Islamnya Umar Ibnu Khattab
Oleh:
Tasrief S. Aliah
Umar
gelisah tak bisa tidur malam itu. Ia kemudian keluar rumah. Purnama bersinar
terang menerangi jalan-jalan kota Mekah yang sepi. Sejenak, Umar melihat
seorang berjalan perlahan mendekati Ka'bah. Langkahnya begitu teratur, agak
perlahan sebab jalan memang sedikit terjal. Orangnya berperawakan sedang, tidak
tinggi, juga tidak pendek. Namun, berkesan ada kekuatan mengelilinginya. Umar
segera tersadar, orang itulah yang sangat dibencinya. Orang yang telah membawa
banyak problema bagi masyarakat Mekah akibat ajakannya pada Agama baru. Orang
yang telah menantang tetuhanan yang telah mereka sembah sejak beberapa abad.
Bahkan dengan gamblang orang tsb menyebut itu sebagai tuhan-tuhan palsu. Dan
lebih lagi, ia justru mengajak pada Tuhan yang Satu. Orang yang telah memecah
belah bangsa Quraish, memisahkan antara anak dan orang tua, menimbulkan perang
antar saudara, penyebab bercerainya suami dan istri. Umar naik pitam. Tapi
mencoba menahan diri. Ia berfikir, mestinya ada perhitung!
an
dengan Muhammad, paling tidak agar da'wahnya berjalan tersendat.
Perjumpaan
dengan Ummu Abdullah
Pagi
sebelumnya, Umar berjumpa Ummu Abdullah, sepupunya sendiri. Ia mendapatinya
sedang dalam persiapan hijrah ke Abisinia. Umar sempat berucap
"Engkau
juga akan pergi?"
"Ya!",
sahut Ummu Abdulah. "Umar! Engkau telah menyulitkan kehidupan kami",
sambung Ummu Abdullah. "Satu-satunya celah menurutmu, hanya karena kami
mempercayai Allah."
Umar
terdiam, sebab ia sendiri tak punya alasan tepat untuk membenci sepupunya itu.
Perasaan sedih juga merasut dalam dadanya, meyaksikan beberapa anggota klannya
sediri meninggalkan Mekah. Tak sadar, Umar berucap menimpali kata-kata Ummu
Abdullah
"Mudah-mudahan
Tuhan bersamamu"
Maka
sejak itulah Ummu Abdullah punya keyakinan bahwa, mungkin suatu ketika Umar
akan menjadi seorang muslim. Disampaikannya harapan itu pada suaminya, Amier.
"Ah...tak mungkin!", kata Amier. "Seluruh keturunan Khattab
boleh saja menjadi muslim, tapi dengan Umar...rasanya sangat jauh. Hatinya
lebih keras dari karang." Bagi Umar sendiri, percakapannya dengan Ummu
Abdullah meninggalkan kesan cukup dalam. Ia tak menemukan legitimasi atas
penyiksaan yang telah dilakukannya pada orang-orang muslim. Sesungguhnya Umar
merasa bersalah. Tapi gengsi dan rasa sombong masih melekat dalam dadanya,
karena itulah ia gelisah, tak bisa tidur.
Sampai
akhirnya malam itu, mendapatkan Muhammad menghampiri Ka'bah. Umar masih dengan
gumannya sendiri, sembari mengawasi bayangan Nabi.
"Bukankah
orang ini biang kerok dari semua masalah? Penyebab kegoncangan keluarga dan
membuat banyak orang-orang seperti tersihir?" Dan kali ini, Ia justru
berjalan dengan tenanganya menuju Ka'bah, seolah-olah tak punya rasa takut.
Umar semakin jengkel. Ia berkata-kata sendiri.
"Umar!
Bukankah engkau orang yang paling berani sekota Mekah? Juga tidakkah Engkau
membenci Islam? Terlebih pada orang yang menjadi sumbernya? Yang sekarang
justru dengan tenangnya mendekati Ka'bah. Karena itu, buatlah perhitungan
Umar!"
Umar,
mengendap mengikuti arah Nabi. Kata-kata Ummu Abdullah kembali mengiang di
telinganya.
Mengitip
di Ka'bah
Begitu
Umar melangkah memasuki Masjidil Haram, Nabi Muhammad SAW sudah berada di sana
melaksanakan Shalat. Beliau menghadap ke Utara, arah Jerussalem. Sebenarnya
Umar hingga saat itu belum pernah mendengar ayat-ayat Quran, yang menurut
cerita orang-orang mengandung kekuatan. Hanya buruk sangka yang menyelemutinya
selama ini. Tapi, rasa ingin tahu muncul juga dalam dadanya. Ia menarik tirai
pada Ka'bah dan bersebunyi disitu.
"Kata-kata
apa gerangan yang akan keluar dari mulutmu Muhammad? Bicaralah!" Gumamnya
disertai gercikan gigi pertanda marah. Tiba-tiba, seperti jawaban, suara Nabi
membedah keheningan malam. Beliau membaca Surah Al Haqqah. "Hari
kepastian!". Apakah hari kepastian itu? Dan, apa yang boleh menyadarkan
kamu tentang hari kepastian? (QS Al-Haqqah).
Umar
maju selangkah, konsentrasi penuh, tak ingin tertinggal sepenggal kata pun.
Tertegung oleh keindahan dan keagungan Alquran yang dibaca oleh Nabi.
"Sungguh, kalimat-kalimat itu menakjubkan, ia mengandung kekuatan",
sahutnya. Umar mencoba mengerti maknanya, lalu terbetik dalam pikirannya
"Kedengarannya seperti syair, yah... syair yang punya kekuatan. Syair
berkekuatan inilah yang telah menyesatkan orang-orang Quraish".
Umar
yang terbawa oleh pikirannya sendiri kembali tersentak oleh suara Nabi yang
melantunkan:
"Sesungguhnya
Alquran itu adalah benar-benar wahyu yang diturunkan Allah kepada RasulNya yang
mulia. Alquran itu bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu
beriman kepadanya."
Umar
terpana. "Apakah orang ini mampu membaca pikiran orang lain? Oh... jika
demikian, maka ia adalah tukang tenung. Tukang tenunglah yang bisa tahu kata
hati orang lain".
Kembali
suara Nabi menghentak Umar. "Dan bukan pula perkataan tukang tenung.
Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran daripadanya. Ini adalah wahyu yang
diturunkan dari Tuhan semesta alam. Sekiranya Dia, Muhammad,
mengadakan/menambah perkataan atas nama Kami. Niscaya benar-benar Kami beri
tindakan sekeras-kerasnya, kemudian benar-benar Kami potong urat tali
jantungnya". (QS 69:42-46).
Tak
pernah sebelumnya Umar dihadapkan pada kondisi yang demikian krusial. Semua
prasangka dan argumennya tak berdaya. "Jika Muhammad berbohong, jika Ia
tak menerima wahyu dari Tuhan, maka Tuhannya pasti telah membinasaknnya",
pikir Umar. Umar tak tahan lagi, Ia merasa kalah. Lemas, lalu membalikkan
badannya parlahan kemudian pulang menyusuri padang pasir ke rumahnya.
Jalan-jalan
kota Mekah yang semakin sepi menyertai perang yang sedang berkecamuk dalam
benak dan hati Umar. Ia merasa kesal sekaligus memandang bahwa ketakbedayaannya
menghadapi kekuatan Kalimat-kalimat Quran sebagai kelemahan baginya. Karenanya,
Umar kembali marah. Akan tetapi Umar juga tahu dan sadar bahwa Muhammad adalah
orang yang ikhlas, orang yang punya integritas, yang ajarannya jauh melampaui
ajaran yang Umar pernah dengar sebelumnya. Umar memasuki rumahnya dengan
pikiran yang berkecamuk.
Rumah
Arqam
Kaum
minoritas muslim yang sebagian besar penganut baru sering dianiaya. Mereka
sulit melaksanakan ajaran agama secara terbuka, juga tak boleh shalat di
Ka'bah. Sementara itu, markas Besar Rasul, dimana ia sering memberi pengajaran
pada shahabatnya, berlokasi di sekitar bukit Shafa, di rumah Arqam. Orang-orang
muslim mengunjungi tempat ini, belajar Alquran dan bahkan kadang-kadang nginap
beberapa hari. Selain ditempa di Rumah Arqam oleh Rasul, orang-orang muslim
saling mengujungi antar sesama. Rumah Rasul, tentu saja juga menjadi bagian
yang sangat penting. Penganut senior mengajari penganut yang baru.
Suatu
pagi di kediaman Rasul, suasana begitu mengharukan. Kabar sampai ke pihak
mereka bahwa Abu Jahl, musuh besar islam yang lain, bersama Umar, sedang
merencanakan rangkaian penganiayaan terhadap penganut Islam. Karena itu, sebagian
yang hadir di rumah Rasul ketika itu hanya ada dua pilihan, yakni bersembunyi
atau disiksa. Salah seorang di antara mereka berucap,
"Masalahnya
tidak cukup jumlah kita untuk mengadakan perlawanan, lihatlah! Lagipula,
beberapa di antara kita adalah bekas budak, dan sebagaian besar masih terlalu
muda. Apa yang kita bisa lakukan melawan kaum Quraish yang besar? Sebenarnya
kita butuh orang-orang kuat di antara kita."
Yang
lain senyum sedih, tetapi setuju, mendengar ungkapan itu. Nabi yang berada di
tengah mereka, perlahan menegadahkan tangan sambil berdoa, "Ya Allah,
Tunjukilah kami dan Kuatkanlah Islam. Beri petunjuk Abu Jahl Ibnu Hisyam atau
Umar Ibnu Khattab. Ya Allah, siapa pun dari keduanya yang Engkau cintai,
tunjuki ia ke Islam. Semua yang hadir mendengar doa itu, dan menirukannya dalam
hati. Seketika Rasul selesai berdoa, serentak terdengar ucapan, Aamin.
Kegoncangan
Umar
Sementara
itu, Umar kelihatan semakin galak. Apa yang disaksikannya di Ka'bah malam itu
senantiasa lengket dalam benaknya, menghantuinya, hingga kadang-kadang
menjagakannya dari tidur. Suatu malam, ia tak tahan lagi, puncak amarah
menembus ubun-ubunnya. Ia memutuskan untuk segera saja menghabisi jiwa orang
yang dianngapnya biang kerok. Segera ia mengambil pedang, menghunusnya, lalu
keluar rumah. Sisa purnama masih ada. Orang-orang sepanjang jalan sulit untuk
tidak mengenali Singa padang Pasir yang lagi geram ini.
Tak
lama kemudian, ia berpapasan dengan sepupunya Nu'aim ibnu Abdullah Annahm. Mata
Nuaim hampir silau oleh pedang Umar yang mengkilat terhunus. Nu'aim yang agak
gugup mencoba tetap diam. Tapi kemudian bertanya dengan lembut,
"Hendak
kemana Umar?"
Umar
yang di puncak amarah, setengah berteriak,
"Kemana!?...
ha!! masih tanya juga! kemana lagi kalau bukan untuk menghabisi orang yang
selama ini menjadi biang kerok, orang yang telah menghina agama nenek moyang
Quraish serta merendahkan Tuhan-tuhan kita."
Nuaim
diam. "Orang itu tak akan menghina lagi", sambung Umar sembari
menebaskan pedangnya ke udara. Orang-orang yang rumahnya di pinggiran jalan
hanya kuasa mengintip dari balik jendela. Sementara Nuaim kendati gugup punya
keberanian menimpali,
"Siapa
yang mengajarimu bahwa Kamu dapat membunuh Muhammad dengan mudah? Apa Kamu
pikir, kalo berhasil membunuhnya lalu kamu bisa bebas begitu saja? Apa Kamu
tidak sadar akan jumlah darah balasan yang akan dimintakan oleh pihak Banu
Hasyim terhadap banu kita, banu Abi?"
Keduanya,
kelihatan sedang beradu argumen. "Aku tahu sekarang! Engkau juga sudah
tersihir oleh Muhammad", balas Umar.
"Mendekatlah
ke sini, akan kuobati engkau dengan pedang ini", lanjut Umar.
"Engkau
tertipu", kata Nuaim menimpali. "Ternyata Engkau tak tahu bahwa
saudaramu sendiri seorang muslim. Yah... Fatimah dan Suaminya, Said jauh lebih
bijaksana dari pada Engkau. Mereka berdua tidak dungu untuk berpegang teguh
pada ajaran jahilliyah begitu mereka mendengar kebenaran."
"Bohong!",
bantah Umar. Ia kemudian merubah arah jalannya, menuju rumah saudaranya itu.
"Jika demikian, maka merekalah yang harus mampus lebih dulu",
ketusnya. Jarak ke rumah Fatimah cukup jauh, karena itu amarah Umar sempat
mereda sesampai di depan pintu. Ia mendengar penghuni rumah sedang membacakan
Ayat-ayat Quran. Sejenak Umar berhenti. Lalu diketuknya pintu agak keras. Seisi
rumah, Fatimah, suaminya Said dan Habbab, pembimbing mereka, berhenti membaca
Quran.
"Siapa
di luar?", tanya Fatimah.
"Umar
ibnu Khattab!"
Mendengar
suara itu, Habbab gugup lalu menuju ke kamar, bersembunyi.
"Cepat,
sembunyikan rontal itu", bisik Said. Fatimah kemudian memasukkannya ke
dalam gaungnya. Umar kembali mengetuk dengan ketukan yang lebih keras. Said
membuka pintu, dan tampak olehnya Umar dengan pedang terhunus.
"Kalian
sedang apa? Kamu pikir saya tak mendengarnya?", gertak Umar.
"Tidak
ada apa-apa", jawab Fatimah tenang. "Kami sedang ngobrol biasa.
"Umar naik pitam, "Bohong! Pengecut!" katanya. "Saya tahu
bahwa kamu ikut tersihir". Fatimah dan Said saling berpandangan. Lalu Said
kemudian berujar, "Kini Umar telah tahu, tak ada yang patut disembunyikan.
Tapi ketahuilah Umar, kebenaran itu bukan seperti yang Anda pahami".
Ucapan
ini keterlaluan bagi Umar. Ia marah, dan mencoba menyerang Said. Umar terlalu
kuat, Said terjatuh. Menyaksikan itu, Fatimah menghentak Umar, dengan sekuat
tenaga mencoba membela Suaminya, sekaligus saudara Muslimya.
"Lepaskan
Dia!" Merasa terhalangi, Umar menampar saudara perempuannya sendiri. Pipi
Fatimah merah, tapi ia menantang Umar, "Hai musuh Allah!", katanya.
"Engkau membenci kami hanya karena kami beriman?" "Benar",
kata Umar. " Sekarang, lakukan apa saja yang kau mau", Suara Fatimah
menyambar bagai petir. "Kami bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah,
dan Muhammad adalah Rasul Allah. Engkau tak kuasa mengubah keyakinan kami.
Apapun yang terjadi, kami tak akan pernah meninggalkan Islam. Umar terkesan
mendengar keteguhan hati saudarinya itu, amarahnya seperti tersiram salju.
Perlahan-lahan, Umar mereda.
Kemudian
dengan suara perlahan, ia berkata, "Baiklah Saudariku! perlihatkanlah
padaku apa yang sedang kalian baca! Sekiranya ia mengadung kebenaran, apa
salahnya engkau memberi tahu aku."
Fatimah
ragu, ia memandang suaminya. "Saya berjanji tak akan membuangnya",
tambah Umar. "Akan Aku kembalikan", Umar meyakinkan.
"Baiklah!", sahut Fatimah. "Tapi, basuh duluh wajahmu dengan
air, Engkau tidak dalam kondisi membaca ayat suci".
Umar
kemudian menuju mengambil air, Habbab keluar dari kamar berbisik,
"Bagaimana
engkau percaya pada orang yang demikian keras dan kejam?" "Aku tahu
karakter saudaraku", jawab Fatimah. Malah saya punya harapan besar bahwa
Allah akan memberinya petunjuk. Habbab, meyaksikan Umar, kembali bersembunyi.
Dengan doa dalam hati, Fatimah menyerahkan ayat Al-Quran itu pada saudaranya.
Umar
membaca:
"Semua
yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah. Dan
Dialah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Kepunyaan-Nya lah kerajaan langit
dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala
sesuatu. Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang zhahir dan Yang Bathin; Dan Dia maha
Mengetahui segala sesuatu. Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam
masa; Kemudian Dia bersemayam di atas Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke
dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan
apa yang naik kepada-Nya. Dan Dia bersama kamu dimana saja kamu berada. Dan
Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan. Kepunyaan-Nya lah kerajaan langit
dan bumi. Dan kepada Allah lah dikembalikan segala urusan. Dialah yang
memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam. Dan Dia
Maha mengetahui Segala isi hati. (QS Al-Hadiid 57:1-6)
Umar
tertegun akan keagungan ayat-ayat suci itu. Segera ia insyaf akan kekeliruannya
selama ini. Mata hatinya kini terbuka, tak mungkin ada Tuhan lain selain Allah.
Muhammad kini diakuinya sebagai benar-benar Nabi. Kata yang pertama terucap
baginya setelah membaca,
"Cepat!
Dimana Muhammad? Beri tahulah aku!" Ipar dan saudarinya berdiri. Habbab
yang keluar dari persembunyian berbisik pada Said, "Apakah ini menunjukan
bahwa Doa Nabi terkabul?" Said diam saja, sembari memberi kode pada
Fatimah, untuk memberi tahu di mana Nabi.
Pedang
yang terhunus sejak awal disarungkan kembali oleh Umar. Ia kemudian menuju
Rumah Arqam. Di dalam, Nabi dan para shahabat sedang duduk, Hamzah dan Talha
berjaga di depan pintu. Umar mengetuk. "Siapa di luar?", tanya Talha.
Umar memberi respons, dan seketika suasana terdiam. Melihat gelagat para
shahabat seolah ketakutan, Hamzah berucap, "Kenapa takut? Mungkin ia
datang dengan maksud baik, untuk memeluk islam. Kalau tidak, tak soal, kita
dengan mudah bisa meringkusnya."
Ia
kemudian memberi isyarat pada Talha untuk membuka pintu. Umar melangkah masuk.
Hamzah dan Talha memegang tangan Umar dan membawanya menuju Nabi. Tapi, Nabi
meminta mereka berdua untuk membiarkan Umar. Umar tak melangkah lagi. Nabi
mendekat, Beliau membisiki Umar meletakkan pedang. Umar tak kuasa menolak, ia
pasrah, bahkan berkesan tak bergerak. Nabi lalu angkat bicara, "Umar!
Tinggalkanlah perbuatan maksiat, sebelum murka Allah menimpamu. Umar, terimalah
Islam. Allah, beri dia petunjuk."
Umar
hanya bisa menjawab, "Apa yang seharusnya saya ucapkan?" Hamzah pun
bicara, "Persaksikan bahwa Tidak ada Tuhan yang patut disembah selain
Allah, dan Muhammad adalah Rasul Allah". Umar menoleh ke arah Hamzah, lalu
ke arah Nabi, kemudian Umar berucap,
"Aku
bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Engkau Muhammad adalah Rasul
Allah".
Mendengar
deklarasi itu, para shahabat serentak berucap, "Allahu Akbar, Allahu
Akbar, Allahu Akbar". Belum semenit memeluk Islam, Umar menambah kekuatan
pada barisan kaum muslimin. Dukungannya terhadap Islam begitu antusias,
melebihi antusiasnya ketika sebagai musuh. "Ya Rasulullah, kita harus
memperjuangkan kebenaran ini sekarang juga?" Ya, tentu saja, jawab Nabi
SAW. Kalau begitu, mari kita keluar memproklamirkan keyakinan kita ini secara
terbuka, Ayo! Kita shalat di depan Ka'bah".
Rasulullah
mengiyakan. Para shahabat kemudian berbaris dua menuju Ka'bah yang satu
dipimpin oleh Umar, lainnya lagi oleh Hamzah, keduanya adalah pemimpin Makkah
yang sangat disegani. Antusiasme keislaman Umar dibuktikan dengan mendatangi
beberapa pemimpin utama kaum Quraish, termasuk paman Nabi sendiri, Abu Jahal.
Bukan itu saja, Ia bahkan mendatangi kerumunan kaum kafir seorang diri
memproklamirkan keislamanya. Orang yang berani mempersalahkannya dihadapinya
semua. Tapi, memang inilah yang diharapkan Umar. Keislaman Umar mengubah peta
kekuatan Kota Mekah. Kaum kafir quraish tak semena-mena lagi melakukan
penganiayaan terhadap kaum minoritas muslim.
Disadur
dari: The Persecuter Comes Home.
Kaset
Dakwah Islamic Foundation London, United Kingdom.