KAIDAH
KAUSALITAS DALAM PENGEMBANAN DAKWAH
Dalam perspektif syariat Islam, upaya menjalani As Sababiyah merupakan kewajiban yang telah ditentukan oleh Allah sebagaimana kewajiban-kewajiban yang lain. Dalil yang digunakan sebagai dasar untuk menjalaninya adalah sebagai berikut :
Seorang muslim dikatakan serius dalam berpikir bila dia berpikir tentang tujuan disamping berusaha memahami dengan baik gambaran fakta yang akan/sedang dipikirkan dan ada usaha untuk merealisasikan tujuan tersebut. Berpikir tentang realisasi sesuatu tersebut harus ditujukan dalam rangka mewujudkannya agar seseorang tidak terjebak pada kesia-siaan dan rutinitas. Ketika seseorang berpikir tentang tujuan -yang merupakan asas dalam berpikir serius– dan usaha untuk mewujudkan tujuan tersebut, berarti dia telah menjalani prinsip as sababiyah dalam aktivitasnya.
As sababiyah adalah upaya untuk mengaitkan sebab-sebab fisik dengan akibat-akibatnya yang juga bersifat fisik dalam rangka mencapai target dan tujuan tertentu. Upaya tersebut dilakukan dengan cara mengetahui seluruh sebab yang mampu menghantarkan pada tercapainya tujuan serta mengaitkannya dengan seluruh akibat secara benar. Hanya dengan cara semacam ini kita dapat mengatakan bahwa kita telah menjalani sebab-sebab atau menjadikan kaidah kausalitas sebagai landasan untuk melakukan berbagai aktivitas untuk mencapai berbagai tujuan. Alasannya, terwujudnya aktivitas dan tujuan tersebut pada akhirnya secara pasti tergantung pada sejumlah tolok ukur fisik (maqayis madiyyah) yang kita miliki, selama tidak ada pengaruh gaib yang bersumber pada lingkaran qadha’.
Berdasarkan paparan di atas berarti fatalisme atau sikap pasrah secara total (at-tawakuliyyah) menunjukkan tidak adanya upaya untuk mengaitkan sebab dengan akibat. Fatalisme menunjukkan pada adanya sikap merasa puas dengan hanya menjalani sebagian sebab dan lebih menyandarkan diri pada perkara gaib yang tidak mungkin diketahui. Padahal pada saat yang sama masih banyak sebab-sebab lain yang dapat diupayakan atau masih perlu adanya upaya untuk mengaitkan sebab dengan akibat secara benar.
Adalah fatalisme bila seorang mahasiswa yang ingin memperoleh nilai yang sempurna pada saat ujian hanya mempelajari mata kuliah yang disukainya saja. Demikian pula bila seorang ibu yang menginginkan anaknya menjadi anak yang sholih, tetapi hanya memasrahkan pendidikan anaknya di TPA. Seyogyanya, mahasiswa tersebut harus mempelajari dan memahami seluruh mata kuliah dengan benar agar dia mendapat nilai yang memuaskan. Demikian pula pada sang ibu, selain membekali anaknya dengan sedikit tsaqofah dasar di TPA, sangat perlu juga untuk mengarahkan akhlak sang anak, mengontrol teman-temannya, memotivasi anaknya untuk mendalami dan menerapkan Islam, dsb.
Dengan demikian fatalisme akan tampak dalam dua perkara. Pertama, tidak adanya upaya untuk menjalani seluruh sebab yang bisa menghantarkan pada tujuan. Kedua, adanya upaya meremehkan keterkaitan antara sebab dengan akibat atau adanya sikap menyandarkan diri pada perkara gaib.
Memahami hubungan sebab akibat merupakan perkara asasi bagi kaum muslim. Mereka harus memahami perkara ini dengan jelas, sebab risalah Islam adalah risalah yang bersifat praktis. Kehidupan kaum muslimin adalah kehidupan untuk menjalankan aktivitas dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Umat Islam pada generasi pertama –baik para shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in- maupun para tokoh kebangkitan setelah mereka, memahami benar prinsip as sababiyah ini. Mereka mengemban Islam, menyebarkan dakwah dan membuka wilayah-wilayah baru di berbagai pelosok dunia dalam waktu yang sangat cepat melampaui sejarah umat-umat lain tanpa didukung fasilitas yang memadai.
Manusia dimuliakan Allah karena akalnya. Sebelum memenuhi kebutuhan jasmani dan nalurinya biasanya manusia mendahuluinya dengan pemikiran. Derajat kemuliaan manusia tergantung pada jenis pemikiran yang mengatur perilaku tatkala memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Secara alami, manusia melakukan suatu aktivitas adalah untuk mewujudkan tujuan tertentu yang melatarbelakangi aktivitas tersebut. Melaksanakan suatu aktivitas tanpa berusaha mencapai hasilnya adalah sia-sia. Hal ini bertentangan secara asasi dakam kehidupan manusia. Padahal tercapainya hasil dari suatu aktivitas kadang-kadang merupakan dalil yang bmenunjukkan kebenaran aktivitas itu.
Secara fitrah manusia memang berbeda satu sama lain, termasuk kemampuannya mengaitkan sebab dengan akibat maupun ambisi dan motivasinya dalam meraih tujuan. Orang yang memiliki nilai kemanusiaan yang tinggi dan menjalani kehidupan dengan suatu ideologi untuk meraih tujuan tertentu seperti pengemban dakwah, tidak pernah merasa rela terhadap perkara-perkara yang umumnya diridloi oleh kebanyakan orang. Mereka enggan menjadi obyek yang dikendalikan oleh keadaan, namun mereka secara konsisten berusaha menjadi subyek dalam kehidupan ini. Oleh karena itu ketika beraktivitas mereka tidak melupakan pengkajian dan perencanaan, termasuk memperhitungkan berbagai target (ahdaf) dan tujuan (ghoyah) baik yang berskala besar maupun kecil.
Usaha untuk membangkitkan umat, jelas membutuhkan kesabaran dan usaha keras yang bersifat terus menerus. Secara thobi’i terdapat kondisi-kondisi yang menyulitkan pengemban dakwah bersamaan perannya sebagai ibu/istri, mahasiswi atau wanita pekerja. Seringkali kemaslahatan individualnya termasuk aktivitas kesehariannya harus berbenturan dengan kewajiban dakwah. Kesulitan ini kerap memaksa mereka untuk mengkompromikan keduanya. Ketika seorang istri dihadapkan kepada kepentingan keluarga –yang sebenarnya tidak mendesak- seperti menghadiri pertemuan keluarga atau pernikahan kolega suami, sedang pada waktu yang bersamaan ada agenda dakwah yang harus dilaksanakan; atau seorang mahasiswa yang harus mengambil sample penelitian -yang sebenarnya bisa dilakukan pada waktu yang tidak mengikat- sementara dia terlanjur menerima sebuah amanah dakwah acap kali dianggap sebagai dilema.
Sebenarnya telah jelas jawaban untuk mengatasi dilema ini. Setiap orang yang meyakini ideologi ini (Islam) wajib menjadikan dakwah dan aktivitas kepartaian sebagai titik sentral bagi setiap kepentingan pribadinya. Ia tidak boleh sibuk dengan pekerjaan-pekerjaan yang melupakan dan menghalanginya dari dakwah. Dengan cara ini dia telah memindahkan posisi dakwah yang sebelumnya berputar mengikuti kepentingan pribadinya – menjadi sumbu putar tempat kepentingan-kepentingan pribadinya berputar.
Upaya seseorang yang menyadari bahwa hanya dengan aktivitas politiklah akan mencapai tujuan penegakan syariat Islam secara total, akan membuatnya berusaha untuk menjadi anggota sebuah partai politik Islam ideologis, melibatkan diri dalam semua thoriqoh dakwah partainya, mentabanni setiap pemikiran dan hukum yang ditabanni, percaya terhadap kepemimpinannya, melaksanakan keputusan-keputusan partai meskipun berbeda dengan pendapatnya dan mengerahkan segala daya upaya yang dimilikinya dalam rangka mewujudkan tujuan partainya. Maka bila setelah bergabung dia merasa telah melaksanakan kewajibannya tanpa terlibat dalam dakwahnya secara langsung; atau hanya berkepentingan untuk meningkatkan tsaqofahnya saja tanpa berusaha mengaplikasikan dalam gerak dakwah adalah termasuk berserah diri secara total pada keadaan (fatalistis).
Aspek kemanusiaan dalam mencapai hasil suatu usaha ditentukan oleh akal dan kehendak (irodah). Fungsi akal adalah menetapkan sesuatu berdasarkan pemikiran sesuai dengan kaidah-kaidah tertentu. Irodah (kehendak) adalah kebulatan tekad terhadap kelangsungan suatu aktivitas -bagaimanapun berat dan melelahkan- disertai dengan keteguhan dan konsistensi dalam usaha tersebut.
Ada beberapa perkara bersifat rasional yang wajib dipenuhi untuk mewujudkan keberhasilan, antara lain adalah :
1. Menentukan Target
Pada saat memikirkan tentang tujuan dan target, pertama kali harus membatasi target dan tujuan yang diharapkan secara jelas dan rinci. Ada perbedaan yang sangat jelas antara orang yang berjalan tanpa tujuan tertentu dengan orang yang memiliki tujuan tertentu, jelas dan terfokus. Ketidakjelasan dan kesamaran tujuan akan melahirkan kebingungan dan keraguan dalam jiwa, selain akan menyebabkan kelemahan semangat dan motivasi, memunculkan rasa putus asa yang selanjutnya dapat berujung pada kegagalan total. Sebaliknya, penentuan target yang terfokus, jelas dan tidak mengandung kekeliruan akan melahirkan tekad yang kuat dalam jiwa, konsistensi, keteguhan, bersemangat, motivasi penuh, percaya diri, dan optimistik yang akan menghantarkan pada tercapainya tujuan.
Ghayah adalah tujuan jangka panjang. Sedangkan ahdaf (target) adalah tujuan jangka pendek. Usaha untuk mewujudkan ahdaf akan menjadi sempurna dengan adanya ghayah . Sebaliknya, agar lebih tergambar untuk meraih tujuan, maka harus dibuat tujuan antara atau tahapan-tahapan. Sehingga apabila satu tujuan dalam suatu tahapan dapat direalisir, maka akan lebih mudah untuk merealisir tahap berikutnya. Demikian seterusnya.
2. Mengetahui Sebab-sebab yang Dapat
Mengantarkan pada Tercapainya Tujuan
Sebab adalah sesuatu yang
bisa mengantarkan pada sesuatu yang lain
yakni tercapainya tujuan.
Sebab-sebab yang mengantarkan kepada tujuan itu berbeda-beda sesuai
dengan jenis, tingkat kesulitan dan upaya yang harus dikerahkan untuk memenuhi
sebab-sebab itu. Karena itu diperlukan
pengetahuan dan penguasaan yang rinci terhadap seluruh fakta-fakta yang menjadi
sebab, walaupun sangat sulit. Di lain
pihak, meremehkan sesuatu yang sederhana – yang bisa menyempurnakan seluruh
sebab untuk meraih tujuan – akan mengakibatkan kegagalan total dan
menyia-nyiakan seluruh kekuatan. Agar
target bisa dicapai secara sempurna, maka haruslah mengetahui seluruh sebabnya.
3. Mengaitkan Sebab dengan Akibat Secara Benar
Untuk menjamin
suatu keberhasilan tidak cukup hanya dengan mengaitkan sebab dan akibatnya
saja. Lebih dari itu pengaitan tersebut harus benar sehingga target dapat
dicapai dalam waktu singkat tanpa menyia-nyiakan kekuatan yang dikerahkan.
Contohnya, sebab
keberhasilan dalam mengambil alih pemerintahan adalah adanya akses menuju
kekuasaan. Pengaitan yang benar antara
akses menuju kekuasaan dengan mengambil alih pemerintahan menuntut adanya
pengetahuan rinci dan deskriptif tentang seluruh potensi kekuasaan termasuk
orang-orang yang memiliki pengaruh potensial.
Jika potensi tersebut berada di tangan militer, maka harus menguasai seluruh struktur yang
berpotensi dapat mengakses kekuasaan.
Cara meraih bagian-bagian
tersebut tentu saja harus disertai usaha merekrut para pemimpinnya.
Kelalaian dalam merekrut seluruh struktur atau ada satu bagian saja yang
disepelekan dalam meraih loyalitas berarti bukan pengaitan yang benar. Peremehan tersebut bisa berakibat kegagalan
total, bahkan kadangkala mengakibatkan bencana yang menghancurkan.
4. Memperhatikan Hukum Alam dan Aturan Kehidupan (Sunnatullah)
Untuk mencapai tujuannya, selain harus mengaitkan sebab dengan akibatnya secara benar, pada saat yang sama seseorang harus menyadari bahwa usahanya harus selalu sesuai dengan hukum alam dan aturan kehidupan. Artinya, usahanya harus selaras dengan tolok ukur fisik yang telah ditentukan oleh Sang Pencipta alam, manusia dan kehidupan. Apabila manusia keluar dari tolok ukur yang bersifat fisik ini, ia tidak mungkin bahkan mustahil bisa mewujudkan tujuan-tujuannya, bagaimanapun pengaitan sebab dan akibat itu dilakukan berikut pengerahan kekuatan-kekuatannya sebagai manusia yang berakal.
Keempat perkara di atas adalah perkara yang bersifat rasional (aqli) dalam upaya menjalankan aktivitas dan merealisasikan tujuan. Sementara itu, perkara yang berhubungan dengan kehendak (irodah) adalah sebagai berikut :
Secara alami, manusia
memiliki dorongan dan hasrat. Ia juga
memiliki kemampuan dan fasilitas untuk menghantarkannya pada cita-cita. Agar kaidah untuk mewujudkan tujuan itu
tetap benar, maka kemampuan dan fasilitas
yang dimilikinya harus seimbang dengan dorongan dan cita-citanya. Cita-cita yang besar dengan kemampuan yang
terbatas dapat melahirkan keputusasaan.
Sebaliknya, cita-cita yang rendah dengan kemampuan yang besar untuk
merealisasikannya kadang-kadang dapat melahirkan kecerobohan. Oleh karena itu pengemban dakwah harus bisa
mengukur kemampuan dan fasilitas yang dimilikinya agar dia tidak ceroboh atau
berputus asa dalam meraih cita-citanya.
Uraian di atas menunjukkan bahwa ternyata akal dan kehendak adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan untuk mewujudkan tujuan. Akal berperan merencanakan, yakni mendeskripsikan sebab dan tujuan, serta mengaitkan sebab dengan akibatnya dengan benar. Sedangkan perasaan yang disertai dengan pemikiran adalah pihak yang melahirkan iradah yang benar sekaligus memotivasi dan menjadikannya tetap menggelora serta mampu menjamin produktivitas.
Hubungan Antara Wasilah, Uslub dan Thariqoh dengan Target dan Tujuan
Dalam realitas kehidupan manusia senantiasa menggunakan wasilah, uslub dan thoriqoh yang bersifat fisik untuk meraih target tertentu yang selanjutnya bisa sampai pada target jangka panjang yaitu ghayah. Wasilah adalah sarana yang bersifat fisik yang biasa digunakan untuk menjalankan suatu aktivitas. Uslub adalah cara yang bersifat temporer yang digunakan untuk melaksanakan suatu aktivitas. Uslub sendiri mempunyai suatu kondisi yang didalamnya berlangsung penggunaan wasilah, sedangkan thariqah adalah cara yang bersifat tetap (fixed) untuk melaksanakan suatu aktivitas. Thariqah bisa dijalankan dengan menggunakan wasilah dan uslub yang bisa berbeda-beda dan berubah-ubah. Praktisnya, manusia dalam kehidupan senantiasa menggunakan wasilah, uslub dan thariqah untuk mencapai target jangka pendek dan meraih tujuan jangka panjang.
Sementara itu munculnya qodlo‘ yang bisa menghalangi terwujudnya suatu tujuan, termasuk ke dalam perkara yang terjadi secara kebetulan serta termasuk ke dalam kondisi khusus, bukan kondisi umum dalam kehidupan manusia. Manusia yang selalu berusaha untuk mewujudkan tujuan-tujuannya tidak boleh memasukkkan kondisi khusus tersebut, sebelum atau pada saat melakukan aktivitas untuk mewujudkan tujuan. Kenyataannya As Sababiyah merupakan salah satu sunnatullah dalam rangka mewujudkan tujuan di tengah-tengah kehidupan dunia ini. Tanpa As Sababiyah , tujuan-tujuan tersebut tidak akan terwujud.
Keimanan terhadap qodlo’ akan berpengaruh positif terhadap aktivitas manusia dalam keadaaan apapun. Keyakinan tersebut akan mendorongnya untuk melakukan aktivitas, bukan malah menjadikannya sebagai fatalis. Karena selama sebab-sebab yang menghantarkan terhadap tujuan itu masih berada dalam lingkaran yang dikuasainya, dia masih bisa untuk mengupayakannya.
Mengenai mafhum tawakkal, seorang muslim wajib melakukannya karena perbuatan tersebut merupakan natijah keimanan, yakni keyakinan kalbu bahwa Allah-lah satu-satunya Al-Wakil (Zat yang Maha Kuasa untuk mewakili segala urusan).
“Apabila kamu ditolong oleh Allah, maka tidak akan ada yang sanggup mengalahkan kamu dan menghinakan kamu. Maka siapakah yang dapat menolong kamu setelah (pertolongan) Allah ? Dan kepada Allah-lah orang-orang beriman hendaknya bertawakkal” (QS. Ali-Imran:160).
Namun bukan berarti dengan bertawakkal kepada Allah berarti meninggalkan hukum sebab-akibat. Sebab mesti dibedakan antara aqidah dan hukum syara’. Tawakkal termasuk wilayah aqidah, sedangkan kewajiban mengusahakan As Sababiyah adalah masalah hukum syara’. Dengan mafhum tawakkal seperti ini maka pengemban dakwah akan memiliki semangat dan kekuatan luar biasa untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan besar, terutama mewujudkan tujuan untuk mengembalikan kehidupan Islam.