4. CEDERA SARAF PERIFER TRAUMATIKA
Cedera saraf tepi adalah komplikasi berat cedera
ekstremitas traumatika, karena pemulihan aktifitas
tendon dan otot serta perbaikan sensibilitas adalah
penting untuk ekstremitas yang berfungsi. Prinsip
pengelolaan awal ekstremitas yang cedera sudah
difahami. Sasaran pentingnya adalah luka yang bersih,
penyelarasan struktur, dan pencegahan deformitas; namun
makin luas dan berat cedera yang terjadi, makin panjang
waktu yang diperlukan untuk mencapai homeostasis pada
jaringan. Insufisiensi vaskuler, osteomielitis kronis,
dan kerusakan sendi semua berperan atas infiltrasi
fibrotik serta penurunan aktifitas. Penelitian klinis
pada cedera saraf perifer traumatika memperlihatkan
variasi karena pemulihan fungsi yang berguna sangat
tergantung pada respons total ekstremitas terhadap
cedera dibanding regenerasi saraf yang cedera. Selain
itu saraf perifer hanya berfungsi pada reseptor sensori
dan end plate motor yang tepat.
PENILAIAN AWAL
Pemeriksaan klinis awal adalah penilaian umum atas
gangguan fungsi yang dirancang untuk menentukan derajat
cedera saraf tepi. Pada pasien sadar dilakukan dengan
pemeriksaan otot volunter serta ambang rangsang
sensibilitas. Pemeriksaan otot volunter, perintah yang
umum lebih mudah untuk dilakukan pada pasien yang
bingung dibanding harus melakukan kontraksi otot yang
berturutan; misalnya, 'silangkan jari-jarimu' adalah
tes yang memadai untuk mengetahui keutuhan fungsi saraf
ulnar. Peregangan otot secara pasif akan mewaspadakan
pemeriksa akan adanya potensi untuk terjadinya sindroma
kompartemen dengan hilangnya fungsi saraf tepi secara
bersamaan. Pemeriksaan ambang rangsang sensibilitas
juga dihubungkan dengan tingkat reaksi pasien yang
sadar. Garpu tala dapat digunakan menentukan nilai
ambang rangsang sensibilitas, yang bisa bernilai
kuantitatif baik dengan jarak diskriminasi dua titik
statik maupun bergerak. Pada pasien tidak sadar dengan
fraktura atau dislokasi, pemeriksa harus tetap waspada
akan sindroma kompartemen dan pikirkan tes elektro-
diagnostik untuk memastikan integritas setiap potensi
dari saraf tepi yang terkena.
Beratnya cedera secara keseluruhan saja bisa
memutuskan untuk mengeksplorasi ekstremitas. Keputusan
ini biasanya berdasar atas terkenanya struktur anatomis
lain selain saraf tepi, seperti angiogram yang abnormal
dan fraktura terbuka. MRI bermanfaat bila terdapat
cedera pada dua tingkat dan perluasan cedera saraf tepi
tidak diketahui. Bila operasi gawat darurat harus
segera dilakukan, saraf tepi yang non fungsional harus
ditaksir secara pengamatan langsung. Saraf yang putus
harus diperbaiki sesegera klinis memungkinkan. Bila
saat debridemen saraf terbuka dan diputuskan perbaikan
tunda, puntung saraf harus disimpai dengan jahitan
kawat monofilamen halus untuk mencegah retraksi serta
membantu identifikasi radiologis.
SKEMA KLASIFIKASI CEDERA SARAF
Saat PD II, Seddon memperkenalkan klasifikasi sederhana
pada cedera saraf traumatika dengan terminologi
spesifik: neurapraksia, aksonotmesis, dan neurotmesis.
Sunderland mengidentifikasikan cedera kedalam lima
derajat, berdasar peningkatan beratnya cedera, yang
mengakibatkan gangguan fungsi. Tampaknya logis untuk
menggunakan tiga derajat cedera pada keadaan klinis.
Yaitu: (1) saraf tepi mengalami disorganisasi berat
hingga regenerasi tak dapat terjadi. Ini bisa karena
sajatan, tusukan, traksi ataupun penyuntikan saraf yang
diikuti pembentukan skar. Segmen yang terkena harus
dieksisi sebagai bagian perbaikan secara bedah. Keadaan
ini yang disebut neurotmesis oleh Seddon dan cedera
derajat empat atau lima oleh Sunderland; (2) saraf tepi
dengan interupsi akson dan selubung mielinnya, namun
bidang jaringan ikat seperti perineurium masih utuh.
Terjadi pengurangan jumlah akson yang tersedia untuk
regenerasi dan bisa terdapat adanya fibrosis berkas
intrafasikuler. Ini biasanya karena penetrasi peluru
atau tusukan, traksi atau kompresi dengan disertai
iskemia. Keadaan ini disebut aksonotmesis oleh Seddon
dan cedera derajat dua atau tiga oleh Sunderland; dan
(3) saraf tepi dengan interupsi segmental selubung
mielin, namun akson dan bidang jaringan ikat intak.
Tidak terjadi degenerasi Wallerian, dan gangguan yang
bertanggung-jawab atas hambatan konduksi dapat pulih
sempurna. Ini umumnya diakibatkan kontusi, seperti pada
fraktura, atau kompresi, seperti pada 'palsi malam
Minggu'. Pemulihan fungsional terjadi dalam beberapa
minggu hingga bulan. Keadaan ini disebut neurapraksia
oleh Seddon atau suatu cedera derajat pertama oleh
Sunderland.
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROSES PENENTUAN TINDAKAN
a. Usia
Satu-satunya faktor paling bermakna dalam pemulihan
setelah cedera dan penyambungan saraf. Hampir semua
pasien hingga usia pubertas mendapatkan hasil yang baik
setelah penyambungan saraf. Pasien lebih muda memiliki
kapasitas intrinsik yang lebih besar untuk re-edukasi
sensibilitas dan adaptabilitas motor dibanding pasien
lebih tua.
b. Jarak Dari End Organ
Cedera saraf proksimal (tinggi) menimbulkan dilemma
yang sulit, baik untuk prognosis pemulihan maupun untuk
indikasi operasi. Harus dipertimbangkan jarak dari
daerah cedera ketitik motor pertama yang akan mengalami
reinervasi. Dari saat cedera, terjadi distorsi dan de-
generasi progresif end organ sensori dan motor distal.
Dengan perjalanan waktu, terjadi distorsi saraf
didistal daerah cedera, bersamaan dengan melambatnya
proses regeneratif pertumbuhan kembali akson. Makin
proksimal cedera, makin panjang denervasi dari jaringan
distal dan makin lambat pemulihan fungsi. Diharapkan
bahwa regenerasi akson paling pesat pada tahun pertama
setelah cedera pada orang dewasa, namun interval antara
cedera dan reinervasi end organ lebih lama dari 4-5
tahun, pemulihan fungsional akan terbatas. Cedera
proksimal saraf siatik bisa lebih dari 20-30 sm. dari
end organ paling priksimal.
c. Cedera yang Menyertai
Makin luas cedera pada ekstremitas, makin panjang waktu
yang diperlukan untuk memantapkan homeostasis jaringan.
Saraf tepi hanya fungsional untuk pelat motor otot-
saraf serta reseptor sensorinya. Adanya jarak antara
puntung saraf menunjukkan beratnya cedera. Terkenanya
lebih dari satu saraf merupakan masalah lebih serius
untuk terjadinya pemulihan fungsional ekstremitas
secara keseluruhan dibanding cedera saraf terbatas.
Defisiensi vaskuler berat atau osteomielitis berat yang
merusak jaringan lunak sekitar saraf, berperan pada
infiltrasi fibrotik dan penyembuhan yang terlambat.
Insidens cedera saraf yang berkaitan dengan
fraktura tidak diketahui. Fraktura humerus adalah
fraktura yang paling sering berkaitan dengan cedera
saraf. Kebanyakan cedera berupa fraktura diafiseal
(shaft) menyebabkan saraf tepi tetap utuh. Saraf radial
terkena pada 60 %, saraf ulnar pada 18 %, saraf
peroneal komunis pada 15 %, dan saraf median pada 6 %
dari semua kelainan saraf akibat fraktura. Fraktura
atau dislokasi ditingkat epifiseal bisa menyebabkan
disrupsi vaskuler dan cedera saraf. Bebat fasia yang
ketat sekitar sendi menambah kemungkinan kerusakan
iskemik dan traksi. Disfungsi saraf terjadi pada 18 %
dislokasi sendi lutut. Biasanya berupa cedera traksi
yang bervariasi antara neurapraksia hingga neurotmesis.
Saraf siatik mengalami cedera pada 13 % dislokasi
panggul atau fraktura asetabuler posterior. Dislokasi
bahu yang bersamaan dengan cedera regang saraf aksiler
sekitar 5 % dari kasus. Cedera pleksus brakhial
infraklavikuler sering bersama dengan subluksasi bahu,
dimana cedera supraklavikuler sering ditunjukkan oleh
fraktura iga pertama, prosesus transversus tulang
belakang leher, atau klavikula. Prognosis untuk
pemulihan spontan lebih buruk pada dislokasi atau
fraktura tingkat epifiseal dibanding dengan fraktura
ditingkat diafiseal. Prognosis berbeda antara fraktura
tertutup dan terbuka dan ini berkaitan dengan beratnya
kerusakan ekstremitas. Seddon melaporkan pemulihan
spontan sebesar 83.5 % pada fraktura tertutup di-
ekstremitas atas dengan cedera saraf, namun hanya 65 %
pada fraktura terbuka dengan kelainan saraf. Omer
mendapatkan pemulihan spontan sebesar 83 % pada semua
kelainan saraf yang berkaitan dengan fraktura.
d. Mekanisme Cedera
Cedera saraf yang berhubungan dengan traksi atau
regangan mempunyai prognosis lebih buruk dibanding
akibat fraktura. Traksi biasanya mengenai segmen yang
panjang dari batang saraf. PD II memperlihatkan hanya
58 % pasien dengan cedera traksi pada lutut dengan
saraf peroneal utuh memperlihatkan pemulihan motor
secara fungsional. Selain itu prognosis cedera traksi
tidak dipengaruhi eksplorasi bedah.
Luka peluru inseidensnya meningkat. Diakibatkan
oleh cedera kinetik terhadap jaringan. Luka tembak
kecepatan tinggi bisa dengan akibat eksplosi internal
hingga fraktura yang terjadi bisa jauh dari jalur
peluru; namun kerusakan karena tekanan yang tergantung
pada peningkatan kecepatan peluru hanya berlaku untuk
penetrasi peluru pada jaringan dalam. Pada luka peluru,
sering kehilangan fungsi tanpa disrupsi saraf. Foster
melaporkan secara retrospektif kasus dengan paralisis
motor selama PD I, dimana 67 % membaik dengan tindakan
konservatif. Sunderland melaporkan pemulihan pada 68 %
kasus secara spontan pada PD II. Omer melaporkan dari
kasus perang Vietnam, pemulihan spontan terjadi pada
69 % pada kasus peluru kecepatan rendah dan 69 % juga
pada peluru kecepatan tinggi. Cedera neurapraksia dan
aksonotmesis sebanding pada luka tembak, dengan skala
waktu klinis untuk pemulihan spontan 1-4 bulan untuk
neurapraksia dan 4-9 bulan untuk aksonotmesis. Rakolta
dan Omer mendapatkan bahwa regenerasi spontan bisa
tertunda hingga sekitar 11 bulan tanpa mengecualikan
kemungkinan pemulihan lengkap pada cedera perang saraf
femoral.
Luka tembak kecepatan rendah menyebabkan
persentase yang tinggi dari kerusakan akson saraf tepi
(neurotmesis) dibanding luka tembak kecepatan tinggi.
Luka kecepatan rendah dengan gelombang kejut lebih
kecil cenderung langsung mengenai struktur seperti
saraf tepi, pembuluh darah, dan tulang. Luka tembak
senapan mempunyai persentase yang lebih tinggi dari
cedera saraf dibanding luka tembak pistol. Luka tembak
senapan memerlukan debridemen teliti dengan eksplorasi
dini struktur neurovaskuler, dan biasanya dengan
jahitan primer tunda. Pemulihan spontan cedera saraf
tepi akibat luka tembak senapan hanya 45 %.
Laserasi, injeksi dan tusukan merupakan cedera
kecepatan rendah yang sering tidak memperlihatkan
pemulihan spontan setelah cedera inisial. Laserasi
dengan terganggunya fungsi saraf tepi karenanya secara
klinis harus didiagnosis sebagi lesi saraf berat
(neurotmesis) hingga dibuktikan lain dengan pemeriksaan
intra-operatif.
e. Tehnik Operasi
Saraf tepi yang disrupsi (neurotmesis) harus diperbaiki
sesegera klinis memungkinkan. Anastomosis harus
dilakukan dengan pembesaran memadai serta jahitan dan
instrumen yang baik. Tegangan sirkumferensial dan
longitudinal harus minimal pada garis jahitan untuk
mencegah disorganisasi internal berkas fasikuler.
Tehnik jahitan epineural bisa digunakan pada semua
cedera saraf tepi dengan pola berkas tunggal (mono-
fasikuler) atau kurang dari empat (oligofasikuler).
Tehnik jahitan berkas fasikuler mungkin lebih disukai
untuk saraf tepi dengan beberapa berkas (poli-
fasikuler) pada avulsi segmen, atau lesi kronik dengan
celah maupun adanya neuroma pada batang saraf.
Laporan lebih mutakhir memperlihatkan keunggulan
perbaikan primer dibanding perbaikan tunda atas saraf
tepi. Kline dan Nusen mendapatkan 72 % pemulihan motor
yang baik atau lebih baik pada perbaikan primer saraf
median pada pergelangan. Moneim dan Omer melaporkan
83 % pemulihan motor yang baik atau lebih baik setelah
perbaikan fasikuler kelompok primer pada saraf ulnar
pada pergelangan, sedang Birch dan Raji mendapatkan
81 % pemulihan motor yang baik atau lebih baik setelah
perbaikan primer saraf median serta ulnar pada
pergelangan.
f. Faktor Trofik
Berbagai faktor trofik yang memperngaruhi regenerasi
saraf telah diketahui. Diantaranya faktor pertumbuhan
saraf (nerve growth factor) serta faktor penumbuh akson
(akson outgrowth factor). Brushart menemukan bukti
bahwa reinervasi puntung saraf distal biasa terjadi,
diikuti pertumbuhan pada projeksi yang benar serta
hilangnya neuron yang malaligned. Badalamente dan Hurst
mengupayakan untuk menghambat protease neural yang
diaktifkan kalsium dengan menyuntikkan intramuskuler
leupeptin tripeptida. Inhibisi protease neural yang
diaktifkan kalsium membantu pemulihan morfologis pada
cedera saraf tepi.
KERANGKA WAKTU UNTUK PEMULIHAN
Waktu yang diperlukan untuk pemulihan setelah
neurapraksia adalah 1-4 bulan, dan setelah aksonotmesis
4-9 bulan. Seperti telah dijelaskan, cedera ekstremitas
proksimal perlu waktu lebih lama untuk memperlihatkan
fungsi klinis dibandingkan cedera distal, dan cedera
ekstremitas luas yang menyebabkan lesi saraf berganda
memerlukan masa yang lebih lama untuk kembalinya fungsi
klinis dibanding cedera yang mengakibatkan disfungsi
saraf terbatas.
Klasifikasi Cedera Saraf
-------------------------------------------------------
Seddon S Sunderland
-------------------------------------------------------
Neurapraksia I Blok konduksi [degn. Wallerian (-)]
Aksonotmesis II Diskontinuitas aksonal
- III Disrupsi aksonal + endoneurial
- IV Ruptur perineurial,Disrupsi fasikel
Neurotmesis V Diskontinuitas batang saraf
-------------------------------------------------------