Dr. Syaiful Saanin, Neurosurgeon. saanin@padang.wasantara.net.id Ka. SMF Bedah Saraf RSUP Dr. M. Djamil/FK-UNAND Padang.
8. APLIKASI KLINIK Pengukuran TIK yang sinambung menjadi prosedur klinik standar sejak dipelopori Guillaume dan Janny (1951) dan Lundberg (1960). Gunanya untuk : 1. sebagai penuntun terapeutik dalam pengobatan pening- gian TIK pada cedera kepala atau, 2. sebagai tes diagnostik pada kelainan sirkulasi CSS. PEMANTAUAN UNTUK TERAPI Bila mungkin, penyebab peninggian TIK seperti bekuan darah, tumor atau hidrosefalus harus ditindak. Bagai- manapun pemantauan TIK merupakan aplikasi khusus pada keadaan dimana faktor penyebab tidak dapat ditindak se- cara operatif, seperti: 1. pembengkakan otak difus setelah cedera kepala atau hipoksia atau 2. pada keadaan dimana kemungkinan besar TIK akan me- ninggi, seperti setelah evakuasi klot intrakranial. Prinsip dibalik pemantauan adalah bahwa peninggian TIK berat, terutama bila disertai pergeseran otak, akan menyebabkan kerusakan otak, dan selanjutnya otak yang sudah cedera sangat mudah untuk mendapat cedera beri- kutnya. Keputusan untuk mengamati pasien harus berdasar pertimbangan akan risiko akan berkembangnya hipertensi intrakranial. Penyebab paling umum dari peninggian TIK dan apli- kasi utama untuk pemantauan adalah cedera kepala. Bebe- rapa keadaan klinik lain mungkin juga disertai dengan peninggian TIK. CEDERA KEPALA Sekitar 40% pasien yang datang yang tidak sadar setelah cedera kepala mempunyai TIK yang meninggi (Miller, 19- 77). Pada 50% dari yang mati, peninggian TIK adalah pe- nyebab utama. Makin tinggi TIK, makin besar mortalitas. Pada beberapa pasien peninggian TIK mungkin secara se- derhana menggambarkan beratnya cedera otak primer. Di- lain fihak cedera otak primer mempunyai potensi untuk pulih dan pada kelompok ini tindakan aktif merupakan penyelamat hidup. Sialnya hingga saat ini belum ada me- toda yang tersedia yang membedakan kedua kelompok pada awalnya. Tabel 3 Tingkat TIK dan Mortalitas pada Penderita Cedera Kepala Berat (Miller, 1983). ------------------------------------------------------- Tingkat TIK Mortalitas ------------------------------------------------------- kurang dari 20 mmHg 18% lebih dari 20 mmHg 45% lebih dari 40 mmHg 74% lebih dari 60 mmHg 100% ------------------------------------------------------- ADS pada Cedera Otak Pada cedera otak, pengukuran langsung memperlihatkan hubungan antara ADS dan tekanan darah arterial adalah variabel dan tak dapat diprediksi. ADS mungkin menurun bahkan bila TPS 80-90 mmHg, mungkin menandakan perbedaan regional. Ini mungkin ka- rena hilangnya autoregulasi, baik lokal maupun global, bersama dengan akibat kompresi dan distorsi bed vasku- ler sekitar daerah cedera. Jadi otak yang cedera lebih terancam terhadap iskemia pada tingkat perfusi serebral yang dapat ditolerasi otak normal. Ini ditampilkan oleh hubungan yang erat antara hipotensi sistemik (sistolik kurang dari 90 mmHg) dan outcome yang buruk. Penyebab peninggian TIK tersering dan terpenting setelah cedera kepala adalah lesi massa, baik klot atau kontusi otak berat dan ini harus dilacak dan ditindak secara operatif sesegera mungkin. Bagaimanapun TIK me- ninggi pada 32% pasien dengan diffuse injury dan pada 69% pasien dengan kontusi serebral tidak memerlukan o- perasi. Selanjutnya TIK tetap meninggi pada lebih dari setengah pasien dengan cedera kepala berat, bahkan se- telah lesi massanya dibuang (Miller, 1981). Keadaan yang Memerlukan Pemantauan Keputusan untuk melakukan pemantauan TIK terhadap pa- sien cedera kepala berdasarkan pada keadaan klinis dan CT scan. Tanda klinis paling penting adalah penurunan tingkat kesadaran, gangguan upward gaze, dan pupil yang tak ekual. Bila CT scan menunjukkan lesi massa dengan pergeseran otak, biasanya harus dioperasi seketika itu juga. Bila tidak ada lesi massa, indikasi pemantauan TIK lebih kontroversial. Faktor-faktor yang harus di- pertimbangkan adalah: Kedalaman Koma Ditentukan oleh Nilai Koma Glasgow. Pemantauan TIK di- lakukan pada penderita yang tidak membuka mata (1), ti- dak ada respons verbal (1), serta fleksi namun berres- pons yang tidak bermakna terhadap nyeri (3), dengan ni- lai lima atau kurang. Bagaimanapun, faktor lain seperti CT scan mungkin menentukan untuk mengamati TIK pada ni- lai yang lebih tinggi. Pasien yang Secara Klinis Tidak Dapat Diperiksa Pasien dengan cedera multipel mungkin memerlukan sedasi dan paralisis, memusnahkan alat yang paling sensitif a- tas fungsi otak, pemeriksaan neurologis. Aspek ini me- nyebabkan keharusan pertimbangan yang hati-hati dalam memutuskan tindakan sedasi atau paralisa. Perawatan klinis karenanya tergantung pada prosedur yang kurang sensitif dan lebih kompleks yaitu pemantauan TIK dan CT scanning regular. Kemungkinan T.I.K. Akan Meninggi Kemudian CT scan abnormal mungkin menunjukan bahwa TIK meninggi atau akan meninggi (Klauber, 1984). Tanda CT spesifik termasuk pembengkakan otak difus, pergeseran garis te- ngah, obliterasi sisterna ambient, dilatasi ventrikel berlawanan dan klot kecil multipel intraserebral. Pasi- en dengan tanda CT demikian harus diawasi ketat. Setiap perburukan pada tingkat kesadaran menunjukkan akan per- lunya tindakan mengurangi TIK dengan bimbingan penga- matan TIK. CT scan normal pada pasien tidak sadar mengurangi risiko peninggian TIK hingga 15% (Lobato, 1986). Namun pada kelompok ini, TIK yang tinggi berhubungan dengan hipotensi (kurang dari 90 mmHg saat masuk), postur mo- tor, usia lebih dari 40 dan Nilai Skala Glasgow kurang dari 5 (Narayan, 1982). Ada yang menyarankan agar semua pasien tidak sadar dengan kontusi paru-paru luas harus mendapatkan pemantauan TIK (Smith, 1986). TIK mungkin meninggi setelah pengangkatan klot in- trakranial; ini lebih sering terjadi setelah operasi hematoma subdural akut. Pasien cedera kepala yang mandapatkan hemodialisis karena gagal ginjal, TIK harus diamati karena risiko terjadinya pembengkakan otak akibat imbalans osmotik dalam sindroma disekuilibrium (Yoshida, 1987). Pernah diteliti bahwa pasien cedera kepala berat dapat dikelola tanpa pemantauan TIK dan outcomenya di- bandingkan dengan yang mendapatkan pemantauan TIK (Stu- art, 1983). Namun dalam penelitian ini pengobatan yang serupa, seperti ventilasi artifisial dan larutan hiper- tonis intravena, yang digunakan pada pasien ini adalah yang dipakai untuk TIK yang sudah meninggi. Ini meru- pakan metoda yang kurang tepat untuk mengobati pening- gian TIK, dan pada pasien ini mungkin ada yang TIK nya tidak meninggi dan pada yang lainnya, inisiasi tindakan terhadap peninggian TIK mungkin terlambat. Tingkat T.I.K. yang Memerlukan Tindakan Pada pasien yang diperiksa, disfungsi neurologis dapat ditemukan bila TIK mencapai 25 mmHg. Ini biasanya diam- bil sebagai patokan memulai tindakan aktif. Namun otak yang cedera sangat terancam oleh perubahan tekanan dan beberapa menganjurkan tindakan bila tekanan melebihi 15 mmHg (Saul dan Ducker, 1982, Smith, 1986). Terdapat pe- ningkatan bukti bahwa tindakan yang segera dan agresif terhadap sedikit peninggian TIK akan mencegah pening- gian tekanan yang fatal dan tak terkontrol yang timbul kemudian (Narayan, 1982). Tekanan darah harus diamati teliti bersamaan me- lalui kateter arterial hingga TPS dapat dihitung. Pada otak normal ADS konstan hingga TPS lebih rendah dari 40 -50 mmHg. ADS pada otak yang rusak mungkin berkurang bila TPS kurang dari 90 mmHg, hingga bahkan periode hi- potensi yang singkat mungkin berakibat iskemia otak, memperberat cedera otak total. Saat peninggian TIK ada- lah berbahaya pada pasien cedera kepala, hipotensi ar- terial mungkin bahkan memperburuk kerusakan, menye- babkan iskemia otak selama pengurangan tekanan. Pem- bengkakan yang iskemik ini mengganggu reperfusi saat tekanan arterial sudah membaik. Durasi Pemantauan Pemantauan TIK harus dilanjutkan hingga TIK stabil pada kurang dari 20 mmHg paling tidak untuk 24 jam, dengan pernafasan spontan. Bila diperlukan pemantauan TIK me- lalui jalur ventrikuler untuk lebih dari tiga hari atau melalui jalur subdural untuk lebih dari 5-7 hari, po- sisi kateter atau baut harus dipindahkan untuk mengu- rangi risiko infeksi. PERDARAHAN SUBARAKHNOID Penyebab utama kematian setelah perdarahan subarakhnoid aneurismal adalah perdarahan ulang dan kerusakan otak iskemik tertunda, yang secara sederhana dikenal sebagai vasospasme. Perdarahan ulang hanya dapat dicegah dengan operasi clipping terhadap aneurisma. TIK meninggi pada tingkat yang tinggi mencapai TD sistolik pada saat per- darahan, dan baik kebocoran aneurisma maupun ADS segera menetap (Nornes, 1973). Tekanan menetap tinggi karena klot atau pembengkakan iskemik. Dilain fihak, mungkin semula tenang dan meningkat kemudian karena vasospas- me atau hidrosefalus. Indikasi pemantauan TIK setelah perdarahan subarakhnoid adalah: Koma Setelah perdarahan subarakhnoid berat, TIK mungkin tinggi dan TD labil. Karenanya TPS mungkin sangat ren- dah namun ini tidak dapat dilacak kecuali TIK dan TD arterial diukur bersamaan. Pembimbing Tindakan Hipervolemik Terhadap Vasospasme Iskemia otak akibat penyempitan arteria serebral mung- kin timbul beberapa hari setelah perdarahan. Ini terse- ring akibat substansi vaso-aktif yang terbentuk dari klot darah subarakhnoid. Hingga saat ini tidak ada tin- dakan langsung terhadap penyempitan vaskular (termasuk Nimodipin diragukan efeknya) dan satu-satunya cara un- tuk mempertahankan ADS diatas tingkat iskemik adalah meninggikan perfusi serebral dengan hipervolemia dan hipertensi yang dikontrol. Namun ini dapat menyebabkan peninggian TIK yang nyata yang mana bahkan kelak akan mengurangi TPS. Penting untuk mengetahui hal ini dimana pengukuran TIK yang rendah dapat didapat pada saat yang sama (Kaye dan Brownbill, 1981). HEMATOMA INTRASEREBRAL Kematian dan kesakitan hematoma intraserebral secara keseluruhan tetap tinggi. Sering tidak jelas apakah he- matoma harus dioperasi. Pemantauan TIK mungkin berguna sebagai pembimbing pada hematoma mana yang menyebabkan peninggian TIK (Duff, 1981, Ropper dan King, 1985). Ini menunjukkan perlunya operasi dan tindakan yang lebih aktif terhadap TIK (Galbraith dan Teasdale, 1981). SINDROMA REYE Pemantauan TIK penting dalam mengelola keadaan isti- mewa. Selama perbaikan dari penyakit virus ini, anak mengalami muntah yang persisten, delir dan gangguan ke- sadaran hingga koma. Ini pertanda disfungsi hati ter- masuk peninggian ammonia darah dan hipoglkemia berat (Reye, 1963). Edema serebral adalah penyebab utama kematian. Kunci tindakan adalah mencegah kerusakan otak akibat peninggian TIK dan hipoglikemia. Tindakan aktif terha- dap peninggian TIK mengurangi kematian dari 80% hingga 20%, hingga bagi yang berpengalaman kelainan ini seka- rang hanya menimbulkan kematian dan kesakitan yang ren- dah (Trauner, 1980). Indikasi pemantauan TIK adalah: 1 tingkat ammonia lebih dari 300 mg/100ml (normal ku- rang dari 150) 2 penurunan cepat tingkat kesadaran. Metoda yang biasa digunakan untuk mengontrol TIK. Ste- roid tetap bermanfaat. Kejang dapat menyebabkan pening- gian TIK yang persisten atau berulang dan ini mungkin tidak terlihat pada pasien yang paralisis. Antikonvul- san diberikan profilaktik. TUMOR OTAK Penelitian Lundberg, 1960, mula-mula dilakukan pada pa- sien tumor otak yang menunggu operasi. Gelombang tekan- an, terutama gelombang plato yang berbahaya, mula-mula didemonstrasikan. Mengingat penggunaan yang luas dari pemantauan TIK pada cedera kepala saat ini, kurangnya data untuk pasi- en tumor otak menunjukkan bahwa kebanyakan ahli bedah saraf tidak menganggap ada manfaat dari pemantauan ter- sebut. Juga kebanyakan tumor jinak dapat diangkat leng- kap dan pembengkakan otak pasca operasi sekarang dapat ditekan dengan anestesia modern, steroid, perawatan pa- ru-paru yang lebih baik, instrumen yang lebih baik se- perti aspirator ultrasonik, laser dan yang terpenting penggunaan teknik micro-surgical. Kebanyakan pasien se- gera bangun setelah operasi dan diikuti perjalanan pas- ca operasi yang baik. Ada beberapa keadaan dimana pemantauan TIK berman- faat pada pasien dengan tumor otak. Komplikasi yang u- mum terjadi pada operasi fossa posterior adalah hidro- sefalus obstruktif, baik sebagai hidrosefalus prabedah yang persisten atau sebagai komplikasi dari tindakan. Dilatasi ventrikel dapat terjadi segera menyebabkan perburukan dengan cepat. Bila terdapat risiko obstruk- si CSS, pemantauan TIK pasca bedah akan melacaknya se- cara dini dan CSS dapat dialirkan untuk mendapatkan te- kanan yang diinginkan. Walau shunting mungkin diperlu- kan sebagai tindakan definitif dari komplikasi, penga- matan TIK dan drainase adalah sistem peringatan dini yang sangat berguna. Keadaan lain dimana pemantauan TIK dilakukan ada- lah pada operasi glioma dimana otak tetap membengkak setelah operasi (Constantini, 1988). Hal serupa pada penderita tumor yang inoperabel yang merupakan kandi- dat radio atau kemoterapi, namun tidak ditemukan bahwa pemantauan bermanfaat pada pasien dengan tumor maligna. PEMANTAUAN UNTUK DIAGNOSIS Hidrosefalus Tekanan Normal (H.T.N) Normal Pressure Hydrocephalus (N.P.H) (Sinonim: Occult Hydrocephalus, Low Pressure Hydroce- phalus) Hidrosefalus mungkin berakibat dementia progresif, a- taksia dan inkontinensia bahkan walaupun TIR tidak me- ninggi secara persisten. Keadaan ini yang disebut HTN, khas terjadi pada usia menengah atau tua. Gambaran kli- nik yang khas adalah: 1 perlambatan mental 2 kelainan langkah 3 inkontinensia urinari. HTN mungkin mengikuti perdarahan subarakhnoid, cedera kepala atau meningitis. Namun sepertiga pasien dengan beberapa atau semua triad klinis tidak diketahui penye- babnya. Pada kelompok ini, perbedaan antara demensia a- kibat kelainan Alzheimer atau akibat hidrosefalus mung- kin sulit. Pada kebanyakan pasien efek klinik ini pulih de- ngan shunting CSS. Respons klinik paralel dengan pengu- rangan ukuran ventrikel. Pada saat ini diagnosis teru- tama berdasarkan temuan klinik, diperkuat oleh CT scan- ning. Pengobatan lebih berhasil bila: 1 penyebab potensial diketahui 2 kelainan langkah adalah temuan pertama dan utama, serta demensianya pada tingkat sedang 3 CT scan menunjukkan ventrikel yang besar dengan sedi- kit gambaran atrofi kortikal. Pada beberapa pasien CT scan juga memperlihatkan densitas rendah periventri- kuler yang diduga suatu pasasi CSS trans ependimal kerongga ekstraseluler. Ini merupakan indikator yang baik pada hidrosefalus yang aktif. Kelainan yang menyebabkan timbulnya hidrosefalus haruslah kelainan pengaliran atau resorpsi CSS, namun sangat sulit untuk mengukurnya secara klinis. Berbagai tes untuk mengukur aliran CSS dan tahanan pengaliran sudah diupayakan (Borgesen dan Gjerris, 1982; Katzman dan Hussey, 1970). Namun tak ada tes tunggal yang ter- bukti dapat dipercaya dalam memprediksi efek dari shun- ting, hingga tak satupun yang digunakan secara rutin. Hal serupa, pengukuran ADS menunjukkan bahwa ADS cen- derung meninggi dengan pengurangan ukuran ventrikel na- mun peningkatan ADS tidak nyata korelasinya dengan per- baikan neurologis (Vorstrup, 1987). Pemantauan TIK akan mempertegas bahwa TIK adalah normal atau rendah, dan memastikan bahwa ini mungkin respons terhadap shunting. Pada pasien ini terdapat pe- ninggian jumlah gelombang tekanan spontan nokturnal, biasanya gelombang B (Crockard, 1977). Karena pencatat- an gelombang denyut yang akurat diperlukan, kateter ventrikuler harus digunakan dan TIK dicatat secara si- nambung dalam dua malam yang berturutan. Karenanya pemantauan TIK bernilai pada keadaan be- rikut: 1 sindrom kliniknya khas, khususnya bila demensianya jelas dan langkah relatif kurang terganggu 2 tak ada kausa yang diketahui 3 CT scan menunjukkan atrofi kortikal yang jelas serta dilatasi ventrikuler. HIDROSEFALUS DEKOMPENSATA Dekompensasi yang perlahan dari hidrosefalus yang jelas arrested mungkin terjadi pada anak dan dewasa tanpa bukti klinik peninggian TIK, keadaan yang serupa de- ngan HTN. Tampilan intelektual yang buruk, nyeri kepala dan clumsiness mungkin semuanya merupakan bagian dari hidrosefalus, harus diingat sebagai risiko yang harus dihadapi pada ketergantungan seumur hidup terhadap shunting. Pemantauan TIK akan memastikan dinamika CSS abnormal bila menunjukkan garis dasar yang agak mening- gi dan pertambahan pada gelombang B spontan. Pada pasien dengan shunt, keefektifan shunt mung- kin diukur dengan pengukuran TIK. Tekanan mungkin diukur melalui reservoar proksimal dari katup shunt. Pengukuran tekanan tunggal umum digunakan sebagai bagi- an dari penelitian fungsi shunt dengan isotop (Reilly, 1989). Pilihan lain, tekanan mungkin dicatat secara si- nambung (Leggate, 1988). HIPERTENSI INTRAKRANIAL JINAK (H.I.J) BENIGN INTRACRANIAL HYPERTENSION (B.I.H) Penyebab keadaan ini tidak diketahui, dimana TIK me- ninggi tanpa dilatasi ventrikuler. Umumnya terjadi pada wanita muda gemuk, dan diperkirakan adanya penyebab en- dokrin, namun tidak dapat dibuktikan. Vasopressin CSS meningkat (Sorensen, 1986). Obstruksi sinus vena juga dipostulasikan, berasal dari komplikasi infeksi telinga tengah, karenanya dahulu disebut 'hidrosefalus otitik'. Edema papil dan gangguan visual yang mengikuti adalah komplikasi terpenting. Karena jalur CSS berhubungan bebas, tekanan disa- lurkan ekual diseluruh kompartemen kraniospinal dan ti- dak ada pergeseran. Walau tekanan sangat tinggi, pasien tetap alert dan mungkin dengan sedikit sakit kepala. Keadaan ini biasanya pulih sendiri dan sasaran tindakan adalah mencegah kelainan visual akibat TIK yang terus tinggi. Steroid, pungsi lumbar berulang dan shunt spino-peritoneal adalah metoda tindakan yang nor- mal. Slitting selubung saraf optik dalam orbita kadang- kadang dilakukan untuk langsung mengurangi tekanan pada saraf optik. Pemantauan TIK dilakukan bila ada keraguan akan perubahan fundal yang bermakna atau bila tidak dapat dipastikan bahwa keadaan akan stabil. Pemantauan me- lalui kateter lumbar subarakhnoid akan memuaskan dan a- man pada keadaan ini. INDIKASI LAIN Pemantauan TIK harus dipikirkan pada setiap keadaan di- mana TIK mungkin meninggi, seperti pembengkakan otak hipoksik setelah tenggelam, meningitis berat pada usia anak-anak dan encefalitis herpes simpleks (Barnett, 19- 88).