Pergulatan
Pemikiran dan Perjuangan Politik (1)
Aktivitas politik terbagi menjadi
dua macam: (1) Pegulatan pemikiran (ash-shirâ‘ al-fikrî); (2) Perjuangan
politik (al-kifâh as-siyâsî). Lantas, apa yang dimaksud dengan
kedua istilah tersebut?
Pergulatan pemikiran dimaknai sebagai upaya melawan
berbagai akidah, sistem, dan pemikiran kufur; melawan berbagai akidah yang
destruktif, pemikiran yang keliru, dan pemahaman yang telah mengalami distorsi.
Caranya adalah dengan membongkar kepalsuan, kekelruan, dan kontradiksinya
dengan Islam. Semua ini ditujukan untuk membebaskan umat dari belenggu
sekaligus dampak buruk dari pemikiran-pemikiran tersebut.
Sementara itu, perjuangan politik
terkait dengan hal-hal berikut ini:
(1) Upaya melawan negara-negara kafir imperialis yang
memiliki dominasi dan pengaruh yang kuat terhadap negeri-negeri Islam. Hal ini
juga terkait dengan upaya menentang imperialisme dalam segala bentuknya—baik
imperialisme pemikiran, politik, ekonomi maupun militer; juga membongkar
strategi kaum imperialis dan persekongkolan mereka. Semua ini ditujukan untuk
membebaskan umat dari berbagai dominasi asing dan dampak buruk dari kekuasaan
mereka.
(2) Upaya melakukan konfrontasi dengan para penguasa di
negeri-negeri Islam dengan cara membongkar semua kekeliruan mereka; menasihati
mereka; mengubah perilaku mereka setiap kali mereka merampas hak-hak rakyat,
melalaikan tugas dan kewajiban mereka,
meremehkan pengurusan rakyat, atau melanggar hukum-hukum Islam.
(3) Mengadopsi kepentingan umat serta mengurus
urusan-urusan mereka sesuai dengan syariat Islam.
Al-Quran sesungguhnya telah datang
dengan garis-garis besar yang menjelaskan aktivitas di atas. Konsepsi pemikiran
telah menetapkan bahwa suatu masyarakat adalah sekelompok manusia yang diikat
oleh interaksi-interaksi yang terus-menerus dan muncul secara alami. Masyarakat
yang baik sangat bergantung pada baiknya interaksi-interaksi yang terjadi.
Sebaliknya, masyarakat yang rusak sangat ditentukan oleh rusaknya
interaksi-interaksi yang terjadi. Adanya interaksi di dalam suatu masyarakat
merupakan perkara yang niscaya. Interaksi itu mewujud secara alami di antara
mereka. Mereka berjalan secara pasti dengan interaksi-interaksi itu untuk
memenuhi segala kebutuhan mereka, merealisasikan apa yang mereka hajatkan, dan
meraih segala keinginan mereka. Faktor yang menentukan baik-buruknya
interaksi-interaksi ini terletak pada cara masyarakat memenuhi kebutuhan dan
mewujudkan segala keinginan tersebut. Interaksi-interaksi inilah yang menjadi
dasar bagi terbentuknya sebuah masyarakat.
Oleh karena itu, pergulatan
pemikiran harus dilakukan di seputar upaya memperbaiki berbagai interaksi yang
terjadi di tengah-tengah masyarakat ini dan menjelaskan berbagai kerusakannya.
Tujuannya adalah agar masyarakat mau berusaha untuk menjauhi
interaksi-interaksi tersebut, untuk kemudian mengubah gaya dan pola hidup
mereka. Semua itu dilakukan dengan cara-cara yang benar, agar tercipta pula
interaksi-interaksi yang benar, sebagai pengganti dari interaksi-interaksi yang
rusak.
Ayat-ayat yang menjelaskan hal di
atas banyak sekali. Ayat-ayat tersebut mengumumkan dengan gamblang tentang
konfrontasinya terhadap adat-adat yang tercela, kebiasaan-kebiasaan yang buruk,
serta interaksi-interaksi yang rusak yang mengatur kehidupan manusia; baik berkaitan
dengan masalah akidah, masalah sosial, ataupun masalah ekonomi. Ayat-ayat
tersebut tidak membiarkan satu aspek kehidupan manusia pun kecuali menjelaskan
berbagai kerusakannya serta menampakkan kelemahan-kelemahannya dengan cara-cara
yang masuk akal dan baik; dengan menggunakan kalimat-kalimat yang berpengaruh,
menarik, menyentuh perasaan, dan merangsang (menggerakan) panca indera.
Dalam kaitannya dengan akidah, Allah
Swt. antara lain berfirman:
Mereka (orang-orang musyrik) menjadikan jin itu sebagai sekutu bagi Allah,
padahal Allah Yang menciptakan jin-jin itu. Mereka berbohong—dengan mengatakan
bahwa Allah mempunyai anak laki-laki
dan perempuan—tanpa mendasarkannya pada ilmu pengetahuan. Mahasuci Allah dan
Mahatinggi dari sifat-sifat yang mereka nisbatkan. (QS al-An‘âm [6]: 100).
Katakanlah,
“Siapakah Tuhan langit dan bumi?”
Katakanlah,
“Allah.”
Katakanlah,
“Patutkah kalian menjadikan pelindung-pelindung kalian dari selain Allah,
padahal mereka tidak menguasai kemanfaatan dan tidak (pula) kemudaharatan bagi
diri mereka sendiri?”
Katakanlah, “Adakah
sama orang yang buta dan yang dapat melihat atau samakah antara keadaan
gelap-gulita dan terang-benderang? Apakah mereka menjadikan beberapa sekutu
bagi Allah yang dapat menciptakan sesuatu seperti ciptaannya sehingga kedua
ciptaan itu serupa menurut pandangan mereka?”
Katakanlah, “Allah
adalah Pencipta segala sesuatu. Dialah Allah, Zat Yang Maha Esa lagi
Mahaperkasa.” (QS
ar-Ra‘d [13]: 16).
Dalam bidang sosial, Allah
Swt. antara lain berfirman:
Apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak
perempuan, merah-padamlah mukanya dan dia sangat marah. Dia menyembunyikan diri
dari orang banyak karena buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia
akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburnya dalam
tanah. Ketahuilah, alangkah buruknya yang mereka tetapkan itu. (QS an-Nahl
[16]: 58-59).
Janganlah kalian memaksa budak-budak wanita kalian untuk melakukan
pelacuran—sedangkan mereka sendiri menginginkan kesucian—dengan tujuan untuk
meraih keuntungan duniawi. (QS
an-Nűr [24]:33).
Janganlah kalian membunuh anak-anak kalian hanya karena takut miskin.
Kami-lah Yang akan memberikan rezeki kepada kalian dan kepada mereka. Janganlah
kalian mendekati perbuatan yang keji, baik secara nyata maupun secara
sembunyi-sembunyi. Jangan pula kalian membunuh jiwa yang telah diharamkan oleh
Allah, melainkan karena suatu sebab yang dibenarkan. Yang demikian itu
diperintahkan oleh Tuhan kalian kepada kalian. (QS al-An‘âm [6]: 151).
Sementara itu, dalam kaitannya
dengan masalah ekonomi, Allah Swt. antara lain berfirman:
Apa yang kalian berikan berupa riba untuk tujuan menambah harta-kekayaan
manusia tidaklah menambah apa pun di sisi Allah. Sedangkan apa yang kalian
berikan berupa zakat yang kalian kehendaki semata-mata karena Allah, maka yang
seperti itulah yang dilipatgandakan (pahalanya). (QS ar-Rűm [30]: 39).
Celakalah orang-orang yang gemar mengurangi timbangan. Mereka itu, apabila
menerima takaran dari orang lain, ingin dilebihkan. Sebaliknya, apabila menakar
atau menimbang untuk orang lain, mereka menguranginya. Tidakkah mereka itu
yakin bahwa seseungguhnya mereka pasti akan dibangkitkan pada suatu hari yang
agung? (QS al-Muthafifîn [83]: 1-5).
Orang yang menimbun emas dan perak serta tidak menafkahkannya di jalan
Allah, beritahukanlah kepada mereka azab yang amat pedih. Pada hari itu, emas
dan perak dipanaskan di dalam neraka jahanam. Dengan itu, dahi, lambung, dan
punggung mereka dibakar, (kemudian dikatakan kepada mereka), “Inilah
harta-benda yang kalian simpan untuk diri kalian sendiri. Oleh karena itu,
rasakanlah sekarang akibat yang kalian simpan itu!” (QS at-Tawbah [9]:
34-35).
Al-Quran juga telah menyerang habis
adat-istiadat yang rusak. Dalam hal ini, Allah Swt. antara lain berfirman:
Mereka mengatakan, “Binatang dan tanaman yang terlarang ini tidak boleh
dimakan, kecuali bagi oang yang kami kehendaki—menurut anggapan mereka.”
Ada binatang ternak yang terlarang untuk ditunggangi dan binatang yang tidak
mereka sebut nama Allah sewaktu menyembelihnya, semata-mata untuk membuat
kedustaan. Kelak, Allah akan membalas mereka karena apa yang mereka dustakan
itu. Mereka juga mengatakan, “Apa yang ada dalam perut binatang ternak ini
adalah khusus untuk pria kami dan diharamkan atas wanita kami.”
Akan tetapi, jika yang ada di dalam perut itu dilahirkan dalam keadaan mati,
pria dan wanita itu sama-sama tidak memakannya. Kelak, Allah akan membalas
mereka. Sesungguhnya Allah Mahabijak dan Mahatahu. (QS al-An‘âm [6]:
138-139).
Allah Swt. juga berfirman:
Sepasang unta dan sepasang lembu, katakanlah, “Apakah dua yang jantan yang
diharamkan ataukah dua yang betina, ataukah yang ada dalam kandungan dua
betinanya? Apakah kalian menyaksikan tatkala Allah menetapkan perkara ini bagi
kalian?”
Lalu, siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang membuat dusta
terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa ilmu pengetahuan? Sesungguhnya
Allah tidak menunjuki kaum yang zalim. (QS al-An‘âm [6]: 144).
Ayat-ayat yang seperti di atas dan sejumlah
surah yang lainnya banyak melontarkan sorotan terhadap seluruh aspek kehidupan
masyarakat pada waktu itu serta menunjukkan berbagai kerusakan, menjelaskan
berbagai aibnya, dan menyingkap berbagai rahasianya.
Inilah juga yang harus dilakukan
oleh setiap jamaah dakwah atau partai politik. Artinya, harus ada upaya untuk selalu mencermati
berbagai kerusakan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat kita berikut
interaksi yang rusak, sistem yang buruk, dan—yang lebih buruk lagi—sistem yang
kufur yang diterapkan atas umat Islam. Sistem tersebut mencakup akidah
sekularisme, sistem demokrasi, sistem ekonomi kapitalis, dan sistem komunis.
Di samping itu, terdapat
interaksi-interaksi yang rusak dan adat-adat yang buruk yang justru diemban
oleh orang-orang yang asing di mata umat. Mereka inilah yang menanamkan semua
itu di tengah-tengah masyarakat kita. Oleh karena itu, harus ada upaya untuk
menyerang adat dan kebiasaan tersebut, membongkar sistemnya, dan menjelaskan rusaknya interaksi-interaksi
tersebut. Tujuannya agar gerakan-gerakan yang ada mudah mengubah apa yang ada
di dalam masyarakat setelah sebelumnya
mereka mampu mengubah apa yang ada dalam diri mereka sendiri.
Allah Swt. berfirman:
Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum mereka mengubah apa yang
ada dalam diri mereka. (QS
ar-Ra‘d [13]: 11).
Jamaah dakwah ataupun partai politik
harus pula memerangi semua akidah yang batil,
sistem yang busuk, dan pemahaman yang salah; di samping mesti
menghapuskan segala bentuk bid‘ah yang bertentangan dengan asas dan
kaidah-kaidah Islam, dari mana pun sumbernya.
Sebagaimana diketahui, berbagai adat
yang melembaga di tengah-tengah masyarakat
merupakan produk dari suatu ide yang diimani, yang kemudian terkristalisasi dan mendarah-daging. Ada kemungkinan
bahwa pemikiran pokok yang melahirkan adat itu telah terlupakan. Menghormati
tamu, misalnya, adalah adat yang terpuji di masyarakat. Adat ini tumbuh di
kalangan kaum Muslim dari pemikiran yang bersumber dari sabda Rasul, “Siapa
saja yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia memuliakan
tamunya.”
Apa yang didimani oleh kaum Muslim
ini kemudian menjadi pemahaman yang mengarahkan perilaku mereka dalam
menghadapi tamu-tamu mereka. Dengan berlalunya waktu, keyakinan itu menjadi
adat yang melembaga, sehingga setiap orang yang melakukannya dipuji dan orang
yang meninggalkannya dicela. Akan tetapi, semuanya hampir melupakan pemikiran
asasi yang melahirkan adat tersebut.
Oleh karena itu, kita harus
memperhatikan sumber adat tersebut dan mengetahui asal-usulnya. Apabila
sumbernya adalah salah satu dari nash-nash syariat, maka hendaklah kembali
berhukum pada nash, bukan pada adat. Sebaliknya, jika sumber adat itu bukan
merupakan nash syariat atau, dengan kata lain, bukan datang dari wahyu, maka
adat tersebut tidak boleh dipakai. Bahkan, adat tersebut wajib dihilangkan dan
dijauhkan dari masyarakat; bukan malah diambil dan dijadikan sebagai sumber
hukum dan kaidah ushul fikih yang menyatakan: Adat adalah hukum.
Kaidah tersebut
merupakan kaidah yang salah yang berlawanan dengan Islam sehingga harus dihapuskan dan dihilangkan dari benak
masyarakat.
Sementara itu, bid‘ah pemikiran yang
lain yang dipopulerkan oleh sebagian pemuka dan pemikir gerakan sekular
benar-benar telah meracuni pemikiran yang sahih dari akidah Islam dan pemikiran-pemikirannya yang mulia. Misalnya
pendapat mereka yang menyatakan:
Agama itu untuk Allah
sedangkan tanah air milik semua.
Pemahaman seperti itu sengaja
dipopulerkan untuk mengambil hati orang-orang kafir-imperialis agar mereka
tidak dituduh ‘sektarian’. Menurut mereka, tidaklah menjadi soal jika kaum
Muslim berada di bawah penguasa kafir selama orang-orang kafir itu senang.
Padahal, sikap demikian berarti menafikan firman Allah Swt. yang berbunyi:
Allah sama sekali tidak akan memberikan jalan bagi orang-orang kafir untuk
menguasai orang-orang Mukmin. (QS an-Nisâ’ [4]:
Dengan metode yang sama, dibuatlah
kaidah-kaidah umum untuk berijtihad atau hukum-hukum umum yang mencakup
hukum-hukum cabang seperti kaidah-kaidah berikut:
Adat adalah
hukum.
Perubahan hukum
tidak mungkin bisa dihindari karena adanya perubahan zaman.
Apa saja yang
tidak bertentangan dengan Islam adalah bagian dari Islam.
Di mana ada
kemaslahatan, di situ ada wajah Allah (baca: hukum).
Asal dari
akad-akad itu adalah maksud-maksud dan makna-makna, bukan lafal-lafal dan
simbol-simbolnya. (yang penting substansinya, penerj.)
Syariat sebelum
kita adalah juga syariat kita selama belum dinasakh.
Sebagaimana
mereka mempermainkan kaidah-kaidah ushul fikih dan hukum-hukum syariat, mereka
juga mempermainkan pemikiran-pemikiran dan pemahaman-pemahaman Islam. Mereka
merusak pemikiran umat yang bening dan bersih menjadi bercampur-aduk sehingga
tidak bisa lagi dibedakan mana yang Islam dan mana yang bukan. Bagaimana tidak,
Anda telah mendengar orang yang mempromosikan kepada umat Islam bahwa, Islam
adalah agama kebebasan dan keadilan sosial, atau sosialisme adalah asas Islam,
dan berbagai pemahaman rusak lainnya. Pemahaman yang salah ini merupakan
keonsekuensi dari lemahnya pemahaman kaum Muslim terhadap Islam yang mereka
anut, di samping akibat keterpengaruhan mereka oleh peradaban Barat yang telah
menyerang akal-akal mereka serta menghilangkan semangat untuk mendalami dan
memahami akidah Islam dan turunannya. Mereka pun lantas berbaik-baik dengan
Barat untuk mencapai keridhaan mereka, sementara pada waktu yang sama, mereka
berada dalam kemurkaan Allah Swt. serta
kemarahan kaum Muslim.
Oleh karena itu, tidaklah
mengherankan jika kita menemukan di dalam umat ini ada orang-orang seperti
Hasan Hanafi, Hasan at-Turabi, Rasyid al-Ghanusi, Fahmi Huwaydi, Muhammad
Imarah, dan lain sebagainya. Mereka adalah para cendekiawan yang suka
meremehkan dan mempermainkan ushuluddin dan hukum-hukum Islam yang sudah given atau dikenal luas sebagai bagian inheren
dalam agama (ma‘lűm min ad-dîn bi adh-dharűrah). Mereka, misalnya,
melontarkan gagasan untuk melakukan pembaharuan ushul fikih dan reevaluasi terhadap sejumlah hukum Islam,
terutama yang berkaitan dengan hudűd (tindakan kriminal) yang
telah diwajibkan oleh Allah untuk dijalankan seperti hukum bunuh bagi orang
yang murtad dan hukum potong tangan bagi pencuri. Menurut mereka, hal itu tidak
sesuai dengan peradaban modern dan kemajuan berpikir. Mereka juga melontarkan
gagasan di seputar bolehnya kepemimpinan wanita atas kaum Muslim, dengan kata
lain, perempuan—sebagaimana laki-laki—berhak untuk memangku jabatan
pemerintahan atas kaum Muslim. Lebih dari itu, mereka telah melakukan
pendustaan terhadap Islam dengan menyatakan bahwa Islam tidak menentukan bentuk
pemerintahan dan negara.
Demikianlah berbagai kedustaan yang
menyesatkan mereka lontarkan supaya mereka disebut sebagai orang-orang moderat,
dianggap modern, dinilai sebagai penyeru kebebasan dan persamaan, dipandang
sebagai tokoh-tokoh pembaharu pemikiran, dan dilihat sebagai orang-orang yang
berupaya membebaskan pemikiran dari belenggu pemahaman yang sempit terhadap
syariat.
Walhasil, semua yang mereka
lontarkan pada hakikatnya adalah pemikiran-pemikiran aneh yang selama ini disuarakan
juga oleh orang-orang kafir-imperialis. Kaum kafir-imperialis memang telah
mampu membidani kelahiran para propagandis—yang fasih menyuarakan ide-ide
Barat—dari dalam diri umat Islam sendiri. Padahal, para propagandis itu adalah
anak kandung umat Islam yang berbicara seperti kita dan malah membenarkan Hadis
Nabi saw.
Pemikiran-pemikiran mereka seperti
di atas, atau yang sejenisnya, tentu harus ditentang oleh para pengemban
dakwah. Pemikiran-pemikiran tersebut wajib diperangi dengan segala kekuatan
yang ada. Setiap jamaah dakwah atau partai politik Islam wajib untuk
mengembalikan Islam ke tengah-tengah kehidupan umat. Mereka, lebih dulu, harus
menjelaskan—kepada generasi muda umat ini, baru kemudian kepada
masyarakat—secara umum tentang berbagai kesalahan, kerusakan, kebatilan, dan
penyimpangan pemikiran-pemikiran tersebut dari hukum-hukum Islam. Sebab,
pemikiran-pemikiran seperti mereka itu bertentangan dengan firman Allah Swt.
yang menyatakan:
Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut wahyu yang
diturunkan oleh Allah. Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dan
berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari
sebagian wahyu yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling dari
hukum Allah, maka ketahuilah bahwa, sesungguhnya Allah menghendaki untuk
menimpakan musibah kepada mereka disebabkan karena dosa-dosa mereka.
Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang fasik. Apakah hukum jahiliah
yang mereka kehendaki? Lalu, hukum siapakah sebenarnya yang lebih baik daripada
hukum Allah bagi orang-orang-orang yang yakin? (QS al-Mâ’idah [5]: 49-50).
Paparan di atas berkaitan dengan
pergulatan pemikiran (ash-shirâ‘ al-fikrî).
Sementara itu, yang berkaitan dengan
perjuangan politik (al-kifâh as-siyâsî), sesungguhnya faktanya
berbeda dengan pergulatan pemikiran. Sebab, perjuangan politik lebih
berhubungan dengan upaya membongkar dan mengungkap strategi rahasia yang
dirancang oleh orang-orang kafir-imperialis yang ditujukan kepada umat Islam.
Sudah merupakan rahasia umum bahwa,
orang-orang awam akan selalu mengikuti para tokoh, pemuka, penguasa, atau
pemimpin mereka; baik secara taklid dengan
segala ketakziman, secara sukarela, ataupun secara terpaksa. Mereka tunduk
dan patuh karena para pemimpin itulah
yang mengatur segala kepentingan mereka; juga mengarahkan serta membimbing
pemikiran maupun perasaan mereka.
Demikianlah kita mendapati
masyarakat umum memiliki kecenderungan buta kepada para tokoh dan pemimpin
mereka. Kondisi mereka persis seperti yang diungkap oleh firman Allah yang
mencela keadaan orang-orang seperti mereka:
Mereka berkata, “Ya Tuhan kami,
sesungguhnya kami telah menaati para pemimpin dan pembesar kami, lalu mereka
menyesatkan kami dari jalan yang benar. Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada
mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar.” (QS al-Ahzâb [33]: 67-68).
Para penguasa umat saat ini
sekaligus merupakan pemerintah dan pemimpin mereka. Di tangan merekalah
kekuatan dan kekuasaan, meskipun sumber asli kekuasaan itu adalah rakyat itu
sendiri. Akan tetapi, ketundukan, ketaatan, dan kepercayaan rakyat kepada
penguasa mereka menjadi kompensasi bagi sebagian kekuasaan mereka (rakyat)
sehingga seluruh kekuasaan itu berada
di tangan penguasa. Dengan itu, penguasa dapat mengatur urusan rakyat,
mengurusi dan melindungi mereka, serta menjaga keamanan mereka. Inilah yang
sekarang disebut sebagai, “Teori Kontrak Sosial.” Dengan kata lain, ada semacam
kesepakatan dalam pengaturan kepentingan antara rakyat dengan penguasa.
Oleh karena itu, selama para
pemimpin dan pemuka umat itu memimpin ‘kafilah’ dan mengarahkannya untuk
berjalan di tengah padang sahara yang luas, ditingkahi oleh angin ribut, dan
berada dalam labirin kehidupan, maka berinteraksi dengan orang-orang seperti ini harus dilakukan dengan cara yang khas.
Caranya adalah dengan mengguncangkan kepercayaan umat terhadap mereka dan
menarik orang-orang awam dari bawah telapak kaki mereka lewat upaya menjauhkan
dukungan umat dan sumber kekuatan penguasa (umat).
Apabila para penguasa tersebut tetap
bersikeras di dalam kesombongan dan kesesatan, mereka harus diingatkan bahwa
Islam sesungguhnya telah memperingatkan bahwa, sebagai individu manusia
memiliki tanggung jawab masing-masing; setiap manusia terikat dengan syariat;
seseorang tidak akan menanggung dosa orang lain; dan tidak boleh seseorang
mengatakan, “Sesungguhnya kami menemukan bapak-bapak kami telah memeluk sesuatu
agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak mereka.”
Betapa bagusnya apa yang ditafsirkan
oleh Nabi saw. dalam menanggapi masalah ini dengan mengatakan sebagai berikut,
“Ketahuilah bahwa Islam itu berputar seperti roda. Oleh karena itu, berputarlah
kalian mengikuti perputaran itu. Ketahuilah bahwa Islam dan Al-Quran akan
berpisah. Oleh karena itu, jika kalian menemukan keadaan itu, hendaklah kalian
berpegang teguh pada Al-Quran. Ketahuilah bahwa kalian akan dipimpin oleh para
penguasa yang sesat dan menyesatkan. Apabila kalian mengikuti mereka, mereka
pasti akan menyesatkan kalian; apabila kalian menentang mereka, mereka akan
membunuh kalian.”
Para sahabat bertanya, “Lalu, apa
yang harus kami lakukan, ya Rasulullah?”
Beliau bersabda, “Seperti apa yang
dilakukan oleh para sahabat ‘Isâ. Mereka digantung di atas kayu dan digergaji.
Oleh karena itu, demi Tuhan yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, mati di
jalan Allah sungguh lebih baik daripada hidup dalam kemaksiatan. (HR Abu Nu‘aym
dalam Dalâ’il an-Nubuwwah).
Sikap inilah yang harus dimiliki
oleh seorang Muslim, bukan menjadi seorang pembebek yang berkata, “Jika orang
berbuat baik, aku akan berbuat baik. Jika mereka berlaku buruk, aku juga akan
ikut berbuat buruk.”
Oleh sebab itu, menentang para
pemuka, para pemimpin, serta para penguasa yang sesat dan menyesatkan yang
menguasai rakyat adalah perkara yang diwajibkan oleh Islam, sehingga orang yang
tidak melakukannya berdosa. Allah Swt. berfirman:
Janganlah kalian cenderung pada
orang-orang zalim yang menyebabkan kalian disentuh oleh api neraka dan
sekali-kali kalian tidak memiliki seorang penolong pun selain Allah, kemudian
kalian tidak akan diberi pertolongan. (QS Hűd [11]: 113).
Perangilah pra pemimpin orang-orang
kafir itu, karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang tidak dapat
dipegang janjinya, agar mereka berhenti. Mengapakah kalian tidak memerangi
orang-orang yang merusak sumpah (janji)-nya, padahal mereka telah keras
kemauannya untuk mengusir Rasul dan merekalah yang pertama kali mulai memerangi
kalian? Mengapakah kalian takut kepada mereka padahal Allahlah yang berhak
untuk ditakuti jika kalian memang benra-benar orang yang beriman. (QS at-Tawbah [9]: 12-13).
Allah Swt. juga berfirman tentang
orang-orang yang tidak mau berjuang menghadapi para penguasa yang rusak dan
pimpinan yang menyesatkan:
Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan
oleh malaikat dalam keadaan menganiyaya diri sendiri, kepada mereka malaikat
berkata, “Dalam keadaan bagaimana kalian ini?”
Mereka menjawab,
“Kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri Makkah.”
Para malaikat
berkata, “Bukankah bumi Allah itu luas sehingga kaalian dapat hijrah di bumi
itu?”
Orang-orang itu
tempatnuya di neraka jahanam. Jahanam itu adalah seburuk-buruknya tempat
kembali. (QS
an-Nisâ’ [4]: 97).
Salah satu hal yang menakjubkan di
dalam Alquran adalah ketika Al-Quran
menggambarkan pertengkaran di antara para penghuni neraka dalam
kaitannya dengan masalah kepemimpinan dan ketundukan kepada penguasa:
Alangkah hebatnya yang kalian lihat
ketika orang-orang zalim itu dihadapkan kepada Tuhan mereka. Sebagaian mereka
melontarkan ucapan kepada sebagian yang lain. Orang-orang yang dianggap lemah
berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri. “Kalau bukan karena kalian,
tentu kami menjadi orang-orang beriman.”
Orang-orang sombong
itu berkata, “Kamikah yang menghalangi dari petunjuk sesudah petunjuk itu
datang kepada kalian? Tidak, sebenarnya kalian sendirilah orang-orang yang
berdosa.”
(QS Saba’ [34]: 31-32).
Daftar Pustaka:
1. Manhaj Hizbut Tahrîr
fî at-Taghyîr.
2. Hafîzh Shâlih, Nahj al-Qur’ân al-Karîm fî
ad-Da‘wah.