PERBINCANGAN TENTANG PEMBARUAN
(Dialog Imajiner Dengan Seorang Fulanah)
Oleh : Tim FORMASI
Banyak di antara para pembaru
yang memandang kehadiran sebagian umat Islam yang ingin kembali kepada rumusan
teks Al Qur’an dan Hadits, sebagai kalangan yang bersifat idealistik,
a-historis, reaksioner, anti intelektualisme dan tidak memiliki metodologi
pemikiran yang sistematis. Tampaknya
fenomena kelompok muslim dengan ‘Paradigma Islam Ideologis’ inilah yang
tertangkap oleh kacamata modernis.
Kelompok ini dikenal sebutan ‘fundamentalis’ atau ada yang menyebutnya
‘kaum revivalis’. Benarkah pada
faktanya demikian ?
Untuk meneliti kebenaran
asumsi para pembaru ini lebih lanjut, kami mencoba berdialog (kembali) dengan
seorang Fulanah. Ia tidak menyebut
dirinya revalis ataupun fundamentalis.
Namun ia hanyalah seorang muslimah yang meng’I’tiqodkan seluruh
keyakinannya di atas aqidah Islam, dan berusaha membangun proses berfikir serta
kecenderungannya di atas landasan aqidah tersebut. Kami pun ingin mengetahui dan memahami lebih jauh pandangan
Fulanah mengenai para pembaru.
Pandangan Fulanah memang
bersifat subyektif. Menurutnya, semata
mata itulah konsekuensinya sebagai seorang muslimah.
Pembaca, kami hadirkan hasil dialog ini ke hadapan anda.
(Tentang idealistik, Fulanah berpendapat)
Bila yang dimaksud adalah idealis, bisa jadi dalam benak
para pembaru dianggap sebagai sebuah konsep Islam yang terlalu mengawang-awang
(terlalu tinggi). Konsep ini dipandang
melangit, sementara umat seluruhnya masih berpijak di bumi.
Menanggapi pendapat ini, saya tidak menolak bahwa Islam
adalah sebuah konsep yang ideal.
Konsepsi Islam bersandar pada wahyu Allah swt. Sebuah aturan yang paripurna untuk mewujudkan sosiokultural
sempurna bagi masyarakat manusia.
Logika manusia manapun pasti menerima bahwa selayaknya aturan ideallah
yang diterapkan. Namun bila kita
bercermin untuk memandang wajah kaum muslimin saat ini, betapa jauh penerapan
konsep tersebut dengan realita kehidupan.
Di sinilah sebenarnya umat Islam belum menyadari sepenuhnya bahwa mereka
memiliki sebuah kekayaan berpikir yang mampu mengubah hidupnya, yaitu gambaran utuh
tentang idealisme Islam, yang justru akan memotivasi dan memberi arah dalam
setiap langkah. Sehingga setiap manusia
dapat berproses memperbaiki dirinya, setahap demi setahap untuk mencapai
ketinggian Islam tersebut. Dalam skala
masyarakat, akan terwujud apa yang telah disebutkan dalam firman Allah swt :
“ Kalian adalah umat terbaik
yang telah dilahirkan untuk seluruh manusia, karena kalian menyuruh mengerjakan
kebaikan dan melarang mengerjakan kemungkaran, lagi pula kalian beriman kepada
Allah ….” (QS Ali Imron : 110)
Dalam skala pribadi, manusia
akan mampu beralih dari kondisi kepribadian yang rendah, ke tempat yang lebih
tinggi, selanjutnya dari sebuah ketinggian menuju yang lebih tinggi lagi.
Apakah kondisi ini mustahil dicapai ?
Tidak juga….., Islam
memiliki konsep (jalan) untuk meraih kondisi tersebut. Manusia pun dikaruniai potensi untuk bisa
menerapkannya. Allah swt tidak pernah
menzholimi dan membebankan sesuatu yang tidak mampu dipikul oleh hambaNya. Sebagaimana firmanNya :
“Allah tidak membebani
kewajiban kepada seseorang kecuali
sesuai dengan kesanggupannya.” (QS Al Baqarah : 286)
Untuk memahami apa makna idealis yang saya maksud, perlu
dihadirkan pembanding dari makna ini.
Dalam sebuah masyarakat, orang-orang idealis ini, memiliki keyakinan
akan kebenaran idenya. Mereka memiliki
kesadaran yang eksis. Pemaksaan fisik
tidak mempan. Yang jelas kalangan ini
tidak tergantung pada kondisi sosial yang ada.
Bila ideologi ini bersifat shahih dan kuat, kemudian mereka memiliki
kesadaran penuh untuk mewujudkannya, maka yang terjadi adalah perubahan
struktur sosial atas peran dan partisipasi kalangan idealis ini.
Kelompok lain, yang saya hadirkan sebagai pembanding adalah
mereka-mereka yang tidak memiliki kesadaran ideologis. Bagi kalangan ini, kesadaran mereka adalah
refleksi dari struktur sosialnya.
Artinya realitas apapun yang terjadi akan menundukkan perilaku
mereka. Bahkan sosio kultural yang
berlaku akan melebur karakter kepribadian mereka. Bolehlah, sekedar pembeda, kita sebut sebagai kalangan faktais
(waqi’iyyiin). Mereka ini selalu
mencoba menyesuaikan diri dengan realita, walaupun realita tersebut
bertentangan dengan keyakinannya. Fakta
menjadi acuan berfikir dan berperilaku.
Berbeda dengan kalangan ‘idealis’ yang memandang fakta hanya sekedar
obyek yang akan ditudukkan agar sesuai dengan idealismenya.
(Lantas, di mana seorang muslim menempati posisinya ? Fulanah tampak berpikir sejenak. Ia memang tidak bisa menjawab pertanyaan ini sesuai dengan seleranya. Subyektivitasnya harus selalu berlandaskan pada Islam)
bagi seorang muslim, keyakinannya memang harus berlandaskan
pada Islam. Cara pandang berikut
metodologi berpikirnya dan kecenderungan pemenuhan kebutuhannya harus dibangun
di ats asas Islam. Cacat pada keyakinan
(keimanan) bisa membawanya pada kesesatan.
Sedangkan bila ia tidak menjadikan Islam sebagai asas berpikir dan
kecenderungan perilakunya, bisa-bisa terjadi cacat pada kepribadiannya. Sehingga sekalipun ia mengaku sebagai seorang muslim, ia tidak dapat
dikatakan memiliki kepribadian Islam (Syakhsiyah Islamiyah). Dengan demikian seorang muslim memang harus
selalu memiliki aqidah Islamiyah (mengi’toqodkan keyakinan pada Islam). Selanjutnya, ia harus memiliki kepribadian
islam. Perilaku dalam seluruh aspek
kehidupannya menjadi bukti bahwa ia adalah muslim yang berkepribadian Islam.
Jadi…., bagaimana mungkin ia bisa hidup nyaman dalam sistem
dengan kondisi sosiokultural Kapitalis misalnya, atau Sosialis dan bahkan
Komunis. Untuk menjadi muslim sejati,
mau tidak mau ia harus memiliki idealisme islam, kalau ia tidak sudi lebur
dalam kesadaran hidup yang lain (selain Islam Maksudnya. Red)
(Jadi, dalam terminologis Fulanah, muslimah ataupun muslim harus bersifat idealis. Fulanah mengangguk pasti. Kami pun bertanya mengenai kondisi sebagian umat Islam sekarang, yang sekalipun muslim namun tidak menjadikan Islam sebagai asas berpikir dan kecenderungan pemenuhan kebutuhannya. Agak lama Fulanah terdiam. Kami merasa, sebenarnya ia tidak suka mengklain orang lain, yang notabene masih muslim. Dengan suara khasnya yang halus perlahan ia mengemukakan pendapatnya)
Sesuai kriteria tadi, maka ia katakan sebagai seorang muslim
yang berkepribadian non muslim. Bisa
jadi kepribadiannya Kapitalis, karena asas berpikir dan kecenderungannya
disandarkan pada ide-ide Kapitalis.
Atau kepribadian Sosialis, bila konsep-konsep Sosialis yang menjadi
landasannya.
(Konsekuensinya? Salah seorang dari kami mengejarnya dengan pertanyaan, agar ia berkomentar lebih jauh. Fulanah memandang kami, tampaknya ia mencoba berpikir jernih).
Dalam keadaan seperti ini,
bagaimana ia dapat melaksanakan perintah perintah Allah dan menjauhi
laranganNya? Bagaimana pula ia
dikatakan menyandarkan perilakunya terhadap hukum-hukum syara’ yang wajib
dipatuhinya? Dan bagaimana ia bisa
dikatakan taat, yaitu melakukan apapun yang diridloi Allah dan menjauhi apa
yang dimurkainya? Selanjutnya,
bagaimana ia bisa dikatakan sebagai seorang muslim yang berpegang kepada
agamanya (tamassaku bi diinihi)? Bagi
orang yang melakukannya karena ketidakmengertiannya, maka berarti ia menzholimi
diri sendiri. Allah SWT berfirman :
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zholim” (QS. Al Maaidah : 45)
“Dan hendaklah engkau mengadili perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu turuti hawa nafsu mereka. Dan waspadalah engkau terhadap mereka, supaya mereka tidak menyesatkanmu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka tidak mengindahkan keputusan yang telah diturunkan Allah kepadamu maka ketahuilah bahwa Allah bermaksud hendak menjatuhi hukuman di dunia ini juga terhadap sebagian dosa-dosa mereka sebelum di akhirat kelak. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasiq”
(QS Al Maaidah : 49)
Namun bila terjadi pada
orang-orang yang telah meyakini bahwa aturan selain Islam yang mampu memecahkan
persoalan manusia bahkan kalangan ini ragu terhadap Islam maka bagaimana ia dikatakan
masih memiliki keyakinan dan I’tiqod terhadap aqidah Islam? Atau dengan kata lain, masihkah ia memiliki
keyakinan terhadap Islam? Menyedihkan
sekali bila ia termasuk ke dalam kelompok yang disebutkan dalam firman Allah
SWT :
“Barangsiapa yang memutuskan perkara bukan menurut apa yang diturunkan
Allah, mereka itu adalah orang-orang kafir.” (QS Al Maaidah :44)
(Naudzubillahi min dzalika kami berlindung kepada Allah dari hal tersebut. Fulanah bertanya apakah ia masih bisa meneruskan pemaparannya? Tentu saja,….. kami semakin ingin mengetahui komentarnya tentang cap ‘reaksioner’, anti intelektual dan metodologi yang tidak sistematis)
Istilah seperti reaksioner dan semacamnya perlu kembali
dicermati. Juga istilah seperti yang
saudari-saudari kemukakan tadi, yakni penyebutan fundamentalisme atau
revivalisme. Fundamentalisme sering
mempunyai citra negatif, dekat dengan sifat reaksioner dan anti intelektual
atau yang lainnya. Istilah ini
sebenarnya berawal dari Amerika Serikat.
Peristiwa bunuh diri massal David Koresh dan pengikutnya, yang dikenal
sebagai kelompok fundamentalis Kristen “Davidian
Branch”, pada pertengahan April 1993, semakin memperkuat citra bahwa
fundamentalis adalah orang-orang yang sesat.
Fundamentalis di Amerika mengandung makna peyoratif seperti fanatik, anti intelektual, eksklusif yang sering
membentuk cult yang menyimpang dari praktek keagamaan mainstream.
Berdasarkan perkembangan historis dan fenomena fundamentalisme Kristen, sementara orang menolak penggunaan istilah ini untuk menyebut kalangan muslim yang kembali kepada dasar-dasar (fundamental) agama secara penuh. Namun inilah masalahnya. Pengamat Barat sering begitu mudahnya menganalogikan gejala ‘kembalinya’ muslim ke konsep mendasar Islam sebagai fundamentalisme. Pandangan yang naif dan sangat distorsif.
Akhirnya cap-cap yang menyertai fundamentalis Kristen pun
ditimpakan ke kaum muslimin. Sekalipun
penamaan ini didukung oleh merebaknya kerusuhan yang dianggap berlatar belakang
sentimen keagamaan, namun fakta tidak membuktikan bahwa kalangan fundamentalis
berada di belakang kasus-kasus ini.
(Jadi, benar bersifat reaksioner?)
Tergantung……, apakah yang dimaksud reaksioner ini seperti
yang dimaksud dan dikehendaki Amerika, ataukah hanya sekedar respon terhadap
segala sesuatu yang bertentangan dengan Islam.
Bila dikaitkan dengan makna peyoratif fundamentalis tadi, tampaknya
reaksioner memiliki konotasi negatif.
Semacam mudah tersulut sehingga menimbulkan kerusuhan, gampang konflik
dan sebagainya. Kalau hanya sekedar
respon saja untuk menanggapi dan mengantisipasi agar Islam tidak tercemari oleh
nilai-nilai di luar Islam, saya pikir itu sebuah kesadaran dan tanggung jawab.
(Bagaimana dengan anti intelektual?)
Terminologis ini pun perlu dipertanyakan. Biasanya intelektualitas yang dimaksud,
adalah kemampuan untuk selalu membahas persoalan dalam perbincangan
ilmiah. Dalam tataran ini perbincangan
harus netral. Aturan berbicara haruslah
hanya melukiskan kenyataan sebagaimana adanya, bukan menggiring orang ke kesimpulan
yang dikehendaki. Artinya perbincangan
tersebut jangan sampai terjebak pada sifat ideologis, yang sudah memiliki sikap
nilai benat atau salah, setuju atau tidak.
Bila demikian maka mutu teorinya akan menurun. Kualitas intelektualnya berkurang satu atau beberapa poin.
Kata-kata khurafat dan bid’ah pun dianggap menurunkan
kualitas intelektual. Ini sudah
kata-kata pasti yang membatasi ruang lingkup untuk tawar menawar dan
kompromi. Terlalu gampang mengklaim dan
memvonis orang, begitu istilah sederhananya.
Menurut para pembaru, intelektualitas berkembang bila ada
iklim keterbukaan dan toleransi dalam bidang pemikiran keagamaan di kalangan
umat Islam. Untuk itu paradigma
masing-masing harus pula bersifat terbuka
dan memungkinkan untuk berkembang.
Paradigma Islam ideologis sendiri tidak membuka peluang untuk terbuka
dan mengalami perubahan,….maka bagaimana mungkin bisa disebut netral dan
memenuhi persyaratan ilmiah? Inilah
argumentasi yang cukup sering dikemukakan.
Di sini kita terjebak dalam terminologis ilmiah yang dengan
sendirinya memiliki paradigma tertentu.
Istilah ekstrimnya teror terminologis.
Paradigma yang membatasi kita untuk tidak menerima kepastian dan mencegah
agama menjadi ideologi. Sebenarnya
sudah tidak ditemukan sifat netral di sini.
(Fulanah mencoba menjelaskan argumentasinya dengan sebuah contoh yang bisa kami mengerti, karena merupakan isu yang akhir-akhir ini marak diperbincangkan)
Contohnya ketika berkembang isu pembahasan dengan tema
: Apakah agama Islam sebagai pemersatu
atau pemicu konflik? Dalam tema ini
sebenarnya telah terkandung gagasan : (1) Konflik berkonotasi negatif, (2)
Pemersatu berkonotasi positif, (3) Pemersatu yang dimaksud adalah yang mampu
mempersatukan berbagai macam ide dan gagasan dengan sebuah konsep kesepakatan
atau kompromi berbagai ide atau gagasan tadi (pluralisme).
Berangkat dari persepsi ini, kita diminta untuk memulai
pembahasan. Untuk menghasilkan jawaban
positif, kesimpulan harus sampai pada ‘Islam berperan sebagai pemersatu pada
masyarakat dengan gagasan pluralistis’.
Maksudnya harus mampu mengakomodasi semua ide dan gagasan. Pembahasan selanjutnya akan mengarah pada :
Islam ideologi tidak mungkin mencapai target tersebut. Sehingga analisis yang akan muncul adalah
: Untuk menghindari konflik, maka
ekspresi keagamaan umat Islamlah yang harus direvisi. Kesimpulannya : agama
perlu dicegah agar tidak menjadi ideologi.
Padahal pembahasan dengan perspektif Islam, terlebih dulu
akan mempertanyakannya. Persatuan
seperti apa yang diinginkan Islam?
Apakah konflik dan benturan-benturan seluruhnya berkonotasi
negatif? Adakah yang positif? Bagaimana perspektif Al Qur’an dan Hadits
memandang benturan-benturan dakwah?
Bagaimana perspektif Islam memandang kompromi atau kesepakatan antara
nilai-nilai Islam dengan gagasan-gagasan lain?
Jawaban pertanyaan-pertanyaan ini akan membawa kita pada kesimpulan :
masih perlukah tema yang telah dibatasi dengan paradigma tertentu ini
diperbincangkan dan dibahas di kalangan umat Islam?
(Penjelasan Fulanah memang membentuk sebuah logika berpikir, namun kami
pun mampu menangkap kesimpulan yang tersirat bahwa tuduhan anti intelektual
yang maksudnya non ilmiah sebenarnya juga menimpa kalangan yang menganggap
dirinya netral dan ilmiah)
Mengenai a-historis, dalam hal ini Islam memang memandang
bahwa masyarakat terbentuk dengan sosio kultural yang ditegakkan melalui
perubahan ideologi umat secara mendasar.
Berbeda dengan penganut historis yang justru menyandarkan sosio kultural
masyarakat pada perkembangan historis.
Bisa dikatakan bahwa sejarah menurut
mereka akan sampai pada titik-titik tertentu secara pasti dan alami
tanpa manusia bisa mengubahnya. Peran
manusia hanyalah membuat garis sejarah sekedar berbelok-belok ataupun bergerak
zig-zag. Pada akhirnya toh akan sampai
ke titik tertentu juga. Manusia cukup
tunduk pada arah tersebut dan menyesuaikan kehidupannya dengan fase masa
hidupnya.
Berbeda dengan kaum muslimin yang harus selalu menyesuaikan
sosio kultur kehidupannya dengan nilai-nilai Islam. Prinsip untuk selalu menyeru dan menegakkan Islam ini telah
tertanam sebagai nilai yang harus dilakukan oleh setiap muslim. Bahkan sejak awal Islam diturunkan oleh
allah SWT melalui RasulNya di kota Mekah :
“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan dan berpalinglah dari
orang-orang yang kafir.” (QS Al
Hijr : 94)
(Demikian jawaban
Fulanah tentang sifat a-historis yang dimaksud. Kami mulai berpikir bahwa ketundukan pada historis sosiologis
akan membawa umat semakin jauh dari pemahaman sesungguhnya nash-nash Al Qur’an
dan hadits. Fulanah mengangguk setuju,
kemudian mengemukakan contoh pendapat seorang pembaru yang tampaknya memiliki
komitmen terhadap konsep historis sosiologis ini)
Seorang pembaru berpendapat : “Tidak disadari oleh banyak
orang bahwa pendapat-pendapat ulama itu adalah hasil dari pemikiran yang sesuai
dengan kondisi, zaman dan tempat mereka, yang bisa saja tidak sesuai lagi
dengan kondisi kita. Memang tidak
mungkin kita membuat rumusan-rumusan yang sama dengan mereka dan ytidak mesti
sama dengan mereka. Mereka punya akal
dan kita juga punya akal. Mereka bisa
baca Al Qur’an, kita juga bisa. Mereka
bisa baca Hadits, kita juga bisa. Apa
bedanya kita dengan mereka? Tidak ada
bedanya. Cuma bedanya kita hidup di abad
ke-20, mereka hidup di abad ke-4 atau ke-5.
Jadi ya kita sama dengan mereka, tidak ada bedanya…”
Selanjutnya pembaru ini berpendapat : “Tentang harus hafal
Al Qur’an, misalnya sekarang sudah ada komputer. Kita ambil saja itu komputer, tidak perlu lagi kita
menghafal. Dulu memang tidak ada
komputer, percetakan masih jarang.
Kalau waktu itu tidak hafal mesti kemana dicari. Sekarang tidak perlu. Kalau mau ayat begini, ambil saja
komputer. Saya mau ayat ini, langsung
saja ditunjukkan oleh komputer, sudah selesai.
Jadi kondisi kita berbeda dengan kondisi mereka. Kalau dulu mereka memang perlu menghafal,
kita sekarang tidak perlu menghafal.
Buang waktu saja kita menghafal sekarang ini.”
(Fulanah menggambarkan pendapat seorang pembaru tersebut, dan tampak raut wajahnya yang terheran-heran. Bisa jadi Fulanah tidak habis pikir, dengan pendapat yang nyleneh ini keintelektualan menurut mereka? Mungkin itu yang terlintas di benaknya)
Inilah
metodologi berpikir historis sosiologis.
Secara praktis akhirnya banyak perubahan tak terelakkan lagi. Seperti persoalan menurut aurat
misalnya. Pendapat orang Eropa tentang
aurat wanita mungkin paling ekstrim (paling sedikit yang ditutup dan paling
banyak yang dapat dilihat). Di Timur
Tengah, seluruh tubuh wanita itu aurat.
Mereka katakan itu budaya Arab secara sosiologis. Yang cocok untuk Indonesia belum tentu
sama. Sekarang ada yang mempertanyakan,
kalau seluruh tubuh ditutup, kecuali wajah dan telapak tangan, bagaimana orang
mau pergi ke sawah, bagaimana orang mau pergi berkebun?
Kesangsian ini
telah terbantahkan. Buktinya, sekarang
banyak rekan-rekan saya, mahasiswa-mahasiswa dan dosen-dosen yang pergi ke
sawah, untuk praktek lapang dan penelitian.
Juga rekan-rekan dokter hewan yang sering tugas lapang untuk memeriksa
hewan-hewan mulai dari yang kecil (marmut, kucing kecil, burung) sampai yang
besar (gajah). Ada pula rekan-rekan
dari peternakan yang sering keluar masuk kandang, untuk memeriksa sapi buntung
atau kuda-kuda yang sakit. Termasuk
juga para peneliti di laboratorium kimia, fisika, biologi dan komputasi. Menurut mereka tidak masalah…..
(Mendengar cerita Fulanah, kami saling berpandangan. Ada yang tersenyum. Bahkan tertawa, mengingat sapi-sapi dan kuda-kuda yang sering ditemuinya di kandang. Fulanah tetap tenang, cuma tersenyum memandangi polah orang-orang yang mewawancarainya. Ia melanjutkan)
Islam sering dituduh irrasional dengan metodologi yang tidak
sistematis. Aneh…., padahal islam
menyandarkan keyakinannya di atas akal, untuk memastikan adanya Allah SWT, Al
Qur’an sebagai kalam Allah dan bahwa Muhammad SAW yang membawanya pun telah
terbukti kebenarannya secara aqli.
Ketika meyakini bahwa teks-teks Al Qur'’n harus dipahami secara literal
sebagaimana adanya, ini pun sudah bersandar pada keyakinan secara aqli mengenai
mu'’izat yang terkandung dalam Al Qur'’n, baik secara lafaz, gaya sastra dan
kandungan isinya. Metodologi
penafsirannya, '‘ah seperti yang ada
di dalam Al Ihsas tentang Tinjauan Kritis terhadap Beberapa Metodologi Penafsiran.
Penolakan terhadap pluralisme dan relativisme, ini pun
karena konsekuensi dari metodologi Islam itu sendiri. Agar kehidupan tidak terlepas dari kendali wahyu Allah SWT.
Sebenarnya sistematikanya jelas dan komprehensif. Tidak ada pertentangan antara sebagian
cabang pemikiran dengan cabang yang lain.
Ini ‘kan karena metodenya jelas dan pasti, tidak bersifat relatif. Kalaupun ada pandangan yang cukup meremehkan
dari mereka yang tidak suka dengan sistematika Islam ideologis, itu lebih
tertuju pada tataran politis. Kalangan Islam Ideologis itu, menurut mereka
(para pembaru) ingin mewujudkan masyarakat ideal seperti pada zaman kaum
salaf. Untuk mengejawantahkan kitab
suci secara sempurna.
Pendapat yang tepat…., lebih tepat lagi bila mereka katakan
: Masyarakat ideal seperti pada zaman
Nabi dan Khulafa’urraasyidiin. Yaitu
tatanan masyarakat yang tegak di atas landasan Aqidah Islamiyah.
(Suasana forum hening, yang terdengar hanya suara Fulanah. Suaranya memang pelan, namun terdengar begitu jelas dalam ruangan yang sepi ini. Kami benar-benar ingin tahu bagaimana mewujudkan masyarakat ideal di zaman pasca modern seperti sekarang ini. Konon, menurut para pembaru diistilahkan sebagai utopis. Fulanah yang sepertinya cukup jeli membaca alur berpikir orang, melanjutkan pemaparannya sebelum kami bertanya lebih lanjut)
Istilah utopis, karena memang belum tampak realitanya. Seperti kesangsian sekelompok orang di masa
Rasul SAW, ketika Rasul mengkhabarkan pada saat penggalian parit untuk
persiapan perang Khandaq. Beliau SAW
bersabda :
“Allah Maha Besar! Aku telah dikaruniai kunci-kunci negeri
Romawi, dan tampak nyata olehku istana-istana merahnya, dan bahwa umatku akan
menguasainya.”
Selanjutnya terbukti bahwa
berita ini bukan utopis. Bagi
Rasulullah ditinjau secara syar’I ataupun aqli, semua ucapan, peringatan dan
apa yang beliau lakukan tidak lain bersumber dari wahyu. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :
“(Dan) tidaklah ia
mengucapkan sesuatu berasal dari hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain adalah
wahyu yang diwahyukan.” (QS An Najm :
3-4)
“Aku tidak mengikuti kecuali
apa yang diwahyukan kepadaku.” (QS Yunus : 15)
(Kami mengajukan pertanyaan bahwa mengenai sebagian orang mengatakan, itu kan dulu. Sekarang sudah tidak lagi. Kejayaan Islam telah tinggal kenangan. Fulanah memandang ke arah kami, dan berbicara dengan nada serius)
Memang penjelasan mengenai akan kembalinya kejayaan Islam,
bersifat shahih dan hasan, tak ada satu pun yang mutawatir. Sehingga kita tidak bisa beri’tiqod tentang
hal tersebut. Yang benar, kita harus
mengatakan, “Insya Allah, akan tegak kembali kejayaan Islam”, dan kita
membenarkan hal tersebut. Hadits-hadits
yang menunjukkan akan kembalinya masa kegemilangan tersebut antara lain :
Riwayat Imam Muslim, Ahmad,
Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Tsauban ra., yang berkata, bahwa Nabi
SAW telah bersabda :
“Sesungguhnya Allah telah
menampakkan (seluruh) bumi di hadapanku, sehingga aku (bisa) menyaksikan
bagian-bagian timur dan baratnya. Dan sesungguhnya kekuasaan umatku akan
menjangkau bagian-bagian bumi yang ditampakkan kepadaku”.
Kalimat bergaris miring (Fulanah menuliskan hadits tersebut di atas kertas), pada faktanya belum terwujud. Hadits ini memberi isyarat bahwa kelak akan ada kekuasaan Islam yang akan memimpin kaum muslimin untuk menaklukkan belahan bumi timur dan barat.
Kemudian riwayat Imam Ahmad
dari Abu Qubail bahwa dia berkata :”Kami pernah bersama Abdullah bin Amr bin Al
Ash, dan (saat itu) dia ditanya,
“Manakah diantara dua kota ini yang ditaklukkan lebih dahulu,
Konstantinopel atau Roma?” Lalu
Abdullah minta diambilkan sebuah kotak yang ada tonjolan bulatnya. Kemudian dia mengeluarkan sebuah surat dan
berkata : “Kami pernah duduk di sekeliling Rasulullah SAW dan menulis
(surat/catatan), ketika Rasulullah SAW ditanya, “manakah di antara dua kota ini
yang ditaklukkan lebih dahulu, Konstantinopel atau Roma?” Rasulullah SAW
menjawab :
“Kota Heraklius
(Konstantinopel) akan ditaklukkan lebih dahulu.”
Pada saat Rasulullah SAW ditanya mengenai penaklukan dua kota
tersebut, yakni Konstantinopel dan Roma (ibukota Italia), beliau tidak
menafikan penaklukan Roma. Namun beliau
bersabda bersabda bahwa kota Konstantinopel akan ditaklukkan lebih dulu. Ini menunjukkan bahwa kota Roma akan
ditaklukkan setelah penaklukkan Konstantinopel. Faktanya, kaum muslimin hingga hari ini belum menaklukkan
Roma. Maka hadits ini merupakan berita
gembira bagi kaum muslimin bahwa mereka akan menaklukkan ibukota Italia
ini. Tentu saja tidak bisa dibayangkan
kaum muslimin akan bisa menaklukkan Roma tanpa adanya kekuatan yang
mempersatukan mereka. Yang akan
menyerukan Jihad dan membebaskan negeri-negeri lain dari kekufuran dan
kerusakan sistemnya.
Pendapat yang irrasional?
Cermati dulu…., sebelum berkomentar.
Berita ini bersumber dari yang sifatnya naqli, namun sumber naqli itu
sendiri telah terbukti keotentikannya secara aqli. Inilah sistematika berpikir Islam. Tidak ada yang irrasional.
Berita yang tidak bisa tertangkap oleh panca indera manusia berasal dari
sumber yang sudah terbukti keabsahannya bahwa sumber tersebut berasal dari
Pencipta manusia secara aqli.
(Kami yang hadir cuma diam dan manggut-manggut. Pendapat Fulanah memerlukan perenungan akal dan hati yang jernih untuk sampai pada kesimpulan benar atau tidaknya pendapat tersebut. Pemaparannya pun membutuhkan kesadaran untuk terus mengkaji Islam secara tekun dan benar, tanpa terpengaruh oleh kepentingan pihak manapun)
Dalil lain mengenai akan datangnya masa kejayaan Islam,
adalah sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Al Bazzar dari Nu’man bin
Basyir, dari Hudzaifah ra. Dia berkata bahwa Nabi SAW telah bersabda :
“Kenabian akan terus berada
di tengah-tengah kalian selama Allah menghendakinya, lalu Allah mengangkatnya
(mengakhiri masa kenabian itu) jika Allah berkehendak mengakhirinya. Kemudian akan muncul Khilafah yang mengikuti
metode (minhaj) kenabian. Khilafah ini
akan tetap ada selama Allah menghendakinya.
Lalu Allah menghapuskannya jika Allah berkehendak menghapuskannya. Kemudian Khilafah itu akan berubah menjadi
suatu pemerintahan yang zhalim.
Pemerintahan itu akan terus berlanjut selama Allah menghendakinya. Lalu Allah menghapuskannya jika Allah
berkehendak menghapuskannya. Kemudian
akan muncul pemerintahan diktator dan dia akan tetap ada selama Allah menghendakinya. Lalu Allah melenyapkannya jika Allah
berkehendak melenyapkannya. Kemudian
akan muncul (kembali) Khilafah yang
mengikuti metode (minhaj) kenabian.
Lalu Rasulullah diam (tidak memberikan penjelasan lebih lanjut)”.
Hadits ini memberi penjelasan yang gamblang tentang akan
kembalinya masa kejayaan Islam. Nah,
tidakkah berita yang cukup otentik ini seharusnya menjadi berita gembira bagi
kaum muslimin?
Sekarang masalahnya adalah, maukah kaum muslimin memenuhi
seruan Allah untuk kembali menegakkan kalimatNya (li I’laail
kalimatillah)? Metodelogi mana yang
bisa merealisasikan seruan ini selain kembali kepada literal wahyu. Jalan apa yang bisa ditempuh selain membangun
kembali kesadaran dan keyakinan kaun muslimin terhadap aqidah Islam sebagai landasan
berpikir dan kecenderungan pemenuhan kebutuhan? Selanjutnya mereka akan mampu menyandarkan seluruh perilakunya
agar sesuai dengan perintah Allah dan menjauhi laranganNya. Kesadaran apa yang paling mengeksiskan
keislaman seorang muslim selain dari kesadaran ideologisnya? Maka pemaknaan kebahagiaan, ketenangan dan
kebahagiaan akan dibangun di atas landasan ideologis ini. Pemaknaan yang menurut sementara orang
berperspektif sosiologis bersifat semu dan palsu. Perlu diperhatikan bahwa pendapat ini hanya bersifat asumsi. Asumsi yang dibangun diatas peluang
relativis dan pluralis yang bila tertanam dalam benak seseorang akan
mempengaruhi penilaiannya terhadap segala sesuatu menjadi tanpa nilai. Metode bebas nilai yang tidak bisa digunakan
untuk mengukur standar nilai dan kebahagiaan dalam kehidupan umat manusia.
(Kalimat Fulanah yang panjang, namun diucapkan dengan gayanya yang tenang. Senja mulai turun, rasanya kamu telah menyita banyak waktu Fulanah. Beberapa menit lagi adzan Magrib tiba. Namun salah seorang diantara kami masih menanyakan suatu hal kepada Fulanah, bagaimana komentarnya mengenai para pembaru. Kali ini ia hanya mengerutkan keningnya dan bertanya)
Apa lagi yang perlu
dikomentari?
(Benar juga, memang tidak ada lagi yang perlu dikomentari. Red)