu Jarir At Thabari dan sebagian ulama Malikiyah (pengikut madzhab Imam Malik bin Anas) seperti dilansir oleh Al Asqalani (Al Asqalani, XIII, hal. 56) membolehkan wanita memegang jabatan kepala negara. Setahu kami kitab tersebut bukan menyebut kebolehan jabatan kepala negara bagi wanita, tetapi kebolehan jabatan qadli (hakim) bagi wanita yang jelas bukan jabatan penguasa.

    Said Aqil, seperti ingin meyakinkan ikhtilaf itu dengan mengutip kisah wanita yang pernah berkuasa di Mesir, yakni ratu Syajaratuddur dari dinasti Mamalik. Sebelum kami jelaskan duduk perkaranya, kami ingin menegaskan bahwa menentukan hukum Islam itu harus berdasarkan dalil syara’ (yakni Al Qurán, As Sunnah, Ijma’ Shahabat dan Qiyas), bukan berdasarkan sejarah. Kisah Syajaratuddur memang menarik, yakni seorang wanita yang dicintai seorang penguasa Mesir, Malikus Shalih, yang tunduk kepada Khilafah Abbasiyyah yang waktu itu dijabat oleh Khalifah Al Mustanshir Billah dan berpusat di Baghdad. Pada saat wafat, kekuasaan diserahkan kepada Syajaratuddur. Ketika mendengar peristiwa itu, khalifah segera mengirim surat untuk menanyakan apakah Mesir tidak ada laki-laki sehingga kekuasaan diserahkan kepada wanita ? Kalau memang tidak ada, Khalifah hendak mengirim laki-laki dari Baghdad untuk berkuasa di Mesir. Akhirnya Syajaratuddur mengundurkan diri dari kekuasaan di Mesir setelah berkuasa selama tiga bulan, dan lalu digantikan oleh Emir Izzudin yang kemudian menikahinya.

    Kisah Syajaratuddur ini menepis sangkaan Amien Rais bahwa ada kekecualian (istitsna) tentang bolehnya perempuan menjadi pimpinan negara manakala para lelaki suatu negeri tak ada yang mampu memimpin. Sangkaan seperti itu sama artinya dengan membuat syariát baru. Naúdzu billahi mindzalik!

    Adapun Ratu Balqis (ratu negeri Saba) yang juga disebut Aqiel dalam tulisannya adalah fragmen sejarah dalam kekuasan Nabi Sulaiman yang menjadi raja atas Bani Israil. Jadi tidak ada implikasi hukum dalam kisah yang dimuat Al Qurán itu. Lagi pula, dalam kisah itu, Ratu Balqis melepaskan kekuasaannya setelah ditundukkan oleh Sulaiman dalam tempo yang sesingkat-singkatnya dan akhirnya menjadi istri Nabi Sualiman.

    Kini jelaslah, pihak-pihak yang melontarkan masalah haramnya wanita jadi kepala negara sebagai masalah khilafiyah tidak memiliki bukti sedikitpun. Mungkin hanya ilusi pihak-pihak yang mengeluarkan pernyataan itu.

    Yang pasti Imam Al Qurthubi dalam tafsirnya Al Jaami’li Ahkamil Qurán Juz I hal 270 mengatakan : "Khalifah haruslah seorang laki-laki dan mereka (para fuqaha) telah bersepakat bahwa wanita tidak boleh menjadi imam (khalifah). Namun mereka berselisih tentang bolehnya wanita manjadi qadli berdasarkan diterimanya kesaksian wanita di dalam pengadilan". Lagi pula, para kyai yang orang-orang dekat Gus Dur pernah memberikan kata pengantar dalam buku Ensiklopedi Ijmak (karya Saádi Abu Habib, hal. 315) yang memuat kesepakatan ulama bahwa jabatan khilafah (kepala negara/pemerintahan) tidak boleh dipegang oleh wanita, orang kafir, anak kecil yang belum baligh dan orang gila.

    Dengan demikian jelaslah bahwa larangan wanita menjadi kepala negara /pemerintahan, baik itu khalifah, presiden, perdana menteri, raja, kaisar dan lain-lain apapun namanya bukanlah khilafiyah dalam hukum syariát Islam.

    Kembali ke Menu Utama