PERNIKAHAN
MULIA RASULULLAH SAW (Lanjutan…)
Kemudian
pada tahun pertama Hijriah, yakni setelah Nabi saw berhasil mempersaudarakan
orang-orang Ansor dengan kaum Muhajirin, beliau membangun tempat tinggal untuk
‘Aisyah r.a. disamping tempat tinggal Saudah yang terletak disisi mesjid.
Tempat itu, yakni rumah ‘Aisyah, sekaligus beliau jadikan sebagai tempat
singgahnya Abu Bakar sebagai sahabat sekaligus pembantu beliau dalam urusan
pemerintahan.
Pada
tahun kedua Hijriah, yakni seusai perang Badar dan sebelum perang Uhud,
Rasulullah saw. menikahi Hafshah binti ‘Umar ibn al- Khaththab. Sebelumnya,
Hafshah adalah istri Khunays salah seorang yang termasuk angkatan pertama yang
memeluk Islam. Khunays wafa tujuh bulan sebelum Rasulullah saw. menikahi
Hafshah. Dengan resminya Nabi saw menikahi Hafshah, beliau kemudian menjadikan
pembantu keduanya dalam urusan pemerintahan dan sekaligus sahabatnya, yaitu ‘Umar ibn al-khaththab, untuk menjumpainya
ditempat putrinya itu.
Pernikahan
Nabi dengan ‘Aisyah dan Hafshah berarti merupakan pernikahan beliau dengan
kedua putri pembantunya itu. Keduanya adalah putri kedua sahabat beliau yang
selalu menyertai beliau dalam urusan dakwah, pemerintahan, peperangan, dan
berbagai urusan lainnya. Dengan demikian, pernikahan beliau bukan pernikahan
biasa (yang diddasari oleh motif seksual semata, peny.) jika memang pernikahan
Nabi saw. dengan ‘Aisyah adalah karena kecantikannya, maka hal yang sama tidak
dijumpai dalam diri Hafshah. Kenyataan ini menunjukan bahwa pernikahan bahwa
pernikahan Nabi saw. dengan ‘Aisyah dan Hafshah bukan didasarkan pada tujuan
untuk memuaskan kebutuhan biologisnya.
Pada
tahun kelima Hijriah, yakni dalam peperangan Bani Mushthaliq, Nabi saw menikahi
Juwayriah binti al-Harits ibn Abi Dharar. Pernikahannya dengan Juwayriah adalah
dalam rangka mempererat hubungannya dengan ayahnya dan demi mengangkat
kedudukan Juwayriyah sendiri, disamping ia sebagai rampasan perang (sabaya)
dari Bani Mashthaliq yang telah diberikan dan dimiliki oleh salah seorang
Anshar. Juwayriyah adalah putri pemimpin Bani Mushthaliq, yang bersedia
membayar tebusan dengan dirinya dan tuannya, sehingga menjadikan dirinya hamba
sahaya. Pembayaran tebusan itu dipermudah setelah diketahui bahwa Juwayriyah
adalah putripimpinan Bani Mushthaliq. Ayahnya kemudian datang menjumpai Nabi
saw. untuk membayar tebusan putrinya. Lalu, dibayarlah tebusan itu. Segera
setelah itu, ia memeluk Islam dan beriman kepada risalah Nabi saw. Ia lantas
membawa putrinya, Juwayriyah, ke hadapan Nabi saw. yang seger memeluk Islam
seperti ayahnya. Nabi saw. kemudian melamarnya dan menikahinya. Beliau telah
menikahi putri pemimpin suatu kabilah yang telah ditundukannya. Dengan itu,
ingin mendapatkan sekaligus menarik rasa cinta pemimpin kabilah itu.
Selanjutnya,
pada tahun ketujuh hijriah, yakni setelah kaum Muslimin mendapatkan kemenangan
dalam perang Khaibar, Nabi saw menikahi Shafiyah binti Huyay ibn Akhthab, salah
seorang tokoh Yahudi. Dalam peristiwa pernikahan ini, Shafiyah awalnya termasuk
salah seorang dari bagian rampasan perang yang terdiri dari kaum wanita dan
menjadi bagian dari (milik) kaum Muslimin yang berhasil meneklukan
benteng-benteng Khaibar. Sebagian kaum Muslimin berkata kepada Nabi saw.
“Shafiyah adalah tokoh Bani Qurayzhah dan Bani Nadir. Ia tidak layak, kecuali
untuk Anda.”
Rasulullah
saw. kemudian memerdekakannya sekaligus menikahinya. Hal itu dilakukan dalam
rangka memelihara dan menjaga, membebaskannya dari perbudakan karena merupakan
tawanan perang, sekaligus mengangkat martabatnya. Ada riwayat bahwa Abu Ayyub
Khalid al-Anshari merasa khawatir
kalau-kalau rasa dendam muncul pada diri Shafiyah terhadap Nabi saw. yang telah
membunuh bapaknya, suaminya, dan kaumnya. Oleh karena itu Abu Ayyub
berjaga-jaga sambil menyandang pedabgnya di sekitar kemah Rasulullah saw. yang
sedang bermalam pertama dengan Shafiyah dalam perjalanan pulang menuju Khaibar.
Memasuki waktu subuh, Rasulullah saw. melihat ke arahnya dan bertanya,” Ada apa
denganmu?
Abu
Ayyub menjawab,”Aku mengkhawatirkan diri Anda dari wanita itu (maksudnya
Shafiyah, penerj.) sebab, Anda telah membunuh bapaknya, suaminya, dan kaumnya.
Padahal, banyak pengkhianatan terhadap perjkanian yeng dilakukan dengan
orang-orang kafir.”
Mwwwendengar
itu, Nabi saw. kemudian memenangkan Abu Ayyub. Sementara iti Shafiyah sendiri
tetap mendampingi Nabi saw. dengan tetap menunjukan kesetiaannya kepada beliau
hingga beliau wafat dipanggil oleh Allah Swt.
Pada
tahun kedelapan Hijriah, Nabi saw. menikahi Maymunah, saudara perempuan Ummu
Fadhl. Istri ‘Abbas ibn ‘Abd al-Muthalib. Beliau m,enikahinya diakhir
pelaksanan Umrah al –Qadha. Riwayat menyebutkan bahwa tatkala beliau
menikahinya, usia Maymunah sekitar 26 tahun. Saudaranyalah, yaitu Ummu Fadl,
yang menjadi wakil dalam pernikahannya. Ketika Maymunah melihat kaum Muslim
pada peristiwa Umrah al-Qadha, ia tergerak condong pada Islam. ‘Abbas kemudian
melamar keponakanya, Muhannad saw.dan menyampaikan keinginannya agar beliau mau
menikahi Maymunah r.a. Nabi saw. pun menerimanya. Hari ketiga yang telah
ditetapkan (manakala kaum Muslim boleh tinggal di Mekkah) dalam perjanjian
Hudaybiah telah berakhir. Akan tetapi Nabi saw. menginginkan agar pernikahanya
dengan Maymunah r.a. menjadi wasilah untuk meningkatkan saling pengertian
antara beliau dengan orang-orang Quraisy. Ketika itu, Suhayl ibn ‘Amr dan
Huwaythab ibn ‘Abdul ‘Uzza dari pihak Quraisy datang kepada Nabi sa. Meraka
berdua kemudian berkata kepada beliau, “waktumu telah habis. Oleh karena itu
pergilah kamu dari sisi kami.”