Dr. Syaiful Saanin, Neurosurgeon. saanin@padang.wasantara.net.id Ka. SMF Bedah Saraf RSUP. Dr. M. Djamil/FK-UNAND Padang.
7. BEDAH SARAF FUNGSIONAL _________________________________________________ 1. EPILEPSI Disaat terapi medikal tetap esensial untuk pengobatan bangkitan epilepsi, pemikiran tindakan bedah diambil disaat dimana tindakan pengobatan tersebut gagal. Ada beberapa hal dimana operasi akan bermanfaat: 1. Membuang lesi penyebab. Banyak dari keadaan bedah saraf dapat menimbulkan serangan epilepsi. Misalnya tumor intrakranial, abses dan AVM. Harus diingat bahwa fokus epileptik tidak terletak pada lesinya sendiri, tetapi pada otak abnormal disekitarnya, karenanya antikonvulsan harus diteruskan bahkan setelah tumor, abses dll. sudah diangkat. 2. Bila epilepsi tidak terkontrol karena adanya jaringan parut pada otak (misal setelah cedera kepala), kadang-kadang mungkin bangkitannya membaik setelah jaringan parutnya diangkat. Sebelum operasi, perlu melokalisir daerah target setepat mungkin tidak hanya untuk memastikan operasi akan efektif, namun juga mencegah terbentuknya defisit neurologis yang baru. Pencatatan elaktrik otak dilakukan saat operasi dengan meletakkan elektroda EEG langsung pada korteks serebral. 1. Operasi Untuk Epilepsi Lobus Temporal Epilepsi lobus temporal dapat disebabkan hamartoma asimtomatik, angioma atau tumor, walaupun temuan patologis yang paling sering adalah sklerosis bagian infero-medial lobus temporal. Perubahan ini diduga sekunder terhadap anoksia serebral selama kelahiran atau selama perjalanan kejang demam pada bayi. Penilaian pasien ini harus mencakup CT scan otak, dengan dan tanpa zat kontras, serta EEG. CT scan pasien dengan bangkitan parsial kompleks dari lobus temporal menunjukkan kelainan pada 63% kasus. Temuan abnormal antaranya adalah atrofi fokal, kalsifikasi, malformasi, hidrosefalus, tumor dan anomali vaskuler. Pemeriksaan MRI mempertinggi sensitivitas setiap jenis lesi, terutama atrofik dan gliotik, yang tak begitu jelas pada CT scan. Jadi sken MRI harus dilakukan pada pasien dengan bangkitan fokal dengan CT scan negatif atau bahkan mungkin dilakukan sebagai tes pertama terpilih. EEG pada pasien epilepsi abnormal pada 55% pasien bangun dan 75% pada pasien tidur. Hasil ini bertambah dengan pencatatan yang lebih lama seperti pemantauan telemetri, serta kadang-kadang dengan pengurangan medikasi antikonvulsan. Bila diduga suatu fokus lobus temporal, elektroda nasofaring atau sfenoid digunakan untuk melacak kelainan yang berasal dari bagian medial lobus temporal. Jadi EEG harus mencakup pencatatan saat tidur dan menggunakan elektroda temporal anterior. Kebanyakan pasien dengan bangkitan parsial dan fokus EEG pada temporal unilateral memiliki sklerosis temporal mesial (atau insisural). Secara histologis adalah daerah dengan kehilangan neuronal serta gliosis yang mengenai unkus, amigdala, serta hipokampus. Patofisiologinya belum jelas. Temuan lain adalah tumor, hamartoma, polimikrogiria, jaringan parut didapat, dan AVM. Bangkitan yang menetap lebih dari dua tahun walau mendapat antikonvulsan (termasuk yang kombinasi) adalah sekitar 33% dari pasien epilepsi. Sering bangkitan rekuren menyebabkan kerusakan neuronal atau mengarah pada status epileptikus, dengan risiko 10% mati dan bila berlanjut, sekuele neurologis serius. Selain itu, bangkitan tak terkontrol menyebabkan keterbatasan psikososial yang tak bisa dinilai. Indikasi lobektomi lobus temporal termasuk: 1. Serangan epilepsi lobus temporal berulang dimana gambaran psikomotor predominan. 2. Pengontrolan gagal dengan medikasi adekuat. 3. Lateralisasi EEG akurat dari fokus epileptik kesatu lobus temporal. Biasanya diperlukan penginsersian elektroda sfenoidal untuk mendapatkan pencatatan tepat sedekat yang memungkinkan pada tiap lobus temporal. 4. Perubahan tingkah laku yang berhubungan dengan bangkitan. Operasi harus dipikirkan pada semua pasien dengan epilepsi fokal dimana bangkitan tetap terjadi setelah dua tahun pemberian tindakan medikal optimal. Operasi dipikirkan lebih awal bila pemeriksaan memperlihatkan kelainan patologis yang jelas karena pada keadaan ini tindakan medikal tidak mungkin berguna. Selain itu biopsi mungkin dilakukan secara bersamaan. Reseksi kortikal fosi epileptogenik merupakan tindakan paling efektif atas epilepsi tak terkontrol. Indikasi termasuk fokus bangkitan yang terletak didaerah yang mudah dijangkau untuk reseksi tanpa defisit dan berbatas tegas hingga pengangkatan total dapat dilakukan. Pada kasus lobus temporal, daerah homolog kontralateral harus intak. Pasien dengan bangkitan parsial kompleks serta fokus EEG lobus temporal unilateral merupakan 80% dari semua reseksi kortikal. Pasien yang gagal memperlihatkan fokus EEG yang berbatas tegas, memiliki fokus bilateral, atau memiliki fokus yang tidak sesuai dengan temuan CT scan atau diagnosis klinis, harus dipikirkan untuk perekaman otak langsung baik transien atau lama (direct brain recording/DBR) menggunakan elektroda subdural atau dalam. Pasien dengan fosi EEG bitemporal, DBR memperlihatkan 88% dari semua bangkitan berasal dari satu sisi. Teknik standar untuk lobektomi temporal adalah reseksi en bloc lobus temporal anterior (hingga 5,5 sm pada sisi dominan dan 6,0 sm pada sisi non dominan) dan lobus temporal medial (termasuk unkus, hipokampus dan amigdala), sering dengan meninggalkan girus temporal superior. Setelah lobektomi, lebih dari 75% pasien mengalami perbaikan hebat dan kebanyakan bebas bangkitan. Tngkat komplikasi lobektomi temporal rendah, mortalitas 0,2%, morbiditas 1-16% (infeksi atau beberapa derajat defisit neurologis seperti misalnya hemiparesis, afasia atau gangguan memori). Pada pasien yang diseleksi baik, keuntungan yang potensial atas operasi ini jelas diatas risiko. Lobektomi temporal tidak akan mengakibatkan gangguan bicara bila dilakukan pada hemisfer dominan. Dipercaya bahwa tes Wada harus dilakukan sebelum lobektomi temporal. Tes ini berupa injeksi amobarbital berturutan kemasing-masing arteria karotid memakai teknik angiografi. Kegunaannya adalah menentukan hemisfer dominan untuk bicara dan untuk menentukan apakah lobus temporal yang akan dioperasi diperlukan untuk fungsi memori. Temuan tersebut tidak mencegah operasi, namun menunjukkan perlunya mapping fungsional yang sangat hati-hati saat reseksi kortikal. Operasi terhadap pasien yang terpilih berakibat berkurang atau hilangnya bangkitan serta perbaikan tingkah laku abnormal yang menyertainya. 2. Hemisferektomi Dilakukan pada anak-anak kecil dengan epilepsi intraktabel yang bersumber dari kerusakan hemisfer saat atau setelah lahir. Tujuannya pada pasien dengan hemiplegia spastik kongenital adalah untuk mengangkat semua hemisfer yang terkena kecuali substansi kelabu dalam, dan untuk mengontrol epilepsi dengan sedikit menambah defisit neurologis yang sudah ada. Disaat pengendalian bangkitan dapat berhasil baik, komplikasi jangka panjang terkadang merepotkan. Perdarahan minor berulang kerongga yang terjadi berakibat terjadinya ensista dan lokulasi, sering membutuhkan operasi pintas multipel dalam usaha mengurangi peninggian tekanan intrakranial. 3. Pencegahan penjalaran lepasan (discharge) epileptik Kejadian epileptik mulai pada satu area dan menyebar melalui rute kortikal atau subkortikal hingga mengenai bagian otak lainnya. Lesi destruktif yang dilakukan sepanjang jalur ini mungkin mampu untuk mengendalikan serangan epileptik yang mungkin terjadi. Pemutusan korpus kalosum seperti juga komisura anterior dan posterior memberi manfaat dengan mencegah tampilan klinis dari bangkitan disaat fokus yang bersangkutan tetap mengeluarkan lepasan. Tindakan stereotaktik terhadap amigdala akan berefek memutus penyebaran lepasan epileptik serta merusak daerah yang bertanggung-jawab sebagai inisiasi. 4. Inhibisi lepasan epileptik Dengan menggunakan elektroda yang diletakkan secara stereotaktik, tindakan ini tidak akan merusak atau harus membuang jaringan otak. Target limbik (amigdala, forniks dan komisura anterior) sering memberi beberapa keuntungan. Hal penting menghadapi kasus epilepsi: 1. Bedakan bangkitan onset parsial (fokal) atau umum. 2. Pilih obat antikonvulsan sesuai jenis bangkitan: karbamazepin atau fenitoin untuk bangkitan fokal atau valproat untuk bangkitan umum. 3. Tingkatkan dosis sesuai perburukan klinis yang ditentukan oleh frekuensi bangkitan dan tanda-tanda toksisitas. 4. Cari kelainan anatomis dengan CT/MRI scan serta lokasi kelainan fungsional dengan EEG. 5. Pikirkan reseksi kortikal pada pasien dengan bangkitan fokal yang refraktori. 6. Cegah kesalahan menentukan protokol tindakan serta sasaran yang rasional. 7. Cegah kegagalan mendapatkan pemeriksaan imaging yang adekuat untuk melacak patologi fokal pada pasien dengan bangkitan jangka lama.