Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!

PERNIKAHAN MULIA RASULULLAH SAW  (Lanjutan…)

 

Kemudian pada tahun pertama Hijriah, yakni setelah Nabi saw berhasil mempersaudarakan orang-orang Ansor dengan kaum Muhajirin, beliau membangun tempat tinggal untuk ‘Aisyah r.a. disamping tempat tinggal Saudah yang terletak disisi mesjid. Tempat itu, yakni rumah ‘Aisyah, sekaligus beliau jadikan sebagai tempat singgahnya Abu Bakar sebagai sahabat sekaligus pembantu beliau dalam urusan pemerintahan.

Pada tahun kedua Hijriah, yakni seusai perang Badar dan sebelum perang Uhud, Rasulullah saw. menikahi Hafshah binti ‘Umar ibn al- Khaththab. Sebelumnya, Hafshah adalah istri Khunays salah seorang yang termasuk angkatan pertama yang memeluk Islam. Khunays wafa tujuh bulan sebelum Rasulullah saw. menikahi Hafshah. Dengan resminya Nabi saw menikahi Hafshah, beliau kemudian menjadikan pembantu keduanya dalam urusan pemerintahan dan sekaligus sahabatnya, yaitu  ‘Umar ibn al-khaththab, untuk menjumpainya ditempat putrinya itu.

 

Pernikahan Nabi dengan ‘Aisyah dan Hafshah berarti merupakan pernikahan beliau dengan kedua putri pembantunya itu. Keduanya adalah putri kedua sahabat beliau yang selalu menyertai beliau dalam urusan dakwah, pemerintahan, peperangan, dan berbagai urusan lainnya. Dengan demikian, pernikahan beliau bukan pernikahan biasa (yang diddasari oleh motif seksual semata, peny.) jika memang pernikahan Nabi saw. dengan ‘Aisyah adalah karena kecantikannya, maka hal yang sama tidak dijumpai dalam diri Hafshah. Kenyataan ini menunjukan bahwa pernikahan bahwa pernikahan Nabi saw. dengan ‘Aisyah dan Hafshah bukan didasarkan pada tujuan untuk memuaskan kebutuhan biologisnya.

 

Pada tahun kelima Hijriah, yakni dalam peperangan Bani Mushthaliq, Nabi saw menikahi Juwayriah binti al-Harits ibn Abi Dharar. Pernikahannya dengan Juwayriah adalah dalam rangka mempererat hubungannya dengan ayahnya dan demi mengangkat kedudukan Juwayriyah sendiri, disamping ia sebagai rampasan perang (sabaya) dari Bani Mashthaliq yang telah diberikan dan dimiliki oleh salah seorang Anshar. Juwayriyah adalah putri pemimpin Bani Mushthaliq, yang bersedia membayar tebusan dengan dirinya dan tuannya, sehingga menjadikan dirinya hamba sahaya. Pembayaran tebusan itu dipermudah setelah diketahui bahwa Juwayriyah adalah putripimpinan Bani Mushthaliq. Ayahnya kemudian datang menjumpai Nabi saw. untuk membayar tebusan putrinya. Lalu, dibayarlah tebusan itu. Segera setelah itu, ia memeluk Islam dan beriman kepada risalah Nabi saw. Ia lantas membawa putrinya, Juwayriyah, ke hadapan Nabi saw. yang seger memeluk Islam seperti ayahnya. Nabi saw. kemudian melamarnya dan menikahinya. Beliau telah menikahi putri pemimpin suatu kabilah yang telah ditundukannya. Dengan itu, ingin mendapatkan sekaligus menarik rasa cinta pemimpin kabilah itu.

 

Selanjutnya, pada tahun ketujuh hijriah, yakni setelah kaum Muslimin mendapatkan kemenangan dalam perang Khaibar, Nabi saw menikahi Shafiyah binti Huyay ibn Akhthab, salah seorang tokoh Yahudi. Dalam peristiwa pernikahan ini, Shafiyah awalnya termasuk salah seorang dari bagian rampasan perang yang terdiri dari kaum wanita dan menjadi bagian dari (milik) kaum Muslimin yang berhasil meneklukan benteng-benteng Khaibar. Sebagian kaum Muslimin berkata kepada Nabi saw. “Shafiyah adalah tokoh Bani Qurayzhah dan Bani Nadir. Ia tidak layak, kecuali untuk Anda.”

 

Rasulullah saw. kemudian memerdekakannya sekaligus menikahinya. Hal itu dilakukan dalam rangka memelihara dan menjaga, membebaskannya dari perbudakan karena merupakan tawanan perang, sekaligus mengangkat martabatnya. Ada riwayat bahwa Abu Ayyub Khalid al-Anshari  merasa khawatir kalau-kalau rasa dendam muncul pada diri Shafiyah terhadap Nabi saw. yang telah membunuh bapaknya, suaminya, dan kaumnya. Oleh karena itu Abu Ayyub berjaga-jaga sambil menyandang pedabgnya di sekitar kemah Rasulullah saw. yang sedang bermalam pertama dengan Shafiyah dalam perjalanan pulang menuju Khaibar. Memasuki waktu subuh, Rasulullah saw. melihat ke arahnya dan bertanya,” Ada apa denganmu?

Abu Ayyub menjawab,”Aku mengkhawatirkan diri Anda dari wanita itu (maksudnya Shafiyah, penerj.) sebab, Anda telah membunuh bapaknya, suaminya, dan kaumnya. Padahal, banyak pengkhianatan terhadap perjkanian yeng dilakukan dengan orang-orang kafir.”

Mwwwendengar itu, Nabi saw. kemudian memenangkan Abu Ayyub. Sementara iti Shafiyah sendiri tetap mendampingi Nabi saw. dengan tetap menunjukan kesetiaannya kepada beliau hingga beliau wafat dipanggil oleh Allah Swt.

 

Pada tahun kedelapan Hijriah, Nabi saw. menikahi Maymunah, saudara perempuan Ummu Fadhl. Istri ‘Abbas ibn ‘Abd al-Muthalib. Beliau m,enikahinya diakhir pelaksanan Umrah al –Qadha. Riwayat menyebutkan bahwa tatkala beliau menikahinya, usia Maymunah sekitar 26 tahun. Saudaranyalah, yaitu Ummu Fadl, yang menjadi wakil dalam pernikahannya. Ketika Maymunah melihat kaum Muslim pada peristiwa Umrah al-Qadha, ia tergerak condong pada Islam. ‘Abbas kemudian melamar keponakanya, Muhannad saw.dan menyampaikan keinginannya agar beliau mau menikahi Maymunah r.a. Nabi saw. pun menerimanya. Hari ketiga yang telah ditetapkan (manakala kaum Muslim boleh tinggal di Mekkah) dalam perjanjian Hudaybiah telah berakhir. Akan tetapi Nabi saw. menginginkan agar pernikahanya dengan Maymunah r.a. menjadi wasilah untuk meningkatkan saling pengertian antara beliau dengan orang-orang Quraisy. Ketika itu, Suhayl ibn ‘Amr dan Huwaythab ibn ‘Abdul ‘Uzza dari pihak Quraisy datang kepada Nabi sa. Meraka berdua kemudian berkata kepada beliau, “waktumu telah habis. Oleh karena itu pergilah kamu dari sisi kami.”

 

Bag. 1…

Kembali ke Menu Utama…