Dr. Syaiful Saanin, Neurosurgeon. saanin@padang.wasantara.net.id Ka. SMF Bedah Saraf RSUP Dr. M. Djamil/FK-UNAND Padang.
3. KELAINAN SARAF KARENA JERATAN PADA ANGGOTA BAWAH Kelainan karena jeratan pada anggota bawah lebih jarang dibanding anggota atas. a. Jeratan Saraf Kutaneus Femoral Lateral Gambaran Klinis Lesi saraf ini pertama dikemukakan Bernhardt dan Roth 1895. Istilah meralgia parestetika semula digunakan untuk menunjukkan semua nyeri paha. Istilah ini sekarang digunakan untuk keadaan yang timbul sendiri sebagai rasa tidak enak pada distribusi saraf kutaneus femoral lateral. Rasa tidak enak ini bisa berupa formikasi, rasa dingin, terbakar, atau seperti kena listrik yang berkembang menjadi hipestesia atau anestesia. Nyeri berkurang dengan posisi terlentang atau dengan fleksi paha saat berdiri. Gejala biasanya unilateral. Pemeriksaan fisik hanya menunjukkan kehilangan sensori diatas area yang terkena. Kehilangan sensori mengenai daerah yang lebih kecil dari distribusi saraf kutaneus lateral. Daerah yang kehilangan sensori untuk pinprik biasanya lebih sempit dibanding daerah sentuh ringan. Penting bahwa respons terhadap tes sensori mungkin hiperestesia pada beberapa kasus dibanding hipestesia. Etiologi Ghent menjelaskan empat jenis variasi perjalanan saraf kutaneus femoral lateral, masing-masing menimbulkan gambaran penyakit yang klasik: (1) saraf berjalan melewati ligamen inguinal; (2) saraf dibelokkan oleh tepi tajam fasia iliakus yang terletak posterior terhadap letak normal saraf (kompresi terjadi bila pasien dalam posisi terlentang); (3) saraf memasuki otot sartorius dekat asalnya pada spina iliaka superior anterior dan berjalan kedistal dalam otot sebelum keluar dibawah fasia lata; dan (4) saraf kutaneus lateral memasuki paha, menyilang krista iliaka pada lateral dan posterior spina iliaka superior anterior. Faktor yang mempresipitasi gejala antaranya adalah kegemukan, posisi berbaring lama setelah anestesi atau kelainan debilitas, peninggian tekanan intra abdominal (biasanya berhubungan dengan kehamilan, asites, atau tumor), dan perubahan mekanik sendi panggul sekunder atas kelainan intra spinal seperti herniasi diskus). Diagnosis Diferensial Lesi proksimal harus disingkirkan sebelum memikirkan operasi. Diagnosis diferensial antaranya gangguan saraf femoral dan gangguan akar saraf lumbar kedua atau ketiga. Pada keadaan ini, baik karena kelainan intra ataupun ekstraspinal, gangguan motor berupa kelemahan fleksor panggul atau otot kuadriseps umum terjadi. Diskus yang mengalami herniasi setinggi L1-2 atau L2-3 mungkin menyerupai meralgia parestetika. Sebagai tambahan, lesi ilium, sekum, kolon sigmoid, atau semua lesi pada rongga retroperitoneal sebelah atas mungkin menekan saraf pada tingkat otot psoas. Penilaian Elektrodiagnostik EMG otot kuadriseps berguna karena diagnosis meralgia parestetika tidak mungkin bila ditemukan kelainan. Potensial aksi sensori mungkin abnormal. Penting untuk memeriksa paha yang asimtomatik untuk memastikan keabsahan tehnik, terutama pada kegemukan. Tindakan Tindakan konservatif pada keadaan yang ringan biasa diindikasikan. Usaha pertama adalah merubah kegiatan fisik atau melepas ikat pinggang, korset atau pembalut yang menjerat. Bila berat badan atau kehamilan merupakan faktor pemacu, penguranagn berat badan atau berjalannya waktu akan memperbaiki keadaan. Bila hal ini tidak memperbaiki gejala, blok saraf lokal atau injeksi steroid mungkin berguna. Pada keadaan yang jarang, gejala berat bertahan walau ditindak konservatif. Dalam hal ini dekompresi bedah diindikasikan. Saraf kutaneus femoral lateral ditampilkan, baik melalui insisi vertikal maupun insisi horizontal. b. Jeratan Saraf Siatik Proksimal Sindroma piriformis khas dengan gejala pada distribusi saraf siatik. Ia salah satu dari sekian banyak proses patologis yang menyebabkan gejala pada distribusi saraf siatik yang berasal nonspinal. Pasien dengan gejala ini bisa bersamaan mempunyai kelainan spinal lumbosakral. Diagnosis sulit untuk ditetapkan dengan pasti. Gambaran Klinis Gejala tidak berbeda dengan herniasi diskus lumbar. Defisit sensori dan motor tentu lebih luas apabila dibanding yang mengenai satu akar pada herniasi diskus. Palsi lengkap saraf siatik jarang. Gangguan parsial dengan kelemahan pada banyak atau semua fleksor lutut, fleksor atau ekstensor ankel, dan intrinsik kaki bisa terjadi. Gangguan sensori bisa mengenai semua kaki kecuali daerah kecil yang dicatu saraf safenus diatas malleolus medial. Patofisiologi dan Diagnosis Diferensial Yeoman menekankan hubungan klinis dengan anatomis saraf siatik dan otot piriformis. Mekanisme patofisiologis iritasi atau cedera saraf oleh otot ini tidak jelas. Dikira berbagai hubungan anatomis saraf ini atau cabangnya terhadap otot merupakan faktor dasar. Pecina menemukan 6 % saraf siatik melalui antara dua bagian tendinosa otot piriformis. Percabangan saraf yang tinggi dengan bagian peroneal saraf melalui otot tidak jarang. Rotasi kedalam, lebih dari rotasi keluar, dari panggul diketahui sebagai penyebab kompresi saraf oleh dua bagian tendinosa otot. Namun variasi anatomis ini jauh lebih banyak dari yang bergejala. Penyebab jeratan saraf siatik lain juga jarang. Banerjee dan Hall melaporkan kasus jeratan oleh band miofasial dibagian distal paha. Jeratan yang terjadi sekunder atas fibrosis yang diinduksi oleh injeksi pentazosin. Kompresi simtomatik saraf siatik bisa oleh hematoma retroperitoneal karena komplikasi terapi antikoagulan atau bedah panggul. Gangguan saraf siatik bisa disebabkan bocornya akrilik kedaerah posterior sendi panggul saat penggantian panggul total. Temuan EMG subklinis abnormal dijumpai pada kebanyakan pasien yang mengalami penggantian panggul. Aneurisma arteria iliak juga mengganggu saraf siatik. Etiologi non- struktural diantaranya adalah: gangguan saraf diabetik atau vaskuler, yang bisa memberikan gejala serupa. Penilaian Elektrodiagnostik dan Radiografik Peran terpenting elektrodiagnostik adalah membedakan jeratan saraf siatik proksimal dari gejala kompresi akar yang lebih sering terjadi. EMG sangat bernilai: otot paraspinosa proksimal, seperti halnya otot yang dicatu saraf gluteal inferior dan superior (otot tensor fasia lata, gluteus medius dan minimus) biasanya abnormal pada lesi akar, namun normal pada jeratan saraf siatik. Bila saraf gluteal superior terkena, otot gluteus minimus dan medius serta tensor fasia lata sering menunjukkan EMG abnormal. Potensial evoked somatosensori diperiksa diatas lipat gluteal, diatas tulang belakang daerah L5, dan diatas daerah T12-L1. Potensial ini dikira berasal dari saraf siatik, akar kauda ekuina, dan entry zone akar dorsal kord spinal. Potensial aksi sensori kutanosa dicatat pada saraf sural, peroneal atau plantar, mungkin abnormal pada lesi siatik dan normal pada lesi akar. Refleks-H dan respons-F tidak berguna untuk diagnosis diferensial. CT scan abdominal dan pelvik bisa menunjukkan lesi struktural yang mengenai saraf siatik. MRI saat ini penggunaannya meningkat untuk keperluan ini. Tindakan Karena etiologi sebenarnya dari disfungsi saraf siatik proksimal sering merupakan tanda tanya, tindakan konservatif dilakukan mendahului tindakan operasi. Walau skema pengelolaan ini tidak spesifik, percobaan dengan agen anti inflamatori nonsteroidal disertai istirahat merupakan terapi awal pada kebanyakan kasus. Pendekatan bedah untuk pengelolaan sindroma piriformis berupa pemisahan otot piriformis pada insersi tendinosanya ditrokhanter major. Bila gangguan saraf siatik disebabkan hematoma sebagai komplikasi terapi antikoagulansia, tindakan operasi terkadang cukup memadai, diikuti perbaikan kelainan koagulasi. Fleming memperlihatkan bahwa pada hematoma pasca bedah panggul, pemulihan saraf terjadi segera dan lebih lengkap pada pasien yang mendapatkan dekompresi segera dibanding yang tidak. c. Sindroma Terowongan Tarsal Posterior Ada dua bentuk 'tarsal tunnel syndrome', namun bentuk posterior yang biasanya disebut sindroma terowongan tarsal dan kejadiannya sangat lebih sering. Sindroma terowongan tarsal anterior jarang dan mengenai saraf peroneal dalam. Gambaran Klinis dan Elektrodiagnostik Pasien dengan sindroma terowongan tarsal posterior tampil dengan perjalanan lambat dan tak jelas dengan rasa terbakar serta parestesia pada permukaan plantar kaki dan jari kaki. Distribusi kelainan tergantung cabang saraf tibial posterior mana yang terkena. Terkadang nyeri menjalar keproksimal ketungkai bawah. Nyerinya dapat dieksaserbasi oleh berdiri dan/atau kegiatan dan berkurang dengan istirahat dan/atau menggosok kaki. Gejala sering memburuk pada malam hari. Tumit sering tak terganggu karena cabang kalkaneal lebih sering muncul diproksimal retinakulum fleksor dan karenanya jarang terkena. Tanda klinisnya sering sulit dilacak. Otot kaki intrinsik bisa lemah dan atrofi; terbaik dinilai dengan memeriksa kekuatan fleksi plantar jari kaki , terutama pada jari kaki lateral. Kelemahan otot intrinsik akan menyebabkan perubahan penyesuaian kaki dan ketidak- stabilan jari-jari, yang akan mengganggu fase pushing- off dalam berjalan. Gangguan motor bisa menyebabkan deformitas pes kavus, dengan clawing jari kaki . Langkah dengan kaki datar dengan panjang langkah yang pendek bisa terjadi karenanya. Gangguan sensori tergantung cabang mana yang terkena. Pemeriksaan sensori juga sulit karena tebalnya kulit dipermukaan plantar kaki. Hipestesia sepanjang permukaan medial kaki, bila terjadi, mudah dilacak. Tanda Tinel positif bisa tampil dengan parestesia distal dan nyeri terjadi setelah perkusi tepat diatas terowongan tarsal. Ini letaknya posterior dan inferior dari malleolus lateral. Tanda Tinel mungkin juga tampil pada perjalanan masing-masing saraf plantar. Elektro- diagnosis tes sering berguna. Baylen menemukan kelainan EMG pada 25 % pasien dengan artritis rematoid. Hanya 1 % yang memiliki gejala sindroma terowongan tarsal posterior. Bila latensi konduksi diperiksa, harus dilakukan pada kedua saraf plantar untuk meningkatkan ketepatan pelacakan. Pencatatan aksi potensial sensori diproksimal retinakulum fleksor mungkin abnormal dan lebih peka dibanding kecepatan konduksi motor dalam melacak patologinya. Latensi konduksi motor, dicatat didistal mengikuti stimulasi diproksimal retinakulum fleksor, diduga abnormal bila pemanjangan lebih dari 1 mili detik (bandingkan kedua kaki). Pemanjangan latensi motor distal pada otot abduktor halusis diindikasikan bila cabang plantar medial terkena, sedang pemanjangan latensi abduktor digiti quinti menunjukkan terkenanya cabang lateral. Khas adalah kecepatan konduksi pada saraf tibial posterior pada tungkai bawah adalah normal. EMG jarang dilaporkan karena sulitnya memeriksa otot kaki intrinsik. Patofisiologi Sindroma terowongan tarsal posterior berbeda dengan sindroma terowongan karpal. Daerah kompresi terletak posterior dan inferior dari malleolus medial. Atap terowongan tarsal terdiri retinakulum fleksor dan lantainya terdiri dari tulang ankel. Beberapa struktur terdapat didalam terowongan, yaitu tendon, selubung sinovial, dan struktur neurovaskuler. Setiap atau seluruh tiga cabang terminal saraf tibial posterior (saraf plantar medial dan lateral serta kalkaneal) bisa terletak didalam terowongan.. Terowongan tarsal juga berbada dari terowongan karpal dimana sejumlah septa fibrosa menghubungkan atap terowongan dengan lantai. 50 % pasien yang tampil dengan gejala sindroma terowongan posterior mempunyai riwayat cedera. Namun gejala mungkin timbul beberapa waktu kemudian. Gejala mungkin akibat pembentukan skar intraneural atau skar nonspesifik sekitar struktur tulang atau jaringan lunak. Berdiri lama dan stasis vena juga berkaitan dengan sindroma ini. Etiologi mungkin tenosinovitis non spesifik atau kongesti vena didalam terowongan. Sindroma tarsal dilaporkan berhubungan dengan artritis rematoid dan hiperlipidemia, dimana etiologinya adalah penimbunan lipid dalam terowongan. Tindakan Tindakan konservatif dimulai dengan mengurangi trauma lokal dan/atau bidai kaki dengan penyangga lengkung medial. Penyangga lengkung kaki mengimmobilisasi daerah terkena, serupa dengan penggunaan bidai pergelangan pada sindroma terowongan karpal. Agen anti inflamatori nonsteroidal bisa bermanfaat pada adanya flebitis lokal atau tenosinovitis. Blok saraf tibial posterior dengan anestetik lokal tepat diproksimal retinakulum fleksor mungkin mengurangi gejala dan membantu memperkirakan hasil operasi yang akan didapatkan. Tindakan bedah dilakukan hanya bila tindakan konservatif gagal, serta pasien dengan gambaran klinis khas serta tes elektro- diagnostik menyokong diagnosis. Menurut Wilemont, 1979, hanya 60 % memerlukan operasi. Pendekatan bedah melalui insisi lengkung 1.5 sm dibelakang dan bawah malleolus medial. Insisi bisa diperluas keproksimal untuk mencari saraf tibial posterior pada kalf distal. Setelah insisi retinakulum fleksor, umumnya dilakukan neurolisis eksternal pada setiap cabang, yang mungkin dikelilingi beberapa band fibrosa dan septasi yang terdapat didaerah ini. d. Sindroma Terowongan Tarsal Anterior Gambaran klinis Anterior tarsal tunnel syndrome adalah kompresi saraf peroneal dalam pada ankel. Gambaran klinis terutama sensori, dengan baal dan parestesia pada ruang sela jari pertama dorsal. Terkadang keluhan berupa nyeri dan tegang pada ankel dan dorsal kaki dengan radiasi sentripetal hingga keseluruh batang peroneal. Nyeri bertambah pada posisi tertentu dan kegiatan, sering membangunkan pasien disaat tidur. Borges dari otopsi menemukan pendataran serta pelebaran saraf peroneal oleh retinakulum ekstensor diatasnya. Penelitian ini menunjukkan bahwa fleksi plantar yang kuat pada ankel dengan dorsifleksi jari kaki akan menekan saraf pada derajat maksimum. Posisi ini serupa dengan yang dihasilkan bila memakai sepatu tumit tinggi. Posisi saraf pada dorsum ankel juga membuatnya terancam kompresi, misalnya oleh sepatu yang sempit. Tindakan Pasien yang tidak membaik dengan tindakan istirahat, penghilangan tekanan eksternal yang memperberat, atau obat anti inflamatori, intervensi bedah diperlukan. Dekompresi dilakukan seperti pada sindroma posterior. Selama dekompresi saraf, cabang saraf peroneal permukaan jangan dikelirukan dengan cabang paralel saraf peroneal dalam. Saraf juga dilacak keproksimal untuk menyingkirkan lesi didaerah ankel. e. Jeratan Saraf Peroneal Gambaran Klinis dan Elektrodiagnostik Gangguan saraf peroneal sering dan klinisnya sudah diketahui dengan baik. Tampil sebagai paralisis atau kelemahan dorsifleksor kaki serta kelemahan eversi kaki. Bisa dijumpai langkah yang steppage. Saraf peroneal, seperti juga cabang permukaan dan dalamnya, bisa terkena kompresi. Kompresi cabang permukaan lebih sering. Permukaan lateral tungkai bawah, malleolus lateral, dorsum kaki, dan ruang sela jari kaki kedua dan ketiga biasanya hipestetik. Cabang permukaan juga menginervasi otot peroneus longus dan brevis. Ini mengakibatkan kelemahan eversi kaki. Bila cabang dalam terkena, gangguan motor lebih prominen karena menginervasi otot tibial anterior, seperti juga ekstensor semua jari kaki. Cabang dalam memberikan sensasi pada daerah yang relatif kecil antara jari pertama dan kedua serta bagian dorsum kaki berdekatan. Cabang ekstensor digitorum brevis tampak melemah lebih dini saat terjadi kerusakan saraf. Karenanya penting memeriksa aktifitas otot ini. Walau otot ekstensor digitorum brevis mungkin menerima inervasi dari semua cabang, ia diinervasi cabang dalam pada 72 % kasus. Apibila saraf peroneal komunis terkompres, gambaran klinis akan menunjukkan gangguan cabang dalam maupun permukaan. Gambaran klinis jeratan peroneal bermacam-macam, tergantung penyebab. Lesi kompresif akut cenderung berkaitan dengan gangguan motor lebih dari sensori. Kompresi bentuk yang lebih kronis seperti disebabkan sista atau tumor, bisa dengan nyeri menjalar diikuti gangguan motor dan sensori progresif. Tes elektro- diagnostik berguna untuk diagnostik dan memastikan prognosis. Bila kecepatan konduksi motor normal atau mendekati normal, prognosis untuk pemulihan adalah baik. Prognosis jelek bila kecepatan konduksi lambat. Kecepatan konduksi saraf motor diukur dari otot tibialis anterior dengan stimulasi pada ankel, fossa popliteal lateral, serta dibawah kepala fibuler. Pencatatan pada otot anterior tibialis lebih berguna dibanding pada ekstensor digitorum brevis karena sering terjadi denervasi lengkap bila ekstensor digitorum terkena. Hilangnya amplituda potensial aksi motor campuran juga merupakan pengamatan yang berguna pada pemeriksaan atas konduksi saraf motor. Sekali lagi, pencatatan dari otot tibialis anterior lebih bermanfaat dibanding dari otot ekstensor digitorum dengan alasan serupa. Stimulasi distal pada ankel, dengan pencatatan potensial aksi saraf didistal dan proksimal kepala fibuler, lebih akurat dibanding kecepatan konduksi motor saat memeriksaa perlambatan fokal. Nyatanya perlambatan fokal absolut dari konduksi sensori adalah pemeriksaan yang lebih peka dengan positif palsu lebih sedikit dibanding perlambatan konduksi sensori fokal relatif, penurunan potensial aksi sensori, serta dispersal potensial aksi sensori. Gambaran aksonal merupakan tampilan lebih sering dibanding gambaran demielinisasi. Gambaran EMG sering abnormal, namun mungkin membingungkan karena kecenderungan lesi proksimal mengenai otot yang diinervasi peroneal. Namun EMG otot yang diinervasi peroneal adalah indikator yang baik pada pemulihan, karena reinervasi terjadi mendahului pemulihan klinis. Patofisiologi Palsi peroneal relatif sering, namun kelainan saraf karena jeratan sejati jarang. Sindroma terowongan fibuler adalah fenomena jeratan dimana saraf peroneal terkompresi pada fibula oleh tepi tendinosa otot peroneus longus, yang berasal dari leher fibula. Kompresi eksternal saraf peroneal pada kepala fibuler bisa terjadi sekunder atas sejumlah keadaan: bidai plester, stoking ketat, bebat, dan kaus kaki bisa menyebabkan kompresi. Kompresi eksternal bisa juga terjadi pada pasien stupor atau koma sekunder atas pemakaian obat dengan tungkai bawah terletak pada objek yang menonjol. Juga terjadi pada pasien dalam anestesi umum atau posisi litotomi. Sejumlah massa, seperti ganglia, tumor saraf, atau tumor struktur sekitar bisa menyebabkan gangguan saraf kompresi. Kompresi saraf peroneal juga disebabkan peninggian tekanan intra-artikuler didalam lutut, yang menyebabkan herniasi jaringan sinovial keposterior. Ini manifes sebagai rasa penuh atau pembengkakan dan nyeri pada aspek posterior lutut. Pada beberapa keadaan, eksplorasi bedah diperlukan untuk membedakan jeratan dari kompresi saraf eksternal oleh massa seperti ganglia dan tumor. Pekerjaan dengan berlutut atau berjongkok untuk masa yang lama juga mempredisposisi kelainan saraf kompresi peroneus. Kompresi diduga terjadi pada tendon ditepi posterior otot peroneus longus ditingkat kepala fibula. Palsi peroneal bisa terjadi setelah kehilangan sejumlah besar berat badan. Hal ini mungkin karena peningkatan kemungkinan trauma pada kepala fibuler. Diagnosis Diferensial Palsi sempurna dorsifleksor kaki kemungkinan besar menunjukkan palsi saraf peroneal. Kebanyakan gangguan saraf meninggalkan utuh sebagian otot karena tumpang tindihnya inervasi akar. Kelainan akar L5 menyerupai palsi peroneal, namun dibedakan darinya dengan: (1) kelemahan inversi kaki, (2) gangguan sensori terjadi jelas diatas titik tengah kalf, (3) lebih besar kelemahan pada otot ekstensor hallusis dibanding otot tibialis anterior (yang menerima lebih banyak inervasi L4 dari pada otot ekstensor hallusis dan karenanya kurang terganggu), dan (4) nyeri pinggang. Saraf peroneal mungkin terganggu pada tingkat berbeda dibawah lutut. Saraf peroneal dalam mungkin terganggu pada sindroma kompartemen anterior dengan akibat foot-drop, tapi dengan meninggalkan evertor kaki utuh. Saraf peroneal dalam distal bisa terkena pada sindroma terowongan tarsal anterior. Ini bisa berakibat atrofi asimtomatis ekstensor digitorum brevis serta gangguan sensori kulit ruang sela jari pertama dan kedua. Lesi saraf siatik bisa tampil predominan dengan tanda-tanda peroneal karena saraf peroneal lebih sering serta lebih berat terkena dibanding saraf tibial. Tiadanya refleks ankel, atrofi atau kelemahan otot hamstring atau kalf, atau gangguan sensori tumit mungkin berarti saraf siatik terkena. Kelainan saraf perifer bisa juga menyebabkan disfungsi saraf peroneal. Saraf peroneal komunis juga sering terkena kelainan saraf diabetik. Tindakan Pasien dengan perjalanan progresif kronik dari nyeri dan gangguan sensori dan/atau motor harus dipikirkan mempunyai kelainan saraf jeratan, tumor atau sista ganglion. Eksplorasi dini diindikasikan, karena lebih baik dari menunggu. Pasien dengan lesi kompresif akut akibat etiologi yang lebih sering harus ditindak dengan merubah kebiasaan yang mempredisposisi kelainan saraf tersebut. Digunakan brace untuk menstabikan ankel selama ambulasi. f. Sindroma Jeratan Saraf Safenus Saraf safenus adalah cabang sensori kutan yang terbesar dari saraf femoral. Ia saraf sensori sejati dengan dua cabang terminal. Cabang infrapateller mencatu aspek anteromedial lutut, dimana cabang yang turun mencatu aspek anteromedial tungkai bawah dan ankel. Gambaran Klinis dan Anatomi Saraf safenus berasal tepat dibawah ligamen inguinal. Lalu memasuki kanal adduktor (kanal Hunter), menyilang arteria femoral dari lateral kemedial dan meninggalkan kanal dengan menembus atap bersamaan dengan arteria genikuler desending. Saraf mempenetrasi fasia sub- sartorial, atap dari kanal. Disini jeratan diduga terjadi, sekitar 10 sm diatas kondil medial dari femur. Setelah menembus fasia dalam, saraf bercabang menjadi dua cabang terminal. Pemeriksaan fisik menunjukkan nyeri diatas titik keluarnya saraf dara kanal subsartorial. Tanda Tinel bisa dijumpai pada titik ini, juga sepanjang perjalanan saraf. Gangguan sensori biasanya terjadi sepanjang aspek medial lutut dan/atau tungkai. Saraf safenus mungkin cedera selama tindakan bedah vaskuler (arterial dan vena) atau oleh laserasi. Cabang infrapateller bisa cedera saat operasi lutut, dengan baal terjadi diatas daerah tendon pateller. Tindakan Bila sindroma ini tetap refrakter atas tindakan konservatif, neurolisis harus dilakukan pada titik penetrasi keatap kanal Hunter. Ini dilakukan dengan melalui insisi yang pusatnya pada titik dimana saraf keluar dari kanal. Fasia dalam sepanjang tepi anterior otot sartorius diinsisi. Otot sartorius diretraksi kemedial untuk mengenali atap kanal Hunter. Titik keluarnya diidentifikasi, juga hubungannya dengan arteria genikuler desending. Akhirnya fasia dibuka lebar.