Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!

TELAAH KRITIS PARADIGMA MASYARAKAT MADANI PRESPEKTIF ISLAM

Pendahuluan

Gaung reformasi terhadap realitas kepolitikan ORBA telah menggiring pakar ilmu-ilmu sosial melakukan pengkajian paradigma masyarakat ideal dimasa yang akan datang yaitu masyarakat Madani. Gagasan masyarakat Madani tersebut dapat dikatakan sebagai reaksi bagi kecendrungan berbagai analisa terhadap politik di Indonesia, yakni pendekatan negara (state approach). Menurut Culla pendekatan ini cukup mendominasi berbagai diskursus politik yang ada sepanjang lebih dari tiga dekade terakhir. Dalam konteks ini, menurut pendekatan konsep negara tersebut, eksistensi negara digambarkan sebagai faktor determinan dan paling menentukan proses politik yang berjalan selama ORBA. Walaupun pada akhirnya kekuasaan ORBA yang terajut demikian kukuh melalui aliansi strategis antara birokrasi Golkar dan militer tersebut runtuh. Menurut Arifin "Pelajaran yang dapat dipetik dari gagalnya ORBA tersebut adalah bahwa kemutlakan (‘kemahakuasaan’) negara dan ketunakuasaan masyarakat hanya akan melahirkan berbagai praktek distortif yang dapat meruntuhkan berbagai tantangan yang ada." Oleh karena itu pembentukan masyarakat Madani dipandang sebagai suatu keniscayaan agar sejarah kelabu tersebut tidak terulang kembali. Selain Arifin banyak juga cendekiawan yang menggagas ide masyarakat Madani ini seperti Nurcholis Majid, Samsudin Haris dan Muhammad Hatta.

Seputar Istilah

Adapun terminologi masyarakat Madani pertama sekali dipopulerkan oleh Prof Dr.Naquib-Al-Attas, ‘Mujtama’ madani, yang secara etimologis mempunyai dua arti :

Pertama, "Masyarakat kota, karena Madani adalah derivat dari kata Bahasa Arab, Madinah yang berarti kota.Kedua, Msyarakat yang berperadaban, karena Madani adalah juga merupakan derivat dari kata Arab Tamaddun atau Madaniah yang berarti peradaban. Dalam Bahasa Inggris ini dikenal sebagai civility atau civilization.maka dari makna ini masyarakat Madani dapat berarti sama dengan civil society, yaitu masyarakat yang menjujung tingggi nilai-nilai peradaban.". Pendapat senada juga dikemukakan oleh Nurcholis Majid., bahwa istilah tersebut merujuk kepada masyarakat Islam yang pernah dibangun Nabi di negeri Madinah.

Dalam hal ini kita dapat melihat bahwa Nurcholis berusaha melakukan pendekatan antara konsep masyarakat Madani yang tadinya terlahir sebagai reaksi terhadap realitas kepolitikan ORBA dengan Islam, yaitu dengan mengidentikan masyarakat Madani dengan masyarakat Rasulullah di Madinah. Hal ini mudah untuk dimengerti karena sebenarnya konsep masyarakat Madani yang ingin di wujudkan di negeri ini sebagai acuan masyarakat ideal yang tidak pernah terwujud sebelumnya di masa ORBA adalah sebuah konsep masyarakat yang menjadi prasyarat terciptanya alam demokrasi.

Akar Sejarah Paradigma Masyarakat Madani

Gagasan masyarakat Madani tersebut sebenarnya dilihat dari akar sejarah kemunculannya bukan merupakan wacana baru. "Gellner telah menelusuri akar gagasan ini ke masa lampau melalui sejarah peradaban barat (Eropa dan Amerika), dan antara lain yang menjadi perhatian adalah ketika konsep ini pertama kali di populerkan secara gamblang oleh pemikir terkenal Skotlandia, Adam Ferguson (1723-1816), dalam karya klasiknya An Essay on History of Civil Society (1767), hingga perkembangan konsep masyarakat Madani lebih lanjut oleh kalangan pemikir modern seperti Locke, Rousseau, Hegel, Marx dan Tocqueville, hingga upaya menghidupkan kembali di Eropa Timur dan Barat di zaman kontemporer."

John Locke seorang pemikir kapitalis mengembangkan istilah civil society menjadi civillian goverment dan ditulis dalam buku yang berjudul Civillian Government pada tahun 1690. Buku tersebut mempunyai misi menghidupkan peran masyarakat dalam menghadapi kekuasaan-kekuasaan mutlak para raja dan hak-hak istimewa para bangsawan. Demikian itu demi kepentingan kaum borjuis yang berkembang setelah itu. Sedangkan JJ Rousseau yang terkenal dengan bukunya The Social Contract (1762), berbicara tentang otoritas rakyat, dan perjanjian politik yang harus dilaksanakan antara manusia untuk ikut menentukan hari dan masa depannya, serta menghancurkan monooli yang dilakukan oleh kaum elite yang berkuasa demi kepentingan manusia.

Marx (dan pendahulunya Hegel) sebagai pencetus ide sosialisme, juga mempunyai konsep pemberdayaan rakyat ini. Marx dan Hegel berpendapat bahwa negara adalah bagian dari suprastruktur, mencerminkan pembagian masyarakat ke dalam kelas-kelas dan dominasi struktur politik oleh kelas dominan. Negara tidak mewujudkan kehendak universal tapi kepentingan kelas borjuis. Secara lebih lengkap Marx telah memberikan teori tradisional tentang dua kelompok masyarakat di dalam negara, yang dikenal dengan bae-superstructure. Teori kelas sebagai salah satu pendekatan dalam Marxisme tradisional menempatkan perjuangan kelas sebagai hal sentral, faktor esensial dan menentukan dalam perubahan sosial. Pendekatan ini cenderung melihat masyarakat kapitalis dari perspektif ekonomi. Masyarakat kapitalis dibagi menjadi dua kelas utama, yaitu proletar dan borjuis. Dari perspektif ini, masyarakat terdiri dari dua unsur esensial yaitu dasar (base) dan superstructur. Adanya dua kelas ini mau tidak mau akan membawa kepada konflik yang tidak dapat dihindarkan ketika keduanya berusaha mendominasi yang lainnya.

Selain Marx, Antonio Gramsci salah satu tokoh Neo-Marxisme telah mengembangkan teori ini menjadi lebih luas. Base-superstructure dalam teori Marx dikembangkan tidak hanya dalam bidang ekonomi. Tetapi bisa juga dalam bidang pendidikan, politik, dsb. Dalam bidang politik, negara menjadi superstructure yang sering memaksakan kehendak kepada rakyat (base). Adanya pembagian kelas ini, menurut Gramsci menuntut untuk terciptanya kemandirian masyarakat (civil society). Agar negara lebih terbatasi dalam melebarkan kekuasaannya.. Dari akar sejarah kemunculan konsep masyarakat Madani didalangi oleh sosialisme dan kapitalisme.

Paradigma Masyarakat Madani

Dalam pengertian luas, menurut Gellner, masyarakat Madani di samping merupakan sekelompok institusi/ lembaga dan asosiasi yang cukup kuat mencegah tirani politik baik oleh negara maupun komunal / komunitas, juga cirinya yang menonjol adalah adanya kebebasan individu di dalamnya, dimana sebagai sebuah asosiasi dan institusi, ia dapat dimasuki serta ditinggalkan oleh individu dengan bebas.

Lebih lanjut Gellner menyatakan bahwa masyarakat Madani tidak hanya menolak dominasi negara atas dirinya, tetapi juga karena sebagai institusi yang bersifat non-state, maka dalam penampilan kelembagaanya tidak mendominasi individu-individu dalam dirinya. Disinilah posisi individu sebagai aktor sosial yang bebas yang di istilahkan Gellner sebagai manusia moduler (tidak di pengaruhi kultur), yang menurutnya tidak merupakan prasyarat bagi perwujudan masyarakat Madani. Jadi masyarakat Madani tidak hanya menerapkan sifat otonominya terhadap negara, namun dalam konteks internalnya dari sejak hubungan antar anggotanya, ia juga merupakan institusi yang menghargai keniscayaan perlunya menghargai otonomi individual.

Sejalan dengan itu Culla mengutip pendapat Hikam, menyatakan bahwa variabel utama masyarakat madani adalah otonomi (kemandirian), publik & civic, sesuatu yang meniscayakan demokrasi bagi masyarakat seperti kebebasan dan keterbukaann untuk berserikat, berkumpul mengeluarkan pendapat serta kesempatan sama dalam mempertahankan kepentingan di depan umum.

Sementara Nurcholis dengan "pendekatannya" di atas menyatakan bahwa masyarakat madani yang di bangun oleh Rasul di Madinah dengan azas yang tertuang di dalam "Piagam Madinah", memiliki 6 ciri utama yaitu egalitarianisme, penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi (bukan kesukuan, keturunan, ras dan sebagainya), keterbukaan (partisipasi seluruh anggota masyarakat aktif), penegakan hukum dan keadilan, toleransi dan pluralisme serta musyawarah.

Telaah Kritis Paradigma Masyarakat Madani

Dengan mencermati isi dari piagam Madinah jelas bahwasanya piagam tersebut berisi rumusan yang jelas tentang hak-hak dan kewajiban orang Islam di antara mereka sendiri, serta hak-hak dan kewajiban diantara orang Islam dan Yahudi, dan orang yahudi menerima perjanjian itu dengan gembira apabila terjadi perselisihan di antara mereka maka semuanya dikembalikan kepada Allah dan Rasulnya sebagai mana termaktub di dalam piagam tersebut bahwa " Bila diantara orang-orang yang mengakui perjanjian ini terjadi perselisihan yang di khawatirkan akan menimbulkan kerusakan, maka tempat kembalinya kepada Allah dan kepada Rasulullah SAW dan bahwa Allah bersama orang-orang yang teguh setia memegang perjanjian ini." Selain itu juga tertulis " bahwa melindungi orang-orang Quraisy atau menolong mereka tidak dibenarkan.", " Bahwa diantara mereka harus saling membantu melawan orang yang mau menyerang Yastrib ini. Tetapi apabila telah di ajak berdamai maka sambutlah ajakan perdamaian itu, " Bahwa apabila mereka diajak berdamai, maka orang-orang yang beriman wajib menyambutnya, kecuali kepada orang yang memerangi agama, bagi setiap orang, dari pihaknya sendiri mempunyai bagiannya masing-masing.

Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa posisi piagam Madinah adalah sebagai kontrak sosial antara Rasul dengan rakyat Madinah yang terdiri dari orang Quraisy, kaum Yastrib dan orang-orang yang mengakui dan berjuang bersama mereka. Posisi Rasul disini adalah sebagai pimpinan yang mereka akui bersama dan telah meletakkan Islam sebagai landasan bermasyarakat dan bernegara. Sehinga jika kita akan mencari nilai-nilai yang tercermin dalam masyarakat Madinah saat itu pastilah nilai-nilai tersebut adalah nilai-nilai yang Islami.

Kembali kepada pengggambaran nilai-nilai masyarakat Madani yang dinyatakan oleh Nurcholis di atas, kita dapat menelusuri secara detil apakah keenam nilai tersebut memang terpancar dari nilai-nilai Islam yang tertuang di dalam Piagam Madinah.

[Egaliter. Kata egaliter menurut Marbun, bermakna kesetaraan. Egalitarian adalah paham yang mempercayai bahwa semua orang sederajat, sementara egalitarianisme diartikan sebagai doktrin atau pandangan yang menyatakan bahwa manusia-manusia itu ditakdirkan sama, sederajat, tidak ada perbedaan kelas dan kelompok. . Jadi masyarakat egaliter atau mayarakat yang mengemban nilai egalitarianisme dapat digambarkan sebagai mayarakat yang mengakui adanya kesetaraan dalam posisi di mayarakat dari sisi hak dan kewajibannya tanpa memandang suku,keturunan,ras agama dan sebagainya. Dalam Piagam Madinah, memang terlihat betapa Islam memberikan jaminan kesamaan derajat warga negara ketika Islam secara adil mengatur pemenuhan hak-hak dan kewajiban warganya dan orang-orang yang terikat perjanjian dengan Rasulullah sebagai pimpinan saat itu. Hanya saja semua ini berlangsung dalam kerangka ketundukan terhadap syariat Islam. Artinya selama non muslim mematuhi aturan main yang diberikan Rasulullah maka posisi mereka tersebut tidak akan terdzolimi. Jadi dalam mayarakat Madinah tersebut sangatlah jelas posisi masing-masing apakah dia muslim, ahlul dzimmah atau orang-orang yang terikat perjanjian dan Islam telah mengatur mereka dengan aturan yang menjamin ketenangannya. Oleh karena itu masyarakat Madinah bukanlah masyarakat egaliter seperti yang dikatakan Nurcholis

[ Ciri masyarakat Madani yang kedua menurut Nurcholis adalah adanya penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi ( bukan kesukuan, keturunan, ras dan sebagainya). Nilai ini sama sekali tidak ada dalam Islam. Karena penghargaan yang setinggi-tingginya hanya diberikan kepada orang-orang yang teguh dalam kebenaran Islam. Artinya bila penghargaan kepada orang semata-mata berdasarkan prestasi bisa jadi ketika dalam masyarakat tersebut si yahudi ternyata lebih cakap dalam bidang pemerintahan akhirnya dibenarkan oleh tatanan yang ada untuk menerimanya sebagai pemimpin masyarakat. Padahal jelas Islam telah mensyariatkan bahwa salah satu syarat pemimpin (kalifah) adalah Muslim bukan yang lain.

[ Keterbukaan (partisipasi seluruh anggota masyarakat aktif) sebagai ciri masyarakat Madani yang ketiga adalah kerendahan hati untuk tidak merasa selalu benar, kemudian kesediaan untuk mendengar pendapat orang lain untuk diambil dan diikuti mana yang terbaik. Keterbukaan ini menurut Nurcholis akan memberi peluang pada adanya pengawasan sosial. Lebih lanjut Nurcholis mengatakan bahwa keterbukaan adalah konsekuensi dari prikemanusian, suatu pandangan yang melihat sesama manusia pada dasarnya adalah baik, sebelum terbukti sebaliknya. Oleh karenanya kita harus menerapkan prasangka baik (husnul-zhan), bukan prasangka buruk (su’uzhan) kecuali untuk keperluan kewaspadaan.

Islam sebagai ajaran yang sempurna telah mengajarkan kepada kita standar benar dan salah. Kebenaran itu tidak bersifat relatif, sehingga membuat seorang muslim menjadi ragu terhadap keyakinannya. Bagaimana mungkin Islam memerintahkan ummat-Nya untuk menegakkan kebenaran jika standar kebenaran itu tidak diajarkan kepada ummat-Nya. Secara jelas kita melihat dalam piagam Madinah dinyatakan bahwa jika terjadi perselisihan hendaklah dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya. Terjadinya perselisiahan diantara manusia menunjukkan adanya ketidakbenaran yang terjadi di tengah masyarakat. Sehingga harus dikembalikan kepada Allah dan Rasulnya sebagai sumber kebenaran itu. Jadi kalaupun di dalam masyarakat Islam ada nilai-nilai keterbukaan maka yang dimaksudkan adalah keterbukaan terhadap kebenaran yang datangnya dari Allah dan Rasulnya bukan yang lain. Sedangkan dalam kaitannya dengan pengawasan sosial, maka yang dimaksud adalah adanya amar ma’ruf dari masyarakat terhadap masyarakat dan negara.

[ Ciri masyarakat madani berikutnya adalah penegakan hukum dan keadilan. Hal ini cukup jelas dan tercantum dalam Piagam Madinah yang berbunyi "Bahwa orang-orang yang beriman dan bertaqwa harus melawan orang yang melakukan kejahatan diantara mereka sendiri, atau orang yang suka melakukan perbuatan aniaya, kejahatan, permusuhan atau berbuat kerusakan diantara orang-orang beriman sendiri dan mereka harus bersama-sama melawannya walaupun terhadap anak sendiri

[ Adapun ciri masyarakat madani berikutnya yang cukup menarik untuk dikaji adalah toleransi dan pluralisme serta musyawarah-demokrasi yang sebenarnya merupakan unsur asasi pembentuk masyarakat madani. Masyarakat Madani menuruit Nurcholis merupakan masyarakat demokratis yang terbangun dengan menegakkan musyawarah. Musyawarah pada hakikatnya adalah interpretasi positif berbagai individu dalam masyarakat yang saling memberikan hak untuk menyatakan pendapat, dan mengakui adanya kewajiban mendengar pendapat itu. Dalam proses musyawarah itu muncul hubungan sosial yang luhur dilandasi toleransi dan pluralisme. Toleransi dan pluralisme ini tak lain adalah wujud civility yaitu sikap kejiwaan pribadi dan sosial yang bersedia melihat diri sendiri tidak selalu benar, Pluralisme dan toleransi ini merupaka wujud dari "ikatan keadaban" (bound of civility) , dalam arti masing-masing pribadi dan kelompok dalam lingkungan yang lebih luas, memandang yang lain dengan penghargaan, betapapun perbedaan ada tanpa saling memaksakan kehendak, pendapat atau pandangan sendiri.

Ide pluralisme adalah ide yang dibuat-buat, jauh dari realita dan ditujukan kepada kaum muslimin untuk menjauhkan ummat Islam dari ajaran Islam yang mulia. Pluralisme menjadikan seorang muslim tunduk kepada aturan buatan barat, menjauhkan diri dari aturan buatan Allah SWT. Masyarakat yang dibina oleh rasul memang terdiri tidak hanya dari kaum muslimin tapi juga kaum Yahudi yang disebutkan di dalam piagam Madinah yaitu Yahudi Banu ‘Aus, Banu Najjar, Banu Harits, Yahudi Sa’idah, Yahudi Jusman, Yahudi Banu Tsa’salab, Jafna, dan Banu Syutaibah. Dalam piagam itu disebutkan "Bahwa orang Yahudi tersebut satu ummat dengan orang-orang beriman ". Orang-orang Yahudi hendaknya berpegang pada agama mereka dan orang-orang Islampun hendaknya berpegang pada agama mereka pula, termasuk pengikut-pengikut mereka dan diri mereka sendiri, kecuali orang melakukan perbuatan aniaya dan durhaka. Orang semacam ini hanyalah akan menghancurkan dirinya dan keluarganya sendiri. Dan mereka atau pengikut-pengikut mereka mempunyai kewajiban seperti mereka yang sudah menyetujui naskah perjanjian ini dengan segala kewajiban sepenuhnya dari mereka yang meyetujui naskah perjanjian ini". Hal ini menunjukkan bahwa mereka semua harus tunduk kepada aturan dari Rasulullah SAW.

Sedangkan "pluralisme" dan "toleransi" yang dimaksud oleh Nurcholis dan dikuatkan juga oleh Alwi Shihab adalah bahwa setiap pemeluk agama dituntut bukan hanya mengakui keberadaan dan hak agama lain tetapai juga terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapai kerukunan dalam kebhinekaan

Ide pluralisme sebenarnya berasal dari suatu pemahaman mengenai masyarakat. Ide ini berasal dari ideologi kapitalisme yang memandang bahwa masyarakat itu tersusun atas individu-individu yang mempunyai berbagai aqidah (keyakinan, pandangan), kemaslahatan, keturunan dan kebutuhan yang berbeda-beda. Oleh karena itu mereka (penganut kapitalisme) menganggap telah menjadi keharusan bahwa masyarakat itu majemuk (berbeda-beda), masing-masing kelompok memiliki tujuan khusus. Perbedaan-Perbedaan yang dimiliki suatu masyarakat tersebut harus dijaga karena tidak mungkin dapat disatukan, karena itu berkait dengan konsep kebebasan individual kapitalisme.

Pluralisme dalam ideologi kapitalisme membolehkan munculnya berbagai kelompok-kelompok yang berdasar pada sesuatu yang haram. Begitu pula halnya dalam masalah agama, pluralisme diekspresikan dalam bentuk dialog antar agama, toleransi secara luas antar umat beragama. Dalam bidang politikpun mencerminkan ide pluralisme ini, sebagaimana yang terlihat dalam konstelasi politik barat yang membolehkan partai-partai yang bersebrangan aqidah dan azasnya untuk berkoalisi dalam mencapai dominasi politik melawan partai penguasa. Semua itu boleh karena konsep pluralisme memang membolehkan hal itu. Jadi ide pluralisme sebenarnya adalah ide yang dibuat-buat karena kenyataannya di tengah-tengah masyarakat, adalah suatu sistem, dominannya satu pemikiran dan perasaan tertentu dalam masyarakat. Kecuali yang dimaksud pluralisme itu adalah kenyataan yang tidak dapat di sanggah bahwa manusia terdiri dari berbagai ras, suku, warna kulit,bangsa-bangsa bahkan berbagai agama. Meskipun demikian interaksi yang mengatur hubugan antar manusia yang bermacam-macam itu harus tunggal. Sebab tidak mungkin misalnya orang Nasrani melakukan interaksi dengan penganut agama lain sesuai dengan agamanya, begitu pula kaum muslimin dengan penganut agama lain. Jika demikian halnya maka masyarakat seperti itu tidak memiliki sistem-aturan yang baku, pemikiran dan perasaan yang sama. Bisa dibayangkan jika ada suatu negara yang sistem/aturannya bermacam-macam, tentu dalam kehidupan sosial, politik, budaya dan militernya akan berantakan.

Adapun musyawarah-demokrasi menurut Nurcholis ialah partisipasi umum (universal participation) seperti dalam masyarakat Madinah. Dari berbagai pernyataannya tentang demokrasi, Nurcholis termasuk kelompok orang yang meyakini 100 % kebenaran paham demokrasi. Bagi kelompok ini demokrasi bagaikan tiket gratis yang telah diciptakan "Tuhan" untuk membawa masyarakat menuju pada kehidupan yang lebih baik. Menurut mereka cukup banyak ajaran Islam yang sejalan dengan prinsip demokrasi. Bahkan Islam itu, ya demokrasi itu sendiri. Karenanya demokrasi mutlak harus diamalkan, dihayati, diperjuangkan, tak terkecuali oleh umat Islam. Padahal sesungguhnya dalam pandangan Islam sudah jelas bahwa demokrasi yang berasal dari barat yang kafir yang telah dijajakan kenegeri-negeri islam itu sebenarnya adalah sistem kufur. Tidak ada hubungannya dengan Islam sama sekali, baik langsung maupun tidak langsung. Demokrasi sangat bertentangan dengan hukum-hukum Islam dalam garis besar dan perinciannya, dalam sumber kemunculannya, aqidah yang melahirkannya atau asas yang mendasarinya, serta berbagai ide dan peraturan yang dibawahnya. Karena demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang dibuat manusia, dengan tujuan untuk membebaskan diri dari kedzaliman dan penindasan para penguasa terhadap manusia atas nama agama. Demokrasi adalah sistem yang bersumber dari manusia. Tidak ada hubungannya dengan wahyu agama.

Dari uraian diatas sangat jelas terlihat bagaimana Nurcholis berusaha membangun persepsi yang sama antara masyarakat Madani suatu bentuk "Ijtihad kontemporer" sebagai alternatif konsep ideal masyarakat masa depan Indonesia dengan masyarakat Rasul di Madinah. Hanya saja ia telah melakukan suatu penganalogan yang sangat tidak adil dan tidak beralasan karena hanya melihat masyarakat madinah dari segi kemajemukan semata tanpa mengkaitkan dengan sistem khas yang telah mengatur tatanan masyarakat madinah tersebut sedemikian rupa. Jadi apakah masyrakat Madani dalam konsep Nurcholis tersebut lebih dekat kepada masyarakat Islam di Madinah atau jangan-jangan lebih mirip dengan masyarakat di Barat??

Dari uraian diatas jelaslah bahwasanya konsep masyarakat Madani tidak berasal dari Islam tetapi muncul dari pandangan para pengemban mabda kapitalisme dan sosialisme.

Adapun Islam sendiri telah memiliki konsep yang jelas dan gamblang dalam azas dan perinciannya tentang masyarakat ideal yang wajib diwujudkan kaum muslimin. Masyarakat tersebut adalah masyarakat yang didalamnya merealisasikan nilai-nilai khas yang terpancar dari aqidah Islamiyah bukan egaliter, pluralisme, toleransi apalagi demokrasi.

Oleh karena itu pengusungan ide atau konsep masyarakat Madani ketengah-tengah umat adalah malapetaka bagi kaum muslimin, karena merupakan usaha yang dapat mengaburkan konsep masyarakat ideal didalam Islam dibawah naungan Daulah Khilafah Islamiyah.

Kembali ke Menu Utama