Dr. Syaiful Saanin, Neurosurgeon. saanin@padang.wasantara.net.id Ka. SMF Bedah Saraf RSUP Dr. M. Djamil/FK-UNAND Padang.
INFEKSI BAKTERIAL SISTEMA SARAF PUSAT ABSES SUBGALEAL Abses subgaleal adalah infeksi yang terlokalisir antara galea dari skalp dan perikranium. Perjalanannya biasa dimulai dengan kontaminasi luka skalp oleh stafilokoki, streptokoki, atau organisme anaerob. Nyeri skalp yang terlokalisir dan pembengkakan adalah tanda pembentukan abses. Demam, limfadenopati, serta pembengkakan muka menunjukkan penyebaran regional dan sistemik infeksi. Infeksi jarang meluas keintrakranial kecuali tengkorak sudah terpenetrasi. Osteomielitis tengkorak terkadang terjadi sekunder. Tindakannya adalah drainasi terbuka serta debridemen dan antibiotika sistemik. OSTEOMIELITIS Osteomielitis tengkorak mungkin timbul dari perluasan infeksi lokal, seperti sinusitis atau mastoiditis, dari kontaminasi langsung pada tengkorak saat operasi atau setelah cedera, atau jarang secara hematogen dari sumber jauh seperti traktus uriner dan respiratori. Infeksi tengkorak mungkin meluas kedalam membentuk abses epidural atau keluar keruang subgaleal. Patogen yang umum adalah stafilokoki dan streptokoki anaerob. Kadang-kadang yang bertanggung-jawab adalah organisme gram negatif atau fungi. Tindakan berupa debridemen tulang yang terinfeksi serta antibiotika sesuai paling tidak untuk 6 minggu. Laju sedimentasi eritrosit dan x- ray tengkorak bermanfaat untu menilai respon terhadap terapi. Osteomielitis tulang belakang biasanya tampil dengan nyeri dan biasanya akut pada anak-anak dan lebih perlahan pada dewasa. Mielopati serta radikulopati merupakan gejala pada sekitar 50 % pasien. MRI sangat bernilai melacak kompresi kord tulang belakang. Intervensi bedah diindikasikan untuk semua pasien dengan defisit neurologis serta biopsi sering diperlukan untuk memastikan diagnosis serta mengetahui organisme penyebab. S. aureus adalah patogen tersering; namun infeksi gram negatif umumnya sekitar 16.7 %. Keberhasilan pengobatan tergantung organisme yang berhasil diisolasi serta antibiotika intravena paling tidak diberikan 6-8 minggu disertai dengan immobilisasi (baring dan ortosis kaku) untuk mengurangi nyeri. Sekali lagi, laju sedimentasi serial dan film tulang belakang berguna untuk menilai reaksi terhadap terapi. ABSES EPIDURAL Infeksi intrakranial terbatas diruang epidural adalah komplikasi yang jarang dari kontaminasi jaringan epi- dural baik traumatika atau operatif. Lebih sering diakibatkan oleh perluasan osteomielitis berdekatan. Bila dura intak, infeksi jarang meluas secara trans- dural. Tindakannya adalah drainasi, debridemen dan antibiotik sistemik. Abses epidural tulang belakang lebih sering dan biasanya memerlukan bedah gawat darurat. Khas dengan demam, nyeri tulang belakang lokal, dan progresi yang cepat dari defisit neurologis. Nyeri radikuler serta mielopati sering terjadi dalam beberapa hari sejak gejala awal. Kebanyakan abses epidural disebabkan perluasan lokal dari osteomielitis tulang belakang dan jarang melalui penyebaran hematogen dari infeksi jauh. CSS memperlihatkan peninggian kadar protein yang jelas dan pleositosis ringan. Mielogram atau MRI menampilkan perluasan massa epidural. Organisme penyebab tersering adalah S. aureus dan terkadang Streptococcus sp. Basil gram negatif sering diisolasi dari pecandu obat intra- vena. Mycobacterium tuberculosis merupakan penyebab terpenting abses epidural dibanyak bagian bumi. Tindakan berupa laminektomi segera serta drainasi abses diikuti terapi antibiotika spesifik jangka panjang. Pemulihan fungsi neurologi langsung berhubungan dengan lama dan beratnya gangguan sebelum operasi. EMPIEMA SUBDURAL Empiema subdural, infeksi purulen ruang subdural, terjadi karena perluasan langsung melalui mening saat meningitis pada neonatus dan bayi, atau sebagai komplikasi sinusitis paranasal atau otitis pada anak dan dewasa muda. Jarang secara hematogen dari infeksi jauh, dan kontaminasi langsung dari trauma pernah dilaporkan. Diagnosis didasarkan pada temuan klinis dan radiografis. Nyeri kepala, demam, dan meningismus merupakan keluhan yang umum dan dapat timbul sejak 1-8 minggu sebelumnya. Kejang dan defisit fokal juga biasa terjadi. CT scan dan MRI memperlihatkan koleksi sub- dural; namun massa mungkin isodens pada CT scan, hingga memerlukan penguatan zat kontras agar jelas terlihat. Pencitraan juga berguna dalam mendiagnosis infeksi sinus atau mastoid penyebab. Risiko pungsi lumbar pada penderita yang diduga memiliki massa intrakranial mengharuskan dibatalkankannya tindakan ini hingga CT scan memastikan tidak adanya efek massa intrakranial. Analisis CSS jarang sebagai diagnostik, namun bisa menampakkan perubahan inflamatori nonspesifik. Sumber otorinologis empiema subdural biasanya disebabkan streptokoki, stafilokoki dan koki anaerob. Kelainan sinus paranasal adalah faktor etiologi yang paling sering pada literatur barat. Sekali ruang sub- dural terkena, infeksi akan menyebar diatas konveksitas otak serta kefisura interhemisferik dan fisura Sylvian. Penyebaran infratentorial terjadi pada 3-10 % infeksi, selalu sekunder dari perluasan otitis. Akumulasi pus sering cukup untuk menimbulkan massa intrakranial. Reaksi inflamasi hebat memacu pembengkakan dan edema otak. Tampilan klinisnya adalah perburukan neurologis cepat, sering dengan defisit fokal, koma dan mati. Empiema subdural sekunder terhadap meningitis umumnya bilateral dan kurang fulminan dibanding yang sekunder terhadap infeksi otorinologis. H. influenzae adalah organisme utama; namun empiema S. pneumoniae juga sering dilaporkan. Hidrosefalus komunikating bisa terjadi karena resorpsi diatas konveksitas otak terganggu oleh infeksi. Sebelum ditemukan penisilin, empiema subdural selalu fatal. Dengan antibiotika sistemik dan drainasi bedah, tingkat mortalitas 25 %, dengan outcome buruk sangat tergantung pada tingkat kesadaran sebelum tindakan dan ketidakmampuan mengetahui organisme patogenik. Bannister menganjurkan kraniotomi primer dengan bukaan luas, eksplorasi subdural agresif, dan debridemen yang baik dari material purulen material dari permukaan otak. Laporan mutakhir memperlihatkan pengurangan outcome yang buruk dan mortalitas secara bermakna pada tindakan kraniotomi dibanding dengan drainasi bur hole. Sumber infeksi harus ditindak agresif, drainasi sinus dan mastoid sering diperlukan. Antikonvulsan profilaktik dianjurkan karena insidens yang tinggi dari kejang. Keberhasilan tindakan nonbedah pernah dilaporkan dengan mencoba terapi antibiotik saja pada pasien dengan status neurologis utuh; pemeriksaan neurologis normal; dan lesi tunggal dan terbatas pada CT scan. Empiema subdural tulang belakang jarang. Biasanya timbul dari ekstensi transdural lokal dari osteo- mielitis tulang belakang, atau melalui arakhnoid pada meningitis. Kompresi kord tulang belakang dan mielitis transversa mungkin terjadi. Tindakan berupa drainasi emergensi melalui laminektomi serta pemberian anti- biotik jangka lama. MENINGITIS BAKTERIAL Meningitis bakterial adalah infeksi purulen ruang subarakhnoid. Biasanya akut, fulminan, khas dengan demam, nyeri kepala, mual ,muntah, dan kaku nukhal. Koma terjadi pada 5-10 % kasus dan berakibat prognosis yang buruk. Kejang terjadi pada sekitar 20 % kasus, dan palsi saraf kranial pada 5 %. Meningitis bakterial yang tidak ditindak hampir selalu fatal. CSS secara klasik memperlihatkan leukositosis polimorfonuklir, peninggian protein, dan penurunan glukosa; pewarnaan Gram dari CSS memperlihatkan organisme penyebab pada 75 % kasus. Kultur CSS memberi diagnosis pada 90 % kasus dan perlu untuk melakukan tes sensitifitas antibiotika terhadap mikroba. Penurunan kesadaran, terutama bila berhubungan dengan edema papil atau defisit neurologis fokal, mengharuskan dilakukannya CT scan sebelum melakukan pungsi lumbar untuk menyingkirkan lesi massa atau hidrosefalus. Hipertensi intrakranial difusa, tanpa adanya lesi massa pada CT scan bukan kontraindikasi pungsi lumbar, tentunya dengan pengetahuan yang baik tentang herniasi serta penanggulangannya. Pemeriksaan fisik harus mencakup pemeriksaan teliti daerah inflamasi berdekatan seperti otitis dan sinusitis dan mencari etiologi bakteremia seperti endokarditis. Kultur darah mungkin positif. Penelitian binatang memperlihatkan etiologi primer meningitis bakterial adalah invasi leptomeningeal bakteri malalui darah yang berkoloni dimukosa naso- faring. Patogen meningeal tersering adalah bakteria yang berkapsul. Setelah membentuk koloni dinasofaring, bakteri berkapsul melintas epitel dan membuat jalan kealiran darah. Kapsul menghambat fagositosis oleh neutrofil, jadi patogen meningeal memperlihatkan kemampuan mempertahankan bakteremia transien. Mekanisme selanjutnya dimana bakteri dalam darah mencapai lepto- mening dan ruang subarakhnoid belum begitu diketahui. Sumber lain meningitis bakterial adalah perluasan langsung dari infeksi otorinologis, walau kejadiannya jelas dikurangi oleh terapi dini antibiotik yang efektif terhadap otitis atau sinusitis. Jarang, meningitis disebabkan inokulasi langsung pada cedera penetrating. Tindakan terhadap meningitis akut, tampak pada tabel, tergantung sumber primer, usia pasien, organisme penyebab, dan sensitifitas antibiotik. Tindakan harus diarahkan pada infeksi CSS maupun sumber primer. Meningitis yang terjadi sekunder terhadap bakteremia dan perluasan langsung otorinal cenderung disebabkan organisme yang biasa berkembang dinasofaring. Terdapat pengaruh usia yang jelas pada meningitis oleh organisme tersebut. Meningitis setelah cedera otak traumatika serta fraktura tengkorak, dengan atau tanpa otorinorea CSS, paling sering diakibatkan oleh S. pneumoniae. Meningitis yang terjadi setelah luka penetrasi biasanya disebabkan stafolikokal, streptokokal, atau organisme gram negatif. Terapi empiris harus diperbaiki bila organisme penyebab sudah dikenal. Penisilin G dan ampisilin diketahui mempunyai manfaat yang sama pada kebanyakan infeksi S. pneumoniae dan N. meningitidis. Dengan meningkatnya H. influenzae yang membentuk beta- laktamase, saat ini (1993) sekitar 25 %, menyebabkan pemakaian ampisilin dan kloramfenikol sebagai terapi empiris. Seftriakson atau sefotaksim memperlihatkan manfaat dan sekarang dipakai sebagai terapi terpilih pada neonatus dan anak-anak. Walau sefuroksim, sefalo- sporin generasi kedua, pernah umum digunakan untuk H. influenzae, tidak lagi dianjurkan untuk infeksi SSP karena lambatnya sterilisasi CSS serta dilaporkan terjadinya meningitis H. influenzae pada saat terapi sistemik. L. monocytogenes tidak sensitif sefalosporin dan terapi yang dianjurkan adalah ampisilin atau penisilin G. Pilihan lain adalah trimetoprim-sulfa- metoksazol. Pasien dengan meningitis S. aureus harus ditindak dengan nafsilin atau oksasilin, dengan vankomisin dicadangkan untuk strain resisten metisilin dan S. epidermidis. Lamanya terapi meningitis, umumnya berdasar empiris dan tradisi; biasanya 7-14 hari untuk patogen meningeal utama, dan 21 hari untuk infeksi basil gram negatif. Tindakan terhadap meningitis basiler gram negatif mengalami revolusi dengan adanya sefalosporin generasi ketiga. Sefotaksim, seftazidim, dan seftriakson dapat menembus CSS dan mecapai konsentrasi terapeutik hingga memungkinkan terapi terhadap meningitis yang sebelumnya memerlukan terapi secara intratekal; 78-94 % tingkat kesembuhan telah dilaporkan. Seftriakson, sefotaksim, dan seftazidim terbukti bermanfaat. Sefalosporin generasi ketiga lainnya, seftizoksim dan sefoperazon, belum dinilai dengan baik. Dianjurkan seftazidim dicadangkan untuk pengobatan P. aeruginosa dalam kombinasi dengan aminoglikosida. Kegagalan regimen ini mengharuskan pemberian aminoglikosida intratekal atau intraventrikuler untuk memperkuat terapi. Modifikasi inflamasi ruang subarakhnoid dengan agen anti inflamatori mungkin memperkecil akibat meningitis bakterial. Penelitian mutakhir terapi tambahan deksametason pada bayi dan anak-anak dengan meningitis bakterial memperlihatkan bahwa sekuele neurologis jangka panjang, terutama retardasi mental dan kehilangan pendengaran, menurun pada pemberian deksametason 0.15 mg/kg IV setiap 6 jam pada 4 hari pertama terapi, dan tidak memperberat efek eradikasi infeksi. Saat ini penggunaan deksametason dianjurkan pada pasien pediatrik berusia lebih dari 2 bulan. ABSES OTAK Abses otak adalah koleksi infeksi purulen berbatas tegas didalam parenkhima otak. Perjalanan waktu dan perubahan yang terjadi selama pembentukan abses pada anjing dikemukan oleh Britt. Sel inflamatori akut tampak pada pusat meterial yang nekrotik, dikelilingi zona serebritis. Dengan maturasi, timbul neovaskulari- sasi periferal dan lambat laun terbentuk cincin fibroblas yang menimbun kolagen dan makrofag, berakhir sebagai kapsul berbentuk tegas. Apakah serebritis menjadi abses yang berkapsul tergantung pada interaksi pasien-organisme dan pengaruh terapi. Pada manusia dengan sitema imun baik, proses sejak infiltrasi bakterial hingga abses berkapsul memerlukan sekitar 2 minggu. Daerah terlemah dari kapsul cenderung merupakan daerah yang kurang vaskuler yang menghadap ventrikel; karenanya migrasi sentrifugal proses inflamatori dengan ruptur ventrikuler dan kematian merupakan sekuele yang umum pada masa prabedah dahulu kala. Tanda dan gejala abses otak umumnya berhubungan dengan efek massa. Nyeri kepala, defisit neurologis fokal, dan gangguan mentasi sering tampak. Demam terjadi pada 50 % dari waktu, namun mungkin tidak ada atau sedikit bukti infeksi sistemik. Kejang terjadi pada 25-60 % pasien. Edema otak, efek massa, dan pergeseran garis tengah umum terjadi; karenanya pungsi lumbar kontraindikasi dan mempunyai nilai klinis yang kecil karena kultur CSS positif hanya pada kurang dari 10 % kasus. Abses otak umumnya terjadi sekunder terhadap infeksi ditempat lain, dan bakteriologi sering menunjukkan sumber primer. Seperti empiema subdural, perluasan intrakranial langsung dari sinus paranasal atau infeksi telinga adalah etiologi tersering. Lesi ini adalah khas soliter dan ditemukan dilobus frontal pada sinusitis frontoetmoid, dilobus temporal pada sinusitis maksiler, dan serebelum atau lobus temporal pada infeksi otologis. Abses otak multipel menunjukkan penyebaran hematogen dari sumber jauh dan infeksi sistemik yang umum seperti endokarditis bakterial, kelainan jantung kongenital sianotik, pneumonia, dan divertikulitis harus dicari. Penyebaran hematogen, terutama dari endokarditis, mungkin berhubungan dengan aneurisma intrakranial piogenik. Kontaminasi otak langsung melalui cedera otak penetrating adalah penyebab lain dari abses. Fragmen tulang yang belum dibuang serta debris lainnya umum dijumpai pada pasien dengan infeksi otak traumatika. Pembentukan abses jarang terjadi selama perjalanan meningitis bakterial, namun merupakan faktor pre- disposisi pada 25 % abses otak pediatrik yang biasanya berkaitan dengan meningitis Sitrobakter atau Proteus neonatal. Sebaliknya abses otak sering dijumpai pada pasien dengan immunitas yang terganggu sekunder atas penggunaan steroid, kelainan limfoproliferatif, dan transplantasi organ, dan absesnya cenderung multipel. Organisme yang paling sering dijumpai pada abses otak adalah Streptokokus, Stafilokokus, dan Baktero- ides, dengan organisme multipel pada 10-20 % kasus. Terapi antibiotik empiris berdasar lokasi lesi dan sumber infeksi yang sudah dikenal, namun beratnya penyakit serta sering terjadinya infeksi yang tidak terduga menyebabkan dianjurkannya antibiotik jangkauan luas atas gram positif, gram negatif, dan anaerob sebagai terapi empiris pada semua kasus. CT scan mempunyai akurasi tinggi dalam melacak Tabel I-2 Meningitis: Organisme Penyebab dan Terapi Empiris berdasar Sumber infeksi, dan Usia
Tabel I-2 Meningitis: Organisme Penyebab dan Terapi Empiris berdasar Sumber infeksi, dan Usia
E.coli; B. streptococci; L.monocytogenes
Enterobacteriaceae : -----Escherichia, -----Klebsiela, -----Proteus, -----Serratia
S3: sefalosporin generasi ketiga: Seftriakson, sefotaksim, seftazidim
Tabel I-4 Dosis Antibiotika Untuk Infeksi SSP Pada Dewasa