Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!

SIAPA MENJAJAH WANITA ?

Oleh : Arini

 Untuk melihat permasalahan wanita, sebagian besar orang masih menggunakan kacamata subyektif. Wanita memandang permasalahan kaumnya dari sudut pandang kewanitaannya, sedangkan laki-laki dengan tolok ukur kelelakiannya. Intinya masing-masing memandang wanita hanya sebagai ‘wanita’. Dan selama baik wanita maupun laki-laki memandang wanita dari kepentingan masing-masing, selama itu pula permasalahan wanita akan tetap mengambang, tak terselesaikan.

Tak dapat diingkari bahwa dalam faktanya, wanita memang menghadapi problema. Kita membutuhkan pandangan yang jernih untuk menganalisis bagaimana problema itu muncul dan bagaimana memecahkannya secara tuntas. Karena itu, kita akan mencoba menelusuri permasalahan wanita di berbagai belahan dunia untuk dapat menyimpulkan pangkal permasalahannya.

Wanita Amerika: Bumerang Emansipasi

Amerika adalah negara tempat lahirnya Gerakan Pembebasan Wanita atau Women’s Liberation. Sampai saat ini, wanita-wanita Amerikalah yang bersuara paling nyaring dalam memperjuangkan persamaan hak wanita. Suatu hal yang tidak mengherankan jika kita melihat bagaimana buruknya kondisi wanita sampai awal abad ke-20. Pada saat itu kaum wanita Amerika dianggap sebagai warga kelas dua yang tidak boleh mengikuti pemilihan umum. Dalam segi hukum perkawinan, para wanita tidak berhak menguasai harta miliknya sendiri, sekalipun dia dapatkan dari bekerja. Harta itu tetap menjadi milik suaminya. Begitu pula dalam hal pendidikan, kaum wanita menemui banyak hambatan untuk mendapatkan pendidikan yang sejajar dengan pria (Megawangi, 1994). Ibarat api dalam sekam, ketimpangan ini akhirnya melahirkan pemberontakan wanita Amerika, dengan munculnya liberalisme yang menggugat tatanan masyarakat saat itu.

Feminisme liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestik dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan menempatkab wanita pada posisi sub ordinat. Budaya masyarakat Amerika yang materialistis, mengukur segala sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung keberhasilan feminisme. Wanita-wanita tergiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan tidak tergantung lagi pada pria.

Namun ternyata keberhasilan feminisme adalah keberhasilan semu, bahkan emansipasi yang mereka perjuangkan memunculkan permasalahan baru bagi wanita. Kondisi ekonomi wanita secara rata-rata ternyata telah menurun, padahal jumlah wanita yang bekerja di luar rumah semakin banyak. Dua dari tiga orang dewasa yang miskin di Amerika adalah wanita. Tingkat upah pun ternyata tidak berubah. Data tahun 1985 menunjukkan tingkat upah rata-rata wanita di AS adalah 64% dari tingkat upah pria, atau sama dengan tahun 1939 (Megawangi, 1994).

Penyebab utama memburuknya kondisi wanita adalah tingginya angka perceraian. Angka perceraian di AS meningkat dengan tajam semenjak tahun 1960-an. Jumlah anak yang dibesarkan pada keluarga yang dikepalai wanita telah mencapai 50% pada tahun 1980-an. Perceraian dengan beban pengasuhan anak-anak, telah menyebabkan kondisi yang menyedihkan pada banyak wanita.

Sementara itu kekerasan terhadap wanita juga meningkat. Kekerasan fisik dialami wanita setiap delapan detik. Pergaulan bebas dan keengganan menikah, menyebabkan tingginya angka perkosaan wanita, yaitu enam menit sekali (Kompas, 4 September 1995).

Lebih ironis lagi, menurut laporan majalah Fortune, Amerika edisi 2 September 1995, banyak wanita eksekutif mengalami stress. Mereka merasakan kekecewaan, ketidakpuasan dan kekhawatiran, sehingga hidup dan jiwa mereka menjadi kacau. Bahkan umumnya mereka mengalami perceraian dan gangguan hubungan sosial dalam keluarga (Republika, 24 September 1995).

Jika kita kaji lebih lanjut, diskriminasi upah di Amerika tidak hanya menimpa wanita. Warga berkulit hitam umumnya mengalami hal yang sama. Dalam dunia kapitalistik, tujuan utama pengusaha adalah keuntungan yang sebesar-besarnya dari biaya produksi yang sekecil-kecilnya. Dalam hal ini, orang-orang yang memiliki posisi tawar kurang,termasuk wanita dan warga kulit hitam, menjadi korban. Mereka terpaksa menerima berapa pun gaji yang diberikan untuk mempertahankan hidup.

 

Wanita Eropa : Antara Kapitalis dan Sosialis

Kondisi wanita Eropa lebih kompleks, karena ideologi yang berkembang di Eropa tidak hanya kapitalis, tetapi juga sosialis.  Ideologi ini mempengaruhi juga bentuk perjuangan wanita, sehingga muncul feminisme liberal dan feminisme sosial.

Di Eropa Barat yang menganut sistem liberal, permasalahan yang terjadi hampir sama dengan USA.  Di Inggris, perceraian keluarga bahkan menjadi suatu obsesi (The Economist, September 1995).

Di Eropa Utara yang menganut faham individualis yang kuat, yang muncul adalah gerakan feminisme liberal-radikal.  Gerakan ini berpendapat bahwa ada sumber penindasan wanita yang lebih fundamental, yakni sistem patriarki.  Sistem patriarki menempatkan pria sebagai kepala keluarga.  Kemudian dalam konteks sosial yang lebih luas lagi, sistem patriarki dikaitkan dengan segala aspek yang menjadikan pria memiliki kekuasaan lebih besar dari wanita, baik dalam ekonomi maupun politik.  Oleh karena itu hal utama yang dilakukan adalah merombak struktur patriarki menjadi struktur yang lebih egaliter.  Hal ini dianggap penting agar wanita mendapat kedudukan yang sejajar dengan pria.

“Keberhasilan” feminis radikal ini telah nampak dalam perimbangan pria-wanita di kursi parlemen.  Di Norwegia, 39,4% anggota parlemen adalah wanita, sedangkan di Swedia sekitar 40%, Findlandia 39% dan di Denmark 30,3%.  Angka-angka ini jauh lebih besar dibandingkan AS yang hanya 11% di DPR dan 7% di Senat, atau terhadap rata-rata dunia hanya 10,51%.  Namun apakah besarnya wanita yang duduk di parlemen memecahkan permasalahan ?

Kenyataannya, di negara-negara Eropa Utara ini, institusi keluarga mengalami keruntuhan.  Di Swedia dan Denmark, setengah dari bayi-bayi lahir dari Ibu yang tidak menikah.  Setengah dari perkawinan di Swedia dan Norwegia berakhir dengan perceraian, dan orang tua yang tidak menikah lagi karena sudah bercerai tiga kali lebih banyak dari jumlah orang tua tunggal meningkat sampai 18% pada tahun 1991 (The Economist, September 1995).

Swedia dan negara-negara Eropa Utara umumnya, memang telah memproklanirkan diri sebagai negara individu.  Hal ini juga diterapkan dalam kebijakan-kebijakan pemerintah, yang memberi kebebasan seks.  Di negara-negara ini, kedudukan wanita dan pria hampir dalam segala hal dianggap sama, bahkan wanita didorong untuk memasuki lapangan kerja di masyarakat.  Hasil persamaan ini bisa kita lihat pada runtuhnya akhlaq dan robohnya tatanan moral masyarakat.

Di Eropa Timur, pada masa sosialis masih berkuasa, ide feminisme yang berkembang adalah feminisme sosialis yang menghapuskan sistem pemilikan.  Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang mendinginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.

Ketika sosialis runtuh, perlahan tapi pasti, berkembang lagi faham kapitalis yang mengedepankan individualisme.  Iklim ekonomi global yang tidak menentu, utang, program penyesuaian struktur serta perang yang terjadi di mana-mana, membuat rakyat Eropa Timur berlanjut hidup dalam kemiskinan, dan wanita juga harus terkena beban kemiskinan ini.

Paling parah adalah kondisi wanita di Bosnia Herzegovina.  Di negeri yang tercabik-cabik oleh semangat chauvinisme agama Serbia, lebih dari 20 juta wanita dilaporkan telah diperkosa oleh pasukan Serbia (Kompas, 4 September 1995).  Metode baru pembersihan kaum muslimin dari Eropa ini masih ditambah dengan  pembantaian wanita dan anak-anak, yang jumlahnya, tak pernah terungkap secara pasti.

Namun demikian, kita tidak bisa melihat kasus Bosnia ini sebagai ‘kekerasan laki-laki kepada wanita’.  Serbia melakukan strategi ini untuk menghancurkan kehormatan Bosnia dan Islam, menteror dan menghabiskan komunitas muslim Eropa yang masih tersisa.

Tragisnya, para pelaku kejahatan di Bosnia tidak mendapatkan sangsi apa-apa dari dunia.  Walapun Mahkamah Internasional telah memutuskan 52 penjahat perang dari Serbia dan Kroasia, namun badan peradilan dunia ini sama sekali tidak punya kekuasaan untuk menyeret para penjahat perang tersebut ke depan sidang, apalagi menjatuhkan hukuman.

Wanita Asia-Afrika : Potret Kemiskinan

Kondisi wanita di Asia dan Afrika memiliki banyak persamaan, kecuali di negeri-negeri Timur Tengah.  Karena itu, Timur Tengah akan dibahas tersendiri dalam sub bab berikutnya.  Umumnya Asia dan Afrika adalah negara-negara sedang berkembang.  Kecuali Cina, ideo logi negara-negara Asia Afrika adalah kapitalisme, meskipun beberapa negara menerapkannya secara tersamar.

Permasalahan terbesar yang dihadapi negara Asia-Afrika adalah kemiskinan.  Dalam keadaan seperto ini, mau tidak mau wanita ikut menanggung beban.  Data menunjukkan, dari penduduk yang miskin, 70 persennya adalah wanita (Kompas, 4 September 1995).

Kemiskinan telah mendorong wanita-wanita Thailand, termasuk gadis-gadis di bawah umur menjual diri di bursa seks kelas bawah dengan tarif hanya sekitar 4500 rupiah (Republika, 16 November 1995).  Begitu juga wanita-wanita di Philipina, antara tahun 1987-1992, sekitar 261.527 orang wanita, umumnya berusia belasan tahun, memasuki Jepang sebagai wanita penghibur (Kompas, 23 Januari 1995).

Kemiskinan juga bertaburan di Bangladesh, Srilanka, India, Indonesia dan sebagian besar negara-negara Afrika.  35 anggota berbagai organisasi dari 11 negara Asia, yang memberikan perhatian besar terhadap wanita, menyatakan bahwa disparitas yang makin besar dalam pembangunan ekonomi, akses kepada pasar, teknologi dan sistem harga yang lebih adil dalam model pembangunan yang ditawarkan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF), telah membuat banyak negara dan manusia terjungkal dalam kemiskinan.  Program penyesuaian struktural yang dipaksakan Bank Dunia dan IMF kepada negara-negara pengutang terbesar justru membuat orang miskin menjadi bertambah miskin.  Kemiskinan dan berkurangnya pekerjaan produktif dengan gaji cukup di negara asal tenaga kerja, telah memaksa laki-laki dan perempuan, termasuk anak-anak, bermigrasi ke luar negeri.  Saat ini terdapat sedikitnya 12 juta pekerja migran dari Asia, separuh diantaranya perempuan, dan jumlahnya terus bertambah (Kompas, 11 Februari 1995).

Dari pernyataan di atas, kita bisa melihat, bahwa kapitalisme, melalui Bank Dunia dan IMF sebagai alatnya, justru melahirkan kemiskinan yang semakin meluas di Asia dan Afrika.  Di negara Sosialis seperti Cina, masalah yang dihadapi pun tidak berbeda.  Kemiskinan masih menghantui sebagian besar masyarakatnya.  Dengan jumlah penduduk terbesar di dunia, untuk meningkatkan taraf ekonominya, Cina melakukan program yang kontroversial untuk menekan laju kelahiran.  Masing-masing keluarga hanya dibenarkan memiliki satu anak, sehingga wanita yang hamil lagi, ‘diharapkan’ menggugurkan kandungannya.  Negara berkeyakinan bahwa mengekang laju pertumbuhan penduduk Cina merupakan kepentingan seluruh rakyat, sehingga mengorbankan kepentingan pribadi untuk masyarakat banyak, sah-sah saja.  Karena aturan ini, sementara budaya masih mengagungkan anak laki-laki, banyak bayi perempuan yang dibunuh begitu lahir.  Sejarah jahiliyah yang terulang !

Wanita Timur Tengah  : “Lebih Baik, Tapi…”

Dibanding wanita di belahan bumi yang lain, dari segi kesejahteraan, wanita Timur Tengah paling baik kondisinya.  Meskipun para wanita ini tidak bekerja, tidak pernah terdengar adanya kemiskinan wanita.  Hal ini karena nafkah mereka ditanggung sepenuhnya oleh para wali atau kalaupun tidak ada wali, negara menjamin kebutuhan mereka.

Wanita Timur Tengah juga mendapatkan jaminan pendidikan sama dengan pria, bahkan banyak didirikan sekolah khusus wanita.  Fasilitas khusus wanita tersedia di mana-mana, termasuk fasilitas kesehatan dan transportasi.  Hijab yang mereka kenakan tidak menghalangi kemajuan.

Hanya saja, peran wanita banyak dibatasi oleh negara.  Sistem pemisahan mutlak antara pria dan wanita serta domestikasi peran, membatasi gerak wanita dalam aktivitas kehidupan umum.  Bahkan sampai saat ini, wanita-wanita Timur Tengah tidak mempunyai hak politik, termasuk untuk sekedar memilih anggota parlemen dalam pemilu.

Dari gambaran tentang wanita di atas, kita bisa melihat beragamnya problematika yang dihadapi oleh wanita.  Jika kita tinjau lebih jauh, semua problematika wanita tidak bisa kita lepaskan dari problematika manusia seluruhnya.  Sebagai contoh, problem kemiskinan yang dihadapi, juga dihadapi oleh rumah tangga dengan kepala keluarga pria.  Kalau dikatakan karena kurangnya akses ekonomi wanita, pendapat ini bisa gugur dengan fakta wanita di Timur Tengah yang berkecukupan tanpa harus bekerja.  Bisa dikatakan bahwa tidak ada masalah wanita yang murni dapat dilihat hanya karena kewanitaannya saja.

Upaya pemecahan problema wanita yang selama ini dilakukan dengan mendasarkan pada fakta yang berbeda di tempat yang berbeda, tidak akan menuntaskan permasalahan.  Karena akar permasalahan wanita pada dasarnya sama, dimanapun ia berada.  Wanita diberbagai tempat dengan berbagai kondisi tetaplah merupakan bagian dari manusia, dengan kebutuhan dan naluri yang sama.  Kondisi wanita yang berbeda diberbagai belahan dunia disebabkan oleh penerapan peraturan yang berbeda.

Sekiranya peraturan yang diterapkan di seluruh dunia untuk mengatur kebutuhan dan naluri manusia yang sama, tidak akan muncul masalah wanita yang beragam.  Dan sekiranya peraturan yang dibuat sesuai dengan ‘kemanusiaan’ wanita, permasalahan wanita akan terselesaikan, tanpa melihat siapa yang menjalankan aturan.  Dan tanpa menimbulkan permasalahan baru serta ketimpangan hubungan antara pria dan wanita.

Akhirnya menjawab siapa ‘menjajah’ wanita kita dapat katakan peraturanlah yang saat ini menimbulkan problematika wanita.  Peraturan yang diproduk dan direka-reka sendiri oleh manusia, yang pada akhirnya justru bertentangan dengan kemanusiaan manusia ! (habis…)

 

Kembali ke Menu Utama…..