Jika naluri seorang manusia bergejolak, sudah barang tentu membutuhkan adanya pemuasan. Sebaliknya, jika naluri manusia tidak bergejolak, tentu tidak perlu adanya pemuasan. Pada saat naluri menuntut adanya pemuasan, naluri itu akan mendorong seseorang untuk memenuhinya. Jika ia belum berhasil memenuhinya yakni selama naluri tersebut masih terus bergejolak maka yang timbul adalah keglisahan. Baru setelah gejolak naluri tersebut reda akan hilanglah rasa gelisah itu. Naluri yang tidak terpenuhi memang tidak sampai mengantarkan seseorang pada kematian; tidak juga menyebabkan gangguan fisik , jiwa, maupun akal. Naluri yang tidak terpenuhi hanya akan mengakibatkan kegelisahan dn kepedihan yang menyakitkan. Dari fakta ini, dapat dipahami bahwa pemenuhan yang mutlak harus ada sebagaimana pemenuhan atas dorongan kebutuhan jasmani. Pemenuhan gejolak naluri tidak lain merupakan upaya untuk mendapatkan ketenangan dan ketentraman.
Faktor-faktor yang dapat membangkitkan naluri ada dua macam: (1) fakta yang dapat diindra; (2) pikiran-pikiran yang dapat mengundang makna-makna (bayang-bayang) tertentu. Jika salah satu dari kedua factor itu ada, naluri manusia tidak akan bergejolak. Sebab, gejolak naluri bukan berasal dari factor-faktor internal, sebagaimana halnya dorongan kebutuhan jasmani, melainkan karena factor-faktor eksternal, yaitu dari fakta-fakta yang terindra dan pikiran-pikiran yang dihadirkan. Kenyataan ini sesuai dan berlaku untuk semua macam naluri yang ada pada diri manusia, yaitu: naluri untuk menjaga eksistensi diri (gharizah al-baqa’), naluri beragama/religiousitas (gharizah at-tadayyun), dan naluri seksual untuk melanjutkan keturunan (gharizah an-nau’). Antara yang satu dengan yang lainnya tidak ada perbedaan.
Naluri manusia untuk melanjutkan keturunan (naluri seksual) , sebagaimana kedua jenis naluri lainnya, menuntut suatu pemuasan ketika bergejolak. Akan tetapi, ketiga naluri tersebut sama-sama tidak akan bergejolak, kecuali karena adnya akta yang dapat diindera atau adanya pikiran-pikiran yang sengaja dihadiran. Oleh karena itu, pemenuhan naluri seksual sesungguhnya merupakan perkara yang dapat diatur oleh manusia. Manusia bahkan dapat mengatur kemunculannya. Manusia juga dapat mencegah munculnya berbagai gejala dari naluri ini, kecuali gejala yang mengarah pada tujuan untuk melestarikan keturunan.
Melihat wanita atau fakta-fakta yang menggugah birahi, misalnya, tentu akan membangkitkan naluri seksual sehingga akan melahirkan tuntutan pemuasan. Demikian pula mendengarkan atau membaca cerita-cerita poro , berpikir tentang hal-hal yang cabul, dan kemudian membayangkan semua itu. Sebaliknya, tindakan menjauhkan diri dari wnita atau segala sesuatu yang dapat membangkitkan birahi, ataupun menghindarkan diri dari fantasi –fantasi seksual, tentu dapat mencegah bergejolaknya naluri seksual. Sebab, naluri ini tidak mungkin bergejolak, kecuali dengan sengaja dibangkitkan melalui fantasi-fantasi seksual yang dihadirkan.
Dengan demikian, jika pandangan sekelompok orang terhadap hubungan pria dan wanita didominasi oleh pandangan yang bersifat seksual ( sebatas hubungan biologis antara lelaki dan perempuan) seperti yang terjadi pada masyarakat Barat , maka tindakan menciptakan fakta-fakta yang terindera dan pikiran-pikiran yang mengandung birahi (fantasi-fantasi seksual) merupakan tindakan yang lazim mereka lakukan. Tujuannya adalah demi membangkitkan naluri seksual mereka sehingga naluri tersebut menuntut pemuasan. Pemenuhan tersebut bisa dilakukan seperti yang mereka inginkan dari hubungan semacam ini. Dengan cara demikianlah mereka mendapatkan ketenangan.
Sebaliknya, jika pandangan sekelompok orang terhadap hubungan pria dan wanita dikuasai oleh suatu pandangan yang hanya memusatkan diri pada tujuan penciptaan naluri ini, yaitu untuk melestarikan keturunan, maka tindakan menjauhkan fakta-fakta dan pikiran-pikiran yang mengandung birahi dari pria ataupun wanita merupakan upaya yang harus dilakukan dalam kehidupan umum. Dengan itu, diharapkan naluri ini tidak akan bergejolak, sehingga tiak perlu menuntut adanya pemuasan yang tidak selalu bisa dihindari, serta dapat mengakibatkan kepedihan dan kegelisahan. Sementara itu, upaya untuk membatasi fakta-fakta yang mengundang birahi yang hanya boleh ada untuk suami-istri, merupakan tindakan yang harus dilakukan. Tujuannya adalah demi kelestarian keturunan, terwujudnya ketenangan, dan terciptanya ketentraman ketika melakukan pemuasan naluri.
Dari sini, tampak jelas, sampai sejauh mana pengaruh pandangan sekelompok orang terhadap hubungan pria dan wanita dalam mengatur kehidupan berbagai kelompok dan masyarakat umum.
Pandangan orang-orang Barat penganut idiologi kapitalis dan orang-orang Timur penganut idiologi Komunis terhadap hubungan pria dan wanita merupakan pandangan yang bersifat seksual semata, bukan pandangan untuk melestarikan keturunan manusia. Oleh karena itu, dengan terencana, mereka sengaja menciptakan fakta-fakta yang terindra dan pikiran-pikiran yang mengundang hasrat seksual dihadapan pria dan wanita dalam rangka membangkitkan naluri seksual, semata-mata untuk dipenuhi. Mereka menganggap bahwa gejolak naluri yang tidak dipenuhi mengakibatkan kerusakan pada diri manusia; baik terhadap fisik, psikis, maupun akalnya, sampai pada tingkat yang mereka dakwakan. Dari sini, kita bisa memahami, mengapa banyak komunitas masyarakat, baik di Barat yang Kapitalis ataupun di Timur yang komunis, serta didalam masyarakat di sana secara umum, selalu menciptakan pikiran-pikiran yang mengundang hasrat seksual (fantasi-fantasi seksual); baik dalam cerita-cerita, lagu-lagu, maupun berbagai karya mereka lainnya. Masyarakat di sana juga sudah begitu terbiasa dengan gaya hidup campur baur antara pria dan wanita yang tidak semestinya dirumah-rumah, tempat-tempat rekreasi, di jalan-jalan, di kolam-kolam renang, atau ditempat-tempat lainnya. Semua ini muncul karena mereka menganggap tindakan-tindakan semacam itu merupakan hal yang lazim dan penting. Mereka dengan sengaja mewujudkannya. Sebab, menurut mereka, tindakan semacam itu merupakan bagian dari sistem dan gaya hidup mereka.
Sementara itu, pandangan kaum Muslim, yaitu orang-orang yang memeluk agama Islam serta benar-benar telah meyakini akidah dan hukum Islam dengan kata lain, pandangan islam terhadap hubungan antara pria dan wanita merupakan pandangan yang terkait dengan tujuan untuk melestarikan keturunan, bukan semata-mata pandangan yang bersifat seksual. Sekalipun Islam mengakui bahwa pemenuhan hasrat seksual merupakan suatu hal yang pasti, tetapi bukan hasrat seksual itu sendiri yang mengendalikan dorongan pemenuhan nya. Dalam konteks itulah, Islam menganggap berkembangnya pikiran-pikiran yang mengundang hasrat seksual pada sekelompok orang sebagai perkara yang dapat mendatangkan marabahaya. Demikian pula fakta-fakta yang dapat membangkitkan nafsu biologis, selalu akan menyebabkan kerusakan. Oleh karena itu, Islam melarang pria dan wanita berkhalwat; melarang wanita bersolek dan berhias di hadapan laki-laki asing (non mahram); juga melarang setiap pria atau wanita memandang lawan jenisnya dengan pandangan nafsu birahi. Islam juga telah membatasi kerjasama yang mungkin dilakukan oleh pria dan wanita dalam kehidupan umum, serta menentukan bahwa hubungan seksual antara pria dan wanita hanya boleh dilakukan dalam dua keadaan, tidak lebih, yaitu: lembaga pernikahan dan pemilikan hamba sahaya.
Walhasil, Islam mencegah segala hal yang dapat membangkitkan nafsu seksual dalam kehidupan umum dan membatasi hubungan seksual hanya pada keadaan-keadaan tertentu. Sementara itu, sistem kapitalis dan komunis justru berusaha mencipatakan segala hal yang dapat membangkitkan nafsu seksual dengan tujuan agar dapat dinikmati secara bebas. Pada saat Islam memandang hubungan pria dan wanita hanya sebatas untuk melestarikan keturunan, maka sistem kapitalis dan sosialis memandangnya dengan pandangan yang bersifat seksual semata, yakni sebatas sebagai hubungan dua lawan jenis antara eorang laki-laki dan perempuan. Dua pandangan tersebut sangat jauh berbeda. Langkah-langkah yang dilakukan oleh Islam dan kedua ideology itupun saling bertolak belakang.
Dengan demikian, jelaslah betapa pandangan Islam dalam konteks interaksi pria dan wanita dipenuhi dengan pandangan kesucian, kemuliaan dan kehormatan diri disamping merupakan pandangan yang dapat mewujudkan ketenangan hidup dan kelestarian keturunan manusia.
Sementara itu, prasangka orang-orang barat dan orang-orang komunis yang menyatakan bahwa pengekangan naluri seksual pada pria dan wanita akan mengakibatkan berbagai penyakit fisik, psikis maupun akal adalah keliru dan hanya merupakan prasangka yang kontradiktif dengan fakta sebenarnya. Sebab, memang ada perbedaan antara naluri manusia dan dorongan kebutuhan jasmaninya dari segi pemenuhannya. Kebutuhan jasmani seperti makan, minum, dan buang hajat menuntut pemenuhan secara pasti. Kebutuhan-kebutuhan tersebut, jika tidak dipenuhi, akan dapat mengakibatkan marabahaya yang dapat mengantarkan manusia pada kematian. Sebaliknya, naluri manusia seperti naluri untuk mempertahankan eksistensi diri, naluri beragama (religioustis), dan naluri seksual tidak menuntut pemenuhan secara pasti. Naluri-naluri tersebut jika tidak dipenuhi, tidak akan menimbulkan bahaya bagi fisik, psikis, maupun akal manusia.; yang mungkin terjadi hanyalah kepedihan dan kegelisahan, tidak lebih. Buktinya, bisa saja terjadi, orang yang seumur hidupnya tidak memenuhi seluruh naluri tersebut, ternyata tidak mengalami bahaya apapun pada dirinya.
Dakwaan orang-orang barat dan orang-orang komunis tentang akan munculnya berbagai gangguan atau penyakit penyakit fisik, psikis maupun akal, ternyata juga tidak terjadi pada stiap orang ketika ia tidak memelihara naluri seksualnya; walaupun mungkin terjadi pada individu-induvidu tertentu. Kenyataan ini menunjukan bahwa akibat-akibat negatif tersebut, yang disebabkan oleh tidak dipenuhinya naluri seksual, tidak terjadi secara alami sebagai fitrah manusia. Artiya dalam konteks tersebut ada sebab-sebab lain, bukan karena factor pengekangan. Kalau memang karena pengekangan, tentu akibat-akibat tersebut akan selalu terjadi secara alami sebagai suatu fitrah bagi setiap manusia, setiap kali ada pengekangan. Namun ternyata, hal tersebut tidak pernah terjadi. Mereka pun sebenarnya mengakui bahwa akibat-akibat itu, secara fitrah, selalu terjadi pada manusia sebagai akibat pengekangan terhadap naluri seksualnya. Oleh karena itu, akibat-akibat yang terjadi pada individu-individu tertentu pasti karena adanya sebab-sebab lain, bukan karena adanya pengekangan.
Ini dilihat dari satu segi. Dari segi lain, sesungguhnya tuntutankebutuhan jasmani muncul secara internal, bukan secara eksternal atau karena pengaruh luar; meskipun pengaruh luar itu bisa saja muncul pada saat manusia merasakan adanya kebutuhan yang mendesak. Berbeda halnya dengan naluri manusia. Naluri manusiasesungguhnya tidak akan menuntut pemenuhan karena dorongan internalnya, jika tidak ada pengaruh eksternal. Bahkan, dapat dikatakan, naluri manusia tidak akan bangkit jika hanya mengandalkan pengaruh internal. Artinya, bangkitnya naluri manusia, seperti naluri seksual ini, memang karena factor itu berupa fakta-fakta yang dapat diindera ataupun pikiran-pikiran cabul yang dihadirkan. Jika tidak ada pengaruh eksternal. Naluri tersebut tidak mungkin akan bangkit.
Kenyataan seperti ini berlaku pada seluruh jenis naluri yang ada pada diri manusia; baik naluri untuk mempertahankan diri, naluri beragama, maupun naluri seksual dengan segala gejalanya. Jika di hadapan seseorang terdapat sesuatu yang dapat membangkitkan salah satu nalurinya, niscaya akan muncul gejolak yang menuntut pemenuhan. Jika orang itu menjauhkan diri dari faktor-faktor yang dapat membangkitkan nalurinya, atau mencari kesibukan yang dapat mengalihkan pengaruh tersebut, maka tuntutan naluri akan pemenuhan itu bisa hilang dan manusia akan kembali tenang. Hal ini berbeda dengan kebutuhan jasmani. Tuntutan dari pemenuhan dorongan jasmani tidak akan hilang selama faktor-faktor yang memunculkan dorongan tersebut tetap ada secara mutlak atau sampai tuntutannya dipenuhi.
Berdasarkan penjelasan di atas, tampak jelas bahwa, tidak terpenuhinya naluri seksual tidak akan sampai mengakibatkan penyakit apapun; baik terhadap fisik, psikis, maupun akal. Sebab, naluri tidak sama dengan dorongan kebutuhan jasmani. Segala sesuatu yang ada dihadapan seseorang yang dapat membangkitkan naluri seksualnya, baik berbentuk fakta-fakta ataupun fantasi- fantasi seksual, akan menyebabkan orang yang bersangkutan merasakanadanya gejolak yang menuntut pemenuhan. Jika tuntutan tersebut tidak dipenuhi, akibatnya adalah munculnya kegelisahan. Kegelisahan yang berulang-ulang akan menyebabkan kepedihan yang menyakitkan. Jika orang tadi menjauhkan faktor-faktor yang membangkitkan naluri seksual atau mencari kesibukan yang dapat mengalihkan dorongan naluri tersebut, niscaya kegelisahan itu dengan sendirinya akan sirna. Atas dasar itu, upaya pengekangan terhadap naluri seksual yang tengah bergejolak hanya akan mengakibatkan munculnya kegelisahan, tidak lebih. Akan tetapi jika naluri seksual ini tidak muncul, maka tidak akan mengakibatkan kegelisahan.
Dengan demikian, jalan keluar agar naluri seksual tidak bangkit tentu saja dengan tidak berusaha memunculkannya, yakni berusaha menjauhkan seluruh faktor yang dapat membangkitkannya agar tidak akan ada dorongan yang menuntut pemenuhan.
Berdasarkan keterangan di atas, tampak jelas kesalahan pandangan masyarakat Barat maupun masyarakat sosialis yang memandang hubungan pria dan wanita sebatas hubungan seksual antara seorang lelaki dan seorang perempuan saja. Tampak jelas pula kesalahan mereka dalam memecahkan problematika ini. Mereka keliru ketika membangkitkan naluri ini pada pria maupun pada wanita secara sengaja melalui pergaulan bebas diantara keduanya; pertunjukan-pertunjukan tari, nyanyi, dan sejenisnya; serta berbagai permainan, cerita-cerita, dan lain sebagainya.
Sebaliknya, kebenaran jelas tampak dalam pandangan Islam . Islam menjadikan pandangan manusia terhadap hubungan pria dan wanita lebih dipengaruhi oleh tujuan dari penciptaan naluri itu sendiri, yaitu untuk melangsungkan keturunan manusia. Tampak jelas pula kebenaran jalan pemecahan Islam dalam persoalan ini, yaitu dengan menjauhkan segala hal yang dapat membangkitkan naluri seksual; baik berbentuk fakta-fakta cabul maupun pikiran-pikiran porno. Jika hal ini tidak mungkin untuk dilakukan, syariat Islam telah memberikan jalan pemecahan yang lain, yaitu melalui perkawinan atau pemilikan hamba sahaya. Islamlah satu-satunya yang mampu mencegah akibat yang mungkin ditimbulkan dari naluri seksual berupa kerusakan yang terjadi di masyarakat. Caranya adalah dengan pemecahan yang tepat dan sempurna, yang akan menciptakan kemaslahatan dan kedamaian di tengah-tengah masyarakat.