ILMU BEDAH SARAF
saanin@padang.wasantara.net.id
Ka. SMF Bedah Saraf
RSUP. Dr. M. Djamil/FK-UNAND Padang.
7. DISRAFISME
A. ANENSEFALI
Adalah defek tabung neural yang parah dan adalah keada-
an yang fatal. Anak dengan anensefali biasanya lahir
mati atau mati dalam minggu pertama kehidupan. Walau
keadaan ini tak dapat ditindak secara bedah, tehnik un-
tuk diagnosis pranatal sudah berkembang. Malformasi ini
dibicarakan disini untuk memahami basis genetiknya dan
membantu pencegahan selanjutnya.
Menurut Lemire, istilah eksensefalus harus digu-
nakan hanya untuk model embrio atau binatang percobaan,
dimana menunjukkan protrusi otak mendahului degenerasi.
Pseudensefali berbeda dengan anensefali hanya pada de-
rajat, dan karenanya istilah imi tak umum digunakan.
Anensefalus digunakan sebagai istilah umum yang digu-
nakan terhadap semua specimen dengan tiadanya vault
kranial (akrania) baik parsial maupun lengkap, seperti
juga tiadanya jaringan diatasnya dan berbagai derajat
malformasi serta destruksi rudimen otak yang terbuka.
Pada hidranensefali, otak tertutup dan tengkorak ter-
bentuk normal. Kegagalan bagian sefalik tabung neural
untuk menutup disebut ensefaloskhizis, dan selalu ber-
samaan dengan kranioskhisis. Kegagalan baik bagian kra-
nial maupun spinal tabung neural untuk menutup disebut
kraniorakhiskhisis atau disrafisme total. Lemire meng-
klasifikasikan anensefali, dengan dasar derajat kranio-
skhisis, kedalam meroakrania (defek kranial parsial ti-
dak meluas keforamen magnum) dan holokrania (defek kra-
nial meluas melalui foramen magnum). Penutupan neuropo-
rus anterior dan ujung rostral tabung neural terjadi
pada akhir bulan pertama gestasi; jadi pada saat ini
anensefali terbentuk. Mungkin pembukaan kembali seperti
halnya nonclosure menyebabkan disrafisme, namun non-
closure inisial dipercaya sebagai dasar atas kebanyakan
anensefali. Etiologi anensefali tidak jelas, dikira
multi faktorial. Rasio seks anensefali bervariasi, na-
mun insidens lebih tinggi pada wanita. Pada anensefali,
tak seperti pada hidranensefali, dura dan scalp dari
vault tidak ada. Hemisfer serebral tidak terbentuk, dan
massa tak berbentuk, merah-ungu, angiomatosa bercampur
dengan jaringan otak menggantikannya. Jaringan otak
yang terbuka, tertutup membran tipis yang berlanjut se-
bagai scalp. Vesikel optik terbentuk, namun saraf optik
tidak. Dasar tengkorak ada, namun kalvarium tak ter-
bentuk (akrania atau kranioskhisis). Serebelum bisa
mengalami malformasi atau normal.
Diagnosis Pranatal
Diagnosis pranatal anensefali atau defek tabung neural
terbuka lainnya berguna pada keadaan dimana orang-tua
pasien telah mempunyai satu atau dua anak dengan defek
tabung neural. Setiap individu tersebut mempunyai risi-
ko tinggi atas rekurensi, masing-masing dengan tingkat
satu dari 20 atau satu dari 10. Diagnosis pranatal mem-
buat seleksi pranatal dimungkinkan. Amniosentesis me-
mungkinkan diagnosis keadaan ini antara minggu keha-
milan ke 14 dan 20. Bila kadar alfa feto protein (AFP)
pada supernatan cairan amnion meninggi, ultrasonografi
dan amniografi bisa dikerjakan untuk memastikan diagno-
sis. Ultrasonografi dapat digunakan sebagai tindakan
skrining primer. Tes lain yang berguna dalam diagnosis
pranatal atas defek tabung neural adalah penentuan ka-
dar protein beta-trace dan makrofag cairan amnion. Le-
bih dari 90 persen defek tabung neural terbuka dapat
dideteksi pada kehamilan dini. Penentuan kadar AFP ku-
rang berguna pada kasus disrafisme tertutup kulit, ka-
rena kadar AFP tidak meninggi pada keadaan tersebut.
Bila kadar AFP serum maternal diperiksa pada semua ke-
hamilan, insidens defek tabung neural akan sangat diku-
rangi.
B. DISRAFISME SPINAL (SPINA BIFIDA)
Spina bifida dan hidrosefalus adalah dua anomali umum
SSP yang terbanyak. Karena spina bifida berpotensi un-
tuk ditindak, karenanya menjadi berarti secara klinis.
Spina bifida adalah malformasi disebabkan disra-
fisme tulang belakang (disrafisme spinal atau rakhi-
skhisis) dan sering disertai herniasi mening (meningo-
sel) atau cord spinal atau saraf (mielomeningosel) me-
lalui defek tulang belakang. Juga bersamaan dengan dis-
plasia cord spinal (mielodisplasia). Bila tabung neural
tidak terbentuk sempurna dari pelat neural, cord spinal
tetap dalam bentuk primitif (mieloskhisis). Konsekuen-
sinya, spina bifida terdiri dari deformitas disebabkan
berbagai tingkat malformasi tabung neural.
SSP tampak pada kehidupan embrionik minggu ketiga.
Pelat neural dapat ditemukan pada garis tengah dorsal
embrio pada tahap awal; dalam beberapa hari, ia menon-
jol untuk membentuk lipat neural. Lipat neural terus
membengkak dan bergerak kedepan kegaris tengah untuk
membentuk alur neural. Mereka bersatu digaris tengah
dorsal untuk membentuk tabung neural. Fusi ini mulai
dari somit keempat dan berlanjut kekranial dan kaudal.
Patogenesis disrafisme spinal belun begitu pasti.
Dua teori umum: pertama gangguan penutupan tabung neu-
ral, seperti dilaporkan von Recklinghausen 1886. Menu-
rut teori ini, ensefalosel dan mielomeningosel sering
tampak masing-masing diregio oksipital dan lumbosakral,
yaitu daerah penutupan tabung neural terakhir.
Teori patogenetik lain adalah teori hidrodinamik,
dikembangkan oleh Morgani 1761, selanjutnya oleh Gard-
ner. Setelah penutupan tabung neural, pleksus khoroid
mulai mensekresikan CSS dan tekanan didalam tabung neu-
ral meninggi. Normalnya tekanan dikompensasi oleh per-
meabilitas atap ventrikel keempat. Menurut teori hidro-
dinamik, disrafisme spinal terjadi bila permeabilitas
ini terganggu. Gardner mempercayai bahwa semua malfor-
masi disrafik dapat diterangkan dengan teori ini. Gang-
guan permeabilitas atap ventrikel keempat dengan akibat
terlambatnya kompensasi menyebabkan dilatasi ujung se-
falik tabung neural, menimbulkan hidrosefalus. Dilatasi
tabung neural, sehubungan dengan pemendekan aksis pan-
jangnya, menyebabkan sindroma Klippel-Feil. Penurunan
volume fossa posterior akibat dari pergeseran kebawah
hindbrain oleh forebrain yang berdilatasi mengakibatkan
malformasi Arnold-Chiari. Rupturnya bagian kranial ta-
bung neural menimbulkan kranium bifidum (ensefalosel),
dan dilatasi yang hebat dari ventrikel keempat menye-
babkan sista Dandy-Walker. Perubahan serupa pada cord
spinal menyebabkan hidromielia dan siringomielia, dan
splitting dari cord spinal menyebabkan diastematomieli-
a. Ruptur bagian kaudal tabung neural posterolateral
kerongga amniotik menimbulkan mieloskhisis atau mielo-
meningosel.
Disamping dua teori utama tersebut, postulasi per-
tumbuhan yang berlebihan dan perkembangan yang terhen-
ti sebagai penyebab disrafia tabung neural telah dikem-
bangkan.
Hidromielia dan siringomielia adalah ekspansi cord
sistik yang mana adalah akumulasi CSS didalam cord spi-
nal. Hidromielia, yang adalah dilatasi kanal sentral,
sering dijumpai post mortem pada anak dengan malformasi
Chiari, hidrosefalus komunikans, impressi basiler, dan
keadaan lain. Siringomielia biasanya menampilkan gejala
pada usia dewasa. Sirinx terdapat pada cord servikal
pada kebanyakan kasus. Bila sirinx terletak pada medul-
la oblongata, keadaan ini disebut siringobulbia. Siri-
ngomielia mungkin bersamaan dengan glioma intramedulla-
ri. Menurut teori hidrodinamik Gardner, sirinx parasen-
tral diinduksi oleh robeknya lapis ependimal. Banyak
kasus dilaporkan mendukung teori Gardner ini. Siringo-
mielia nonkomunikans dimana sirinx terkurung dan tidak
ada hubungannya dengan kanal sentral atau sirinx terda-
pat bersamaan dengan stenosis akuaduktal, tak dapat di-
jelaskan dengan teori ini, kadang-kadang tidak juga hu-
bungan siringomielia dengan sista Dandy-Walker.
Insidens mielomeningosel satu hingga dua per 1.000
kelahiran. Tingkat rekurensi tinggi ditemukan pada kea-
daan familial dan mungkin berkaitan dengan faktor gene-
tika. Insiden tinggi anak dari ibu yang tua menunjukkan
bahwa usia ova dan imbalans hormonal mungkin berperan.
Faktor lain seperti rubella, influensa, dan substansi
teratogenik, mungkin mempredisposisi keadaan ini. Tam-
paknya sangat mungkin multifaktorial.
Spina bifida diklasifikasikan kedalam dua jenis,
spina bifida okulta dan spina bifida sistika. Karena
spina bifida okulta tak bersamaan dengan herniasi me-
ning dari kanal spinal, mungkin tidak diketahui hingga
dewasa bila sejak mula tak bergejala. Spina bifida sis-
tika dibagi kedalam sub jenis berdasar isi kantungnya.
Meningosel hanya berisi CSS, tanpa jaringan saraf. Pada
mielomeningosel, baik CSS dan jaringan saraf ditemukan
didalam kantung. Mielosistosel adalah dilatasi lokal
kanal sentral, dengan penonjolan bagian posterior cord
spinal. Mielosel adalah terbukanya cord spinal sebagai
'sel' (cele) melalui defek tulang. Pada keadaan yang
jarang, tabung neural tak ada dan cord spinal tetap pa-
da bentuk primitif, serupa pelat neural (spina bifida
aperta).
Presentasi Klinis
Spina bifida okulta paling sering terjadi diregio lum-
bar dan lumbosakral. Defek tulang mungkin palpabel.
Spina bifida okulta sering disertai diastematomielia,
cord spinal yang terjerat (tethered), lipomeningosel,
sista neurenterik, traktus sinus dermal dengan tumor
dermoid atau epidermoid intraspinal. Lesi ini biasanya
tidak menampilkan gejala klinis hingga anak mulai ber-
jalan serta mengontrol urinasi dan defekasi.
Abnormalitas kulit punggung dapat dideteksi pada
75 persen pasien dengan disrafisme spinal okulta. Ber-
kas berrambut lokal, hemangioma kapilari, lekuk kulit,
sinus dermal, dan lemak subkutan adalah kelainan yang
umum dijumpai. Diastematomielia harus dicurigai bila
berkas rambut lokal terdapat diatas tulang belakang.
Bila hemangioma kapilari bersamaan dengan anomali kulit
lain, disrafisme spinal okulta harus dicurigai.
Abnormalitas selain pada kulit yang terjadi pada
disrafisme spinal okulta adalah: (1) pada kolumna spi-
nal, termasuk kifosis dan skoliosis, (2) deformitas ka-
ki, seperti talipes kavus, talipes ekuinovarus, dan ta-
lipes valgus, (3) ulserasi yang tak nyeri disertai
gangguan langkah, (4) inkontinensia urinari dan fekal,
dan (5) infeksi saluran kemih.
Septum pada diastematomielia dibungkus oleh dura
dan biasanya osseosa walau mungkin kartilaginosa atau
fibrosa. Konus medullaris sering tertarik kekaudal.
Cord spinal tertahan oleh septum, karenanya cord seki-
tar septum bisa rusak. Diastematomielia lebih sering
pada wanita dan sering berhubungan dengan skoliosis dan
gangguan langkah. Sering terjadi pada tulang belakang
lumbar. Diastematomielia yang tampak pada tulang bela-
kang torasik sering bersamaan dengan skoliosis.
Lipoma subkutan kongenital dapat dikenal saat la-
hir dan kebanyakan ditemukan disambungan lumbosakral.
Biasanya ditutupi kulit dengan ketebalan lengkap. Bila
lipoma terletak tidak digaris tengah, mungkin bersamaan
dengan meningosel (lipomeningosel). Pada lipoma spinal,
konus medularis terletak pada posisi rendah abnormal
dan kauda ekuina menebal dengan jaringan yang berlemak
dan fibrosa untuk membentuk lipoma.
Pada tethered cord, konus medullaris memanjang di-
bawah L2 dan fillum terminalis menebal. Akar saraf di-
regio lumbosakral berjalan abnormal secara horizontal.
Dengan tumbuh menjadi dewasa, bisa disaksikan keterba-
tasan gerakan spinal dan fleksi, serta tanda Lasegue.
Traktus sinus dermal terjadi umumnya diregio lum-
bosakral. Traktus sinus dermal dikepala berasal dari
regio oksipital dan meluas kekaudal. Sebaliknya traktus
sinus dermal ditulang belakang meluas kekranial. Trak-
tus dapat berakhir pada setiap tempat antara jaringan
subkutan dan cord spinal. Meningitis bakterial atau ki-
mia sering terjadi berulang. Hal ini mungkin berkaitan
dengan tumor dermoid atau epidermoid, serta keratin,
rambut, substansi sebasea tampak sepanjang traktus.
Traktus meluas kekaudal, disebut sinus pilonidal dan
dapat dibedakan secara klinis.
Sista neurenterik adalah anomali yang relatif ja-
rang, adalah persistensi dari komunikasi antara endo-
derm dan neuroektoderm embrionik. Umum terjadi pada an-
terior dari cord servikal dan torakal atas dan berhu-
bungan dengan organ respiratori dan digestif melalui
defek badan ruas tulang belakang. Gejala tergantung lo-
kasi anomali, namun beberapa kompresi cord spinal tam-
pak pada semua kasus.
Tak ada gejala khas untuk hidromielia atau siri-
ngomielia. Paraparesis spastik ringan tampak pada ba-
nyak kasus. Paraparesis spastik pada hidrosefalus ber-
kaitan dengan hidromielia mungkin terjadi akibat tidak
hanya peregangan traktus kortikospinal kedekat ventri-
kel lateral, namum juga karena hidromielia. Siringomie-
lia sering bersamaan dengan lesi lain, seperti neoplas-
ma dan akibat trauma. Gejala siringomielia tergantung
ukuran dan lokasi sirinx.
Deferensiasi siringomielia dari glioma intramedul-
lari berdasar gejala klinis semata sulit dilakukan.
Bila sirinx terletak dicord servikal, atrofi otot ta-
ngan, gangguan sensori ekstremitas atas, dan sindroma
Horner bisa dijumpai. Bila sirinx membesar, traktus
panjang menjadi terganggu dan gejala ekstremitas bawah
bisa timbul. Terkenanya serabut yang menyilang menim-
bulkan dissosiasi sensori. Siringobulbia mungkin tampil
sebagai atrofi dan fibrilasi lidah, hilangnya sensasi
nyeri dan suhu pada muka, nistagmus, disartri, disfagi,
atau stridor respirasi.
Lebih dari 70 persen kasus spina bifida sistika
menampilkan mielomeningosel, serta jarang diselaputi
lengkap oleh kulit. Pada kebanyakan kasus, terjadi ke-
bocoran CSS. Sekitar 80 persen mielomeningosel terjadi
diregio lumbar dan lumbosakral. Meningosel sakral ante-
rior jarang terjadi. Sekitar setengah meningosel tak
bergejala, dan insidens hidrosefalus yang bersamaan se-
kitar 25 persen. Sebaliknya 70 hingga 80 persen mielo-
meningosel bersamaan dengan hidrosefalus. Hidrosefalus
mungkin terjadi setelah diperbaikinya mielomeningosel.
Mekanisme berikut kemungkinan penyebab dari hidrosefa-
lus pasca bedah:
1. Defek daerah absorpsi CSS karena pengangkatan kan-
tung.
2. Obstruksi ruang subarakhnoid oleh meningitis.
3. Obstruksi outflow CSS dari ventrikel keempat akibat
obstruksi medulla oblongata diforamen magnum dan
malformasi Chiari. Ketika skelet anak tumbuh, konus
medullaris tidak akan naik dari ruas tulang belakang
sakral keruas tulang belakang lumbar pertama karena
adanya plakoda.
Pemeriksaan radiologis memperlihatkan sekitar 60
persen hidrosefalus pada mielomeningosel menjadi nonko-
munikans karena stenosis atau forking akuaduktus. 30
hingga 60 persen adalah 'hidrosefalus konstriktif' di-
sebabkan malformasi Chiari jenis II, dimana jalur CSS
diobliterasi oleh obstruksi anatomis difossa posterior
dan kanal servikal atas akibat dari obstruksi sisterna
magna dan siterna medullari serta adesi fibrosa batang
otak yang tergeser kebawah dikanal servikal atas. Bila
kantung terletak diregio sakral, insidens hidrosefalus
turun hingga sekitar 50 persen.
Kebanyakan anak dengan mielomeningosel memperli-
hatkan gejala neurologis, terutama kelemahan motor eks-
tremitas bawah dan gangguan sensori dibawah tingkat le-
si. Bila lesi terletak diatas L3, paraplegia lengkap
terjadi dan pasien menjadi nonambulatori permanen. Bi-
la lesi dibawah L4, paraplegia tak ada, namun berbagai
tingkat inkontinensia urinari terjadi.
Tingkat kelainan motor ditentukan oleh pengamatan
gerak spontan panggul, lutut, ankel, dan jari kaki.
Gangguan sensori diperiksa dengan mengamati reaksi ter-
hadap pinprik dari daerah yang terkena kedaerah sehat.
Refleks anal dan tonus sfinkter anal harus diperiksa.
Perhatian harus diberikan pada kemungkinan defor-
mitas kaki, dislokasi sendi panggul, dan abnormalitas
kolumna spinal seperti kifosis dan skoliosis, juga in-
kontinensia urinari dan hidrosefalus. Perubahan ini di-
sebabkan tidak adanya keseragaman kelemahan otot. Ke-
tidakseimbangan otot jangka panjang bisa menyebabkan
kontraktur dan dislokasi sendi. Langit-langit bercelah,
anomali kardiak, dan anomali traktus gastrointestinal
adalah anomali lain yang berkaitan dengan mielomeningo-
sel.
Tabel 7-1. Defisit Neurologi
Sesuai Tingkat Mielomeningosel
-------------------------------------------------------
Tingkat Lesi Defisit Neurologis
-------------------------------------------------------
Diatas L3 Paraplegia lengkap dan dermatomal
paraanestesia; inkontinensia urina-
ri dan rektal; nonambulatori
L4 dan dibawahnya Fleksor panggul, adduktor panggul,
ekstensor lutut utuh; ambulatori
dengan bantuan, bracing, bedah or-
topedik
S1 dan dibawahnya Dorsifleksor utuh; ekstensor pang-
gul dan fleksor lutut sebagian utuh
ambulatori dengan bantuan minimal
S3 dan dibawahnya Fungsi motor ekstremiats bawah nor-
mal; anestesia sadel; berbagai in-
kontinensia urinari dan rektal
-------------------------------------------------------
Temuan Radiografik
Foto polos tengkorak memperlihatkan separasi sutura pa-
da kasus dengan hidrosefalus dan deformitas tengkorak
lakuner (LSD). LSD dapat dikenal saat lahir namun sege-
ra menghilang. Ia berupa tampilan seperti convolutional
marking, namun terjadi pada bagian tebal kalvarium dan
lebih merupakan displasia tulang kongenital dari pada
akibat peninggian TIK. Deformitas seperti sarang tawon
atau jala, dan tepi tulang antara lakuna biasanya lebih
tinggi, lebih sempit, dan lebih panjang dari convolu-
tional marking. Tulang yang mulus mungkin terdapat
antara lakuna.
Rontgenogram tulang belakang memperlihatkan perlu-
asan spina bifida dan anomali tulang belakang yang me-
nyertai bila ada. Setiap kelainan seperti skoliosis,
kifosis, diastematomielia dan fusi tulang segmental
mungkin tampak. Karena abnormalitas tulang belakang
terjadi sering pada tingkat berbeda, rontgenogram ha-
rus mencakup seluruh tulang belakang. Foto polos bisa
menampilkan pembesaran jarak interpedikuler, anomali
fusi dari lamina, spina bifida, dan penurunan diameter
anteroposterior badan ruas tulang belakang dibawah sep-
tum. Tomografi tulang belakang mungkin berguna. Mielo-
grafi dilakukan sebelum operasi untuk menilai perluasan
lesi. Film dada mungkin memperlihatkan anomali parah
dirongga toraks.
CT scan menunjukkan ada atau tidaknya hidrosefalus
dan anomali lain. Walau polimikrogiria dan heterotopia
mungkin sulit diperlihatkan, CT scan dapat digunakan
untuk menentukan adanya malformasi Chiari jenis II se-
cara tidak langsung dengan menentukan posisi ventrikel
keempat dan ukuran foramen magnum serta menunjukkan
vermis superior yang jelas.
Walau CT scan tulang belakang saat ini belum dapat
menggantikan mielografi secara keseluruhan, ia mungkin
memberikan informasi suplementer substansial. Karena
cord spinal dikelilingi jaringan tulang yang tebal yang
menyusun kanal spinal, ia tampil secara buruk pada CT
scan yang tanpa metrizamida. Adalah mungkin dengan CT
scan untuk memperlihatkan anomali kulit, jaringan sub-
kutan, otot, tulang, dan saraf. Mielografi metrizamida
CT scan adalah paling berguna dalam melengkapi diagno-
sis disrafisme spinal. Diastematomielia dan hemiverteb-
ra, yang sering tampil bersama mielomeningosel, dapat
mudah didiagnosa dengan CT scan. Lipomeningosel atau
lipoma diperlihatkan sebagai massa densitas rendah di-
banding CSS.
Bila setiap anomali diarea foramen magnum seperti
malformasi Chiari jenis I, impresi basiler, dan sindro-
ma Klippel-Feil ditemukan pada pemeriksaan radiologis,
kemungkinan disertai oleh hidromielia dan siringomielia
harus diingat. Pada kasus dengan penambahan jarak in-
terpedikuler dan pelebaran anteroposterior kanal spi-
nal, adanya hidromielia dan siringomielia harus dicuri-
gai sebagai tambahan akan adanya glioma intrameduller
dan sista ekstradural. Mielografi memperlihatkan dila-
tasi pada sisi cord yang terkena. Pada hidromielia dan
siringomielia komunikan, cord menjadi kolaps pada posi-
si kepala kebawah, karena cairan dalam sista bergerak
ke ventrikel keempat (collapsing cord sign). Pengisian
yang selektif dari sirinx komunikans atas media kontras
didalam ventrikel keempat adalah tanda diagnostik pas-
ti. CT scan mungkin berguna dalam mendiagnosis sirinx
nonkomumikans.
Pertimbangan operasi
Walau beberapa kasus spina bifida dengan mielomeningo-
sel telah ditindak, persetujuan akan indikasi operasi
belum sempurna. Kandidat terbaik untuk operasi adalah
pasien dengan mielomeningosel rendah dan fungsi neu-
rologis ekstremitas bawah normal. Bila gangguan motor
dibawah tingkat L3 dan pasien diharapkan dapat berjalan
kemudian hari, tonus otot sfingter dan refleks anal a-
da, dan keluarga dapat mengerti keadaan dan bertang-
gung-jawab merawat anak dengan kecacadan tersebut, di-
lakukan tindakan aktif.Tindakan aktif mungkin tidak di-
ambil, bila keadaan berikut, yang dilaporkan Lorber,
ditemukan:
1. Paraplegia total dengan inkontinensia urinari dan
fekal.
2. Lesi torakolumbar berbasis lebar.
3. Kifosis atau skoliosis kongenital.
4. Hidrosefalus kongenital.
5. Cedera lahir intraserebral berat atau perdarahan in-
traventrikuler.
6. Anomali berat diluar sistema saraf yang menyertai.
Stein mengajukan protokol terpilih untuk neonatus
dengan mielomeningosel yang merupakan kombinasi krite-
ria Lorber dan berkaitan dengan LSD. Bila LSD tampak
pada saat lahir, retardasi mental sering terjadi. Kon-
sekuensinya, ia tidak menganjurkan operasi segera bila
pasien memiliki LSD dengan dua atau lebih kriteria uta-
ma dari Lorber. Ia menganjurkan operasi segera bila pa-
sien tidak memiliki LSD, bahkan bila ia memiliki krite-
ria buruk dari Lorber.
Tindakan selektif untuk mielomeningosel memberikan
beberapa masalah. Dalam praktek sehari-hari, ahli bedah
saraf harus memikirkan tindakan kasus per kasus. Pada
keadaan yang jarang, reparasi mielomeningosel dan ope-
rasi pintas dilakukan untuk memudahkan perawatan dan
pemeliharaan.
Mielomeningosel terbuka harus diperbaiki dalam 24
jam. Tingkat infeksi meningkat bila perbaikan dilakukan
lebih dari 48 jam. Pada setiap kasus, perbaikan harus
ditunda hingga infeksi menjadi tenang. Perbaikan mielo-
meningosel dilakukan dengan merekonstruksi tabung neu-
ral dengan mengaproksimasi arakhnoid sekitar plakoda.
Kauda ekuina mungkin direkonstruksi. Bila diameter sel
lebih dari setengah lebar pinggang, penutupan luka ti-
dak mungkin dengan mengundermining jaringan subkutan.
Pada keadaan ini, penutupan luka plastik atau tandur
kulit mungkin perlu. Setelah operasi, pasien diletakkan
telungkup pada rangka Bradford atau 'gingerbread bo-
ard'. Kepala dijaga sedikit rendah dari tulang belakang
untuk beberapa hari dalam usaha mengurangi tekanan CSS
yang menekan luka operasi. Beberapa komplikasi pasca o-
perasi seperti meningitis atau ventrikulitis, perburuk-
an defisit neorulogis, kebocoran CSS dari luka, dan
nekrosis aseptik tepi luka bisa terjadi. Untuk perawat-
an jangka panjang atas mielomeningosel, tim yang
terdiri dari pediatrisian, ahli bedah ortopedik, urolo-
gis, fisikal terapis, pekerja sosial, perawat dan ahli
bedah saraf diperlukan. Pengamatan jangka panjang beri-
kut diwajibkan:
1. Diagnosis dini hidrosefalus dan mempertahankan fung-
si shunt; CT scan berkala dan revisi shunt.
2. Deteksi dini dan tindakan atas perburukan defisit
neurologis: disrafisme spinal okulta, diastematomie-
lia dan siringomielia, hidrosefalus, dan malformasi
Chiari jenis II.
3. Penilaian perkembangan mental dan pendidikan: quo-
tient perkembangan dan kecerdasan.
4. Terapi fisik dan bedah ortopedik: pencegahan kon-
traktur sendi; operasi untuk bracing deformitas ske-
letal.
5. Pengelolaan traktus urinari dan defekasi: pielografi
intravena dan sistografi, diversi traktus urinari.
6. Pemeliharaan adaptasi sosial.
7. Memberi semangat dan dukungan emosi terhadap pasien
dan orang-tuanya.
8. Konseling genetik dan kemungkinan aborsi terapeutik.
Tindakan bedah disrafisme spinal okulta mungkin
membiarkan kontrol kencing, skoliosis, dan kifosis ti-
dak membaik.
Traktus sinus dermal harus direseksi. Idealnya a-
nomali ini harus didiagnosis dan direseksi sebelum ter-
jadinya infeksi. Bila terjadi infeksi, operasi dilaku-
kan bila infeksi sudah tenang. Bila terjadi abses atau
sista dermoid intraspinal, drainase segera harus dila-
kukan.
Operasi atas diastematomielia (reseksi septum ga-
ris tengah) harus dilakukan sesegera mungkin setelah
diagnosis dalam usaha mencegah perburukan fungsi neuro-
logis.
Dekompresi cord spinal diikuti reseksi bagian in-
tratorasik atau intra-abdominal, dilakukan pada kasus
sista neurenterik.
Risiko operasi pada kasus fillum terminal yang
'tethered"' adalah rendah, dan kerusakan saraf minimal
dengan penggunaan mikroskop operasi. Karenanya keadaan
ini harus dioperasi segera setelah diagnosis.
Perhatian khusus diberikan pada pengangkatan total
lipoma saat operasi untuk lipomeningosel, karena setiap
tumor biasanya melekat erat pada jaringan saraf. Lipoma
jarang rekuren, bahkan setelah pengangkatan parsial.
Karena siringomielia komunikankans sering bersamaan
dengan hidrosefalus, shunting ventrikuler dilakukan pa-
da setiap kasus. Gardner mengajukan pengoklusian open-
ing kanal sentral dengan otot atau simpul jahitan sute-
ra. Kraniektomi fossa posterior serta laminektomi tu-
lang belakang servikal mungkin dilakukan untuk dekom-
presi. Mielotomi garis tengah mungkin perlu pada kasus
siringomielia nonkomunikans untuk membedakannya dari
glioma intramedullari. Karena mielotomi mungkin menu-
tup, shunt sista-subarakhnoid dilakukan dengan selang
Silastik.
Protokol seleksi yang diusulkan untuk neonatus dengan
mielomeningosel (Stein):
-------------------------------------------------------
Anomali kongenital 'gross'-------------------------Ya
(mikrosefali, kardiak dll) |
Trauma lahir yang berat |
| |
| |
Tidak |
| |
| |
Tidak------Foto tengkorak memperlihatkan |
| deformitas (LSD,Luckenschadel) |
| | |
| | |
| Ya |
| | |
| | |
| Adanya kriteria buruk utama |
| (1) hidrosefalus 'gross' |
| (2) paraplegia lengkap |
| (3) kifosis |
| (4) kantung torakolumbar |
| | |
| | |
| /---------------------------/ |
| | | |
| Kurang dari Dua atau |
| dua kriteria lebih kriteria |
| | | |
| | | |
/---!------!-----/ /-------!-----!---/
| Dianjurkan | | Operasi segera |
| operasi segera | | tidak dianjurkan|
/----------------/ /-----------------/
C. DISRAFISME KRANIAL (KRANIUM BIFIDUM)
Kranium bifidum atau kranioskhisis, seperti spina bi-
fida, adalah defek tabung neural disrafik. Anomali ini
lebih jarang dari spina bifida. Biasanya dapat ditindak
dan karenanya menjadi malformasi yang penting dibidang
bedah saraf. Herniasi dura dan jaringan otak melalui
defek tulang digaris tengah (sefalosel) dijumpai pada
banyak kasus. Karanium bifidum terkadang bersamaan de-
ngan spina bifida.
Insidens kranium bifidum seperlimabelas hingga se-
persepuluh spina bifida: satu per 3.000 hingga 10.000
kelahiran. Sefalosel regio oksipital umum di Eropa dan
Amerika, sedang sefalosel frontal lebih sering dari
sefalosel oksipital di Asia Tenggara. Dibeberapa daerah
di Asia Tenggara ensefalosel lebih sering dari mielome-
ningosel. Jadi predisposisi geografis mungkin berperan
pada kranium bifidum. Oksipital ensefalosel lebih se-
ring pada wanita, sedang pria lebih sering pada yang
lainnya.
Kranium bifidum diklasifikasikan kedalam dua je-
nis: kranium bifidum okultum dan kranium bifidum sis-
tikum. Kranium bifidum okultum tidak berkaitan dengan
herniasi dura, karenanya tak terdeteksi hingga dewasa
bila tak bergejala.
Sinus dermal intrakranial adalah disrafisme krani-
al okulta berupa jaringan yang berasal dari kulit yang
persisten terdapat diruang intrakranial, yang berhu-
bungan dengan kulit. Defek tulang kecil sering tampak
dibawah protuberansia oksipital eksterna, dan beberapa
rambut sering tumbuh dari sinus. Lainnya, lokasi yang
kurang sering adalah nasion. Sista dermoid mungkin ter-
dapat pada satu atau kedua ujung dari sinus dermal.
Sinus dermal diregio oksipital sering turun ke sambung-
an servikomedullari dan berakhir sebagai dermoid disis-
terna magna, ventrikel keempat dan hemisfer serebeler.
Tumor dermoid pada ujung sinus dermal mungkin menimbul-
kan gejala massa intrakranial. Sinus dermal mungkin
tanpa gejala. Banyak kasus berakibat meningitis reku-
ren, dan reseksi tak lengkap sinus dermal juga bisa me-
nimbulkan meningitis.
Kranium bifidum sistikum dapat dibagi menjadi lima
subkelompok, sesuai isi dari sefalosel:
1. Meningosel: hanya berisi CSS didalam sefalosel.
2. Ensefalomeningosel atau meningoensefalosel: berisi
baik CSS maupun jaringan otak didalam sefalosel.
3. Ensefalosel: berisi hanya jaringan otak didalam ce-
falosel.
4. Ensefalosistosel: penonjolan jaringan otak mengisi
ruang yang berhubungan dengan ventrikel.
5. Meningoensefalosistosel, atau ensefalosistomeningo-
sel: berisi 'ventrikel' dan jaringan otak plus dila-
tasi ruang CSS disefalosel
Eksensefali adalah protrusi otak yang tidak ditu-
tupi kulit.
Sefalosel dapat diklasifikasikan menurut lokasi-
nya. Suwanwela dan Suwanwela menganjurkan klasifikasi
seperti pada tabel. Ensefalosel dapat diklasifikasikan
kedalam dua kelompok: ensefalosel posterior atau oksi-
pital dan ensefalosel anterior atau frontal, yang me-
nonjol pada sambungan tulang frontal dan tulang nasal
atau kartilago nasal.
Tabel 7-2. Klasifikasi Ensefalomeningosel (Suwanwela)
-------------------------------------------------------
I. Ensefalomeningosel oksipital
II. Ensefalomeningosel lengkung tengkorak
A. Interfrontal
B. Fontanel anterior
C. Interparietal
D. Fontanel posterior
E. Temporal
III. Ensefalomeningosel fronto-ethmoidal
A. Nasofrontal
B. Naso-ethmoidal
C. Naso-orbital
IV. Ensefalomeningosel basal
A. Transethmoidal
B. Sfeno-ethmoidal
C. Transsfenoidal
D. Frontosfenoidal atau sfeno-orbital
V. Kranioskhisis
A. Kranial, fasial atas bercelah
B. Basal, fasial bawah bercelah
C. Oksipitoservikal bercelah
D. Akrania dan anensefali
-------------------------------------------------------
Ensefalosel oksipital merupakan 70 persen sefalo-
sel (pada geografi sda). Dibagi kedalam subkelompok se-
suai hubungannya dengan protuberansia oksipital ekster-
na (EOP): sefalosel oksipitalis superior, dimana terle-
tak diatas EOP, dan sefalosel oksipitalis inferior,
yang terletak dibawah EOP. Penonjolan lobus oksipital
tampak disefalosel superior, dimana serebelum menonjol
dalam sefalosel inferior. Bila defek tulang meluas tu-
run keforamen magnum, keadaan ini disebut sefalosel ok-
sipitalis magna. Hubungan sefalosel ini dengan spina
bifida servikalis disebut sefalosel oksipitoservikalis
(iniensefali).
Ensefalosel anterior jarang dibanding ensefalosel
posterior (pada geografi sda). Yang pertama biasanya
dibagi kedalam dua kelompok: ensefalosel sinsipital
(tampak) dan ensefalosel basal (tak tampak). Mungkin
juga dibagi kedalam empat kelompok: (1) ensefalosel
frontal, (2) ensefalosel frontonasal, (3) ensefalosel
fronto-ethmoid, dan (4) ensefalosel nasofaringeal. Sam-
bungan tulang frontal dan kartilago nasal adalah tempat
yang umum dari sefalosel; hubungan ini menjadi titik
lemah karena pertumbuhan yang berbeda tulang frontal
dan kartilago nasal. Suwanwela menyebut sefalosel dire-
gio ini sebagai ensefalosel fronto-ethmoid dan dikelom-
pokkan kedalam tiga subkelompok:
1. Jenis nasofrontal: menonjol pada sambungan tulang
frontal dan tulang nasal.
2. Jenis nasoethmoid: menonjol pada tulang nasal atau
kartilago nasal.
3. Jenis naso-orbital: menonjol dari bagian anterior
tulang ethmoid dari bagian anterior orbit.
Ensefalosel basal dapat dibagi kedalam lima kelom-
pok:
1. Ensefalosel transethmoidal (intranasal): herniasi
kedalam kavum nasal melalui lamina kribrosa.
2. Ensefalosel sfeno-ethmoid (intranasal posterior):
herniasi kebagian posterior kavum nasal melalui tu-
lang sfenoid.
3. Ensefalosel transsfenoid (sfenofaringeal): hernia-
si kenasofaring melalui tulang sfenoid.
4. Ensefalosel sfeno-orbital: herniasi keruang orbit
melalui fissura orbital superior.
5. Ensefalosel sfenomaksillari: herniasi kerongga orbit
melalui fissura pterigoid, kemudian kefossa pterigo-
id melalui fissura intra orbital.
Presentasi Klinis
Sefalosel berbagai bentuk dan ukurannya, ukuran diame-
ter berkisar beberapa milimeter hingga lebih besar dari
tengkorak normal. Sefalosel besar tak selalu mengandung
jaringan otak, namun cenderung tak bertangkai dibanding
pedunkulasi. Kubah sefalosel ditutup kulit sebagian a-
tau seluruhnya, dan mungkin terdapat rambut pada basis-
nya. Kelainan kulit seperti warna port-wine sering tam-
pak diatas kulitnya. Sefalosel biasanya berdenyut dan
kompresibel. Tekanannya meninggi saat menangis.
Gejala klinis tergantung lokasi sefalosel, namun
defisit neurologis sehubungan dengan sefalosel biasanya
tidak berat. Ensefalosel oksipital menyebabkan gangguan
visus berbagai tingkat, karena herniasi lobus oksipi-
tal. Ensefalosel suboksipital mungkin berakibat ganggu-
an koordinator motor. Ensefalosel parietal mungkin me-
nyebabkan gangguan sensori dan bicara. Ensefalosel
frontal berhubungan dengan nasion yang datar dan le-
bar. Sefalosel tampak tepat diatas nasion dan sering
terjadi bersama hipertelorisme dan bibir serta palatum
bercelah. Ditemukannya gula pada cairan memungkinkan
diagnosis pasti. Ensefalosel orbital atau sfeno-orbital
sering bersamaan dengan eksoftalmos unilateral.
Temuan Radiografik
Pemeriksaan radiologis dilakukan untuk menilai struktur
patologis sefalosel: daerah defek tulang, ukuran serta
isi sefalosel, ada atau tidaknya anomali SSP, dan dina-
mika CSS.
Lubang defek tulang pada ensefalosel oksipital mu-
dah dikenal pada foto polos tengkorak. Sebagai tambahan
terhadap daerah defek tulang, perluasan defek dan ada
atau tidaknya kraniolakunia dapat diketahui. Ada atau
tidaknya otak yang vital dikantung dapat ditentukan de-
ngan ventrikulografi dan angiografi serebral, namun CT
scan memperlihatkan tidak hanya isi kantung namun juga
semua kelainan intrakranial yang bersamaan.
Ensefalosel oksipital harus didiferensiasi dari
kasus garis tengah lainnya, seperti sinus perikranii,
dan holoprosensefali. Sinus perikranii sangat lebih
kompresibel dibanding ensefalosel. CT scan memperlihat-
kan displasia serebral sebagai tambahan atas kantung
dorsal pada holoprosensefali. Angiografi serebral mung-
kin perlu untuk membedakan ensefalosel oksipital dari
kantung dorsal holoprosensefali; holoprosensefali didi-
agnosis oleh adanya arteria serebral anterior azigos.
Untuk memeriksa lubang dari defek tulang pada en-
sefalosel anterior, tomografi fossa anterior dan CT
scan diperlukan. Ensefalosel anterior harus didiferen-
siasi dari polip nasal, teratoma orbitofronal, glioma
ektopik (nasal), dan keadaan serupa. Teratoma orbito-
frontal mungkin menampakkan kalsifikasi pada foto polos
dan meluas kedalam ruang intrakranial. Tumor ini menja-
di maligna dengan pertambahan usia. Glioma nasal adalah
tumor neurogenik kongenital yang jarang. Ia adalah mas-
sa heterotopik nonneoplastik dari jaringan neuroglial.
Tapi mungkin tumbuh seperti neoplasma sejati, mengin-
filtrasi jaringan sekitarnya, serta metastasis ke nodus
limfe regional.
Ensefalosel berhubungan dengan berbgagai anomali
selain hidrosefalus, seperti:
mikrosefali
kraniolakunia
mielomeningosel
agenesis korpus kalosum
lipoma korpus kalosum
holoprosensefali
posisi abnormal sinus dural
deformitas tentorium
sinus dermal kongenital
rotasi aksial batang otak
hipoplasia serebeler
sista Dandy-Walker
malformasi Arnold-Chiari
Tabel 7-3. Perbedaan Gambaran
Ensefalosel Frontonasal dan Fronto-ethmoid
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Gambaran Frontonasal Fronto-ethmoidal
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tempat defek tulang Pada sambungan tulang frontal dan nasal Pada foramen sekum, yaitu sambungan tulang
frontal dan ethmoid pada basis fossa
kranial anterior
Presentasi pada permukaan Pada akar hidung diatas bregma Dibawah akar, pada sambungan tulang dan
kartilago
Bentuk Biasanya globuler; mungkin pedunkuler Biasanya lobuler dan sessil
Isi Biasanya cairan Kebanyakan padat
Temuan radiologis Defek pada sambungan frontonasal Sambungan frontonasal normal
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ensefalosel anterior sering bersamaan dengan anomali
muka, seperti bibir dan langit-langit bercelah. Empat
anomali yaitu ensefalosel oksipital, hidrosefalus, de-
formitas Klippel-Feil, dan langit-langit bercelah se-
ring terjadi sebagai tetrad. Kelainan jantung kongeni-
tal dan ekstremitas yang displastik adalah anomali yang
berhubungan yang terletak dibagian lain dari badan.
Hidrosefalus mungkin terjadi sebelum diperbaikinya
sefalosel, atau mungkin terbentuk setelah operasi. In-
sidens hidrosefalus yang menyertai pada ensefalosel ok-
sipital adalah 25 persen pada meningosel dan 66 persen
pada ensefalosel. Hidrosefalus yang bersamaan pada en-
sefalosel anterior jarang. Seperti pada spina bifida,
insidens hidrosefalus lebih tinggi pada sefalosel yang
mengandung jaringan otak. Insidens hidrosefalus yang
menyertai pada ensefalosel oksipital adalah hampir sama
dengan pada mielomeningosel.
Pertimbangan Operasi
Karena ensefalosel tidak sesering mielomeningosel, kri-
teria untuk tindakan terpilih belum banyak dilaporkan.
Lorber dan Schofield melaporkan pada ensefalosel oksi-
pital, indikator prognostik yang menggembirakan adalah:
(1) tiadanya jaringan otak pada kantung (meningosel)
dan (2) ensefalosel kecil. Tiadanya hidrosefalus bukan
faktor penting untuk survival. Mereka mengajukan hal
berikut sebagai pemburuk utama kemungkinan prognostik
saat lahir: (1) mikrosefali, (2) adanya jaringan otak
didalam kantung (meningoensefalosel), dan (3) ensefalo-
sel besar. Bila mikrosefali berhubungan dengan hernia
otak masif, sulit untuk mengurangi jaringan otak keda-
lam rongga intrakranial secara operasi.
Sebagai pegangan, sefalosel harus diperbaiki se-
gera. Sefalosel dengan kebocoran CSS harus diperbaiki
dengan dasar emergensi. Bila sefalosel besar sekali,
juga harus diperbaiki segera untuk mencegah infeksi,
karena puncak sefalosel menjadi nekrotik oleh gangguan
sirkulasi darah bila belum ditindak dan mungkin terin-
feksi. Bila sefalosel kecil, perbaikan mungkin ditunda
hingga dewasa.
Baik pendekatan operasi intrakranial dan ekstra-
kranial dapat digunakan untuk memperbaiki sefalosel.
Sefalosel frontal, posterior, dan frontonasal biasa di-
perbaiki melalui pendekatan ekstrakranial. Pendekatan
intrakranial biasa digunakan untuk ensefalosel fronto-
ethmoid, nasofaringeal, orbital, dan sfenoidal.
Prosedur operatif untuk memperbaiki ensefalosel
posterior terdiri dari tiga tindakan: (1) sacplasty,
(2) duraplasty, dan (3) cranioplasty bila perlu.
Sefalosel sangat besar dengan basis luas memberi-
kan bahaya kehilangan CSS jumlah banyak secara tiba-ti-
ba, berakibat pergeseran otak ekstrem mendadak dan dii-
kuti gangguan sirkulasi darah batang otak. Setiap sefa-
losel sering memerlukan prosedur operasi besar. Dalam
usaha mengurangi risiko, aspirasi berulang atau drai-
nase sinambung dari CSS bisa dilakukan prabedah. Bila
otak yang mengalami herniasi tak dapat dikurangi dengan
mudah bahkan setelah aspirasi CSS dari kantung, jaring-
an otak yang mengalami herniasi dari leher kantung bisa
diamputasi atau duraplasti dilakukan menggunakan dura
manusia yang dibeku-keringkan, karena reduksi yang di-
paksakan akan meninggikan tekanan intrakranial. Bila
sefaloselnya besar, dilakukan pungsi atau aspirasi se-
saat sebelum operasi. Operasinya relatif sederhana pada
kasus dimana defek tulang terletak diatas EOP. Bila de-
fek tulang terletak diatas EOP, leher sefalosel didi-
seksi secara hati-hati, tanpa mencederai sinus vena
yang berjalan sekitar leher. Pada tiap kasus, angiogra-
fi serebral harus dilakukan prabedah untuk memeriksa
hubungan sefelosel dengan sinus vena. Bila defek tulang
terletak dibawah EOP, sefalosel sering bersamaan dengan
anomali fossa posterior dan sering sulit untuk diperba-
iki. Konsekuensinya prognosisnya biasa buruk. Ensefalo-
sel dikompartemen infratentorial sering berhubungan de-
ngan sisterna magna.
Kebanyakan ensefalosel anterior dicapai dari in-
trakranial. Karena ensefalosel anterior yang relatif u-
mum ada dua, ensefalosel frontonasal dan ensefalosel
fronto-ethmoidal, ditindak dengan pendekatan berbeda,
maka diagnosis diferensial adalah penting. Pendekatan
transnasal dan transoral mungkin dilakukan namun tidak
umum digunakan karena lapang operasi yang sempit serta
risiko kebocoran CSS yang tinggi. Operasi terdiri dari
empat prosedur:
1. Kraniotomi osteoplastik bifrontal dengan insisi ku-
lit koronal.
2. Amputasi otak yang herniasi.
3. Kranioplasti dan dura plasti.
4. Reseksi otak yang herniasi keekstrakranial dan dura-
plasti bila perlu.
Pendekatan intrakranial intradural dan ekstrakranial
biasanya dilakukan bersamaan (operasi satu tahap). Bila
ensefalosel mempunyai kanal yang panjang, operasi dua
tahap bisa dilakukan. Otak yang herniasi kerongga hi-
dung atau faring mungkin ditindak transpalatal. Bila
terjadi deformitas hidung dan hipertelorisme, operasi
rekonstruksi mungkin perlu setelah perbaikan ensefalo-
sel.