Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!

PERNIKAHAN MULIA RASULULLAH SAW

 

Nikahilah oleh kalian wanita-wanita (lain) yang kalian senangi dua, tiga atau empat.  Akan tetapi, jika kalian khawatir tidak akan dapat berlaku adil, maka nikahilah seorang saja atau kalian nikahi budak-budak yang kalian miliki (QS An Nisaa:3)

 

Ayat ini turun pada akhir tahun ke-8 Hijriyah, yakni setelah Rasulullah saw menggauli seluruh istrinya.  Pada saat turunnya ayat tersebut, beliau telah menikahi lebih dari empat orang wanita.  Akan tetapi, tidak seorang pun dari istri-istrinya itu diceraikan oleh beliau, bahkan beliau tetap memperistri mereka.  Sebab, salah satu hal yang merupakan kekhususan bagi beliau adalah memiliki istri lebih dari empat.  Hal ini tidak berlaku bagi kaum muslimin umumnya.  Jelaslah bahwa, diantara kekhususan Rasulullah saw adalah menikahi lebih dari empat wanita seraya tetap hidup bersama mereka semua, meskipun telah diturunkan ayat yang membatasi jumlah istri tidak boleh lebih dari empat.  Perbuatan Nabi saw yang dilakukannya tentunya tidak bertentangan dengan perkataan Beliau yang diucapkannya.  Oleh karena itu, jika ditemukan adanya kontradiksi antara perkataan dan perbuatan Rasulullah saw, berarti perbuatan itu adalah khusus diperuntukkan bagi beliau, sedangkan perkataan beliau tetap berlaku umum bagi kaum muslimin. 

Allah SWT berfirman :

“Wahai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah kamu berikan maskawinnya, hamba-hamba sahaya yang kamu miliki yang merupakan bagian dari apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah kepadamu; anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu; anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu; anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu; anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersamamu; dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, dan tidak untuk orang-orang mukmin.  Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu” (QS Al Ahzab:50).

 

Dalam ayat ini ada pernyataan, “khaalishatan laka min duunil mu’minin (sebagai pengkhususan bagimu, dan tidak untuk orang-orang mukmin)”.  Kata  khaalishah adalah mashdar muakkad (kata yang menguatkan atau mempertegas) apa saja yang ada dalam kalimat sebelumnya.  Artinya, kalimat itu berarti, “Kami (Allah) telah mengkhususkan bagimu penghalalan terhadap apa saja yang telah Kami halalkan.”  Dalilnya adalah bahwa hal itu mencakup secara keseluruhan apa saja yang telah disebutkan sebelumnya, yang khusus ditujukan kepada Rasulullah saw.

 

Penghalalannya disebutkan setelah penghalalan empat orang wanita, yakni penghalalan mengawini mereka; memiliki hamba sahaya secara langsung dari hasil rampasan perang (fa’I), anak-anak perempuan dan kerabat dekat yang turut  berhijrah bersama Nabi saw; dan wanita-wanita yang menyerahkan dirinya kepada Beliau.   Semua itu disebutkan dengan disertai adanya penekanan (taukid).  Penekanan ini lebih dikuatkan lagi oleh kalimat berikutnya setelah pengertiannya disebutkan secara sempurna, juga setelah kalimat, “min duunil mu’minin (bukan untuk orang-orang mukmin), ‘ yakni firman Allah SWT yang maknanya,”Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki.”Artinya, “Semua ini adalah berbeda dengan apa yang telah Kami wajibkan kepada mereka (kaum mukmin).”  Oleh karena itu, Allah SWT berfirman setelah itu yang maknanya demikian, “supaya tidak menjadi kesempitan bagimu, “yakni agar tidak menjadi beban atas Nabi Muhammad saw.

Atas dasar ini, perkawinan Nabi saw tidak dapat dijadikan contoh untuk dipraktekkan, dan tidak juga bisa dijadikan objek pengkajian hukum  Islam, karena perkara tersebut khusus berlaku bagi Beliau saja.  Apalagi, realitas menunjukkan bahwa, hal itu terkait dengan perkawinan Nabi saw; bukan perkawinan seorang laki-laki biasa yang melakukan perkawinan semata-mata dilatarbelakangi oleh dorongan biologis dan pemenuhan hasrat seksual, dan semata-mata didasarkan pada aspek hubungan seorang laki-laki dengan seorang perempuan.

 

Dengan merujuk kepada kenyataan sejarah, kita akan menemukan bahwa, Nabi saw. mengawini Khadijah r.a. pada saat beliau berusia 23 tahun. Khadiah r.a. wafat pada tahun kesebelas pasca kenabian, atau dua tahun sebelum hijrah setelah pembatalan pemboikotan (embargo) beberapah bulan sebelumny, atau sebelum Nabi saw. pergi ke Thaif, yaitu tahun 620 M. pada saat Khadijah wafat, usia Nabi saw. sudah mencapai  lima puluh tahun. Sejak menikah dengan Khadijah r.a. beliau belum pernah memikirkan akan melakukan pernikahan lagi dan memiliki lebih dari satu istri hingga wafatnya Khadijah r.a. padahal, saat itu poligami sudah merupakan tradisi dikalangan masyarakat Arab. Beliau tetep hidup bersama Khadijah r.a. selam tujuh belas tahun sebelum diangkat menjadi rasul dengan penuh kebahagiaan dan sukacita. Beliau tetap tinggal bersamanya selam sebelas tahun setelah pengangkatannya sebagai rasul, mengarungi kehidupan dakwah dan kehidupan yang berhadapan dengan berbagai pemikiran kufur, tanpa pernah berpikir akan menikah lagi.

 

Sebelum dan setelah pernikahan dengan Khadijah, orang tidak pernah mengenal beliau sebagai lelaki yang mudah tergoda oleh perempuan. Padahal,  saat itu para wanita Jahiliah biasa bersolek untuk menggoda para lelaki. Oleh karena itu sangat aneh sekali kalau kita sampai menemukan bahwa, setelah berusia 50 tahun, Nabi saw. berubah dengan tiba-tiba, yaitu dengan tidak merasa cukup memiliki istri satu saja, melainkan menikah lagi dan terus menikah lagi sampai memiliki sebelas orang istri. Dalam usia 55 tahun (dasawarsa keenam dalam usianya) saja, beliau telah menikahi lebih dari 7 orang istri, dan pada usia 57 tahun (menginjak usia 60 tahun) atau mengawali usia 70 tahun (dasawarsa ketujuh dari usianya), beliau telah mengumpulkan 9 orang istri. Dalam usia kesekian itu, apakah mungkin perkawinanya dengan banyak istri itu didorong oleh keinginan beliau terhadap wanita dan didorong untuk memmenuhi naluri seksualnya dengan menampakan kebutuhan biologisnya? Ataukah karena ada alasan lain berupa fakta kehidupan yang herus beliau jalani yang mengharuskan beliau bertindak demikian, yaitu kehidupan yang terikat dengan penyampaian risalah Islam kepada seluruh manusia?

 

Untuk memahami hal itu, kami akan memaparkan berbagai peristiawa pernikahan Nabi saw.

Pada tahun kesebelas pasca kenabian atau pada tahun wafatnya Khadijah r.a. Rasulullah saw. berpikir untuk menikah, sementara usia beliau waktu itu 50 tahun. Beliau kemudian meminang ‘Aisyah binti Abu Bakar, putri sahabatnya, Abu Bakar, salah seorang dari kelompok orang yang pertama beriman kepada beliau dari kalangan pria. ‘Aisyah r.a. yang saat itu masih kecil, yakni berusia enam tahun, kemudian beliau dinikahi. Akan tetapi, beliau belum tinggal serumah dengan ‘Aisyah, kecuali tiga tahun setelah itu, yaitu setelah beliau berhijrah dan usia ‘Aisyah r.a. menginjak sembilan tahun. Akan tetepi, tidak lama setelah akad nikahnya dengan ‘Aisyah, beliau menikah lagi dengan Saudah binti Zum’ah, janda mendiang Sukran ibn ‘Amr  ibn ‘Abdi Syams, salah seorang Muslimin yang ikut berhijrah ke Habsyah yang kemudian kembali ke Mekkah, lalu wafat disana. Saudah bersama istrinya itu telah memeluk Islam. Ia kemudian turut berhijrah bersama suaminya. Setelah suaminya wafat, ia dinikahi oleh Rasulullah saw. pada diri Saudah tidak ditemukan garis-garis kecantikan, kekayaan, ataupun kedudukan yang memungkinkan Rasulullah bisa memperoleh kemewahan dunia dengan menikahinya. Artinya, jika Rasulullah saw. menikahi Saudah setelah ditinggal wafat oleh suaminya, maka dapat dimengerti bahwa, pernikahan beliau saat itu adalah dalam rangka mengangkat kedudukannya serta meninggikan martabatnya menjadi Ummul Mukminin. Setalah Rasulullah saw hijrah, beliau kemudian membangun tempat tinggal Saudah di sisi masjid. Ini merupakan tempat pertama yang dibangun Rasulullah saw. untuk istri-istrinya.