Nikahilah oleh kalian
wanita-wanita (lain) yang kalian senangi dua, tiga atau empat. Akan tetapi, jika kalian khawatir tidak akan
dapat berlaku adil, maka nikahilah seorang saja atau kalian nikahi budak-budak
yang kalian miliki (QS An Nisaa:3)
Ayat ini turun pada akhir
tahun ke-8 Hijriyah, yakni setelah Rasulullah saw menggauli seluruh
istrinya. Pada saat turunnya ayat
tersebut, beliau telah menikahi lebih dari empat orang wanita. Akan tetapi, tidak seorang pun dari
istri-istrinya itu diceraikan oleh beliau, bahkan beliau tetap memperistri
mereka. Sebab, salah satu hal yang merupakan
kekhususan bagi beliau adalah memiliki istri lebih dari empat. Hal ini tidak berlaku bagi kaum muslimin
umumnya. Jelaslah bahwa, diantara
kekhususan Rasulullah saw adalah menikahi lebih dari empat wanita seraya tetap
hidup bersama mereka semua, meskipun telah diturunkan ayat yang membatasi
jumlah istri tidak boleh lebih dari empat.
Perbuatan Nabi saw yang dilakukannya tentunya tidak bertentangan dengan
perkataan Beliau yang diucapkannya.
Oleh karena itu, jika ditemukan adanya kontradiksi antara perkataan dan
perbuatan Rasulullah saw, berarti perbuatan itu adalah khusus diperuntukkan
bagi beliau, sedangkan perkataan beliau tetap berlaku umum bagi kaum
muslimin.
Allah SWT berfirman :
“Wahai Nabi, sesungguhnya
Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah kamu berikan
maskawinnya, hamba-hamba sahaya yang kamu miliki yang merupakan bagian dari apa
yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah kepadamu; anak-anak
perempuan dari saudara laki-laki bapakmu; anak-anak perempuan dari saudara
perempuan bapakmu; anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu; anak-anak
perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersamamu; dan
perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau
mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, dan tidak untuk orang-orang
mukmin. Sesungguhnya Kami telah
mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri mereka dan
hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu” (QS Al
Ahzab:50).
Dalam ayat ini ada
pernyataan, “khaalishatan laka min duunil mu’minin (sebagai pengkhususan
bagimu, dan tidak untuk orang-orang mukmin)”.
Kata khaalishah adalah mashdar
muakkad (kata yang menguatkan atau mempertegas) apa saja yang ada dalam kalimat
sebelumnya. Artinya, kalimat itu
berarti, “Kami (Allah) telah mengkhususkan bagimu penghalalan terhadap apa saja
yang telah Kami halalkan.” Dalilnya
adalah bahwa hal itu mencakup secara keseluruhan apa saja yang telah disebutkan
sebelumnya, yang khusus ditujukan kepada Rasulullah saw.
Penghalalannya disebutkan
setelah penghalalan empat orang wanita, yakni penghalalan mengawini mereka;
memiliki hamba sahaya secara langsung dari hasil rampasan perang (fa’I),
anak-anak perempuan dan kerabat dekat yang turut berhijrah bersama Nabi saw; dan wanita-wanita yang menyerahkan
dirinya kepada Beliau. Semua itu disebutkan
dengan disertai adanya penekanan (taukid).
Penekanan ini lebih dikuatkan lagi oleh kalimat berikutnya setelah
pengertiannya disebutkan secara sempurna, juga setelah kalimat, “min duunil
mu’minin (bukan untuk orang-orang mukmin), ‘ yakni firman Allah SWT yang
maknanya,”Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada
mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki.”Artinya,
“Semua ini adalah berbeda dengan apa yang telah Kami wajibkan kepada mereka
(kaum mukmin).” Oleh karena itu, Allah
SWT berfirman setelah itu yang maknanya demikian, “supaya tidak menjadi
kesempitan bagimu, “yakni agar tidak menjadi beban atas Nabi Muhammad saw.
Atas dasar ini, perkawinan
Nabi saw tidak dapat dijadikan contoh untuk dipraktekkan, dan tidak juga bisa
dijadikan objek pengkajian hukum Islam,
karena perkara tersebut khusus berlaku bagi Beliau saja. Apalagi, realitas menunjukkan bahwa, hal itu
terkait dengan perkawinan Nabi saw; bukan perkawinan seorang laki-laki biasa
yang melakukan perkawinan semata-mata dilatarbelakangi oleh dorongan biologis
dan pemenuhan hasrat seksual, dan semata-mata didasarkan pada aspek hubungan
seorang laki-laki dengan seorang perempuan.
Dengan merujuk kepada
kenyataan sejarah, kita akan menemukan bahwa, Nabi saw. mengawini Khadijah r.a.
pada saat beliau berusia 23 tahun. Khadiah r.a. wafat pada tahun kesebelas
pasca kenabian, atau dua tahun sebelum hijrah setelah pembatalan pemboikotan
(embargo) beberapah bulan sebelumny, atau sebelum Nabi saw. pergi ke Thaif,
yaitu tahun 620 M. pada saat Khadijah wafat, usia Nabi saw. sudah mencapai lima puluh tahun. Sejak menikah dengan
Khadijah r.a. beliau belum pernah memikirkan akan melakukan pernikahan lagi dan
memiliki lebih dari satu istri hingga wafatnya Khadijah r.a. padahal, saat itu
poligami sudah merupakan tradisi dikalangan masyarakat Arab. Beliau tetep hidup
bersama Khadijah r.a. selam tujuh belas tahun sebelum diangkat menjadi rasul
dengan penuh kebahagiaan dan sukacita. Beliau tetap tinggal bersamanya selam
sebelas tahun setelah pengangkatannya sebagai rasul, mengarungi kehidupan dakwah
dan kehidupan yang berhadapan dengan berbagai pemikiran kufur, tanpa pernah
berpikir akan menikah lagi.
Sebelum dan setelah
pernikahan dengan Khadijah, orang tidak pernah mengenal beliau sebagai lelaki
yang mudah tergoda oleh perempuan. Padahal,
saat itu para wanita Jahiliah biasa bersolek untuk menggoda para lelaki.
Oleh karena itu sangat aneh sekali kalau kita sampai menemukan bahwa, setelah
berusia 50 tahun, Nabi saw. berubah dengan tiba-tiba, yaitu dengan tidak merasa
cukup memiliki istri satu saja, melainkan menikah lagi dan terus menikah lagi
sampai memiliki sebelas orang istri. Dalam usia 55 tahun (dasawarsa keenam
dalam usianya) saja, beliau telah menikahi lebih dari 7 orang istri, dan pada
usia 57 tahun (menginjak usia 60 tahun) atau mengawali usia 70 tahun (dasawarsa
ketujuh dari usianya), beliau telah mengumpulkan 9 orang istri. Dalam usia
kesekian itu, apakah mungkin perkawinanya dengan banyak istri itu didorong oleh
keinginan beliau terhadap wanita dan didorong untuk memmenuhi naluri seksualnya
dengan menampakan kebutuhan biologisnya? Ataukah karena ada alasan lain berupa
fakta kehidupan yang herus beliau jalani yang mengharuskan beliau bertindak
demikian, yaitu kehidupan yang terikat dengan penyampaian risalah Islam kepada
seluruh manusia?
Untuk memahami hal itu,
kami akan memaparkan berbagai peristiawa pernikahan Nabi saw.
Pada tahun kesebelas pasca
kenabian atau pada tahun wafatnya Khadijah r.a. Rasulullah saw. berpikir untuk
menikah, sementara usia beliau waktu itu 50 tahun. Beliau kemudian meminang
‘Aisyah binti Abu Bakar, putri sahabatnya, Abu Bakar, salah seorang dari
kelompok orang yang pertama beriman kepada beliau dari kalangan pria. ‘Aisyah
r.a. yang saat itu masih kecil, yakni berusia enam tahun, kemudian beliau
dinikahi. Akan tetapi, beliau belum tinggal serumah dengan ‘Aisyah, kecuali
tiga tahun setelah itu, yaitu setelah beliau berhijrah dan usia ‘Aisyah r.a.
menginjak sembilan tahun. Akan tetepi, tidak lama setelah akad nikahnya dengan
‘Aisyah, beliau menikah lagi dengan Saudah binti Zum’ah, janda mendiang Sukran
ibn ‘Amr ibn ‘Abdi Syams, salah seorang
Muslimin yang ikut berhijrah ke Habsyah yang kemudian kembali ke Mekkah, lalu
wafat disana. Saudah bersama istrinya itu telah memeluk Islam. Ia kemudian
turut berhijrah bersama suaminya. Setelah suaminya wafat, ia dinikahi oleh
Rasulullah saw. pada diri Saudah tidak ditemukan garis-garis kecantikan,
kekayaan, ataupun kedudukan yang memungkinkan Rasulullah bisa memperoleh
kemewahan dunia dengan menikahinya. Artinya, jika Rasulullah saw. menikahi
Saudah setelah ditinggal wafat oleh suaminya, maka dapat dimengerti bahwa,
pernikahan beliau saat itu adalah dalam rangka mengangkat kedudukannya serta
meninggikan martabatnya menjadi Ummul Mukminin. Setalah Rasulullah saw hijrah,
beliau kemudian membangun tempat tinggal Saudah di sisi masjid. Ini merupakan
tempat pertama yang dibangun Rasulullah saw. untuk istri-istrinya.