PERSPEKTIF DEMOKRASI
Demokrasi masih menjadi sebuah agenda penting pembicaraan di seluruh dunia. Manusia dari berbagai bangsa atau negara, dengan berbagai latar belakang agama, peradaban, dan sejarah, umumnya mengakui demokrasi sebagai sesuatu yang harus diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat. Demokrasi diagungkan banyak orang terutama dalam bidang politik (walaupun saat ini nilai demokrasi mulai dikembangkan di bidang-bidang lain, termasuk dalam masalah agama). Sistem politik yang tidak sesuai dengan demokrasi dianggap sistem politik yang kuno, tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan mustahil bisa membawa kemajuan di zaman ini. Demokrasi telah dianggap sebagi sebuah norma global dunia di era globalisasi ini, sampai-sampai Saiful Mujani1 (seorang peneliti pada Pusat Kajian Masyarakat Islam) mengatakan bahwa hampir tidak mungkin menolak demokrasi di zaman sekarang ini. Demokrasi sudah menjadi semangat dan anak zaman. Menolak demokrasi sama artinya dengan menolak zaman.
Perspektif Demokrasi Versus Perspektif Otoritarianisme2
Orang mungkin menggunakan kata yang sama : "demokrasi". Tapi agaknya orang memang tidak bisa memiliki pengertian yang satu tentang kata itu. Zaim Saidi mengatakan bahwa sampai pada arti demokrasi yang kurang lebih adalah kedaulatan ( di tangan) rakyat, semua orang sepakat. Sampai pada slogan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, tidak ada pihak yang tidak sepakat3. Cara pandang seseorang mengenai masyarakatlah yang membuatnya memiliki tafsiran tersendiri mengenai rakyat, yang selanjutnya berpengaruh terhadap tafsiran demokrasi. Masyarakat kapitalis menekankan pada arti bahwa rakyat terdiri atas pribadi-pribadi (individu-individu) merdeka. Dari individu yang merdeka itulah terbentuk rakyat yang merdeka. Jadi, kemerdekaan atau kebebasan manusia sebagai individulah yang paling ditekankan (penekanan utama) dalam kebijakan mengurus negara. Kemerdekaan atau kebebasan individu inilah yang menjadi inti dari demokrasi, yang dipraktekkan oleh masyarakat kapitalis. Demokrasi ini dikenal dengan nama demokrasi liberal.
Masyarakat sosialis-komunis mendefinisikan rakyat sebagai lapisan rakyat yang menurut mereka, adalah rakyat miskin dan tertindas di segala bidang kehidupan. Rakyat miskin (kaum proletar dan buruh) akan memimpin revolusi sosialis melalui wakil-wakil mereka dalam partai komunis. Kepentingan yang harus diperjuangkan bukanlah kemerdekaan pribadi. Bahkan, kemerdekaan pribadi menurut masyarakat sosialis-komunis harus ditiadakan karena satu-satunya kepentingan hanyalah kepentingan rakyat secara kolektif, yang dalam hal ini diwakili oleh partai komunis. Dengan demikian masyarakat sosialis-komunis, juga mengakui kedaulatan rakyat. Mereka pun menjunjung tinggi demokrasi, yang dikenal sebagai demokrasi komunis.
Masyarakat Barat (Amerika dan sekutu-sekutunya) menganggap dari merekalah dunia harus belajar tentang seluk-beluk demokrasi. Suatu hal hal yang wajar, karena ajaran demokrasi memang muncul pertama kali pada masyarakat Barat. Menurut Barat, yang bisa disebut demokrasi hanyalah demokrasi yang bercirikan kebebasan individu seperti yang mereka praktekkan. Di luar itu, kekuasaan yang cenderung mementingkan kepentingan masyarakat (secara komulatif) akan mereka beri cap otoritarianisme. Karenya mereka menganggap demokrasi komunis bersifat otoriter, demikian juga kepemimpinan tunggal yang diajarkan oleh Islam. Masyarakat Barat tidak hanya berhenti sampai pada memberi cap otoritarianisme, namun mereka memaksa semua bangsa untuk menganut demokrasi liberal, terlebih lagi setelah runtuhnya negara adidaya komunis Uni Soviet.
Akomodasi Nilai Demokrasi Liberal dengan Nilai Lokal
Walaupun Barat berusaha memaksakan warna demokrasi pada bangsa-bangsa lain, tampaknya demokrasi liberal tidak bisa diterima secara utuh oleh setiap bangsa. Seperti yang dikemukakan oleh Presiden RI, Soeharto; "Demokrasi bisa diperjuangkan tanpa perlu mengikuti bentuk yang diperagakan di Barat dan lebih mencerminkan nilai-nilai setempat. Yang terpenting adalah bahwa setiap anggota masyarakat berhak berpartisipasi dan memiliki keterlibatan bebas dalam proses pengambilan kebijakan yang menyangkut dirinya. Karena itu landasan umumnya tetap keharusan mempraktekkan pemilikan umum yang bebas dan adil untuk menyeleksi pemimpin-pemimpin politik ".4
Chan Heng Chee5, Direktur Institute of Southeast Asian Studies, mengemukakan hasil pengamatannya terhadap "demokrasi Asia". Yakni suatu bentuk demokrasi6 yang merupakan bentuk akomodasi demokrasi dengan nilai-nilai tradisional Asia. Ia mengatakan bahwa demokrasi khas Asia ini memiliki empat karakteristik yaitu : (1) adanya rasa komunitarian yang memberikan tekanan besar kepada kebaikan bersama, (2) adanya penerimaan yang luas dan penghargaan kepada otoritas dan hirarki, (3) adanya suatu partai dominan yang harus berkuasa selama dua atau tiga dekade lebih, (4) adanya birokrasi yang tersentralisasi dan negara yang kuat. Empat ciri yang dikemukakan ini semuanya berbeda dengan ciri demokrasi liberal. Warna komunitarian jelas berbeda dengan warna kebebasan individu. Karena hal itu pila masyarakat Asia tidak alergi terhadap adanya partai dominan dalam jangka waktu yang lama, birokrasi yang tersentralisasi dan negara yang kuat (dominan). Semua hal ini tidak dipandang membahayakan di Asia. Sementara pada masyarakat Barat, semua hal ini dipandang harus ditiadakan karena akan mengancam kepentingan individu. Masyarakat Barat memandang kepentingan masyarakat akan terwujud dengan terwujudnya kepentingan individu. Dengan demikian kepentingan individulah yang harus dijamin terealisasi.
Akomodasi juga terjadi antara nilai demokrasi barat dengan nilai-nilai yang dimiliki oleh kaum muslimin. Padahal sesungguhnya ajaran Islam bertolak belakang dengan ajaran demokrasi. Seperti yang dikemukakan oleh Sayyid Qutb :
"Setiap gagasan mengenai kedaulatan rakyat adalah pelanggaran terhadap kekuasaan Allah dan merupakan suatu bentuk tirani, karena menundukkan kehendak seorang individu kepada orang lain. Mengakui kekuasaaan Allah artinya melakukan penentangan secara menyeluruh terhadap kekuasaan manusia dalam seluruh pengertian (bentuk, sistem dan kondisi). Itu juga merupakan pembangkangan terhadap semua kondisi di bumi, dimana manusia berkuasa dimana sumber kekuasaan adalah manusia ".7
Tetapi kemudian karena adanya tekanan dari penjajah Barat dan terjadinya pendangkalan pemahaman Islam (menjadi hanya sekedar pesan-pesan moral kehidupan) maka timbullah pengakomodasian nilai-nilai demokrasi dengan nilai-nilai Islam. Sebagian kaum muslimin, terutama kaum muslimin yang merasa lelah berjuang melawan kedzoliman bangsa Barat yang menjajah mereka, justru mulai melihat bahwa demokrasi dapat dimanfaatkanuntuk memperjuangkan nasib mereka. Mereka mulai menutup mata terhadap perbedaan antara nilai demokrasi dengan nilai-nilai Islam. Mereka hanya mau melihat seolah-olah ada persamaan di antara keduanya. Akhirnya tak sedikit kaum muslimin yang menerima gagasan demokrasi, namun berbeda dari makna yang sesungguhnya terdapat pada lafazh tersebut. Mereka menganggap demokrasi sesuai dengan Islam karena demokrasi dibangun atas dasar syuro (musyawarah) seperti yang tercantum dalam Al Quran. Padahal asaas dan hakikat syuro dalam demokrasi tidaklag sama dengan yang dimaksud dalam Al Quran.
Masyarakat Indonesia yang mayoritasnya adalah kaum muslimin juga melakukan pengakomodasian yang serupa dengan yang dikemukakan di atas. Masyarakat Indonesia mengembangkan bentuk demokrasi yang berbeda dengan demokrasi liberal, juga berbeda dengan demokrasi komunis. Demokrasi di Indonesia dikatakan dibangun atas dasar Ktuhanan Yang Maha Esa dan asas kekeluargaan8. Dasar Ketuhanan berarti bahwa ajaran agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan motivator dan landasan etik, moral dan spiritual dalam kekuasaan. Kekeluargaan berarti yang harus dijadikan tujuan pengelolaan negara ialah kesejahteraan seluruh rakyat dan penyelesaian-penyelesaian permasalahan harus dilakukan dengan musyawarah penuh semangat kekeluargaan.
Demikian contoh-contoh akomodasi nilai-nilai demokrasi dengan nilai-nilai setempat. Dengan akomodasi ini akhirnya demokrasi yang pada awalnya sarat dengan nilai-nilai individualisme bisa diterima, bahkan dibutuhkan oleh seluruh masyarakat dunia secara global. Terlepas dari apakah mereka mengenal demokrasi secara detail (rinci) atau tidak, mereka semua sepakat bahwa demokrsi adalah jalan untuk mencapai keadilan , dan jalan untuk mewujudkan hak-hak manusia. Terlepas pula dari ad tidaknya bukti, mereka sepakat hak-hak manusia akan terjamin terwujud apabila setiap anggota masyarakat diberi kebebasan dalam berpartisipasi mengambil kebijakan yang menyangkut dirinya.
Perspektif DemokrasiSebagai alat Perjuangan Hak-hak Perempuan
Para "pejuang" pembela hak-hak perempuan berpendapat bahwa akar permasalahan-permasalahan perempuan adalah ketidakadilan jender, dan untuk menyelesaikan maalah ini perempuan perlu mendapat kebebasan untuk menentukan kebijakan yang berkaitan dengan perempuan. Perjuangan mereka ini sangat membutuhkan suasana demokratis masyarakat. Tanpa ada suasana demokratis, perjuangan mereka tidak akan berhasil. Karenanya para "pejuang" ini ikut dalam barisan pejuang demokrasi untuk menjadi motor penggerak proses demokratisasi di tengah-tengah masyarakat. Karena perspektif yang mereka lontarkan itu berwarna individualisme, maka demokrasi yang ikut mereka perjuangkan lebih cenderung kepada demokrasi liberal. Kalau demokrasi liberal mementingkan kebebasan individual, maka secara lebih khusus mereka memperjuangkan kebebasan individual perempuan dari "dominasi" laki-laki.
Di antara para "pejuang" itu terdapat muslimah. Dalam "perjuangan" membela hak-hak wanita mereka tidak cukup hanya engan menerima akomodasi nilai demokrasi dengan nilai-nilai Islam. Lebih lanjut mereka perlu melakukan pengakomodasian nilai syariat Islam mengenai perempuan dengan nilai kebebasan individual perempuan. Untuk itu mereka banyak mengangkat nash-nash Al Quran dan Hadits kemudian mengupayakan penafsiran ulang yang mendukung nilai kebebasan individual perempuan. Dengan akomodasi-akomodasi ini, mereka menjadi semakin jauh dari apa yang seharusnya mereka perjuangkan yaitu : terwujudnya masyarakat Islam yang secara pasti menjamin keadilan bagi semua manusia, baik laki-laki maupun perempuan9. Yang kurang disadari oleh para "pejuang" kebebasan perempuan ini adalah sekalipun akomodasi telah membuat demokrasi "tampak" sesuai dengan sebagian nilai-nilai Islam, namun tetap saja akomodasi tidak akan mampu mencabut demokrasi dari akarnya, yaitu pandangan hidup kapitalis-sekularis. Akomodasi sampai kapan pun tidak akan mampu melepaskan benag merah demokrasi dari konsep dasarnya, yaitu aturan kehidupan yang dibuat oleh manusia dan oleh kesepakatan manusia.
Di dalam Islam, aturan kehidupan hanya ditetapkan oleh Allah SWT, lewat syariat Islam yang diturunkan melalui Rasul-Nya, bukan oleh keinginan atau hawa nafsu manusia sendiri. Inilah yang harus diwaspadai oleh para muslimah, jangan sampai perjuangan yang mereka lakukan malah melepaskan muslimah dari ajaran Islam yang sesungguhnya.
CATATAN KAKI