TINJAUAN SYARIAH
Tentang
PRESIDEN WANITA
Kontroversi tentang boleh tidaknya seorang wanita menjadi presiden makin memuncak. Terutama setelah hasil perhitungan suara 7 Juni lalu menunjukkan PDI-P unggul telak dibanding 47 partai-partai peserta pemilu lainnya. Kendati belum selesai perhitungan suara, namun perolehan PDI-P ini telah memompa optimisme di kalangan pendukung fanatik Megawati untuk meraih kursi kepresidenan. Namun mungkinkah optimisme ini terwujud, sementara perolehan suara PDI-P maksimal 40% yang jelas tidak akan menjadi mayoritas tunggal. Belum lagi adanya sejumlah keberatan baik menyangkut kapabilitas Mega maupun halangan hukum Islam.
Ditengah munculnya polemik pro dan kontra di atas, nampaknya ada satu kekuatan lain yang akan semakin memperkuat posisi Mega untuk duduk di kursi kepresidenan yakni kekuatan yang datang dari kusri arus pejuang hak-hak asasi wanita (perspektif gender). Isu gender cenderung menyatakan bahwa penolakan terhadap kepresidenan wanita sebagai upaya untuk mendeskreditkan wanita, tanpa memperhatikan adanya peran agama. Bahkan halangan dari hukum Islam telah mremehkan perjuangan wanita.
Terlepas dari fenomena yang melatarbelakangi adanya pro dan kontra tentang kepemimpinan wanita, maka tulisan ini akan mencoba menyorot tentang kepemimpinan wanita dalam tinjauan syariáh.
Kepemimpinan Wanita Dalam Pandangan Islam (Sebuah Analisa Singkat dan Tinjauan Syara)
Pandangan yang menyatakan bahwa penolakan kepemimpinan wanita sebagai upaya mendeskreditkan (penyudutan) wanita telah berangkat dari perspektif gender. Yakni satu pandangan yang didasari oleh ide persamaan hak antara pria dan wanita dalam segala bidang termasuk politik terutama tentang kepresidenan wanita. Pandangan ini telah meniadakan peran agama (Islam) sebagai aturan dalam kehidupan termasuk dalam memandang persoalan. Dan pandangan ini lebih tepat disebut dengan pandangan sekuler (pandangan yang memisahkan antara agama dengan kehidupan). Sehingga wajar apabila keberadaan agama yang mengatur tentang kepemimpinan wanita dikatakan menyudutkan wanita. Namun bagaimanakah sikap kita sebagai seorang muslim memandang persoalan ini ? Kacamata apakah yang akan digunakan, sekulerkah atau Islamkah ?
Sebagai seorang muslim sudah selayaknya menjadikan Islam sebagai cara pandangnya dalam memandang, menghadapi dan menyelesaikan segala persoalan. Dimana cara pandang Islam mngharuskan untuk menjadikan dalil-dalil syara sebagai sandaran atau acuan dalam menyelesaikan persoalan termasuk persoalan kepemimpinan wanita. Pengkajian yang mendalam terhadap khasanah Islam, akan ditemukan bahwa para ulama mujtahid empat madzhab telah bersepakat bahwa mengangkat kepala negara seorang wanita adalah haram. Imam Al Qurthubi dalam tafsir Al Jamiliahkamil Qurán mengatakan :
"Khalifah (kepala negara) haruslah seorang lakilaki dan para fuqoha telah bersepakat bahwa wanita tidak boleh menjadi imam (kholifah/kepala negara)".
Secara rinci terdapat sejumlah argumen (dalil) sebagai haramnya wanita menjadi kepala negara (dalam tinjaun syariáh) :
"Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita"(Hadist Riwayat Bukhori).
Lafadz "wallau amrohum"dalam hadist ini berarti mengangkat seseorang sebagai waliyul amri (pemegang tampuk pemerintahan). Sekalipun teks hadist ini berupa khobar atau kalimat berita, namun mangandung celaan (dzam) atas suatu kaum atau masyarakat yang menyerahkan kekuasaan pemerintahannya kepada seorang wanita berupa ancaman tiadanya keberuntungan atas mereka. Celaan ini merupakan qorinah (indikasi) adanya tuntutan yang bersifat jazm (pasti). Dengan demikian mengangkat wanita sebagai presiden secara pasti hukumnya adalah haram. Memang ada sebagian kalangan yang meragukan keshohihan hadist ini dengan dalih adanya seorang perowi yakni Abu Bakrah sebagai orang yang tidak layak dipercaya dikarenakan telah memberikan kesaksian palsu dalam kasus perzinahan di masa Umar bin Khatab. Namun dari hasil pengkajian ahli hadist terhadap sosok Abu Bakrah bisa dilihat dalam kitab-kitab tentang perawi diantaranya Tahdibul kamal fi asmairrijal, Thobaqot ibnu Saad, Al Kamil fi Taikh Ibnu Atsir, menunjukkan bahwa Abu Bakrah adalah shahabat yang alim dan terpercaya. Oleh karena itu dari segi periwayatan tidak ada alasan sama sekali menolak keabsahan hadist tentang larangan mengangkat wanita sebagai kepala negara.
Disamping itu ada juga kalangan yang beranggapan bahwa jabatan presiden tidak sama dengan jabatan kepala negara dalam Islam. Apabila kita cermati pendapat ini sangatlah lemah. Sebab teks hadist diatas dengan sendirinya telah menjawab bahwa Buran, Putri Kisra yang diangkat sebagai ratu dalam sistem kekaisaran Parsi, yang ternyata sistem ini berbeda dengan sistem Islam. Sehingga kalaulah dalam kasus Buran, Rasulullah mengaharamkannya menjadi kepala pemerintahan, maka tidaklah beda dengan sistem presiden sekarang yang juga sama-sama bukan sistem Islam.
"Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil Amri diantara kamu"
Dalam ayat ini terdapat perintah untuk taat kepada pemimpin dengan menggunakan lafadz ulil amri. Berdasarkan kaidah bahasa Arab maka bisa dipahami bahwa perintah untuk taat kepada pemimpin yang dimaksud dalam ayat adalah pemimpin laki-laki. Sebab apabila pemimpin perempuan maka seharusnya menggunakan lafadz Uulatul amri.
Inilah tinjauan syara terhadap kepemimpinan wanita, yang secara tegas Islam mengharamkan wanita untuk menjadi waliyul amri (pemegang tampuk pmerintahan) baik ditingkat kepala negara maupun perangkat-perangkatnya.
Di samping tinjauan syara, tinjauan sejarahpun membuktikan bahwa baik di masa khulafaurrasyiddin, Bani Ummayah, Bani Abbasiyah atau pemerintahan sesudahnya tidak pernah sekalipun kholifah diangkat dari kalangan wanita. Memang di Mesir pernah berkuasa sorang ratu bernama Syajaratuddur dari Dinasti Mamalik yang tunduk pada khilafah Abasiyah yang waktu itu dijabat oleh Khalifah Al-Mustanshir Billah. Pada saat Malikus Shalih meninggal, kekuasaan diserahkan kepada Syajaratuddur. Mendengar pristiwa ini, khalifah segera mengirim surat untuk menanyakan apakah di Mesir tidak ada laki-laki sehingga kekuasaan diserahkan kepada wanita ? Kalau memang tidak ada, kholifah hendak mengirim laki-laki dari Baghdad untuk berkuasa di Mesir. Akhirnya Syajaratuddur mengundurkan diri dari kekuasaan Mesir setelah berkuasa selama tiga bulan. Kemudian digantikan oleh Emir Izzudin yang kemudian menikahinya. Jadi jelaslah tidak ada preferensi historis dalam Islam yang menyangkut peran wanita sebagai kepala negara.
Sikap Ummat Islam
Demikianlah hukum Islam mengenai larangan mengangkat seorang wanita sebagai kepala negara. Risalah ini semata-mata untuk menjelaskan kepada ummat Islam mengenai hukum Islam tentang larangan mengangkat seorang wanita sebagai kepala negara tanpa memandang siapa calonnya. Apakah Megawati ataukah wanita yang lain seperti Tuty Alawiyah, Aisyah Amini dan lain-lain. Sebab hukum ini berlaku bagi semua wanita. Baik dalam sistem pemerintahan Islam maupun sistem pemerintahan kufur.
Sebagai seorang muslim maka tiada pilihan lain bagi kita untuk bersama-sama menyerukan kebenaran di tengah kaum muslimin. Oleh karena itu melalui risalah ini diserukan kepada pimpinan partai Islam, atau berbasis ummat Islam, para ulama, para kiai atau ustadz dan seluruh kaum muslimin agar menolak pencalonan seorang wanita sebagai presiden. Harus dipahami bahwa seruan ini tidak didasari kebencian terhadap pribadi Megawati, tapi justru didorong oleh rasa kasih sayang terhadap Mbak mega sebagai seorang muslimah agar tidak terjerumus ke dalam dosa dan kesalahan hanya lantaran dorongan orang-orang di sekitarnya yang tidak tahu atau tidak mau tahu terhadap prinsip Islam.
Sudah selayaknya kita menyadari bahwa terlalu banyak kita melanggar aturan-aturan Allah dalam berbagai tatanan kehidupan lantaran tidak menerapkan syariát Islam. Tentunya kita tidak ingin menambah kemaksiyatan baru dengan mengangkat wanita sebagai presiden atau kepala negara.
"Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa padanya dan janganlah ekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam" (QS. Ali Imron : 102)
Wallahu alam bishowwab