Dr. Syaiful Saanin, Neurosurgeon. saanin@padang.wasantara.net.id Ka. SMF Bedah Saraf RSUP. Dr. M. Djamil/FK-UNAND Padang.
KELAINAN DEGENERATIF ___________________________________ I. HERNIASI DISKUS INTERVERTEBRAL Perubahan degeneratif pada diskus intervertebral merupakan penyebab tersering nyeri pinggang. Penyebab lain antara lain kelainan kongenital, perkembangan, inflamasi, serta tumor, yang secara kepentingan klinis adalah sekunder namun mungkin berakibat perubahan yang serupa pada diskus intervertebral. Peningkatan pengetahuan terhadap gangguan penampilan dan fungsi tulang belakang menimbulkan minat yang lebih besar. Ini tidak hanya karena gangguan yang umum terhadap diskus intervertebral, namun juga terhadap akibat yang ditimbulkan pada struktur yang berdekatan. Hubungan langsung antara diskus intervertebral yang mengalami herniasi dengan siatika dianggap mempunyai basis morfologikal. Namun terpakunya pada perubahan pato- morfologikal sebagai penyebab gejala mengantarkan pada situasi adanya kelainan fungsional tulang belakang yang ternyata tanpa disertai patomorfologi yang jelas. Terbukti bahwa pengangkatan secara operatif terhadap prolaps tidak memecahkan semua masalah. Juga ditemukan adanya perbedaan yang mengejutkan antara perubahan patomorfologikal dan radiografik pada satu sisi dan gejala disisi lain. Perubahan bentuk dan fungsi tidak selalu berhubungan dengan penampilan klinis segmen bersangkutan. Jadi suatu deformitas tidak perlu menunjukkan perasaan tidak enak. Buktinya adalah skoliosis dan kifosis pada remaja dapat menjadi lengkap tanpa gejala. Juga sering ditemukan pada foto sinar-X untuk keperluan lain, adanya tanda-tanda perubahan degeneratif pada penderita yang menyangkal adanya keluhan. Lamanya waktu yang diperlukan untuk berkembangnya suatu deformitas sering menentukan onset dari gejala. Kompresi mendadak satu atau lebih radik saraf pada fraktura atau herniasi diskus intervertebral akan menimbulkan nyeri segera dan berat. Sebaliknya bila radik saraf mengalami konstriksi secara lambat dalam beberapa tahun, seperti yang sering tampak pada skoliosis, spondilolistesis atau penyakit diskus inter- vertebral degeneratif pada tulang belakang, radik saraf jelas menyesuaikan diri secara perlahan terhadap restriksi hingga gejala neurologi jarang timbul. Bila terjadi cedera puntir mendadak, berakibat iritasi radik saraf dengan terjadinya edem pada radik saraf tersebut. Pada saat ini sikap fungsional dan dinamik kita berdasarkan kepada informasi baru, baik mengenai pendekatan biokimia maupun bio-mekanik terhadap diskus intervertebral yang tidak perlu merupakan tempat perubahan morfologik, namun lebih merupakan pusat proses metabolik yang menyebabkan perubahan bentuk, konsistensi dan volume, yang semuanya merubah fungsi tulang belakang. Junghans (1951) telah membuat gambaran tentang "motion segment" ("Bewegungssegment"). Termasuk dua ruas tulang belakang yang berhubungan beserta diskus intervertebralnya, ligamen serta otot yang bersama-sama membentuk kesatuan fungsional. Kegagalan satu komponen merubah fungsi yang lainnya. Akibat berbagai respons metabolik terhadap stimulasi biomekanik, diskus inter- vertebral lebih sering merupakan asal ketidak-mampuan pada "motion segment". Ini terutama jelas pada tulang belakang leher bawah dan lumbar yang relatif merupakan bagian yang kaku, yaitu hubungan servikal-torasik dan sakrum yang tak dapat bergerak pada daerah lumbar, yang berhubungan dengan tulang belakang lumbar bawah. Sebagai tambahan harus diingat kondisi anatomi yang sempit yang terdapat antara daerah yang secara bertahap tidak dapat bergerak serta munculnya radik saraf . Lebih sering penyakit diskus inter-vertebral terbatas pada daerah segmen leher bawah dan lumbar bawah. Adalah perlu menemukan hal-hal yang utama pada kelainan diskus intervertebral untuk menyederhanakan suatu diagnosa serta tindakan. Misalnya perubahan postur yang berhubungan dengan nyeri. Dalam tindakan, metoda yang mungkin dilakukan diambil yang paling sederhana. Baik dalam diagnosa maupun tindakan , perlu melihat kembali kemajuan yang telah terbukti tidak berbahaya atas penyakit diskus intervertebral. Karena sindroma diskus intervertebral biasanya menyerang orang muda, adalah penting bahwa setelah pengobatan seorang dokter harus menganjurkan latihan harian yang cukup pada pasien. Pada hari-hari pertama didapat perasaan yang negatif terhadap onset yang tidak dapat diterima dan sering dengan perjalanan yang berbahaya dari penyakit diskus intervertebral. Bagaimanapun saat ini ada alasan untuk mengambil pendekatan yang lebih optimistik terhadap sejumlah kemungkinan yang tersedia disertai profilaksi dan rehabilitasi dengan perencanaan yang lebih baik. Frekuensi dan intensitas sindroma servikal dan lumbar mungkin berubah. Penyakit yang berasal dari diskus intervertebral juga disebut diskogenik. Gejala yang berasal dari sendi apofiseal dan/atau ligamen juga dipandang sebagai diskogenik oleh karena kelainan pada diskus inter- vertebral sering merupakan penyebab yang mempercepat timbulnya gejala. Walaupun tidak ada hubungan filo- genetik, diskus intervertebral dan ruas tulang belakang berdekatan membentuk suatu kesatuan biomekanik, dan pada diseksi, diskus intervertebral dapat diangkat intoto dari antara dua dataran akhir (end plate) ruas tulang belakang bersangkutan. Diskus intervertebral sendiri adalah sendi utama tulang belakang dan jenisnya disebut amfi-artrosis. Sendi posterior juga disebut sendi apofiseal. Ini merupakan suatu sendi sejati (diartrosis) yang dapat dikatakan sebagai sendi vertebral. Pengetahuan tentang patologi diskus inter- vertebral serta tanda dan gejalanya sudah diketahui lebih dari setengah abad. Namun pendapat tentang penyebab dan pengobatan berbeda sangat luas. Ini tampak dengan adanya berbagai terminologi. Sebelum Mixter dan Barr (1934) menjelaskan bahwa siatika disebabkan oleh kompresi radik saraf pada diskus intervertebral yang mengalami sekuesterisasi, juga dipikirkan bahwa diskus intervertebral yang mengalami herniasi mengandung tumor tulang rawan yang disebut "kordoma ekstradural anterior" (Steinke 1918, Clymer 1921, Adson dan Ott 1922, Ellsberg 1928). Bradford dan Spurling (1950) menggunakan istilah "protrusi" untuk diskus yang menonjol, dan membedakannya dari nukleus pulposus diskus yang ruptur atau mengalami herniasi yang pada saat ini dikenal sebagai "prolaps". Jaringan diskus intervertebral yang mengalami herniasi berisi tidak hanya material dari nukleus pulposus namun juga dari anulus fibrosus. Seperti telah dijelaskan, pernyataan "protrusi" digunakan untuk menunjukkan penonjolan diskus keposterior tanpa rupturnya anulus fibrosus. Sekali lagi, bila anulus fibrosus telah mengalami perforasi dan jaringan diskus mengalami penetrasi kerongga epidural, digunakan pernyataan "prolaps". Suatu ruptur tanpa protrusi eksternal melalui anulus disebut "ruptur intradiskal". Sekali terbentuk fragmen, mereka disebut juga "sekuestrum" dan dapat mengalami dislokasi. Pergerakan dari satu sisi kesisi lainnya sering menimbulkan gejala siatik yang berubah-ubah tergantung pada lokasinya. Melunaknya serta rupturnya diskus intervertebral disebabkan perubahan fisiologis substansi diskus, yang disebut sebagai "khondrosis inter-vertebral" (Schmorl dan Junghanns 1968). Dengan pengertian ini maka semua perubahan yang didapat disimpulkan sebagai "degenerasi diskus intervertebral". Perubahan degenerasi bagaimana- pun tidak dibatasi hanya pada tulang rawan yang disebut sebagai "khondrosis", namun juga mengenai seluruh diskus intervertebral. Untuk alasan ini dianjurkan digunakan istilah "diskosis", yaitu artrosis-artritis; diskosis-diskitis (akhiran osis berarti perubahan degeneratif). Jadi perubahan patologis, biokimia dan biomekanik menjadi jelas dengan satu istilah. Diskus intervertebral tidak mengalami regenerasi. Degenerasi diskus intervertebral tidak perlu menimbul- kan gejala namun mungkin mempunyai pertanda yang sangat jelas. Hal serupa juga berlaku terhadap perubahan pada dataran akhir ruas tulang belakang. Schmorl (1932) menganjurkan istilah osteo-khondrosis terhadap adanya perlunakan substansi diskus inter-vertebral yang bersamaan dengan perubahan pengapuran pada dataran akhir. Secara radiografi, tanda yang paling jelas dari kelainan degeneratif diskus intervertebral adalah spondilosis. Ini termasuk spur tulang yang nyata pada tepi ruas tulang belakang dimana melekat ligamen longitudinal posterior. Pada aspek posterior setiap perubahan spondilotik tidak tampak pada beberapa tempat dimana ligamen longitudinal posterior melekat pada diskus intervertebral. Spondilosis dan osteokhondrosis sering digunakan sebagai diagnosis, walau tanpa kelainan lain yang jelas yang menunjukkan tanda-tanda peningkatan usia, dan dapat dibandingkan terhadap perkembangan tumbuhnya uban dan berkerutnya kulit. Usia secara sederhana adalah proses fisiologik yang terjadi pada semua struktur serupa. Pada diskus intervertebral perubahan usia terjadi lebih awal akibat pengaruh nutrisional dan bio- mekanik yang menimbulkan perubahan yang tidak dijumpai pada struktur lain. Karenanya nasib alamiah dan bio- logik dari diskus inter-vertebral adalah penuaan yang lebih awal. Pada orang tua spondilosis dan osteo- khondrosis selalu dapat diperlihatkan tanpa perlu menimbulkan gejala. Disamping diskosis, pernyataan "degenerasi diskus intervertebral" harus dipegang karena diterima secara internasional. Penampilan gejala mungkin bisa dimengerti pada istilah ini, yang bagaimanapun tidak perlu menggambarkan latar belakang morfologik. Degenerasi adalah istilah morfologik sejati yang tidak mempunyai arti klinis sebagai perubahan struktural, tidak mempunyai fungsi yang terganggu atau gejala. Sekali gejala bentuk apapun terjadi, tampaknya benar bila dikatakan tentang kelainan diskus inter- vertebral berdasarkan perubahan degeneratif. Ada deviasi pada aksis tulang belakang baik pada bidang frontal maupun sagital. Ini mungkin berakibat tenaga yang tak-setangkup terhadap diskus intervertebral. Pada bagian yang cekung yang mendapat catu makanan buruk, perubahan degenerasi diskus intervertebral terjadi lebih cepat. Akibatnya ruptur dan perlunakan lebih sering terjadi didaerah ini. Analog dengan deformitas prearthrotik, sudah dipikirkan bahwa deformitas postur, yaitu tekukan pelvis, kifosis, hemivertebra dan skoliosis adalah pertanda adanya suatu diskosis awal, serta karenanya deformitas prediskotik. Sekali lagi struktur morfologik tidak membawa kepentingan klinik. Bagaimanapun daerah dengan perubahan ini lebih cenderung terkena penyakit dengan gejalanya. Sebagaimana diketahui, inflamasi adalah khas dengan akhiran itis. Infeksi diskus intervertebral dikenal sebagai "diskitis". Pada beberapa instansi diskitis bukan dikarenakan infeksi dan ditempat lainnya dikarenakan infeksi. Sebagai contoh, sangat sering setelah penyuntikan khimopapain pada pasien mungkin menimbulkan keadaaan inflamatori diskus intervertebral yang berakhir setelah beberapa minggu tanpa adanya infeksi. Bagaimanapun ada infeksi diskus intervertebral yang disebut "diskitis". Infeksi ruas tulang belakang disebut "spondilitis". Pada keadaan dimana terjadi inflamasi yang bersamaan dari badan ruas tulang belakang dan diskus intervertebral yang berdekatan karenanya disebut "spondilodiskitis". Walau suatu spondilitis menyangkut infeksi bakterial dari badan ruas tulang belakang dan diskus intervertebral, infeksi diskus intervertebral biasanya mendominasi gambaran klinis. Secara umum , "spondilo- diskitis" hanya digunakan bila tulang belakang terserang pada penyakit rematik. Istilah "sindroma servikal, torak dan lumbar" adalah tidak sempurna dan tidak memungkinkan menilai etiologi dan patogenesis. Istilah ini semata-mata menunjukkan dari bagian tulang belakang yang mana gejala berasal. Karenanya kita mungkin menetapkan secara teguh pernyataan ini. Satu alasan adalah bahwa mereka digunakan dalam bahasa medik sehari-hari dan karenanya sulit untuk diabaikan; alasan lain adalah bahwa penyakit diskus intervertebral terutama terjadi pada daerah servikal dan lumbar dan penyakit dari sumber lain didaerah ini adalah kekecualian. Untuk pengertian klinis dan praktis terbaik, perlu analisa yang mendalam dari penyakit diskus inter- vertebral. Sebagai tambahan terhadap gejala lokal yang umum yaitu gejala dari daerah tulang belakang yang terbatas, adalah simptomatologi yang menyangkut kelainan radikular, sumsum tulang belakang atau serebral. Pada tulang belakang lumbar, penentuan dapat dibuat antar gejala lokal yang terbatas pada regio lumbar dan yang bersamaan dengan nyeri yang menjalar keekstremitas bawah. Sindroma lumbar lokal khas dengan gejala yang lebih merata dan tidak terbatas pada satu radik saraf dengan gangguan segmental namun secara luas diterima sebagai barasal dari diskus inter-vertebral. Ini yang umum disebut nyeri pinggang bawah (low back pain). Tahap akut pada saatnya diikuti tingkat kronik. Untuk menyatakan keadaan umum ini sebagai "lumbago", tidak akan benar secara terminologi. Ini hanya merupakan satu dari sindroma lumbar lokal. "Lumbago" [lumbago, -inis,f; (lat): paralisis lumbar] adalah istilah umum yang digunakan untuk nyeri hebat pada daerah lumbar yang bersamaan dengan penurunan mobilitas. Istilah umum untuk nyeri radikular yang berasal dari tulang belakang lumbar adalah sindroma radik saraf lumbar. Nyeri menjalar ke tungkai, namun tidak selalu diikuti distribusi siatika karena sindroma radik saraf lumbar yang lebih tinggi berasal dari kompresi serabut anterior radik kedua, ketiga dan keempat semata. Tabel 1 Istilah yang umum digunakan dan penjelasannya. -------------------------------------------------------- Istilah Penjelasan -------------------------------------------------------- Anulus fibrosus Bagian seperti cincin melingkar (Anulus fibrosus) pada diskus intervertebral, yang terbentuk dari jaringan fibro- kartilago dan fibrosa. Apophyseal joint Sendi diatelial; juga disebut sendi (Sendi apofiseal) tulang belakang. Cartilagineous end- Tulang rawan hialin pada dataran plates tepi tulang belakang. (Dataran tepi tulang- rawan) Disk deseases Keadaan patologik yang timbul (Kelainan diskus) langsung maupun tidak langsung dari diskus intervertebral. Diskectomy Mengangkat bagian yang lepas maupun (Diskektomi) yang telah mengalami degenerasi da- ri diskus intervertebral. Disk injection Menyuntikkan baik media kontras ma- (Penyuntikan diskus) upun obat obatan kedalam diskus in- tervertebralis. Diskitis Inflamasi atau infeksi terbatas pa- (Diskitis) da diskus intervertebral. Diskosis Perubahan biomekanik dan patologik (Diskosis) pada diskus intervertebral berhu- bungan dengan perubahan degeneratif yang serupa. Facet arthrosis Perubahan degeneratif pada sendi (Artrosis faset) ruas tulang belakang terutama yang bersamaan dengan degenerasi diskus intervertebral. Facetectomy Mengangkat sebagian atau seluruh (Fasetektomi) faset atau sendi. Foraminectomy Memperluas foramen intervertebral (Foraminektomi) yang menyempit. Biasanya terdiri dari hemifasetektomi dengan membu- ang aspek mesial dari baik faset superior maupun inferior dari sendi tersebut. Hemilaminectomy Membuang setengah dari arkus ruas (Hemilaminektomi) tulang belakang. Interlaminar space Ruangan yang diselaputi ligamentum (Ruang interlaminar) flavum antara dua arkus ruas tulang belakang. Internal disk Robeknya jaringan didalam diskus dearangement intervertebral. (Kerusakan susunan diskus internal) Intervertebral disk Sendi utama antara dua badan tulang (Diskus belakang, suatu amfiartrosis. Ter- intervertebral) bentuk oleh tiga bagian. Dataran akhir badan tulang belakang serta anulus fibrosus. Intervertebral Kanal antara dua arkus ruas tulang foramen belakang yang ditembus oleh saraf. (Foramen Dikelilingi sebelah atas oleh pedi- intervertebral) kel, anterior oleh diskus dan inferior oleh pedikel ruas tulang belakang inferior. Tepi posterior dihubungkan oleh faset superior dan inferior dari sendi posterior. Laminectomy Membuang arkus ruas tulang bela- (Laminektomi) kang. Laminotomy Membuang bagian dari arkus ruas tu- (Laminotomi) lang belakang, biasanya bagian su- perior dan ligamentum flavum. Low back pain Nyeri yang terbatas hanya pada re- (Nyeri punggung gio lumbar. bawah) Lumbago Nyeri akut pada regio lumbar. (Lumbago) Lumbar disk desease Kelainan diskus intervertebral pada (Kelainan diskus in- regio lumbar. tervertebral lumbar) Lumboradiculitis Nyeri pada regio lumbar yang menja- (Lumboradikulitis) lar ketungkai. Motion segment Kesatuan fungsional kolumna tulang (Segmen bergerak) belakang yang terdiri dari dua badan ruas tulang belakang diskus intervertebral diantaranya. Nucleus pulposus Pusat diskus intervertebral teruta- (Nukleus pulposus) ma terdiri dari substansi ini. Osteochondrosis Degenerasi diskus intervertebral (Osteokhondrosis) bersama-sama dengan perubahan da- taran akhir ruas tulang belakang. Postlaminectomy syndrome Nyeri setelah operasi diskus inter- (Sindroma vertebral. pascalaminektomi) Prediskotic deformity Gangguan bentuk dan fungsi segmen (Deformitas bergerak yang memudahkan perkem- prediskotik) bangan sindroma diskus interver- tebral kelak. Prolapse Herniasi jaringan diskus interver- (Prolaps) tebral melalui anulus fibrosus ke- dalam kanal. Protrusion Penonjolan diskus intervertebral (Protrusi) tanpa perforasi anulus fibrosus. Rheumatoid diskitis Inflamasi rematoid pada tepi diskus (Diskitis rematoid) intervertebral. Schmorl nodes Penetrasi spontan jaringan diskus (Nodus Schmorl) intervertebral keruas tulang bela- kang. Sciatica Penyebaran nyeri sepanjang ekstre- (Siatika) mitas bawah sesuai dengan distribu- si saraf siatik, mencakup akar saraf L5, S1 dan/atau S2. Akar L4 mungkin hanya terserang sebagian. Sciatic list Keadaan khas yang tampak pada posi- (Postur siatik) si berdiri pada penderita prolaps atau protrusi diskus intervertebra. Segmental Hilangnya stabilitas. instability (Ketidakstabilan segmental) Sequestered Terlepasnya fragmen nukleus yang disk fragment mengalami degenerasi dari diskus (Fragmen diskus yang intervertebral mengalami sekuesteri- sasi). Spinal fusion Stabilisasi operatif pada segmen (Fusi spinal) bergerak. Spinal stenosis Penyempitan kanal spinal. (Stenosis spinal) Spondylosis Degenerasi diskus intervertebral (Spondilosis) dengan spur tulang reaktif pada te- pi ruas tulang belakang. Three-joint complex Konsep yang terdiri dari dua sendi (Kompleks tiga dan diskus pada masing- sendi) masing tingkat. Tight hamstring Kontraksi yang jelas pada otot ham- (Hamstring yang string (mungkin karena traksi pada tegang) radik L5 dan S1-S2) menyebabkan te- regangnya saraf ini. Upper lumbar Sindroma lumbar yang mengenai akar radiculitis) saraf L2, L3 dan L4. (Radikulitis lumbar sebelah atas) ------------------------------------------------------- A. Arti dan Frekuensi Kelainan Diskus Intervertebral Penyakit diskus intervertebral adalah kelainan yang umum didapat. Sepanjang hidupnya, sedikit orang yang terhindar dari gangguan punggung postural akibat perubahan degeneratif. Hal ini tampak pada usia setelah 30 tahun atau lebih awal seperti laporan dari penelitian pato-anatomi oleh Schmorl (1932), Schmorl dan Junghanns (1968), Conventry (1968) dan Hirsch (1960). Frekuensi tinggi dari ketidak-mampuan kerja serta pensiun awal diakibatkan oleh penyakit diskus intervertebral. Menurut laporan German Health Office, penyakit sendi degeneratif adalah kelainan kronik yang utama. Karena tidak jelasnya terminologi penyakit rematik, sejumlah keadaan secara salah disangka rematik; ini terutama jelas pada penyakit degeneratif sistem lokomotor dimana degenerasi diskus inter- vertebral berperan penting. Dari negara lain juga dilaporkan frekuensi penyakit diskus inter-vertebral degeneratif yang berhubungan dengan pekerjaan: Inggeris (Dixon 1973, Duthie 1969); Amerika Serikat (Leavitt 1971); Kanada (White 1969); Israel (Magora 1970, Magora dan Tanstein 1969); Finlandia (Rissanen 1969); Swedia (Dahlberg 1976). Untuk lebih baik dalam mengikuti perkembangan dan distribusi suatu penyakit kronis dimasarakat, perlu melakukan penelitian prospektif. Penyelidikan epidemio- logik sudah dipelopori oleh Braun (1969) dan Wagen- hauser (1969) Wagenhauser (1969) melakukan penelitian pada 1.170 penduduk; 72,9 % sudah menderita berbagai jenis gangguan sistem lokomotor, dan 52 % nyata mempunyai gejala saat pemeriksaan. Gangguan pada pinggang adalah paling umum hingga usia 35 tahun. Secara keseluruhan , gangguan pinggang lebih sering dari gangguan sendi lainnya. Informasi lain mengenai distribusi kelamin dan usia dari penyakit diskus intervertebral sudah dijelaskan oleh Schmorl dan Junghanns (1968), Jochheim (1961), Hanraets (1959), de Palma dan Rothman (1970), Lindemann dan Kuhlendahl (1953), Armstrong (1965), Gross (1966) dan Hult (1954). Beberapa pandangan menarik didapat dari morbiditas penyakit diskus intervertebral. Penurunan tuberkulosis sendi, rickets dan polio, serta peningkatan angka harapan hidup berakibat pada peninggian penyakit pinggang baik secara relatif maupun nyata. Ini terutama jelas pada lesi diskus inter- vertebral. Penyelidikan Knepel (1977) mendapatkan pada praktek umum bahwa dari tiap 10 penderita didapatkan seorang dengan keluhan pinggang yang disebabkan oleh degenerasi diskus intervertebral. Persentase pengobatan pasien rawat jalan dengan sindroma diskus inter- vertebral mencapai 37,8. Ini menjadi lebih nyata bila kelainan tulang belakang dipelajari sendiri. Tidak kurang dari 92,7 % adalah akibat degenerasi diskus intervertebral. Sisanya terdiri dari skoliosis, osteo- porosis, penyakit Scheuermann, berbagai tumor, keadaan inflamasi, dan kelainan jarang lainnya. Sindroma diskus intervertebral hampir sama banyaknya pada pria dan wanita. Pada penderita rawat jalan 47,2 % terjadi pada pria dan 52,8 % pada wanita. Sindroma servikal lebih sering pada wanita (60,6%) dan sindroma lumbar lebih utama pada pria (51,3 %). Beratnya sindroma lumbar, yang memerlukan tindakan yang lebih aktif, tetap lebih utama pada pria. Sindroma diskus intervertebral terjadi terutama pada kelompok usia menengah. 68 % antara 30 dan 60, dan maksimum dicapai pada usia 40 dan 50. Regio tulang belakang yang berbeda terserang dengan persentase berbeda. Lumbar paling sering terserang dengan 61,94 % diikuti servikal dengan 36,1 dan toraks hanya 1,96 %. B. Frekuensi Sindroma Lumbar Sindroma lumbar secara khas ditandai dengan gejala- gejala dan tanda-tanda yang berasal dari perubahan degeneratif pada diskus intervertebral lumbar. Disamping perasaan tidak enak setempat, juga terjadi sindroma radik-radik saraf lumbar dengan nyeri yang menjalar ketungkai, serta sindroma kauda ekuina. Hampir duapertiga kelainan diskus intervertebral menyerang tulang belakang lumbar, dan lebih dari setengahnya mengenai diskus intervertebral lumbar empat. Satu dari duabelas pasien pada praktek umum tampak diakibatkan oleh sindroma lumbar. Ini yang ditemukan oleh kalangan medis. Penderita lainnya tidak pernah diperiksa walau dengan onset nyeri lumbar mendadak, atau penderita yang mengalami perasaan tidak enak setelah ia membebani pinggangnya. Karenanya sangat mungkin sindroma lumbar terjadi lebih sering dari yang tercatat. Laki-laki lebih sering terserang dibanding wanita. Alasan mengapa laki-laki lebih sering dikenai tidak hanya karena lebih sering dan lebih berat dalam mengangkat serta meregang dibanding wanita. Diyakini ada faktor spesies spesifik tertentu. Bukan tidak mungkin bahwa kanal lumbar, yang lebih sempit pada pria, mempunyai peranan (Tannich 1976). Selain frekuensi sindroma lumbar yang tinggi, penting menghubungkan aspek medik dan sosial karena sering terjadi pada usia menengah dimana mereka sedang berada pada puncak aktifitas kehidupannya. Gejala umumnya timbul antara usia 30 dan mencapai puncaknya pada usia 40 pada pria dan 10 tahun kemudian pada wanita. Ini adalah usia dimana kebanyakan operasi terhadap prolaps diskus intervertebral dilaksanakan. Pada usia ini terjadi perubahan jaringan diskus intervertebral dengan tekanan yang tinggi pada nukleus pulposus dan penurunan tahanan dari anulus fibrosus. Dengan kata lain kemungkinannya besar untuk terjadinya dislokasi periferal dari jaringan diskus intervertebral yang terletak sentral. Sindroma lumbar tampaknya tidak mengikuti pola statistik khusus. Nyeri akut dan siatika dapat timbul spontan tanpa penyebab yang jelas. Penyakit ini berjalan secara khas mengikuti variasi musim. Sindroma lumbar cenderung sedikit menurun selama bagian awal dari tahun (Kramer 1973). Selama sisa bulan, jumlah penderita merata. Penampilan gejala sangat berhubungan dengan peristiwa biokimia dan biomekanik yang sinambung pada jaringan diskus intervertebral yang perkembangannya sangat berkaitan dengan involusi usia. Benn dan Wood menemukan bahwa nyeri pinggang bawah merupakan faktor ketiga yang menyebabkan kehilangan jam kerja setelah kelainan paru akut dan kronik serta kelainan pembuluh koroner arteriosklerotik di Inggris pada tahun 1970. Kehilangan hari kerja pertahun akibat nyeri pinggang bawah di Amerika Serikat adalah 1.400 per 1.000 pekerja dan dibeberapa pabrik di Inggeris 2.600 per 1.000 pekerja. Nachemson menduga bahwa 80 % orang dewasa mengalami nyeri pinggang yang jelas selama kehidupan dewasanya. Horal menemukan bahwa nyeri pinggang bawah dalam derajat yang jelas telah dimulai pada usia onset rata-rata 35 tahun. Kelsey menemukan usia onset yang sama pada pria dengan nyeri pinggang bawah akibat kelainan diskus, namun menemukan pada wanita gejala yang jelas baru timbul satu dekade kemudian. Menurutnya hanya 35 % dari mereka yang akan menjadi penderita siatika. Setelah serangan pertama nyeri pinggang bawah, 90 persen akan mengalami serangan berikutnya. Walau Kelsey menemukan bahwa pria lebih banyak menjalani operasi akibat nyeri pinggang bawah, hal ini tidak berarti suatu bukti dari contoh penderita nyeri pinggang bawah secara keseluruhan. Tak ada perbedaan rasial atas nyeri pinggang bawah dan siatika. Kelsey dan White, seperti juga peneliti lain, menyimpulkan bahwa di Amerika Serikat gangguan pinggang dan tulang belakang merupakan penyebab tersering diantara semua kelainan kronis dalam menyebabkan pembatasan aktifitas masyarakat berusia dibawah 45 tahun. Ia menduduki peringkat ketiga setelah kelainan jantung dan arthritis serta rematik pada usia 45 hingga 64 tahun. Rowe mendapatkan 35 persen pekerja ringan dan 45 persen pekerja berat mengeluhkan nyeri pinggang. Menurutnya tiap orang kehilangan 4 jam kerja setahun karena nyeri pinggang bawah, hanya kedua setelah infeksi saluran nafas atas. Peneliti lain mendapatkan bahwa semakin lama penderita meninggalkan pekerjaannya, makin besar ia akan kehilangan kemampuannya dan tidak akan pernah kembali kekerja yang produktif. McGills menemukan bahwa ketidak-hadiran selama satu tahun karena kelainan pinggang bawah mengurangi kemungkinan untuk kembali bekerja hingga hanya 25 persen, dan setelah tidak hadir dua tahun biasanya tidak mungkin untuk bekerja kembali. Di Swedia 53 persen pekerja ringan dan 64 persen pekerja berat mengalami nyeri pinggang bawah. Bell dan Rothman menyimpulkan bahwa masalah klinis siatika adalah berhubungan dengan degenerasi diskus intervertebral. Siatika adalah penyakit yang yang umum dan berpengaruh ekonomi, baik terhadap perorangan maupun industri. Datanya menyatakan bahwa 4.8 persen pria dan 2.5 persen wanita diluar usia 35 tahun menderita siatika. Usia onset rata-rata pada serangan siatika pertama sekitar 37 tahun, sekitar 76 persen menderita nyeri pinggang bawah satu dekade sebelumnya. Perlu diingat bahwa prognosis untuk penderita dengan siatika berat unilateral akibat diskus intervertebral yang herniasi tidaklah jelek. Hakelius melaporkan bahwa 75 persen penderita membaik setelah 10 hingga 30 hari sejak onset gejala, dan hanya 19 persen memerlukan tindakan operasi. C. Anatomi dan Fisiologi Diskus Intervertebral 1. Perkembangan Diskus Intervertebral Untuk memahami latar belakang perubahan degeneratif pada diskus intervertebral dewasa, perlu untuk mengetahui perkembangannya pada tingkat embrionik dan pada saat bayi. Selama periode ini dapat dijumpai awal dari degenerasi. Perkembangan tulang belakang beserta deformitasnya sudah dipelajari terutama oleh Tondury (1947, 1955, 1968, 1970) dan rekannya Larcher (1947), Prader (1947) dan Ecklin (1960). Dalam seri seksi mikroskopik mereka dapat mendemonstrasikan involusi notokhord dan perkembangan yang berkesinambungan dari tulang belakang dan diskus intervertebral. Cikal bakal tulang belakang adalah aksis selular yang disebut notokhord. Ia tetap hanya sebagai aksis skeletal pada khordata. Notokhord berubah sangat dini menjadi kolumna vertebral kartilago atau tulang. Akhir minggu ketiga pasca ovulasi, embrio berupa piring berbentuk buah pir, dengan tiga lapisan germinal primer, yakni ektoderm, mesoderm dan endoderm yang sudah terbentuk. Digaris tengah piring embrionik, menuju ujung kaudal, streak primitif yang terutama dibentuk oleh sel-sel lapisan ektodermal bermigrasi keventral melalui streak dan menyebar kesetiap sisi membentuk mesoderm embrionik. Dari ujung kranial streak, menonjol kedepan diantara ektoderm dan endoderm, prosesus notokhordal, yakni struktur aksial yang akan menjadi sumbu terbentuknya tulang belakang. Embrio usia beberapa hari dengan panjang kepala-ekor 12 mm menampakkan tanda awal dari kolumna vertebral, mencakup diskus intervertebral dan ruas tulang belakang. Notokhord berjalan melalui pusat kolumna vertebral. Tekanan karena peningkatan pertumbuhan sel tulang rawan memeras notokhord menjadi segmen sirkular kecil yang terletak pada diskus intervertebral. Segmen ini adalah asal dari nukleus pulposus (Tondury 1958). Diskus intervertebral disekeliling segmen khordal terdiri dari satu zona luar dan satu zona dalam. Fibril longitudinal tampak lebih awal pada zona luar yang akhirnya membentuk nukleus pulposus. Fibril berjalan didalam tulang rawan ruas tulang belakang dan kemudian berkembang membentuk serabut Sharpey pada zona transisional. Zona luar yang kaya akan fibril namun miskin akan sel, berlanjut kezona dalam gelatinosa parakhordal yang betul-betul tanpa struktur. Zona dalam parakhordal bersama segmen khordal yang terletak eksentris membentuk nukleus pulposus. Pusat penulangan ruas tulang belakang kearah diskus intervertebral membentuk bidang akhir tulang rawan. Karenanya penulangan pada batas terluar membentuk cincin tulang dari bidang akhir. Diskus intervertebral saat lahir terdiri dari semua struktur yang kelak menjadi penting dalam kehidupan dalam hal fungsi mekanik tulang belakang. Diskus intervertebral yang sedang tumbuh menerima catu vaskular untuk zona luar selama tahap embrionik dan bayi. Pembuluh mencapai annulus fibrosus melalui jaringan vaskular disekeliling kolumna tulang belakang dan foramina intervertebra. Lamella fibrosa ditembus pembuluh ini yang berasal dari jaring kapiler intralameller. Pembuluh ini tidak mencapai baik interior dari annulus fibrosus maupun nukleus pulposus (Tondury 1958). Bagian sentral diskus intervertebral menerima nutrisi melalui difusi. Bidang tulang rawan mempunyai vaskularisasi baik. Ada dua sistem pembuluh, satu horizontal perifer dan satu longitudinal sentral. Ruas tulang belakang dan diskus intervertebral mencapai akhir perkembangannya pada pemuda dewasa. Pertumbuhan ruas tulang belakang mengambil tempat pada zona proliferatif dari bidang epifiseal. Ini merupakan zona regenerasi, dan absorpsi pada permukaannya membentuk tulang "cancellous". Zona ini menghilang pada usia sekitar 20 tahun. Pusat osifikasi berkembang pada daerah cincin epifiseal kartilaginosa. Pada usia 12 tahun, pusat ini bersatu untuk membentuk cincin epifiseal osseus. Dari tingkat ini penggabungan mulai dari cincin epifiseal kebadan ruas tulang belakang. Cincin epifiseal osseus adalah penting pada diskus intervertebral karena serabut Sharpey melekat padanya. Annulus fibrosus dan nukleus pulposus bertambah ukuran dan isinya secara aposisi interstitial (Hirsch dan Schajowicz 1952). Berkas lamella padat pada lapisan periferal anulus membentuk jaringan yang berjalan dari satu ruas keruas tulang belakang lainnya. Jumlah dan kekuatan lamella berkurang kearah pusat diskus intervertebral. Nukleus pulposus yang tidak berstruktur mengisi daerah ini. Catu vaskular semua elemen pada diskus inter-vertebral sempurna hingga usia dua tahun (Tonduri 1955), setelah itu terjadi regresi yang menyebabkan diskus intervertebral avaskular pada usia empat tahun. Pada manusia, pembuluh pada diskus intervertebral menghilang bila posisi berdiri dimulai, dan akan dipertahankan selama tahun pertama dan kedua kehidupan. Mungkin menghilangnya pembuluh berhubungan dengan peningkatan beban yang berkesinambungan. Pembuluh ruas tulang belakang sebagian berada pada sistem trabekular badan ruas tulang belakang dan terhindar dari beban dan kompresi aksial. Kontras dengan ini, pembuluh pada diskus intervertebral berada pada massa gelatinosa homogen yang secara fisik ekual dengan cairan, hingga pembuluh ini mengalami penekanan secara terus menerus oleh tekanan yang berasal dari diskus intervertebral yang mengikuti variasi postur tubuh. Konsekuensinya adalah terjadinya gangguan metabolisme. Penurunan nutritif pada diskus intervertebral dengan sendirinya berakibat pada baik kualitas maupun kuantitas jaringan ikat pada diskus intervertebral. Penambahan oleh aposisi interstitial pada ukuran dan isi nukleus pulposus dan anulus fibrosus tidak berjalan paralel dengan pertumbuhan badan ruas tulang belakang. Hubungan ukuran antara badan ruas tulang belakang dan diskus intervertebral karenanya menjadi disproporsionat. Saat lahir kedua struktur hampir sama tinggi, namun pada akhir periode pertumbuhan tinggi diskus intervertebral hanya 1/3 hingga 1/5 tinggi ruas tulang belakang berdekatan. Dalam hal kualitas diskus intervertebral, perubahan yang tampak pada orang muda menunjukkan "degenerasi bergantung usia" yang dini. Disini terjadi penurunan yang cepat pada kandungan air, dan karenanya terjadi perubahan konsistensi dan warna jaringan diskus pada tahun-tahun pertama kehidupan. Perubahan ini jelas pada pemeriksaan visual sederhana terhadap spesimen. Pada neonatus dan bayi kecil, permukaan terpotong adalah berkilat dan menyerupai gelatin. Ini memberikan kesan sebagai substansi cairan. Jaringan semi cair sentral ini dapat dengan mudah dibuang pada anak usia dua tahun, sedangkan pada dewasa tidak mungkin. Setelah akhir pertumbuhan, diskus intervertebral menunjukkan perubahan penampilan dikarenakan perubahan regresif. Dengan pertambahan usia, area sentral nukleus kehilangan penampilan homogen dan gelatinnya, karakternya menjadi relatif kering dan fibriler. Bila segmen bergerak menjadi immobil karena spur spondilotik, pembuluh darah dapat masuk kediskus intervertebral sebagai bagian dari reaksi jaringan ikat. Goldie (1957) dan Hassler (1969) menemukan invasi jaringan granulasi dengan pembuluh darah pada diskus intervertebral yang berdegenerasi. Diskus intervertebral karenanya menunjukkan banyak perubahan selama periode pra serta pasca natal. Tahap tertentu pada perkembangan diskus intervertebral dari bayi hingga usia tua ditandai dengan kemungkinan yang lebih besar terhadap suatu perubahan degeneratif tidak hanya pada nukleus pulposus tapi juga pada anulus, yang mungkin tampil sebagai sindroma diskus inter-vertebral. 2. Anatomi Tulang Belakang Kelainan diskus intervertebral tidak hanya menyerang diskus intervertebral saja. Struktur berdekatan juga dikenai. Bila memikirkan bagian dari sindroma ini, jalur yang mungkin berperan pada patogenesanya harus dijelaskan. Unit fungsional dari tulang belakang adalah segmen bergerak (Schmorl dan Junghans 1968). Sendi utama yang dibentuk oleh diskus intervertebral terdiri dari nukleus pulposus, anulus fibrosus dan dataran tulang rawan yang pada berkembangan lebih lanjut menjadi lebih berintegrasi dengan ruas tulang belakang. Segmen bergerak dibentuk oleh setengah ruas tulang belakang diatas dan setengah ruas tulang belakang dibawahnya. Karenanya termasuk ligamen longitudinal anterior dan posterior, ligamen flavum, sendi ruas tulang belakang, ligamen flavum yang kelateral membentuk kapsul untuk sendi ruas tulang belakang, kanal tulang belakang dan prosesus spinosus serta transversus berikut ligamennya. Tulang belakang manusia terdiri dari 24 segmen bergerak. Paling atas antara oksiput dan atlas, dan sendi segmen bergerak antara atlas dan aksis tidak mempunyai diskus intervertebral. Diskus intervertebral dinamai pada saat ini dalam dua cara berbeda. Paling umum menggunakan sistem yang berhubungan dengan ruas tulang belakang tetangganya. Misalnya C5-6 adalah diskus intervertebral antara ruas tulang belakang servikal kelima dan enam. Sistem lainnya, menjadi lebih umum digunakan, adalah penamaan diskus intervertebral berdasar nama ruas tulang belakang diatasnya. Misalnya diskus intervertebral diantara ruas tulang belakang servikal kelima dan keenam juga dikenal sebagai diskus intervertebral servikal kelima. Sebagai aturan, ada lima buah diskus intervertebral servikal, 11 torakal dan empat lumbar. Diskus intervertebral pada hubungan servikal-torak dinamakan diskus intervertebral C7-T1 atau diskus intervertebral C7. Diskus intervertebral pada hubungan torakolumbar dinamakan T12-L1 atau diskus intervertebral torak ke 12. Karenanya ada 23 diskus intervertebral. Pada beberapa keadaan dimana ditemukan ruas tulang belakang lumbar tambahan , diskus intervertebral mungkin disebut diskus intervertebral L5-6 atau L6-S1. Diskus inter-vertebral membentuk 1/4 tinggi dari tulang belakang dewasa. Diskus intervertebral berubah tingginya yaitu semakin tinggi pada arah superior keinferior. Pada dataran sagital berbentuk trapezoid dan mengatur kurva fisiologik masing-masing bagian. Berlawanan dengan kifosis torak, yang ditentukan oleh konfigurasi ruas tulang belakang, konveksitas lordosis servikal dan lumbar adalah akibat penambahan tinggi bagian anterior diskus intervertebral. Walau sepatutnya bagian dari diskus inter- vertebral, dataran tulang rawan nyatanya merupakan bagian badan tulang belakang. Ia mengandung tulang rawan hialin, dan saat pertumbuhan berakhir ia mencapai cincin ruas tulang belakang. Menurut Schmorl (1932), dataran tulang rawan bersatu dengan dataran akhir ruas tulang belakang melalui lapisan kalsium melalui mana porus-porus kecil menembus untuk nutrisi diskus intervertebral. Interior ruas tulang belakang mempertahankan hubungannya dengan dataran tulang rawan melalui lamina kribrosa, permukaan ruas tulang belakang yang seperti saringan. Difusi berbagai substansi terjadi melalui lapisan ini. Anulus fibrosus mengandung serabut serupa sekrup yang bercampur satu sama lain yang berjalan dari satu ruas tulang belakang ke ruas tulang belakang lainnya. Diperifer ada serabut Sharpey yang menembus dan melekat pada cincin ruas tulang belakang. Lamela fibrosa lebih banyak dan lebih kuat di anterior dan lateral dibanding di posterior dimana mereka lebih jarang dan lebih tipis. Lebih kedepan, anulus berhubungan secara mulus dengan nukleus pulposus. Sisa dari notokhord terletak lebih kebelakang. Pada usia awal, nukleus pulposus mengandung sel khordal dan untaian yang tersusun berbentuk jaring yang tampak berasal dari sel khordal (retinakulum khordal). Jaringan ini berisi substansi dengan dasar gelatin (Schmorl dan Junghanns 1968) yang akan menjadi nukleus pulposus. Substansi nukleus pulposus pada usia selanjutnya dipisahkan ruangan yang kedalamnya dapat dimasukkan satu hingga dua cm3 cairan melalui suntikan. Pada orang muda dimana jaringan diskus intervertebral lebih homogen, biasanya kurang dari satu cm3 yang dapat disuntikkan. Bila memotong diskus intervertebral secara transversal maka substansi sentral yang melekat erat pada ruas tulang belakang akan menonjol keluar. Ini menunjukkan bahwa diskus intervertebral akibat dari tekanannya sendiri, yaitu dari anulus fibrosus dan nukleus pulposus, akan berusaha mendapatkan bentuk bola. Ligamentum longitudinal anterior berjalan secara luas sepanjang permukaan anterior badan ruas tulang belakang dan diskus intervertebral. Ini dapat dengan mudah diangkat dari diskus intervertebral. Sebaliknya, ligamentum longitudinal posterior tak begitu mudah dipisahkan dari diskus intervertebral karena eratnya perlekatannya. Disini aspek superiornya lebih lebar dari inferior, dan diregio tulang belakang lumbar menyempit menjadi pita tipis. Pada diskus intervertebral (Stahl 1977), berbeda dengan penjelasan pada beberapa buku anatomi, ligamen longitudinal posterior tidak menutupi diskus inter-vertebral secara menyeluruh namun menyisakan aspek dorsolateral terbuka, dimana prolaps dan protrusi diskus intervertebral terjadi. Bagian lateral ligamen membentuk pita yang berjalan oblik menyilang diskus intervertebral dalam arah kedistal dan akhirnya berakhir pada dasar pedikel. Bila pita ini mengalami regangan, seperti terjadi pada protrusi diskus intervertebral, dapat timbul nyeri yang berasal dari periosteum. Ligamentum flavum merupakan struktur penting pada bedah diskus intervertebral. Ligamen ini menutupi aspek posterior kanal spinal dan kelateral membentuk kapsul dari persendian ruas tulang belakang. Menjembatani foramina interarkuata, ia berjalan dari setengah anterior dan distal lamina diatasnya dan melekat pada sisi superior lamina dibawahnya. Perhatian besar telah lama dipusatkan pada ketebalan ligamentum flavum. Persangkaan hipertrofi dalam berbagai tingkat dianggap bertanggung jawab atas keluhan pinggang bila pada saat operasi didapatkan kondisi lainnya dalam keadaan normal. Ligamentum flavum menjadi lebih tebal sebelah distal dari kolum servikal. Ligamentum flavum dan ligamentum interspinosum menstabilkan bagian posterior segmen bergerak pada kurva anterior pada kifosis total dan pada posisi berdiri. Vena vertebral dapat menyebabkan sindroma diskus inter-vertebral dan juga suatu perburukan bila terjadi penyempitan kanal spinal oleh protrusi diskus intervertebral atau tulang. Vena vertebral, yang tak mempunyai katup, membentuk sistem anastomotik dari tengkorak mencapai sakrum. Pengisian vena ini tergantung posisi tubuh. Pada posisi duduk dan terlentang vena ini terisi penuh. Pada pengukuran intraoperatif didemonstrasikan bahwa derajat pengisian pada vena epidural lumbar berhubungan dengan tekanan vena sentral (Ghazwinian dan Kramer 1974). Pada posisi 'a la vache', bila tiada tekanan pada abdomen dan abdomen tergantung bebas, pengisian vena dan tekanan vena sentral berada pada keadaan paling rendah. Pada operasi dengan posisi ini untuk prolaps diskus inter- vertebral lumbar, vena epidural akan kolaps dan sulit untuk terisi darah. Karenanya hanya sedikit perdarahan saat operasi dan koagulasi elektrik jarang diperlukan. Clemens (1970) mendemonstrasikan pentingnya sistem vena vertebral lokal yang memiliki hubungan melalui beberapa emissaria dengan vena inferior tengkorak. Vena vertebral juga mempunyai hubungan dengan vena cava superior dan inferior. Bersama vena azigos, terdapat sirkulasi kolateral lokal yang segera bereaksi pada semua peninggian tekanan pada dada, perut dan tengkorak, yaitu melalui batuk, bersin dan peninggian tekanan abdominal. Ini menjelaskan peningkatan rasa tidak enak daerah lumbar saat kegiatan tersebut. 3. Anatomi Tulang Belakang Lumbar a. Diskus Intervertebral Lumbar Tulang belakang lumbar mempunyai lima ruas tulang belakang. Diskus intervertebral torakolumbar atau diskus intervertebral T12 dianggap milik tulang belakang lumbar. Diskus intervertebral bertambah ukurannya dari bagian superior keinferior. Kekecualian pada diskus intervertebral lumbosakral yang sekitar sepertiga lebih pendek dari diskus intervertebral didekatnya. Tampilan cembung diskus intervertebral nyata pada daerah lumbar. Diskus intervertebral lebih tinggi dianterior dibanding posterior dimanaberhubungan dengan derajat dari lordosis lumbar. Ini paling jelas pada daerah lumbosakral. Tampak lateral, diskus inter- vertebral ini mempunyai bentuk trapezoid. b. Foramina Intervertebral Posisi foramina intervertebral dalam hubungannya dengan diskus intervertebral tulang belakang lumbar adalah paling penting dalam mengamati radik-radik saraf spinal. Foramina intervertebral terletak sama tinggi dengan diskus intervertebral. Ganglia spinal dan radik anterior terletak lebih keanterior dibanding daerah toraks dan mereka hampir bersentuhan dengan diskus intervertebral. Tepi tulang dari foramina inter- vertebral, yakni pada bagian superior dari tulang belakang lumbar, dibentuk oleh bagian posterolateral ruas-ruas tulang belakang yang kadang-kadang menebal kebawah pada bagian superior foramina intervertebral dimana radik saraf lewat. Diameter radik saraf bertambah dari bagian superior keinferior dengan maksimum pada L5. Hubungan diameter dari L1 hingga L5 adalah 1:5 (Tondury 1970). Foramina intervertebral terbatas kearah posterior oleh faset sendi. Rongga sendi L1-L4 berarah pada dataran sagital. Pada daerah lumbosakral serupa dengan tulang belakang toraks dan karenanya berarah pada dataran frontal. Foramina intervertebral daerah lumbosakral sangat kecil. Tentu saja variasi tidak hanya dalam ukuran lubang, namun juga antara kedua sisi. Foramina intervertebral dapat menjadi sempit karena perubahan posisi dari sendi tulang belakang. Susunan anatomi menyebabkan posisi anatomi dan fisiologi radik saraf penuh risiko, karena oleh perubahan diskus inter-vertebral atau dislokasi ruas tulang belakang, radik saraf dengan mudah menjadi tertekan. Ukuran kanal tulang belakang lumbar baik pada dataran frontal maupun sagital serta bentuk dari kanal, menampakkan beberapa segi sebagai penyebab nyeri lumbar. Pada penyempitan kanal lumbar, sedikit perubahan aspek posterior diskus intervertebral dapat menyebabkan rasa tidak enak. c. Variasi Ruas Tulang Belakang Lumbar Terdapat anggapan yang berlebihan bahwa deformitas dan anomali kongenital adalah penting sebagai penyebab nyeri lumbar. Variasi jumlah ruas tulang belakang mempunyai beberapa kepentingan praktis. Bila terdapat empat ruas tulang belakang bebas, dikatakan sebagai sakralisasi, dan bila terdapat enam ruas tulang belakang dikatakan sebagai lumbarisasi. Sakralisasi dan lumbarisasi hanya dapat ditentukan dengan penghitungan yang teliti terhadap ruas tulang belakang toraks, dan berakibat istilah ruas tulang belakang transisional jarang digunakan. Sudah diketahui bahwa secara praktis menghitung ruas tulang belakang dimulai dari L1, ruas tulang belakang pertama yang tidak mempunyai tulang rusuk, dan sebelumnya dianjurkan untuk menghitung dari bawah keatas. Dalam keadaan enam ruas tulang belakang bebas, prolaps diskus intervertebral antara L5-L6 menyebabkan sindroma S1. Prolaps antara ruas tulang belakang lumbar empat dan sakrum pada keadaan dimana hanya terdapat empat ruas tulang belakang bebas akan menyebabkan sindroma L5. Ruas tulang belakang transisional memiliki keistimewaan dimana ruas tulang belakang lumbosakral mungkin mempunyai prosesus transversus bebas atau mungkin mempunyai kontak yang erat dengan sakrum dengan tampilan serupa sendi. Diskus inter-vertebral dapat menampakkan semua jenis kemungkinan perubahan transisional. Sepanjang ruas tulang belakang transisional setangkup dan serasi baik dengan sekitarnya, tidak akan menimbulkan gejala. Sekali terdapat ketidaksetangkupan, misalnya satu prosesus transversus bebas dan lainnya berhubungan dengan sakrum, akan terjadi perubahan biomekanik tulang belakang. Bila kedua prosesus transversus berasimilasi dengan sakrum, tekukan ruas tulang belakang transisional terjadi bila satu prosesus lebih pendek dari lainnya, dan akibatnya mungkin terjadi skoliosis lumbar. Pada keadaan ini, diskus intervertebral superior berdekatan akan terserang ketidaksetangkupan (Rettig 1959). d. Topografi Radik Saraf serta Diskus Intervertebral dalam hubungannya dengan Kanal Spinal Lumbar Kebanyakan sindroma radik saraf lumbar timbul dari segmen terbawah akibat keadaan biomekanik dan kontak erat radik saraf terhadap diskus intervertebral. Pada tulang belakang lumbar sering terjadi penyempitan kanal tulang belakang baik oleh protrusi maupun prolaps diskus intervertebral. Kanal tulang belakang dibatasi sebelah depannya oleh badan ruas tulang belakang dan diskus intervertebral, dan keposterior oleh ligamentum flavum dan arkus ruas tulang belakang. Kearah lateral adalah rongga arkus dan foramina intervertebral. Kanal berbentuk silinder yang berubah sesuai pergerakan batang tubuh. Isi kanal tulang belakang lumbar adalah kantung dural, radik-radik saraf, serta jaringan epi- dural yang berisi vena-vena dan lemak yang mengelilingi radik-radik saraf hingga pada pergerakan yang ekstrim dari tulang belakang lumbar, radik-radik saraf tidak begitu terganggu oleh jaringan keras. Perbedaan ketinggian letak segmen cord tulang belakang dengan segmen tulang belakangnya yang bersangkutan paling jelas pada daerah lumbar. Cord tulang belakang kebawah hanya mencapai ruas tulang belakang lumbar pertama atau kedua, dan saraf-saraf spinal berjalan lebih kedistal dan keluar melalui foramina inter-vertebral yang bersangkutan setelah melalui perjalanan yang jauh dalam rongga subarakhnoid. Saraf-saraf terletak lebih kelateral hingga pada pungsi lumbar medial, mielografi, dan pungsi diskus intervertebral transdural akan terhindar dari cedera. Kauda ekuina adalah saraf-saraf spinal distal yang bersamaan dengan fillum terminale, adalah struktur akhir dari cord tulang belakang yang meluas ke ruas tulang belakang lumbar kedua. Arah dari radik-radik saraf setelah meninggalkan kantung dural adalah menuju tingkat segmen yang bersangkutan, dan semakin jauh radik-radik berjalan kedistal semakin menyudut saat keluar dari kantung dural. Karena hubungan topografik yang khas dari radik- radik saraf terhadap diskus intervertebral ini, maka gangguan pada radik saraf lumbar keempat terjadi pada tingkat diskus intervertebral antara L3-L4. Radik lumbar kelima biasa tertekan pada protrusi diskus intervertebral antara ruas tulang belakang lumbar keempat dan kelima. Radik sakral pertama terganggu oleh prostrusi diskus intervertebral antara ruas tulang belakang lumbar kelima dan segmen sakral pertama. Radik lumbar keempat mungkin terganggu oleh prolaps lateral dan besar pada daerah intraforaminal atau oleh pertumbuhan berlebihan faset inferior ruas tulang belakang lumbar keempat. Hal serupa, radik lumbar kelima mungkin terganggu oleh protrusi atau ruptur diskus intervertebral intraforaminal, atau oleh spurring yang mengikuti pada daerah intraforaminal (Gill 1976). D. Struktur Mikroskopik dan Biokimia Diskus Intervertebral Selain sisa khordal, diskus intervertebral juga berisi komponen jaringan yang terdapat pada jaringan ikat struktur lainnya. Komponen-komponen jaringan antara ruas tulang belakang dengan baik dapat dijelaskan dalam hubungannya atas keperluan mekanik dan sesungguhnya diskus intervertebral mungkin diingat sebagai organ jaringan ikat. Secara histologi dan biokimia, elemen utama jaringan ikat berbeda sesuai lokasinya. Anulus fibrosus dibentuk oleh serabut, nukleus pulposus oleh substansi dasar, dan pelat tulang rawan oleh tulang rawan hialin. Jaringan-jaringan ini berasal dari sel jaringan ikat yang membentuk 20% hingga 30% dari jaringan. Mereka adalah fibroblas, sel sel tulang rawan dan kadang kadang sel sel notokhordal pada diskus intervertebral. Sel-sel jaringan ikat membentuk substansi dasar dan serabut-serabut ekstra dan intra selular. Untuk membentuk makromolekul ekstraselular, sel-sel meng- gunakan substrat molekul rendah, seperti asam amino, garam, glukosa dan air. Kandungan air antara 80% dan 85% pada diskus intervertebral orang muda. Kandungan air nukleus pulposus lebih besar dibanding pada anulus fibrosus. Air tidak dalam keadaan bebas, namun merupakan bagian dari makromolekul. Karenanya dapat kembali dari bentuk ikatan kemakromolekul terion yang bebas, serta dapat dipindahkan kecairan interstitial dengan menggantinya dengan kelompok hidrofilik dari substansi tertentu. Selain cairan interstitial, terdapat mineral, enzim, matriks organik dan sedikit lemak pada jaringan diskus intervertebral. Dalam keadaan normal mineral tidak tampak secara bebas pada diskus intervertebral. Kristal kalsium fosfat tak tampak hingga usia dewasa. McCarty (1964) mendapatkan kalsium pirofosfat pada diskus intervertebral manusia. Ion anorganik, sodium, potasium dan kalsium, masing-masing terikat secara struktural atau dalam larutan pada cairan ekstra- selular. Kalsium terikat pada asam mukopolisakharida dari matriks dan dapat tertimbun disini 35 kali lebih banyak dari jaringan lain (Dulce 1969). Dengan kata lain terdapat pengaktifan kalsium pada jaringan diskus intervertebral. Mineralisasi berjalan paralel dengan peningkatan fosfor dan dengan pemisahan kristal secara lambat. Kandungan potasium yang tinggi pada tulang rawan adalah karena banyaknya sel. Sodium dapat terikat pada matriks; semua ion lain ditemukan pada cairan interstitial. Substansi dasar adalah bagian dari matriks. Penambahan isinya adalah dari arah tepi ke nukleus pulposus. Substansi dasar terdiri dari glukoprotein dan polisakharida molekul besar. Gluko-protein terdiri dari protein dan hidrat arang. Mereka bersifat seperti mukoprotein dengan kemampuannya yang jelas dalam mengikat air, serta kekentalannya yang tinggi. Muko- polisakharida asam, seperti halnya asam hialuronik, sulfat khondroitin, sulfat keratin dan heparin adalah bagian dari polisakharida molekul besar. Mukopoli- sakharida membentuk sistem kisi-kisi tiga dimensi yang akan menentukan viskositas substansi dasar. Karena memiliki hidro-dinamik yang jelas, makromolekul mengikat sebagian besar cairan pada diskus inter- vertebral. Mukopolisakharida bertanggung-jawab untuk pembengkakan, elastisitas dan viskositas substansi dasar. Mukopolisakharida dan makromolekul disintesa baik intra maupun ekstraseluler. Proteoglikan dan komponen lain mukopolisakharida asam dibentuk intra- seluler sebagai produk intermediet metabolisme glukosa. Sel-sel tulang rawan paling bertanggung-jawab atas metabolisme diskus intervertebral. Dengan kemampuan metabolismenya mereka membentuk matriks organik yang mengandung kolagen dan kompleks mukopolisakharida- protein. Ia mengalami depolimerisasi oleh protease asam sitoplasmik yang bergantung pada vitamin A, yang dibentuk oleh sel-sel tulang rawan. Proses ini dapat dihambat oleh kortison (Dingle 1969). Sintesa makromolekul intradiskal bukan kejadian tunggal, namun merupakan proses yang bersinambung. Akibat keterbatasan waktu hidupnya, struktur ekstra- selulernya terus diperbaharui. Adalah seimbang antara depolimerisasi dan sintesa makromolekul pada keadaan normal. Karenanya mukopolisakharida menunjukkan tingkat perubahan yang tinggi. Waktu paruh sulfat khondroitin adalah 7-16 hari, asam hialuronik 2-4 hari (Schiller 1956, Bostrom 1958, Kaplan dan Meyer 1959, Davidson dan Small 1963). Metabolisme yang bersinambung diperlukan diskus intervertebral untuk mempertahankan sintesa dan depolimerisasi komponen ekstra-seluler. Nutrisi sel yang tidak sempurna berakibat rendahnya kualitas dan kuantitas makromolekul. Kandungan kolagen matriks merupakan sekitar 44-51 % berat kering diskus intervertebral. Fibril proteokolagen mengandung asam amino glisin (30 %), prolin (12 %) dan hidroksiprolin (12-14 %). Mereka memiliki struktur makromolekul yang berdeferensiasi tinggi. Fibril kolagen tampak pada diskus inter- vertebral sebagai bentuk kumparan. Dengan pemeriksaan mikroskop cahaya dan elektron tampak bahwa struktur fibriler lebih padat pada daerah perifer diskus intervertebral (Dahmen 1966, Takeda 1975, Buckwalter 1976). Daerah perbatasan diskus intervertebral manusia mempunyai kumparan serabut yang tersusun padat. Zona sebelah pinggir diskus intervertebral memiliki berkas serabut yang tersusun padat. Diantaranya terdapat pita- pita hingga memberikan gambaran seperti jala. Serabut- serabut tersusun dalam berkas yang sangat atau kurang paralel. Mereka tersusun padat dan teratur membentuk gambaran seperti bawang. Sel pembentuk fibril terletak dalam bentuk bikonveks diantara serabut kolagen yang diikat bersama oleh mukopolisakarida. Dengan inter- loking molekul, strukturnya dibangun stabil secara mekanik oleh jaringan serabut kolagen tiga dimensi. Sistem tersebut akan menghalangi difusi molekul. Sawar permeabilitas yang terbentuk dapat mengontrol transport substansi ekstraseluler. Dari tes difusi dengan zat warna dengan berbagai ukuran molekul diperlihatkan bahwa hanya molekul dengan berat kurang dari 400 saja yang dapat melalui sawar diskus (Kramer 1973). Sawar tersebut karenanya merupakan membran permeabel yang selektif. Fase awal pembentukan serabut kolagen terjadi intraseluler. Jaringan diskus intervertebral membentuk tropokolagen, pendahulu kolagen (Steven 1969). Sekali meninggalkan sel, tropokolagen akan mengalami trans- formasi menjadi kolagen tak larut melalui proses polimerisasi ekstraseluler (Eyring 1969). Seperti muko- polisakarida, makromolekul kolagen secara sinambung mengalami proses sintetisasi dan depolimerisasi. Waktu paruh kolagen adalah 30-60 hari (Buddecke 1970). Pada orang tua perubahan berlangsung lebih lambat. De- polimerisasi kolagen dipacu oleh kolagenase. Sel jaringan diskus intervertebral mengandung lisosom yang membentuk enzim (Pearson 1972). Kerjanya sebagai katalis pada metabolisme jaringan. Mereka tak hanya berperan pada depolimeri-sasi namun juga pada sintetisasi. Sebaliknya dari yang dianggap sebelumnya, metabolisme pada diskus-diskus intervertebral secara keseluruhan adalah proses yang cepat dengan adanya aktifitas enzim serta waktu paruh yang pendek. Perubahan dapat terjadi atas pengaruh atas metabolisme oleh faktor mekanik dan biokimia. Perubahan biokimia dan patofisiologi yang mendasarinya mendahului perubahan morfologik makro. E. Biomekanik Tulang Belakang 1. Diskus Intervertebral sebagai Sistem Osmotik. Interior dari diskus intervertebral, piring kartilago, anulus fibrosus, struktur para vertebral, dan juga cancellous bone ruas tulang belakang, semua berperan dalam sistem osmotik. Jaringan pinggir diskus intervertebral berperan sebagai membran semi-permeabel. Akibatnya permeabilitas berbeda pada daerah yang berbeda. Maroudas (1975) dan Urban (1976) membuktikan bahwa glukosa lebih mungkin menembus end-plates dan sulfat pada anulus fibrosus. Dengan interloking molekul, permukaan anulus fibrosus dan end-plates terselaputi jaringan serabut submikroskopik tiga dimensi yang hanya memungkinkan dilalui substansi molekul rendah dan hasil metabolik dapat lewat. Piring kartilago dan anulus fibrosus membentuk sawar permeabilitas yang memisahkan dua kompartemen jaringan, interior dari diskus intervertebral dan jaringan para vetebral termasuk cancellous bone ruas tulang belakang. Kompartemen-kompartemen ini berbeda tekanan hidro- statiknya. Pada jaringan para vertebral dan juga pada jaringan trabekular internal ruas tulang belakang, tekanan hanya beberapa mmHg. Sebaliknya, diskus inter- vertebral adalah subjek dari tekanan yang berkaitan dengan postur tubuh dan berat badan. Beban dapat mencapai lebih dari 1.000 kp. Cairan harus diangkut melawan tekanan didalam diskus intervertebral, selain itu ia akan mengering dalam waktu singkat. Absorpsi cairan hanya didapat dengan osmosis. Artinya tekanan absorptif yang memungkinkan air dan larutan lainnya untuk masuk kejaringan intradiskal melalui membran semipermeabel. Osmosis dipertahankan melawan tekanan beban sepanjang ia berada dalam keseimbangan dengan tekanan osmotik. Ini dipertahankan oleh mukopoli- sakarida intradiskal yang memiliki absorbabilitas air yang tinggi dan yang tidak hanya dapat menahan cairan namun juga mengabsorpsinya melawan keadaan tekanan pada diskus intervertebral. Tekanan osmotik koloid adalah tekanan osmotik yang dipertahankan oleh larutan molekul tinggi. Sebagai tambahan, tekanan hidrostatik dari diskus inter- vertebral sendiri. Dengan kata lain, tekanan ini memungkinkan pembesaran merata dengan pengambilan air dengan cara melawan tekanan balik. Derajat pembesaran diskus intervertebral dapat dinilai secara percobaan. Diskus intervertebral yang ditekan, membesar ketika tekanan dihilangkan. Tingkat dan kekuatan yang memungkinkan terjadinya perluasan, ditentukan oleh elastisitas dan absorbabilitas diskus intervertebral. Pada orang muda diskus intervertebral meluas lebih cepat dan lebih kuat dibanding orang tua. Tekanan osmotik koloid dan tekanan hidro-statik bersama membentuk tekanan onkotik. Berbeda dengan jaringan disekitarnya, diskus intervertebral mempunyai tekanan hidrostatik dan onkotik yang tinggi. Mereka berlawanan satu sama lain dengan mempengaruhi, secara bertolak belakang, absorpsi dan transudasi cairan. Berdasar perbedaan konsentrasi dan tekanan pada daerah tepi diskus, terdapat keadaan berikut: Tekanan hidrostatik Tek. hidrostatik ekstradiskal intradiskal ?------- + -------? + Tekanan onkotik Tekanan onkotik intradiskal ekstradiskal Terdapat efek berlawanan lain pada tekanan jaringan diluar diskus intervertebral, dan tenaga absorptif sepihak adalah berlawanan terhadap tekanan jaringan didalam diskus intervertebral dan tenaga absorptif jaringan sekitar diskus intervertebral. Yang manapun lebih utama, keseimbangan cairan menjadi terganggu. Perubahan yang sinambung pada tekanan hidrostatik dan onkotik adalah paling penting dalam nutrisi jaringan diskus intervertebral dan untuk fungsi segmen bergerak. Tekanan osmotik didalam diskus inter- vertebral berubah oleh faktor biomekanik dan biokimia. Terdapat perubahan biomekanik temporer pada sistem intradiskal sekunder terhadap peninggian atau penurunan tekanan hidrostatik. Tekanan yang timbul pada pembebanan diskus inter-vertebral disebut tekanan intradiskal. Ia beragam tergantung perubahan postur tubuh. Hubungan ini lebih jelas pada diskus inter- vertebral dari-pada semua jaringan lain, dan lebih jauh lagi tidak ada jaringan lain yang mempunyai tekanan setinggi diskus intervertebral. Nachemson (1966) mendemonstrasikan hubungan antara postur tubuh dan tekanan intradiskal dengan pencatatan intravital. Tekanan didapat pada pembebanan diskus intervertebral lumbar bawah dimana pada posisi berbaring 15-25 kp, duduk 150 kp, berdiri tegak 100 kp. Peninggian beberapa ratus kp. didapat bila membungkuk kedepan, mengangkat dan memanggul. Penelitian memakai teknik pewarna dan penggunaan substansi radioaktif, memperlihatkan bahwa pada 80 kp terjadi ekstravasasi cairan, sedang dibawah 80 kp terjadi absorpsi. Transport cairan terbalik terjadi antara 70-80 kp. Arah transport cairan pada dinding diskus intervertebral sebanding dengan perubahan tekanan bila tekanan onkotik konstan. Dengan kata lain, bila beban berat seperti duduk, mengangkat dan memanggul, ekstra- vasasi dipercepat, sedang pada traksi dengan tekanan diskus intervertebral negatif, absorpsi yang dipercepat. Pada keadaan fisiologik, suatu perubahan transport cairan berhubungan dengan tekanan yang terjadi pada perbatasan yang ditentukan oleh absorpsi cairan dimana dilusi solusi makromolekul terjadi. Absorbabilitas diskus intervertebral akan berkurang. Sebaliknya, pembalikan terjadi dimana diskus inter- vertebral hanya dapat ditekan sampai derajat tertentu saja setelah pembebanan. Sekunder terhadapnya, pengeluaran air menyebabkan konsentrasi solusi molekul makro bertambah dan akibatnya absorbabilitas bertambah. Beban tak setangkup pada diskus intervertebral menyebabkan gangguan transport cairan intradiskal. Air dan larutan menjadi keluar dari zona dengan beban lebih besar ke yang lebih kecil. Pada pengukuran tekanan intradiskal didapat bahwa semua gerakan menekuk pada tubuh berakibat perubahan beban total. Pergerakan badan menyebabkan transport cairan antara diskus inter- vertebral dan eksteriornya seperti halnya didalam diskus intervertebral sendiri. Transport cairan yang bergantung beban pada diskus intervertebral manusia dapat dibandingkan dengan pompa, yang fungsinya mengangkut air dan metabolit ke dan dari tepi diskus intervertebral. Jadi nutrisi sel diskus intervertebral lebih baik serta pembuangan metabolit dipermudah. Semua perubahan posisi tulang belakang berkaitan dengan perubahan tekanan intradiskal dan berakibat percepatan maupun perlambatan transport cairan, dengan atau tanpa perubahan arah. Perubahan reguler antara posisi horizontal dan vertikal memperbaiki transport cairan dan larutan. Mempertahankan keadaan pada satu posisi berakibat berhentinya transport cairan yang bergantung beban, dan karenanya merugikan metabolisme diskus intervertebral. Ini terutama jelas pada postur tubuh dengan tekanan intra diskal yang dipertahankan secara terus-menerus pada tingkat tekanan yanyang tinggi. 2. Biomekanik Tulang Belakang Lumbar a. Beban dari Diskus Intervertebral Lumbar Ada beberapa faktor biomekanik yang khas untuk tulang belakang lumbar yang membuatnya lebih terancam dan karenanya lebih mudah terkena kelainan diskus inter- vertebral. Posisi tegak berakibat bagian yang lebih rendah pada tulang belakang menerima beban berat. Pada daerah ini berat badan disalurkan pada area kecil sekitar beberapa sentimeter. Beban ini akan meningkat bila badan ditekuk menjauhi garis tengah. Tahun 1964 Nachemson serta Morris melakukan pengukuran tekanan intradiskal pertama dan penelitian ini dilakukan in vivo pada diskus intervertebral lumbar ketiga, pada manusia dengan postur tubuh yang berbeda. Caranya dengan memasukkan jarum kerongga intra- diskal. Jarum diselaputi oleh membran poli-etilen sensitif tekanan. Pencatatan dilakukan dengan mano- meter. Pada posisi terlentang , tekanan pada diskus intervertebral lumbar sebelah bawah adalah 15 kp. Berbaring miring dengan sedikit tertekuk kebelakang menyebabkan peninggian tekanan lebih dari dua kali. Tekanan meninggi hingga lebih dari 100 kp. saat berdiri, serta pada tekukan kedepan meningkat hingga 140 kp. Tekukan kedepan dengan beban 20 kp. pada lengan menyebabkan peninggian tekanan hingga 200 kp. Duduk dengan punggung tegak menyebabkan tekanan lebih tinggi 140 kp. bila dibanding saat berdiri. Peningkatan selanjutnya terjadi bila tubuh ditekuk kedepan dan terutama bila secara bersamaan diberi beban. Tekanan pada permukaan diskus intervertebral adalah 10 hingga 60 kp/cm2. Okushima (1970) memperbaiki pencatatan pengukuran yang telah dilakukan Nachemson dan Morris (1964). Penelitian lebih lanjut atas tekanan diskus intervertebral dilakukan dengan menghubungkannya dengan penelitian miografi-elektro (Nachemson dan Morris 1964, Nachemson 1965, 1966, 1969, 1974, 1976, Anderson 1974, 1976). Batuk, tertawa, dan peninggian tekanan intra- abdominal berakibat peninggian tekanan diskus inter- vertebral lumbar sekitar 50 kp. Tekanan akan menurun dengan mendudukkan pasien bersandar kebelakang. Duduk santai, tekanan menurun hingga 80 kp. (Nachemson 1984). Kerja otot dan beban pada diskus intervertebral bertambah bila mengangkat dan menarik, yang berhubungan dengan jarak antara beban dan aksis badan. Hasil percobaan ini sesuai dengan perhitungan matematik yang sebelumnya diperkenalkan Matthiass (1956). Menurut Schulter (1965), tekanan dan regangan terbesar ditemukan pada pusat diskus inter-vertebral. Karenanya tenaga robek terbesar terpusat didaerah ini. Mengingat tekanan yang besar, yang berlaku pada diskus inter- vertebral manusia dalam waktu yang lama, tak mengherankan bahwa perubahan degeneratif berkembang pada jaringan dengan nutrisi yang buruk. Sudah dipastikan bahwa tekanan tinggi penting dalam perkembangan dini degenerasi diskus intervertebral. Rosemeyer (1977) mendemonstrasikan terutama bahwa diskus intervertebral lombosakral adalah penanggung regangan yang besar. Dalam berbagai posisi tubuh, sebagai pusat dari tahanan yang lemah, daerah ini menanggung 70 % dari fleksi-ekstensi lumbar secara keseluruhan. Ketika duduk dengan tubuh sedikit condong kebelakang atau bersandar kedepan, tekanan intradiskal meninggi saat pusat beban tidak pada pusat diskus intervertebral namun bergeser keanterior seperti pada posisi lordotik. Bagian posterior anulus fibrosus serta ligamen posterior antara arkus akan berada dalam tegangan. Segmen sentral diskus intervertebral yang mobil akan bergerak kearah bagian posterior diskus inter- vertebral yang kurang tertekan. Dengan kontraksi otot abdominal, memungkinkan untuk menyalurkan bagian dari berat tubuh atas ke daerah pelvis. Tekanan intra- abdominal dapat mencapai 140 mm Hg. (Bartelink 1957, Eie 1962). Dengan kontraksi diafragma dan otot abdominal, rongga abdominal berubah menjadi silinder yang dapat menanggung beban berat, dan menurut Finneson (1973), beban diskus intervertebral lumbar dapat dikurangi 30 % dengan menggunakan otot abdominal. b. Hubungan Antara Beban dan Tinggi Perubahan tekanan pada diskus intervertebral yang relatif besar akan mempengaruhi perpindahan cairan pada diskus intervertebral. Diperlihatkan pada percobaan bahwa diskus intervertebral lumbar menjadi celah sangat tipis setelah diberi beban 200 kp. selama 12 jam. Bila tekanan dihilangkan, diskus intervertebral kembali pada ketinggian normalnya (Kramer 1973). Pada sendi intervertebral normal secara in vivo, perubahan tinggi diskus intervertebral lumbar sangat kecil, akan tetapi tetap dapat diukur. Sendi intervertebral, yang tidak seluruhnya vertikal, dan kapsul yang kuat mencegah pengurangan tinggi lebih lanjut. Pertambahan tinggi diskus intervertebral dengan mengurangi tekanan intra- diskal dapat digunakan untuk perawatan. Pada traksi terjadi pelebaran jarak diskus sekitar 1.1 mm. Perubahan tinggi berkurang dengan bertambahnya usia. Walau dalam peran kecil, ketebalan penting karena ia akan merubah pola gejala dimana ada kaitan yang erat antara tinggi dan protrusi diskus inter- vertebral yang akan merangsang radik saraf. c. Sendi dan Foramina Intervertebral Permukaan sendi intervertebral terletak pada bidang sagital dan karenanya memungkinkan fleksi dan ekstensi, namun juga sedikit gerak kesamping. Rotasi juga mungkin, namun terbatas. Ada perbedaan perorangan dalam pergerakan tulang belakang lumbar dan segmen-segmennya. Latihan berperan penting, dan fleksi yang dijumpai terutama pada akrobatis adalah sangat luas. Pada pengurangan tinggi diskus intervertebral dan juga pada hiper-lordosis, permukaan artikular bergerak secara teleskopik. Akibat inklinasi ringan, permukaan- permukaan tertekan secara bersamaan pada gerakan yang ekstrem. Pada percobaan biomekanik oleh Kramer didapatkan walau terjadi pemendekan diskus inter- vertebral lumbar atau adanya distraksi hebat, tidak terjadi dislokasi, subluksasi atau interloking. Posisi yang dicoba adalah sesuai dengan gerak fisiologis. Foramina intervertebral menyempit bila tinggi diskus intervertebral berkurang. Dengan beban mekanik berat, terjadi fraktura ruas tulang belakang lebih dahulu dibanding kerusakan diskus intervertebral atau sendi intervertebral. Lebar foramina intervertebral lumbar berubah sesuai dengan gerakan tulang belakang lumbar. Tekukan kesamping, foramina menjadi sempit pada sisi cekung dan melebar pada sisi cembung. Bersandar kedepan berakibat pelebaran, sedang inklinasi keposterior menyebabkan penyempitan foramina. Karenanya penderita dengan protrusi lateral diskus umumnya bersandar kedepan serta kearah sisi yang sehat dalam usaha menghilangkan tekanan terhadap radik saraf. Pada perubahan tinggi intervertebral juga terjadi perubahan pada faset sendi. Pada daerah lumbar, ini jelas tampak setelah pembebanan lama atau relaksasi, dan nyata pada faset sendi yang terletak pada dataran koronal. Penurunan jarak intervertebral, yang terjadi selama pembebanan sehari-hari, mengurangi rongga intraforaminal dengan seperlimanya. Pembukaan faset sendi terjadi kearah superior pada bagian luar dan kearah inferior pada bagian medial (Kramer 1973). Pergerakan seperti ekstensi dan tekukan kesatu sisi akan mempersempit rongga intervertebral untuk saraf spinal pada sisi tersebut. Radik-radik berjalan melalui bagian atas foramen intervertebral dan mengisi sekitar 1/4 dari total lumen. Pada peradangan dengan pembengkakan jaringan perineural, pada protrusi diskus intervertebral atau adanya reaksi osteofit dari faset sendi, rongga akan mengecil serta merugikan radik saraf. Jarak jaringan ikat yang sangat dekat, yang mengalami perubahan terus menerus, serta karena struktur saraf yang sangat peka, membuat foramina intervertebral lumbar bawah diperkirakan sebagai pusat penyakit diskus intervertebral. F. Patologi Pendapat secara umum sudah dikemukakan atas perubahan morfologik dan biomekanik yang dapat terjadi pada degenerasi diskus intervertebral, terutama jelas pada daerah lumbar yang diperkirakan karena tenaga mekanik yang terjadi pada daerah ini. Jelas ini penting secara klinis karena sangat dekat dengan saraf yang peka. Tidak diragukan lagi bahwa pada fase tertentu dari degenerasi diskus intervertebral terdapat hubungan dengan gejala yang mungkin memberat. Pada tulang belakang lumbar sudah dipastikan bahwa kelainan degeneratif berat tidak harus disertai dengan gejala klinis. Degenerasi diskus intervertebral adalah suatu proses yang sangat kompleks yang hingga saat ini sangat sedikit dimengerti. Proses ini dimulai sejak awal kehidupan dan terus berlangsung sepanjang hidup. 1. Umum Kelainan diskus intervertebral adalah 'ongkos' yang harus kita bayar atas postur berdiri tegak yang kita miliki (Reischauer 1949). Semula diskus intervertebral tidak memiliki jaringan bradytropic. Hanya saat awal masa bayi metabolisme terjadi melalui pembuluh diskus disaat belum ada beban yang ditanggung tubuh. Sejak pertama postur berdiri berlaku, akan terjadi perubahan yang mendasar pada keadaan biomekanik. Berbeda dengan ruas tulang belakang dengan pembuluh darahnya yang terlindung didalam trabekuli, tekanan langsung dari beban tubuh dan tonus otot akan bekerja pada pembuluh darah diskus yang terletak pada substansi seperti gelatin yang homogen. Tekanan arteriolar dan venular lebih rendah dari tekanan hidrostatik sehingga pembuluh darah akan terbendung dan tidak akan mencapai diskus inter-vertebral. Pembuluh darah akan kolaps dan menjadi atrofi. Nutrisi fibroblas dan sel kartilago menjadi berkurang. Metabolisme akan melewati jalur yang panjang melalui jaringan yang pada bagian tepinya masih memiliki vaskularisasi yang normal. Diskus intervertebral merupakan struktur non- vaskular tubuh yang terluas. Dengan posisi berdiri, diskus intervertebral merupakan subjek faktor bio- mekanik yang tidak menguntungkan yang menentang kebutuhan regenerasi normal yang sinambung yang berdasarkan sirkulasi yang memadai, penghilangan beban dan pola gerakan yang normal. Kesulitan dalam mengadaptasi hal ini akan berakibat memburuknya kualitas diskus intervertebral yang akan berakhir dengan degenerasi. Karenanya degenerasi telah tampak pada masa bayi dan kelainan diskus telah tampak pada semua bagian tulang belakang pada masa pubertas dan bahkan sebelumnya (Tondury, 1968). Contohnya antara lain tortikolis akut pada anak-anak adalah primer karena perubahan involusional pada diskus inter- vertebral. Setelah usia 30 tahun tak satupun tulang belakang manusia yang tidak mengalami perubahan degenerasi (Schmorl dan Junghanns, 1968). Catu nutrisi yang teratur untuk sel diskus intervertebral untuk beberapa dekade tidak dijamin oleh mekanisme transport cairan baik secara aktif maupun pasif. Pembatasan pergerakan serta fiksasi kaku pada posisi yang tidak baik selanjutnya merubah transport cairan dalam diskus intervertebral. Faktor lain adalah cedera sederhana, strain temporer dan posisi istirahat yang tidak benar. Akhirnya faktor genetik berpengaruh pada perkembangan degenerasi diskus intervertebral yaitu dalam merancang serabut kolagen anulus fibrosus (Wilson, 1968). Idelberger (1977) menemukan bahwa faktor konstitusi berperan penting pada degenerasi diskus intervertebral. Degenerasi diskus intervertebral akan mengenai semua jenis manusia berdasar konstitusi kerangka tubuh secara ekual. Metabolisme diskus memburuk sejak tahun pertama kehidupan. Tidak hanya perubahan komposisi kimia, namun juga struktur anatomis. Fibroblas tidak mendapatkan nutrisi yang cukup, karenanya fibril dan substansi dasar yang dihasilkannya akan bermutu buruk dan pada akhirnya akan mengalami degenerasi lengkap. Kuhlendahl dan Richter (1952) menemukan degenerasi lemak pada diskus orang dewasa baik pada substansi dasar maupun pada anulus fibrosus. Pada usia 25 hingga 40 tahun tampak perubahan degeneratif seperti dehidrasi, batas fibril lamella yang lebih tajam dan mengaburnya batas anular dan nukleus. Lang (1962) dan Dahmen (1966) mendapatkan perubahan degeneratif pada orang pada dekade ketiga berupa atrofi sel, degenerasi serabut anulus dan disintergrasi substansi dasar. Harris dan MacNab (1954) menemukan pada nukleus pulposus orang dewasa adanya inti sel dengan granul kasar piknotik. Dengan mikroskop elektron Dahmen (1966) menemukan fibril yang tidak normal dan irregular dalam ketebalan dan striasi yang beragam. Dalam perjalanan berikutnya, jaringan diskus intervertebral menunjukkan ruptur konsentrik serta fissura radial akibat beban. Pulp menjadi lebih sistik dan terjadi hubungan antara fissura dan anulus fibrosus. Sista dan fissura mudah diperlihatkan dengan diskografi dengan menyuntikkan media kontras. Diskus intervertebral yang lebih berdegenerasi lebih banyak dapat menerima cairan. Pasien lebih muda dapat mengambil sekitar 0.5-1.0 cm3. Pasien lebih tua dengan diskus yang ruptur dapat menerima 5 cm3 cairan tanpa terjadinya cedera maupun refluks cairan yang disuntikkan. Kantung udara terbentuk pada sista dan mudah tampak pada radiografi. Alasan terbentuknya tidak diketahui. Tanda lain degenerasi diskus intervertebral adalah perubahan warna yaitu karena terjadinya hubungan antara ruptur dan fissura dengan lubang pada dataran akhir tulang rawan yang dipenetrasi pembuluh darah dari cancellous bone hingga terjadi perubahan warna lamella menjadi kuning kecoklatan (GUntz, 1958). Bendungan, robekan dan juga perlunakan jaringan diskus intervertebral disebut khondrosis oleh Schmorl dan Junghanns (1968). Karena tidak hanya tulang rawan, namun semua komponen diskus intervertebral yang menjadi tempat terjadinya degenerasi, dianjurkan pemakaian istilah yang lebih tepat yakni diskosis. Keseluruhan proses terjadi terbatas pada diskus intervertebral, karenanya sulit tampak pada radiografi. Namun pemendekan rongga diskus intervertebral pada radiograf serta deviasi aksial akibat perubahan postur dapat diperlihatkan. Akibat kolapsnya diskus intervertebral, terjadi peninggian beban pada sendi ruas tulang belakang serta penyempitan foramina intervertebral. Akibat hilangnya sirkulasi pada diskus intervertebral, berakibat tiadanya proses reparasi. Bila keadaan menjadi kronik, usaha untuk melakukan reparasi bergantung pada ruas tulang belakang berdekatan. Bila ruas tulang belakang terserang dan perubahan degeneratif juga tampak pada tulang, Schmorl menganjurkan istilah osteokhondrosis. Dataran akhir ruas tulang belakang menjadi sklerotik dengan batas yang kabur. Berbeda dengan pada spondilitis, sklerosis pada osteokhondrosis hanya terbatas pada dataran akhir ruas tulang belakang. Kadang-kadang terjadi degenerasi sistik pada badan ruas tulang belakang seperti pada osteoarthrosis. Osteokhondrosis terjadi terutama pada tulang belakang leher sebelah bawah dan lumbar karena pengaruh yang besar dari faktor biomekanik. Perlunakan diskus serta hilangnya turgor berakibat bertambahnya kehilangan serta fragmentasi diskus intervertebral. Ini akan menyebabkan terpisahnya jaringan diskus intervertebral dari ligamen inter- vertebral. Ini umumnya terjadi pada ligamen longitudinal anterior yang menjembatani diskus dengan diskus dan melekat melalui serabut Sharpey pada badan ruas tulang belakang. Pada daerah ini reaksi osseus timbul dan meluas keligamen. Spur spondilotik terjadi mula-mula pada arah horizontal namun kemudian dalam arah longitudinal mengikuti ligamen longitudinal. Secara bersamaan terbentuk spur kecil dibagian posterior. Pertumbuhan spur oseus dapat meluas dan terjadi spondilosis hiperostotik menyeluruh yang disebut spondilosis hiperostotika. Walau tampilan perubahan osseus hebat, secara mengherankan gejalanya biasa ringan. Secara klinik, reaksi pada diskus intervertebral lebih penting. Dengan perlunakan dan fragmentasi lebih lanjut, bagian tersebut akan bergeser dan dapat bermigrasi bebas dan disebut sekuestra. Robekan memungkinkan pergeseran intradiskal sepanjang tenaga ekspansif nukleus tetap ada. Bagian nukleus pulposus dan fragmen diskus intervertebral bermigrasi dibawah beban berat pada jalur yang terkecil tahanannya dan karenanya mengalami penetrasi kejaringan dan menonjol kebelakang sebagai prolaps diskus intervertebral. Sangat jarang prolaps hanya mengandung material pulp, sering disertai juga jaringan fibrosa dan tulang rawan. Karenanya istilah prolaps diskus lebih tepat dari pada prolaps nukleus. Fissura dan ruptur piring tulang rawan memudahkan penetrasi pembuluh darah dan jaringan ikat dari badan ruas tulang belakang kediskus inter-vertebral. Pembuluh darah menyebar pada diskus intervertebral dan sel longgar serta jaringan parut vaskular akan mengisi rongga tersebut (Tondury, 1958). Pita fibrosa kuat dan telah mengalami dehidrasi serta lipping osseus menyangga rongga diskus intervertebral hingga pembuluh darah yang menginvasi jaringan tidak tertekan oleh tekanan beban. Karenanya terjadi ankilosis fibrosa dan bahkan osseus dengan inaktivasi segmen. Pemendekan tinggi dan fiksasi segmen tidak sering bersamaan dengan nyeri walau ada penyempitan foramina. Ini terutama pada keadaan yang telah berlangsung puluhan tahun demana radik saraf dan pembuluh darah telah beradaptasi. GUntz (1958) menjelaskan tentang penyembuhan dengan jaringan parut pada diskus inter-vertebral yang rusak. Peningkatan bendungan dan robekan diskus inter- vertebral adalah perubahan degeneratif sejati. Schmorl dan Junghanns (1968) meyakini ketergantungan terhadap usia, dengan kata lain tidak lebih dari proses fisiologik. Tondury (1973) menjelaskan lingkar hidup diskus intervertebral. Perubahan pada diskus inter- vertebral tidak dianggap sebagai penyakit, namun lebih sebagai proses biologik dengan kemungkinan terjadinya gangguan sepanjang hidup. Pembatasan pergerakan tulang belakang akibat kelainan diskus intervertebral dapat bertambah, namun ajaib tidak banyak orang yang mengajukan keluhan. Secara klinis, ruptur yang terjadi cepat, perlunakan jaringan serta pergeserannya, menjadi jelas hanya bila terjadi perubahan pada pembuluh darah dan saraf yang berdekatan. Ini paling jelas pada tulang belakang leher dan lumbar. Bersamaan dengan perubahan morfologik pada diskus intervertebral, terjadi pengurangan kandung air dengan akibat perubahan pada komposisi kimia. Karenanya biomekanik segmen bergerak juga berubah. Seperti telah dijelaskan, tanda khas perubahan diskus intervertebral adalah pengurangan kandung air. Pada neonatus diskus intervertebral mengandung 88% air, pada usia 12 turun menjadi 83% dan 70 % pada usia 72 (Keyes dan Compere 1932). Selama tahun pertama kehidupan nukleus pulposus mengandung lebih banyak air dibanding anulus fibrosus. Pada tahun-tahun berikutnya terjadi perubahan. Dengan berkurangnya cairan, nutrisi diskus intervertebral memburuk karena air tidak hanya penting untuk lingkungan makromolekul, namun juga sebagai medium transport berbagai substansi pada berbagai proses metabolik. Dengan pertambahan usia, matriks organik diskus intervertebral juga berubah. Kalsium menjadi dua kali lipat selama siklus hidup; potasium berkurang karena berkurangnya jumlah sel; Magnesium berkurang hingga usia 70 tahun dan selanjutnya bertambah lagi secara perlahan; Sulfur berkurang dan Nitrogen bertambah. Yang terpenting dalam metabolisme dan biomekanik diskus intervertebral adalah perubahan pada kolagen serta mukopolisakharida. Paralel dengan peningkatan nitrogen, terjadi pula peningkatan protein nonkolagen. Kandung kolagen meningkat hingga usia 20 tahun, kemudian akan menetap. Mukopolisakharida berubah baik dalam kualitatif maupun kuantitatifnya dengan pertambahan usia. Tanda khas adalah penurunan mukopoli- sakharida. Penurunan juga akan terjadi pada berat molekulnya. Karenanya tekanan onkotik menurun dengan pertambahan usia, oleh pengeringan diskus inter- vertebral. Depolimerisasi makromolekul menghasilkan produk sisa yang terkadang meningkatkan tekanan onkotik dengan bertambahnya partikel total. Pengukuran tekanan pada usia berbeda menunjukkan kembalinya diskus inter- vertebral yang dikompresi keukuran normal lebih nyata pada usia muda. Ternyata secara mengejutkan nilai yang tinggi terjadi pada usia 30 hingga 50. Setelah usia ini menurun secara jelas (Kramer 1973). Antara usia 25 dan 30 bagian sentral diskus intervertebral yang menjadi lebih meluas akibat bertambahnya tekanan, ditahan oleh tahanan anulus fibrosus yang telah berdegenerasi. Menurut Kuhlendahl dan Richter (1952), robekan tampak pada anulus fibrosus diawal usia dewasa; antara usia 30 hingga 35 tahun frekuensinya meningkat dimana terjadi pembengkakan substansi dasar, penambahan homogenisasi nukleus pulposus, disrupsi nuklir dan fissura lamellar. Jadi adalah kerusakan keseimbangan jaringan diskus inter- vertebral. Dalam hubungan dengan peningkatan tekanan intradiskal maka orang dewasa muda memiliki risiko akan perubahan kemampuan biokimia yang akan menyebabkan pergeseran jaringan diskus intervertebral. Terjadi pergeseran, protrusi dan prolaps. Dengan penambahan molekul, lebih banyak akumulasi cairan pada diskus intervertebral. Akibatnya anulus fibrosus bertambah isinya dan tetap tenang bila tanpa beban, namun pada tegangan yang tinggi. Ekstenuasi diskus intervertebral dalam tingkatnya yang terbesar, dan terbentuk konsistensi yang padat tak elastik. Pada tes kompresi (Virgin 1951) dan diagram tekanan (Hartmann 1970) memperlihatkan bahwa over-ekstenuasi serabut anular, yang telah dibebani sebelumnya, mencapai tingkat dimana terjadi ruptura dan fissura. Beban tambahan akan menyebabkan lesi irreversibel (histeresis). Bila volume intradiskal ditingkatkan dan dijadikan subjek strain mendadak, efeknya akan seperti memecahkan gelas, serabut akan putus. Kebanyakan penelitian pato-anatomi memperlihatkan bahwa fissura dan robekan bertambah dengan bertambahnya usia. Walau demikian frekuensi protrusi dan prolaps berkurang. Tenaga ekspansif nukleus pulposus berkurang dan akibatnya terjadi pengurangan kecenderungan untuk bergeser. Tetap tidak diketahui berapa lama depolimerisasi makro-molekular berlanjut dengan tekanan intra-diskal meninggi dan apa yang mengendalikannya. Menurut Naylor (1971), peninggian hialu-ronidase bertanggung jawab untuk separasi makromolekul. Ia juga menganggap bahwa katepsin D mungkin merupakan enzim yang berperan dalam degenerasi diskus intervertebral. Karenanya tujuan terapi dengan mempercepat depolimerisasi misalnya dengan injeksi substansi sesuai, menyebabkan khemo- nukleolisis. Penghambatan efek hialuronidase didapat dengan pemakaian inhibitor hialuronidase. Penetralan hasil intermediet depolimerisasi dicapai dengan penurunan tekanan. Disamping kombinasi penambahan tekanan dan pengurangan tahanan anulus fibrosus, faktor biomekanik turut berperan dalam perkembangan prolaps karena perlunakan dan penjarangan struktur diskus inter- vertebral dengan pembentukan fragmen yang akan bergerak kearah tahanan terendah yaitu menuju konveksitas. Ini terutama karena peninggian tekanan intradiskal dan pengaruh tekanan kompresi dan shear. Pergeseran ini dapat menambah protrusi dan prolaps. Diduga bahwa penambahan beban berat badan dengan adanya tenaga kompresif dan shear merupakan satu-satunya penyebab prolaps diskus intervertebral. Namun mustahil untuk membuktikannya secara satu persatu. Tenaga luar hanya merupakan efek presipitasi yang oleh Schmorl dan Junghanns (1968) disebut impuls tambahan. Degradasi enzimatik akan menyebabkan terbentuknya molekul bermolekul lebih kecil yaitu menjadi sekitar 400. Ini mengganggu semipermeabilitas jaringan diskus intervertebral. Bila tidak disertai pembentukan makromolekul didalam diskus intervertebral, tekanan onkotik akan berkurang seperti halnya pada pertambahan usia. Absorpsi air akan berkurang dan tinggi diskus inter-vertebral berkurang. Bila terjadi perubahan volume, terjadi perubahan tegangan serabut anulus fibrosus. Ini akan menjadi kendur bila lebih banyak air dikeluarkan, dan tinggi diskus akan semakin berkurang. Bila derajat ekstenuasi berkurang, pergerakan akibat berat tubuh tidak lagi cukup mengatur dan tidak juga terbagi merata sepanjang cincin serabut. Serabut melunak. Yang pertama terserang adalah serabut kecil yang berjalan antara lamella sehingga tidak terjadi pergeseran. Diskus intervertebral yang menjadi tidak elastik serta robek, kehilangan sifat bumpernya dan tidak lagi bekerja sebagai semijoint pada segmen bergerak. Komponen segmen lain, sendi ruas tulang belakang dan ligamen, kehilangan fungsi normalnya, selanjutnya ini merupakan syarat tidak langsung untuk terjadinya rasa tidak enak pinggang. Bila tekanan onkotik berkurang, penurunan relatif tekanan hidrostatik dapat menyebabkan pengeluaran air. Keragaman sehari-hari tinggi badan akan relatif berkurang. Terdapat hubungan langsung antara tinggi badan dan volume diskus intervertebral. Pada remaja perbedaan tinggi badan antara pagi dan malam adalah dua persen dan pada dewasa 0.2 persen. Alasan lain pada pengeringan diskus intervertebral adalah ruptur pada anulus fibrosus. Semipermeabilitas jaringan diskus intervertebral dihilangkan oleh adanya fissura hingga air, zat-zat yang terlarut serta juga makromolekul dapat berpermiasi dibawah tekanan yang rendah. Keseimbangan osmotik terganggu. Hal serupa juga terjadi pada lesi diskus intervertebral dan setelah diskotomi. Bila pengeringan berjalan terus, diskus intervertebral akanmenjadi robek dan rapuh. Difusi menjadi berkepanjangan dan sirkulus visiosus terus berlangsung dengan berlanjutnya pengeringan serta perlunakan. Akhirnya tinggi diskus menjadi lebih pendek. Sebagai patokan, semua diskus menjadi subjek degenerasi progresif ini, namun perubahan utama terjadi terutama pada tulang belakang leher dan lumbar. Sehubungan dengan perubahan sendi prearthrotik, terjadi kelainan fungsional pada sistem lokomotor yang memacu terjadinya degenerasi diskus intervertebral (diskosis). Pertanda ini disebut perubahan prediskotik. Deformitas dapat terjadi pada tulang belakang atau sekitarnya. Perubahan prediskotik ini lebih berpotensi untuk menimbulkan penyakit dibanding prearthrotiknya sendiri. Perubahan prediskotik adalah kelainan postur yang berakibat pembebanan yang tak setangkup pada satu atau lebih diskus intervertebral. Dengan penggunaan yang tak teratur diskus intervertebral, pertumbuhan apposisional interstitial pada bayi akan terganggu dan diskus inter- vertebral mengalami deformasi serta menjadi konkav. Kelainan juga terjadi setelah pertumbuhan berakhir. Percobaan hewan menunjukkan kelainan degeneratif umumnya terjadi pada bagian yang lebih tertekan (Exner 1954). Pembebanan tidak setangkup yang bersinambung berakibat perubahan metabolik pada bagian konkav diskus intervertebral. Beban total yang dalam keadaan normal didistribusikan pada seluruh diskus menjadi terpusat pada daerah ini. Nukleus pulposus dan bagian bergerak dari anulus fibrosus tergeser kedaerah yang kurang terbebani. Bagian anulus fibrosus yang tergantung baik dan dataran kartilago tidak dapat meneruskan tekanan ini. Tonus otot batang tubuh yang kendur, yang memberikan tekanan pada bagian konkav diskus inter- vertebral tulang belakang yang mengalami deformitas, adalah sangat besar sehingga cairan serta hasil metabolisme tidak dialirkan pada daerah ini. Metabolisme seluler menjadi terganggu. Terjadi perubahan yang khas pada diskus intervertebral yang menjadi subjek beban yang tak setangkup. Pada skoliosis terjadi perubahan dini anular pada daerah konkav akibat peninggian tekanan, dan terjadi pergeseran jaringan diskus intervertebral. Kompresi yang bersinambung dan gangguan nutrisi pada fibroblas berakibat diskosis prematur. Analisis objektif menunjukkan penyempitan diskus intervertebral, spondilosis dan sklerosis dataran akhir ruas tulang belakang didaerah yang terkena. Pengeringan, penuaan jaringan dan impaksi menunjukkan perjalanan yang cepat bila beban berkelanjutan hingga akhirnya terjadi ankilosis, sering tampak pada remaja dengan pembentukan lengkung pada tulang belakangnya. Terjadi segmen tulang belakang fibrosa yang kaku pada puncak kifosis (kifosis remaja) dan pada skoliosis. Gejala jarang timbul dari bagian kaku tulang belakang, lebih sering dari bagian yang bergerak. Ini merupakan subjek terhadap strain dan stres yang lebih besar yang menyebabkan penjarangan struktur serta pergeseran jaringan. Kelainan tak setangkup bisa disaksikan baik pada dataran sagital maupun frontal. Perbedaan tinggi diskus intervertebral pada arah antero-posterior adalah fisiologik pada kurva sagital tulang belakang normal. Diskus intervertebral mempunyai kemampuan mengatur dirinya saat pertumbuhan dataran akhir ruas tulang belakang. Peningkatan atau menetapnya kurva fisiologik setelah pertumbuhan menyebabkan pertambahan beban pada baik bagian diskus intervertebral anterior maupun posterior, dan berakibat diskosis prematur. Pembebanan batang tubuh anterior yang berkelanjutan seperti pada kehamilan, postur yang tidak benar dan obesitas menyebabkan tekukan panggul dan penambahan lordosis lumbar dengan peregangan berlebihan dan gangguan nutrisi bagian posterior diskus intervertebral lumbar. Terjadi perubahan prediskotik. Secara keseluruhan statika dari tulang belakang lumbar menjadi terganggu oleh adanya hiperlordosis dan lesi timbul pada diskus intervertebral lumbosakral dan sendi ruas tulang belakang. Ini sangat sering tampak bersamaan dengan kontraktur fleksi pada kelainan sendi panggul. Pada penderita kifosis remaja, lumbago dan siatika akan terjadi pada usia tiga puluhan. Gangguan pertumbuhan juvenil tulang belakang lumbar merupakan pertanda perubahan prediskotik. Sering disertai deformitas statik. Bagian superior tulang belakang lumbar lebih sering menunjukkan kifosis. Brocher (1973) menemukan penyempitan diskus intervertebral lumbosakral pada gangguan pertumbuhan juvenil baik pada toraks maupun lumbar. Terjadinya hiperlordosis kompensatori didaerah lumbar bawah berakibat diskus intervertebral lumbosakral menjadi subjek tenaga kompresif dan shear. Terjadi bendungan dan robekan prematur. Sendi ruas tulang belakang menunjukkan peningkatan osteoarthrosis. Perubahan keseimbangan lokomotor menyebabkan deformitas tulang belakang pada dataran frontal. Setelah inklinasi lateral tulang belakang yang lama, timbul skoliosis akibat fiksasi fibrosa diskus intervertebral. Inklinasi tulang belakang lateral sering dikarenakan tekukan panggul sekunder terhadap pemendekan salah satu anggota bawah. Perbedaan panjang tungkai dengan tekukan panggul ditemukan pada 60 - 70 persen manusia (Taillard 1964). Spondilosis dan spondilolistesis merupakan dasar perubahan prediskotik. Dengan penjarangan dan pergeseran tulang belakang, diskus intervertebral melunak dan menipis. Kelainan kongenital daerah lumbosakral menyebabkan pembebanan tak setangkup pada diskus intervertebral lumbar. Max Lange (1965) menduga bahwa lumbalisasi dan sakralisasi menyebabkan prolaps diskus inter-vertebral hingga dua kali lebih sering dibanding tulang belakang normal. Kelainan kongenital lumbosakral ini karenanya merupakan perubahan prediskotik bila menimbulkan pembebanan lumbar yang tak setangkup. Rettig (1959) menjelaskan konsep ini dengan tehnik radiografik dengan kontras yang menampilkan diskus inter-vertebral. Sclegel (1975) menemukan bahwa tulang belakang lumbar hipersegmental lebih mobil dan memerlukan muskulatur untuk menstabilkannya. Tulang belakang lumbar mungkin menekuk kelateral dan terputar hingga terjadi skoliosis. Deformitas setelah fraktura ruas tulang belakang serta spondilitis merupakan perbahan pre- diskotik. Diskus didekatnya yang tidak harus segera terkena, mendapatkan beban yang tak setangkup hingga menimbulkan perubahan bendungan. Dianjurkan untuk memperbaiki fraktura ruas tulang belakang dengan memperbaiki alignment untuk mencegah sekuele diskus intervertebral. Perubahan prediskotik adalah potensial menjadi penyakit dan harus selalu diketahui serta penyebabnya diatasi dengan cara yang paling baik. 2. Perpindahan Intradiskal dan Protrusi Posterior Tanda makroskopik pertama yang dapat dikenali pada degenerasi diskus intervertebral lumbar adalah adanya fisura pada bagian pusat anulus fibrosus. Ia berkembang dari daerah kecil ditempat yang mengalami perubahan degeneratif. Fisura radial dan sirkular berjalan kedalam nukleus pulposus akibat beban tak setangkup terhadap diskus intervertebral, selanjutnya berjalan keposterior kebatas yang lebih perifer dan karenanya menyebabkan regangan terhadap ligamen longitudinal posterior. Serabut-serabut sensori ramus meningeal saraf spinal menjadi terangsang. Ini mungkin menyebabkan lumbago dan adalah akibat adanya kerusakan interior diskus intervertebral, serta pengaruh sekunder terhadap ramus meningeal saraf spinal. Pada anak dan orang muda hal ini sangat sering memperberat regangan pada hamstring. Transisi menuju protrusi lumbar adalah menyeluruh. Lapisan paling permukaan dari anulus fibrosus tetap utuh, namun protrusi tertentu lapisan superior diskus intervertebral dibelakang jaringan yang rusak tetap berlangsung. Pada operasi, fragmen diskus intervertebral ditemukan bila anulus fibrosus disayat. Dari kepentingan klinis, pergerakan fragmen diskus intervertebral kearah posterior penting karena pada daerah ini terdapat struktur peka nyeri. Protrusi atau invasi anterior jaringan diskus intervertebral kebadan ruas tulang belakang tidak menyebabkan rasa tidak enak atau pembatasan fungsi. Pada arah posterolateral mungkin terjadi kontak antara protrusi dan radik saraf. Sebagai tambahan terhadap nyeri lumbar, juga timbul nyeri radikuler. Hal ini mungkin menjadi lebih atau kurang intensif tergantung lokasi serta ukuran dari protrusi. Simptomatologi tergantung posisi protrusi. Mungkin lebih menuju tengah, atau biasa disebut 'protrusi paramedian'. Mungkin pula medial atau lateral terhadap radik saraf, atau akhirnya mungkin mengalami protrusi kedalam foramen menyebabkan protrusi intraforaminal. Tidak hanya ukuran protrusi yang penting, namun juga ruangan dimana dura dan radik-radik saraf yang kelak akan terjepit. Bila mengenai L5/S1 jarak antara kantung dura dan protrusi lebih jauh dibanding tingkat yang lebih atas. Protrusi didaerah ini mungkin harus sangat besar untuk dapat mengganggu kantung dural. Disisi lain, pada penekanan radik saraf kearah lateral kedalam foramina intervertebral, protrusi mungkin sangat kecil. Pada keadaan stenosis tulang belakang lumbar, protrusi sangat kecil mungkin berakibat timbulnya rasa tidak enak. Gejala protrusi sangat berubah-ubah karena jaringan yang mengalami protrusi tetap merupakan bagian dari sistem osmotik yang utuh dan karenanya bereaksi terhadap semua perubahan patofisiologik yang khas pada degenerasi diskus intervertebral. Sepanjang lamela kuat anulus fibrosus tetap utuh diluar protrusi, fragmen diskus intervertebral mungkin bergerak kearah pusat diskus intervertebral. Tentu ini tidak terjadi pada keadaan dimana fragmen sudah terjepit antara tepi posterior ruas tulang belakang bersangkutan dimana fragmen tidak akan bergerak. Bagaimanapun hal ini mungkin akan mengalami ekstrusi sempurna membentuk prolaps, atau menjadi lepas dan terdorong kebagian pusat diskus intervertebral. Pengobatan diarahkan pada usaha mengembalikan fragmen kepusat diskus intervertebral, namun sudah diketahui pada jenis pengobatan ini mungkin berakibat bahwa fragmen lebih bergerak kearah tepi anulus fibrosus dan akhirnya terjadi robeknya lamela luar. Protrusi kemudian menjadi prolaps. 3. Prolaps Keadaan sangat berbeda bila degenerasi diskus intervertebral menyebabkan perforasi lamela posterior anulus fibrosus serta yang menyebabkan prolaps jaringan diskus intervertebral yang mengalami degenerasi. Berlawanan dengan frekuensi yang tinggi dari nyeri lumbar dan nyeri menjalar yang tampak bersama protrusi diskus intervertebral yang sederhana, prolaps posterior dan postero-lateral adalah sangat jarang. Pada keadaan ini, operasi adalah utama, terutama bila prolaps meletakkan material diskus inter-vertebral dibawah atau didekat radik saraf dan menyebabkan tekanan dan rangsangan pada radik saraf. Tidak mungkin untuk memperkirakan kapan protrusi menjadi prolaps, kecuali penderita setelah mengalami masa nyeri pinggang dengan/atau nyeri tungkai, tiba-tiba kehilangan nyeri pinggang sama sekali dan hanya merasakan nyeri tungkai yang menjalar. Harus dipikirkan bahwa pengobatan manipulatif berperan hingga diskus intervertebral menjadi prolaps. Pada prolaps lumbar jaringan bergerak kerongga epidural kanal spinal dan menyebabkan penyempitan yang sangat serupa dengan tumor. Prolaps dapat berhubungan dengan jaringan diskus inter-vertebral bersangkutan namun dapat juga tampak sebagai fragmen terpisah, yang karena kemampuan osmotiknya menimbulkan perubahan tingkat gangguan terhadap saraf. Perubahan diskus intervertebral yang mengalami prolaps dapat berhubungan dengan intensitas nyeri. Fragmen diskus intervertebral menambah volumenya dalam cairan isotonik dan hipotonik. Percobaan terhadap jaringan fragmen diskus intervertebral memperlihatkan pada keadaan yang serupa dengan prolaps diskus intervertebral dimana terjadi penambahan volume pada cairan hipotonik dibanding pada cairan hipertonik. Jaringan diskus intervertebral yang tidak dipengaruhi tekanan intradiskal, dapat berubah volumenya karena kemampuan osmotik. Karena intensitas nyeri pada prolaps lumbar umumnya tergantung lokasi dan ukuran deformitas, nyata bahwa perubahan volume jaringan yang prolaps mungkin berakibat perubahan gejala. Disamping ukuran jaringan yang prolaps, konsistensi juga berperan. Jaringan yang bergerak kerongga epidural, akhirnya mengkerut dan membentuk perlekatan. Ini mungkin menimbulkan rekurensi yang kronik dari nyeri radik saraf. Pada kasus tertentu, bagian diskus inter- vertebral posterior termasuk piring tulang rawan dapat mengalami fragmentasi dan prolaps kedalam kanal spinal. Bila arahnya kemedial, kantung dura akan tertekan seperti juga serabut-serabut kauda ekuina. Ini diperlihatkan dengan mielografi. Gejala klinik prolaps medial mungkin menampakkan baik lumbago, dengan akibat pendataran lordosis lumbar, siatika, atau sindroma kauda lengkap atau tak lengkap yang merupakan gejala yang biasa pada prolaps medial. Pada daerah lumbar, prolaps posterolateral akan mengenai radik saraf. Tergantung posisinya, prolaps dapat menggerakkan radik saraf baik kemedial maupun kelateral. Radik-radik sangat sering menjadi gepeng. Gejala klinik mungkin beragam. Radik-radik saraf mungkin menjadi gepeng karena tekanan, atau melekat pada prolaps, atau mungkin membengkak dan menimbulkan reaksi radang. Posisi antara prolaps dan radik saraf dapat juga berubah. Setelah perforasi bagian posterior anulus fibrosus, jaringan prolaps dapat menyebar kesemua arah. Sebagai patokan, prolaps berjalan kelateral dan mengikuti radik saraf yang tertekan dianterior. Akar saraf karenanya terdorong keposterior dan mungkin tertekan pada bagian posterior kanal spinal (ligamentum flavum dan faset inferior). Jadi dianjurkan untuk sangat berhati-hati saat membuang ligamentum flavum atau bagian dari lamina. Jaringan prolaps dapat juga mengarah kesuperior atau inferior dan karenanya mengenai radik-radik pada tingkat lain. Sangat umum dijumpai kasus-kasus yang tidak mengikuti pola yang khas. Misalnya jaringan prolaps bergerak kemedial, radik-radik saraf sisi berseberangan juga terkena, ini akan berakibat siatika pada sisi lainnya. Jaringan fragmen diskus intervertebral dapat juga bergerak keposterior, jadi tekanan terhadap radik saraf terjadi dari arah ini. Pada prolaps tertentu, elemen saraf kanal spinal terkena. Baik pendataran radik saraf maupun reaksi radang dengan pembengkakan radik, akan menimbulkan perubahan mekanik jaringan sekitarnya, seperti kantung dural, yang selanjutnya mengenai radik- radik saraf dan menyebabkan gabungan reaksi radang dan mekanik, yang terutama dijumpai setelah operasi, yang dikenal sebagai sindroma pasca diskotomi. Ini akibat perlekatan yang merupakan tahap akhir reaksi radang sekitar radik saraf. Sekali fragmen mengalami prolaps , biomekanik interior dari diskus intervertebral menjadi berubah. Jaringan diskus inter-vertebral lebih renggang, dan akibat perubahan sistem osmotik, juga menjadi lebih lembut. Ketinggian diskus intervertebral berkurang dan sendi intervertebral terganggu dengan pengurangan rongga interforaminal yang selanjutnya menekan radik saraf. Ini mungkin pada akhirnya menyebabkan sindroma lumbar kronik dengan nyeri radikular berulang. Dengan perjalanan waktu, gejala klinik berkurang dengan adanya invasi jaringan fibrosa yang memiliki pengaruh stabilisasi. GEJALA DAN TANDA SINDROMA LUMBAR Gejala sindroma lumbar beragam. Semua gejala dimulai dengan nyeri lumbosakral ringan hingga paralisis lengkap bisa ditemukan. Sindroma lumbar kebanyakan khas dengan nyeri pinggang bawah dan siatika yang dalam perjalanannya memiliki penyebaran serta intensitas yang sangat beragam. Karenanya klasifikasi yang sistematik sulit didapatkan. Bahkan bila patofisiologinya serupa misalnya protrusi lateral, sindroma berbeda dari pasien kepasien. Alasannya adalah karena adanya perubahan biokimia dan biomekanik didalam diskus intervertebral. Lagipula reaksi masing-masing sistem saraf terhadap perubahan eksternal harus dipikirkan. Sindroma lumbar paling sering diakibatkan oleh perpindahan jaringan diskus intervertebral, dengan onset nyeri yang tiba-tiba lebih sering dijumpai. Dalam perjalanan selanjutnya, bila berkembang perubahan degeneratif sekunder, menjadi lebih sulit untuk menghubungkan gejala-gejala dengan keadaan patofisio- logik utama. Dengan miografi-elektro dan mielografi, diferensiasi sindroma lumbar yang lebih baik dapat dibuat. Saat ini mielografi dapat dilakukan tanpa bahaya yang besar sejak digunakannya media-kontras yang tidak berbahaya. Terbukti bahwa tekanan pada kantung dural dan radik-radik saraf oleh jaringan diskus intervertebral yang prolaps adalah penyebab utama nyeri siatik. Paling sering mengenai dua segmen lumbar terbawah. Perubahan lain yang semula dianggap sangat penting, seperti halnya deformitas statis, malposisi pelvis dan sendi ruas tulang belakang, sekarang memainkan peran sekunder. Sindroma lumbar khas dengan lumbago dan siatika. Namun demikian perlu untuk membedakan jenis pengobatan, tergantung apakah patologinya berupa protrusi atau prolaps dari diskus intervertebral. A. Keluhan Umumnya gejala pada suatu sindroma lumbar adalah nyeri. Analisa sindroma menjadi sederhana dengan mendengarkan secara hati-hati riwayat penderita termasuk posisi dan gerakan yang mungkin mempengaruhi karakter dan intensitas nyeri. Tanda objektif mungkin minimal walau nyeri hebat. Bila tak ditemukan tanda objektif sama sekali, mungkin sulit untuk menilai keadaan secara sempurna. Ini tidak jarang pada kasus kompensasi asuransi. Pasien sering tampak berkonsultasi saat bebas gejala. Penderita biasanya sangat mengenal lokalisasi nyerinya, karakter serta intensitas nyerinya, hingga diagnosis sindroma lumbar mudah ditegakkan. Apabila tidak didapatkan tanda-tanda neurologik, rencana dan radik mana yang terkena mungkin hanya dibuat berdasarkan riwayat dan daerah dari penyebaran nyeri sepanjang dermatom khas. Intensitas nyeri tidak selalu sebanding dengan tekanan yang mengenai radik saraf bersangkutan. Tekanannya sendiri, karena medianya adalah serabut-serabut besar, biasanya menyebabkan kelemahan motor dibandingkan perubahan sensori. Kehilangan sensori lebih menunjukkan reaksi radang dibanding reaksi tekanan. Sindroma lumbar dapat berkembang dalam waktu sangat singkat. Kadang-kadang timbul sangat tiba-tiba. Karenanya penderita sering menghubungkan gejalanya dengan beberapa kegiatan, seperti mengangkat benda berat atau menggeliatkan punggungnya secara berlebihan. Finkenrath (1977) mendapatkan kenyataan bahwa lebih dari setengah penderita tidak mempunyai alasan yang pasti atas onset dari gejala yang dideritanya. Siatika atau lumbago akut timbul tanpa sesuatu penyebab yang jelas ("Came out of the blue"). Pengaruh impak yang keras dan berbagai jenis kecelakaan tak dapat dianggap bertanggung jawab atas nyeri pada pasien-pasien yang diperiksa dan yang tidak merencanakan tuntutan asuransi. Sudah jelas diketahui bahwa nyeri pinggang sering dianggap dasar untuk menuntut asuransi atas kecelakaan. Karakter nyeri dan penjalarannya secara sinambung beragam pada sindroma lumbar. Mulanya nyeri dapat sangat dalam dan terbatas pada daerah lumbosakral dan dijalarkan ke bokong. Sebagai tambahan mungkin dapat timbul siatika yang mulanya hanya mengenai tungkai atas namun akhirnya juga mengenai kaki. Disaat lain nyeri lumbosakral dapat hilang sempurna dan hanya siatika yang menetap. Keragaman gejala ini mungkin pula terjadi bila nyeri menjadi berkurang dan bila perbaikan mulai terjadi. Sudah menjadi kenyataan bahwa nyeri diskogenik pada daerah lumbar sangat erat bergantung pada posisi tulang belakang. Alasannya tentu saja perubahan tekanan intradiskal yang besar, seperti juga dengan perubahan posisi radik-radik saraf terhadap aspek posterior diskus intervertebral. Ini terutama jelas pada perbedaan gejala antara siang dan malam. Penting untuk menemukan bahwa pasien merasakan perbedaan nyeri bila mengistirahatkan tulang belakang. Nyeri mungkin bertambah bila lordosis lumbar diperbesar dengan membaringkan pasien pada posisi telungkup. Bersandar kedepan atau duduk pada lengan kursi diperkirakan menambah tekanan intradiskal. Namun beberapa pasien merasakan pengurangan nyeri saat duduk dimana foramina intervertebral membesar. Pada posisi berdiri dengan lordosis lumbar, bagian diskus inter- vertebral posterior yang mengalami fragmentasi menjadi tertekan diantara tepi ruas tulang belakang dan akan membengkak menekan dura dan radik-radik saraf (Reischauer 1949). Keadaan serupa terjadi selama istirahat dimana posisi miring berubah keposisi telungkup. Kebanyakan penderita merasa enak bila berbaring pada sisi tubuh atau pada belakang tubuh dengan pangkal paha dan lutut fleksi. Disisi lain, ada pasien yang berkurang nyerinya pada posisi telungkup dan dengan hiperekstensi ringan tulang belakang lumbar. Secara keseluruhan, adanya posisi dimana didapatkan relaksasi mungkin berhubungan dengan posisi protrusi atau prolaps. Nyeri diskogenik daerah lumbar dieksaserbasi oleh batuk dan bersin dimana terjadinya peninggian tekanan intra-abdominal. Penjelasannya adalah adanya hubungan antara vena epidural tanpa katup pada kanal tulang belakang terhadap perubahan tekanan intra- abdominal atau intratoraks. Ini didemonstrasikan Nachemson (1976) bahwa peninggian tekanan intra- abdominal menyebabkan tekanan intradiskal lumbar. Pasien akan berusaha mencegah peninggian tekanan dan selalu menemukan posisi dimana nyeri akan berkurang walau pada peninggian tekanan. Sekali lagi, hubungan antara nyeri, posisi dan tekanan berubah sepanjang hari dan juga sepanjang perjalanan penyakit. Informasi mengenai fungsi kandung kemih, buang air besar dan potensi harus diketahui. Ini timbul sebagai bagian sindroma kauda seperti juga kelemahan otot anggota bawah yang juga dapat disertai dengan siatika. Keluhan beberapa pasien atas kram pada betis posterior adalah bagian sindroma S1. Gangguan motor dari otot dapat terjadi akibat nyeri dan relaksasi refleks seluruh anggota bawah. Pasien sering mengeluh perasaan pincang. Pada pemeriksaan tidak dijumpai tanda-tanda objektif. Penderita mencegah semua gerakan yang dicurigainya akan menimbulkan nyeri. Diagnosa yang mendalam dan tepat suatu saat mungkin sulit ditegakkan bila pasien mengemukakan bermacam gejala, karenanya diusahakan interogasi dan pemeriksaan yang sangat teliti saat pemeriksaan pertama. Pertama-tama adalah harus menjadi "pengambil riwayat yang teliti yang fanatik" (6). Tabel 2 Gejala-gejala Khas pada Sindroma Lumbar ------------------------------------------------------- Onset mendadak Perjalanan silih berganti Ketergantungan pada postur Nyeri bertambah pada batuk, bersin dan tekanan abdominal ------------------------------------------------------- B. Tanda-tanda klinis Pemeriksaan peregangan terhadap saraf Siatik dilakukan dengan mengangkat tungkai pada posisi terlentang. Sendi-sendi tungkai bawah diperiksa, terutama sendi panggul, sehingga tes Lasegue dapat dilakukan tanpa ada sesuatu keadaan yang menyebabkan gangguan terhadap sendi panggul. Tungkai bawah dapat diangkat lurus atau sendi panggul difleksikan 900 dan sendi lutut diekstensikan. Bila nyeri dapat ditimbulkan, pemeriksaan adalah positif dan karenanya dikatakan sebagai Lasegue positif (positive straight leg-raising test). Ini perlu untuk membedakan antara nyeri pinggang yang terlokalisir dan nyeri radik saraf, dari nyeri tumpul yang dapat timbul pada otot tungkai sebelah belakang. Observasi oleh Lasegue, didapatkan bahwa pada pasien dengan siatika sering dijumpai plantar fleksi dari kaki dan pada dorsifleksi kaki akan menimbulkan nyeri. Mekanisme timbulnya nyeri dijelaskan sebagai peregangan yang berlebihan dari saraf Siatik. Normal, tungkai dapat difleksikan hingga 70-900 pada sendi panggul. Bila melampaui ini, perasaan tidak enak dan peregangan akan bertambah pada otot Iskiokrural. Saraf Siatik tidak terganggu, namun bila terjadi, timbul nyeri yang menjalar sesuai dengan distribusi radik saraf yang terkena. Iritasi mekanik pada radik-radik saraf lumbar kelima dan sakral pertama serta kedua menyebabkan nyeri yang menjalar ketungkai disertai gangguan neurologik lain yang keseluruhannya disebut siatika. Dengan siatika maksudnya adalah nyeri yang didistribusikan disepanjang saraf siatik. Penyebab siatika tersering adalah perubahan degeneratif pada diskus intervertebral dua yang terbawah lumbar. Nyeri yang berasal dari diskus superior yaitu yang termasuk radik-radik lumbar kedua, ketiga dan keempat menimbulkan keadaan yang disebut neuralgia femoralis. Pada prolaps medial, nyeri dapat ditimbulkan dengan mengangkat tungkai yang diseberang tungkai yang terkena. Ini disebut sebagai Lasegue kontralateral. Otot extensor hallucis longus dipersarafi hanya oleh satu radik saraf yaitu L5. Karenanya pada prolaps diskus inter-vertebral L4 dengan penekanan pada radik saraf L5 menyebabkan lemahnya ekstensor ibu jari. Pemeriksaan sensasi adalah paling penting. Terdapat tumpang tindih pada persarafan tungkai bawah. Namun dapat dikatakan bahwa bagian belakang kaki pada ibu jari dipersarafi oleh radik L5. Hiperestesi dapat terjadi pada sindroma radik saraf akibat lesi yang tidak lengkap pada radik saraf spinal yang sangat sering terjadi pada protrusi diskus lumbar. Sindroma radik saraf tipikal adalah khas dengan nyeri yang dijalarkan umumnya mengikuti segmen dari mana radik saraf berasal, tes straight leg - raising yang positif, kehilangan sensasi, abnormalitas refleks dan gangguan motor. Nyeri siatik tampak dalam berbagai frekuensi dan intensitas. Khas adalah penjalaran nyeri yang terbatas pada segmen yang dicatu oleh radik yang terserang. Intensitas dan penjalaran nyeri beragam satu pasien dengan lainnya. Jenis nyeri dapat tajam atau tumpul, namun pasien selalu dapat menerangkannya dengan sangat jelas. Nyeri umumnya mulai pada bagian proksimal anggota bawah dan akhirnya mencapai bagian perifer. Suatu saat nyeri dapat terbatas pada daerah proksimal dan hanya dijalarkan keperifer saat batuk atau bersin, dan gerakan tertentu juga akan menimbulkan penjalaran perifer. Nyeri dapat tersebar luas didalam dermatom atau terpusat pada daerah terbatas. Bila radik L5 terkena, nyeri dapat terbatas pada bagian anterolateral tungkai bawah dan bila yang terkena radik S1, nyeri akan dijalarkan sepanjang betis posterior dan tepi lateral kaki. Pemeriksaan klinik harus mencakup inspeksi, palpasi dan test fungsional, termasuk penilaian neurologik secara umum. Tanda-tanda khusus sindroma lumbar harus merupakan bagian dari pemeriksaan umum yang harus menginformasikan pada pemeriksa asal dari penyakit. Dianjurkan pemeriksaan dilakukan dengan pergerakan penderita sesedikit mungkin karena setiap perubahan posisi mungkin menyebabkan nyeri dan rasa tidak enak pada pasien. Inspeksi, memberikan informasi penting seperti adanya sindroma lumbar. Langkah penderita adalah tak setangkup, ia berjalan hati-hati dan bila dengan siatika mungkin pincang. Pasien banyak berdiri dari pada duduk dan sering menggunakan penumpu kursi atau meja saat bangkit dari kursi. Membuka sepatu atau kaus kaki menyebabkan rasa yang sangat tidak enak dan dilakukan dengan sulit dengan penderita berusaha menggerakkan tulang belakang kedepan. Bila pasien tanpa pakaian dan dilihat dari belakang, mungkin disaksikan deformitas. Terdapat penonjolan otot yang mengalami kontraksi (Spasme lumbar). Dengan usaha memperpanjang tulang belakang lumbar dan meluruskan lordosis, penonjolan semakin jelas. Spasme lumbar dan fiksasi terbatas tulang belakang adalah kriteria dignostik penting pada sindroma lumbar. Setelah memeriksa kemampuan pasien untuk membungkuk kedepan, disuruh untuk menekuk kesamping dan juga merotasi tubuhnya. Tes fungsional aktif ini diikuti dengan pemeriksaan pergerakan pasif. Sering didapat pengurangan mobilitas terbatas satu sisi. Pergerakan kelateral tidak seterbatas fleksi atau ekstensi. Deformitas dan keterbatasan pergerakan yang mungkin sangat sedikit atau tidak ada sama sekali, sering dijumpai saat bebas gejala atau pada protrusi yang sangat lateral dari diskus intervertebral L5-S1. Keterbatasan yang tergantung nyeri pada mobilitas lumbar dapat mula-mula dijumpai bila penderita disuruh menekuk kesamping dengan tubuh sedikit condong kedepan. Penderita disuruh berdiri pada jari-jarinya dan pada tumitnya, berjalan beberapa langkah pada jari-jari dan tumitnya untuk menampilkan kemungkinan kelemahan ekstensor kaki (L5) atau otot betis (S1). Pemeriksaan dilanjutkan dengan pasien berbaring. Pada posisi terlentang spasme lumbar sering hilang. Posisi ini dengan sedikit fleksi paha dan lutut memberikan posisi paling santai. Posisi telungkup sering bersama dengan rasa tidak enak. Prosesus spinosus dipalpasi dengan penderita telungkup dan nyeri dapat ditimbulkan dengan penekanan pada prosesus segmen bersangkutan. Nyeri juga dibangkitkan dengan memutar prosesus posterior, namun hal ini tidak menggambarkan segmen spesifik karena sendi inter-vertebral lumbar mempunyai posisi sagital yang akan menggerakkan sendi dan ruas tulang belakang berdekatan. Nyeri paraspinal sangat indikatif pada pasien kurus yang kehilangan kekuatan ototnya, karenanya memungkinkan untuk mengarahkan tekanan pada ligamen flaval dan pada radik saraf yang terletak dibawah ligamen. Jaringan lunak menjadi tertekan diantara arkus ruas tulang belakang hingga radik saraf akan tertekan bila ada protrusi atau prolaps. Nyeri lokal dan siatika yang khas karenanya dapat ditimbulkan. Dengan penambahan kifosis mungkin memperlebar arkus ruas tulang belakang yang akan membantu palpasi hingga nyeri khas dapat dibangkitkan. Tes ini gagal bila protrusi atau prolaps terletak sangat lateral atau arkus ruas tulang belakang sangat lebar. Nyeri terbatas pada penekanan dapat dijumpai pada perjalanan saraf siatika dengan titik nyeri maksimal dibokong dan fossa popliteal (Tanda Valleix). Nyeri dapat juga terbatas pada sendi sakroiliak yang dapat juga timbul pada palpasi. Ini bukan gangguan lokal pada sendi sakroiliak, namun semata-mata suatu nyeri menjalar melalui cabang posterior saraf-saraf spinal. Dengan suntikan intradiskal nyeri khas ini dapat dirangsang. Pada posisi telungkup, hiperekstensi sendi panggul mungkin berakibat nyeri paha anterior dan karenanya gangguan pada saraf femoral dapat diketahui. Ini disebut juga tes Lasegue terbalik atau tes regangan saraf femoral, mungkin menandakan protrusi diskus intervertebral pada tingkat yang lebih tinggi. Peregangan saraf femoral dengan pasien telungkup dapat dibandingkan dengan peregangan yang sama terhadap saraf siatik yang terjadi bila tungkai diangkat dengan penderita pada posisi terlentang. Dengan pasien telungkup, bagian pemeriksaan neurologik dilakukan. Kepekaan anggota bawah dites dan dengan menyuruh pasien mengkontraksikan bokongnya, perbedaan tonus dapat dipalpasi yang menunjukkan sindroma S1. Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan pasien terlentang pada punggungnya. Sendi anggota bawah diperiksa dan terutama sendi panggul hingga tes Lasegue dilakukan tanpa adanya pengaruh kelainan disendi panggul. Tungkai kemudian diangkat lurus atau sendi panggul difleksikan 900 dan sendi lutut diekstensikan. Bila nyeri timbul, tes adalah positif dan karenanya disebut tes Lasegue positif (positive straight leg- raising test). Perlu dibedakan nyeri pinggul terbatas dan nyeri radik saraf dari nyeri tumpul yang dapat bangkit pada otot tungkai posterior. Tahun 1864 Lasegue melakukan pengamatan pada penderita dengan siatika dimana sering dijumpai kaki dalam plantarfleksi dan pada dorsifleksi kaki, nyeri diperberat. Bagaimanapun, Lasegue positif adalah serupa dengan positive straight leg-raising test, dan makna tanda ini mula-mula dijelaskan oleh J. Forst, murid Lasegue. Mekanisme pembangkitan nyeri diterangkan sebagai peregangan berlebihan saraf siatik. Normalnya tungkai dapat fleksi hingga 70-900 pada sendi panggul. Bila melebihi ini, rasa tidak enak dan tegangan akan terjadi pada otot iskiokrural. Saraf siatik tidak terganggu, tapi sekali terjadi, timbul nyeri menjalar sepanjang distribusi radik saraf terkena. Pada prolaps medial, nyeri dapat dibangkitkan dengan mengangkat tungkai berlawanan dengan sisi tungkai yang terkena. Ini disebut Lasegue kontra- lateral. Pengangkatan tungkai bagaimanapun akan dapat menyebabkan nyeri akibat adanya lesi pada sendi panggul dan sakroiliak. Untuk menyingkirkan kemungkinan ini, dilakukan tes regang siatik: tungkai diangkat hingga dirasakan nyeri. Tungkai ini kemudian direndahkan pada posisi dimana nyeri menghilang dan pada titik ini kaki diekstensikan kedorsal yang biasanya menimbulkan nyeri bila saraf siatik terganggu. Dengan ekstensi kedorsal dari kaki, saraf tibial akan teregang 2 cm. Pada tindakan ini tidak disertakan baik sendi panggul maupun sendi sakroiliak; mereka jelas tidak terganggu. Peregangan saraf siatika dengan duduk tegak dengan tungkai lurus juga menimbulkan nyeri. Objektifitas tes ini tak bisa dibantah dan dapat berguna tiap saat. Pada keadaan dimana perlu membuktikan asal sebenarnya dari penyebaran nyeri yang turun ketungkai, mungkin terjadi keadaan dimana pada pengangkatan tungkai lurus hingga 20-300 penderita akan memberikan pertanda nyeri, namun bila pasien diletakkan pada posisi duduk dengan tungkai lurus, tidak ada nyeri. Ini mungkin membuktikan bahwa pasien bereaksi berlebihan atau bahkan berpura-pura sakit. Dengan pasien berbaring pada punggungnya, pemeriksaan dilanjutkan dengan menilai refleks, mobilitas dan sensasi. Refleks harus dites dengan sangat teliti dan bila pasien tidak cukup santai untuk memungkinkan pemeriksaan dilakukan, perhatian pasien dialihkan dan pemeriksaan diulangi sekali lagi. Refleks patella mungkin sulit dibangkitkan karena nyeri pada tungkai. Karenanya pasien ditempatkan pada posisi yang memberikan relaksasi sempurna dan bebas dari nyeri. Peninggian aktifitas refleks tidaklah mempunyai keistimewaan apapun pada kelainan diskus inter- vertebral. Penurunan aktifitas refleks patellar dapat ditemukan bila radik saraf lumbar ketiga dan keempat terkena. Bila refleks ankel sulit dibangkitkan bila pasien berbaring dengan punggungnya, ia dapat diperintahkan berlutut dan pada saat yang sama pegang jarinya dan tarik dengan kuat, yang mana pasien akan teralih perhatiannya dari pemeriksaan (Jendrassk`s grip). Pemeriksaan mobilitas dipusatkan pada otot tungkai bawah yang mungkin terkena pada sindroma lumbar. Ini dapat ditemukan pada langkah pasien dengan kesulitan dalam menempatkan dan meneruskan pergerakan kaki, namun kelainan motor bisa jadi sangat ringan hingga pasien tidak menyadarinya. Fibrilasi dapat dijumpai pada otot dan gangguannya akan sebanding dengan tekanan yang berlangsung pada radik saraf bersangkutan. Kompresi berat hanya akan menyebabkan gangguan motor ringan pada otot besar. Otot kuadrisep dicatu oleh radik-radik saraf L3, L4 dan L5. Extensor hallucis longus dicatu hanya oleh satu radik, L5. Pada prolaps L3-L4, termasuk kompresi pada radik saraf L4, hanya didapat sedikit kelemahan kuadriseps dengan akibat kelemahan ekstensi lutut. Sebaliknya pada prolaps L4-L5 dengan kompresi radik L5 didapat kelemahan yang nyata dari ekstensor ibu jari. Pemeriksaan harus mencakup analisa teliti kekuatan fleksor plantar dan ekstensor dorsal kaki dan terutama ibu jari. Pemeriksaan sensasi adalah terpenting. Sindroma radik saraf hanya akan menyebabkan gangguan pada sensasi permukaan yang mudah diperiksa dengan sentuhan, tekanan dan tusukan jarum. Terdapat tumpang tindih inervasi anggota bawah yang terutama jelas pada bagian proksimal. Bradford dan Spurling (1950) telah mengamati ketidak-teraturan distribusi sensasi bagian bawah anggota bawah setelah merusak radik saraf sakral pertama. Penjelasan distribusi dermatomal diperkirakan beragam (Foerster 1933, Tilney dan Riley 1938, Keegan 1943). Dengan beberapa ketentuan dapat dikatakan bahwa bagian dorsal kaki didaerah ibu jari dicatu oleh radik L5 dan tumit serta bagian lateral kaki dicatu oleh radik S1. Penting untuk memeriksa sensasi didaerah perineal dalam upaya menyingkirkan adanya sindroma kauda. Hiperestesis dapat juga terjadi pada sindroma radik saraf lumbar. Ini akibat lesi tak lengkap radik saraf spinal yang sangat umum pada protrusi diskus intervertebral lumbar. Bila ada petunjuk gangguan temperatur dan sensitifitas dalam atau bila ada tanda kelainan neurologik lain yang tidak bersamaan dengan sindroma lumbar, penderita harus diperiksa lebih lanjut. Pemeriksaan klinik teliti akan menghasilkan diagnosis dan harus dapat menentukan tingkat yang terganggu. Radiografi, pemeriksaan laboratori, mielografi, mio- grafi-elektro dan pemeriksaan yang lebih canggih lainnya sangat jarang diperlukan dan hanya untuk memperkuat diagnosis selanjutnya serta untuk menyingkirkan kelainan lain. C. Sindroma Radik Saraf Lumbar - Siatika Pada sindroma lumbar lokal, rami dorsal dan meningeal terserang. Pada sindroma radik saraf lumbar, terkenanya rami anterior akan mengakibatkan gejala. Iritasi mekanik pada radik-radik saraf lumbar kelima dan sakral pertama serta kedua menyebabkan nyeri yang menjalar ketungkai disertai gangguan neurologik lain yang keseluruhannya disebut siatika. Dengan siatika maksudnya adalah nyeri yang didistribusikan disepanjang saraf siatik. Penyebab siatika tersering adalah perubahan degeneratif pada diskus intervertebral dua yang terbawah lumbar. Nyeri yang berasal dari diskus superior yaitu yang termasuk radik-radik lumbar kedua, ketiga dan keempat menimbulkan keadaan yang disebut neuralgia femoralis. Keterangan patologik yang jelas dimana prolaps diskus intervertebral lumbar menyebabkan siatika telah diketahui sedikitnya sejak 50 tahun. Mixter dan Barr (1934), Dandy (1943), Bradford dan Spurling (1950) serta Lindblom (1948) menjelaskan asal penyakit sebenarnya serta hubungannya dengan nyeri pinggang bawah dan siatika. Sebelumnya siatika diduga akibat keadaan inflamatori dan karenanya disebut neuritis siatik. Sindroma radik saraf lumbar dapat disebabkan protrusi atau prolaps, namun tidak jarang perubahan patologik pada diskus intervertebral atau sekitarnya dapat menyebabkan nyeri yang menjalar. Ini mungkin disebabkan pelunakan dan perubahan volume diskus intervertebral dan oleh osteofit pada tepi posterior ruas tulang belakang atau oleh perpindahan ruas tulang belakang dan kelainan lain pada kanal spinal. Sindroma radik saraf tipikal adalah khas dengan nyeri yang dijalarkan umumnya mengikuti segmen dari mana radik saraf berasal, tes straight leg - raising yang positif, kehilangan sensasi, abnormalitas refleks dan gangguan motor. Nyeri siatik tampak dalam berbagai frekuensi dan intensitas. Khas adalah penjalaran nyeri yang terbatas pada segmen yang dicatu oleh radik yang terserang. Intensitas dan penjalaran nyeri beragam satu pasien dengan lainnya. Jenis nyeri dapat tajam atau tumpul, namun pasien selalu dapat menerangkannya dengan sangat jelas. Nyeri umumnya mulai pada bagian proksimal anggota bawah dan akhirnya mencapai bagian perifer. Suatu saat nyeri dapat terbatas pada daerah proksimal dan hanya dijalarkan keperifer saat batuk atau bersin, dan gerakan tertentu juga akan menimbulkan penjalaran perifer. Nyeri dapat tersebar luas didalam dermatom atau terpusat pada daerah terbatas. Bila radik L5 terkena, nyeri dapat terbatas pada bagian anterolateral tungkai bawah dan bila yang terkena radik S1, nyeri akan dijalarkan sepanjang betis posterior dan tepi lateral kaki. Bila terdapat siatika, ini bisa juga pertanda suatu sindroma lumbar lokal, namun terdapat beberapa kekecualian dimana hanya terdapat siatika tanpa nyeri sakral. Nyeri dapat terbatas hanya pada bokong atau kaki dan tidak berubah dengan perubahan postur dan hanya dapat dikenal dengan test traksi atau mielografi dimana asal nyeri dapat ditemukan. Setelah operasi, siatika dapat tetap ada bersama dengan daerah nyeri terbatas atau nyeri sakral. Adanya sindroma siatik tergantung letak dan ukuran dari struktur yang menekan radik saraf. Gejala beragam secara individual dan bila semula nyeri dan deformitas menonjol, mungkin akan berakhir dengan penurunan karena timbulnya parestesi dan gangguan motor. Bila radik saraf tertekan sempurna maka nyeri akan hilang. Akan terjadi juga kehilangan sensasi, dan bila radik L5 terkena, akan terjadi paresis ekstensor kaki dan jari. Pada keadaan ini operasi dianjurkan sesegera mungkin. 1. Siatika pada Protrusi dan Prolaps Diskus Intervertebral Dari sudut pandang terapeutik, penting untuk mengetahui apakah sindroma radik saraf lumbar diakibatkan protrusi ataukah prolaps. Tatkala radik saraf tertekan oleh benjolan bagian posterior diskus intervertebral, maka keadaan biomekanik dan biokimia secara keseluruhan akan berbeda bila penekanan disebabkan oleh prolaps. Kebanyakan pasien dengan siatika adalah karena protrusi diskus intervertebral. Massa jaringan diskus intervertebral bergeser keposterior dan menonjol dengan ligamen longitudinal posterior sebagai pembungkusnya. Pada pasien yang lebih muda agak membingungkan untuk menyayat anulus fibrosus yang intak diatas protrusi dalam usaha mencapai fragmen yang sudah mengalami pergeseran. Tindakan ini mungkin mengawali rasa tidak enak dan nyeri yang terus menerus. Sebaliknya tindakan konservatif tidak dapat dipilih pada prolaps yang lengkap. Fragmen diskus intervertebral akan mengalami pergeseran kerongga epidural dekat radik saraf atau kantung dura dan akan selalu menyebabkan rasa tidak enak dan nyeri, kecuali diangkat secara operasi. Penyembuhan spontan lebih sering pada protrusi dibanding pada prolaps. Pada protrusi jaringan yang bergeser dapat dinormalkan dan dicapai restitutio ad integrum. Ini tidak terjadi pada prolaps. Dari perjalanan klinik akan jelas apakah terjadi suatu prolaps atau protrusi (Tabel II.3). Gambaran klinik lebih berat pada prolaps. Nyeri dan deformitas tampak tiba-tiba dan memburuk dalam beberapa jam setelah jaringan diskus intervertebral bergerak kekanal spinal. Penekanan radik saraf lebih kuat pada prolaps dibanding protrusi. Saraf spinal terjepit antara prolaps dan arkus ruas tulang belakang. Gangguan motor, daerah hipestesi dan refleks yang abnormal akan berkembang. Sering nyeri lebih proksimal pada protrusi. Tabel 3 Perbedaan Siatika yang disebabkan Protrusi dan Prolaps ------------------------------------------------------- Siatika Karena Protrusi Siatika Karena Prolaps ------------------------------------------------------- Onset secara umum tak jelas Onset berat tiba-tiba Deformitas dapat berubah Deformitas menetap Nyeri proksimal Nyeri distal, parestesia dan gangguan motor Hasil baik setelah tindakan Tindakan dengan obat-obatan dengan obat-obatan tidak berguna Instillasi intradiskal Instillasi intradiskal berat ringan Media kontras pada Media kontras pada diskografi tetap pada diskografi keluar kerongga diskus intervertebral epidural ------------------------------------------------------- Juga terjadi perubahan pada perjalanan klinis. Pada protrusi ada hubungan antara sistem osmotik diskus intervertebral dengan perubahan volume dan konsistensi. Karenanya nyeri, parestesi dan deformitas berhubungan dengan perubahan yang disebabkan oleh beban. Obat-obat anti inflamatori mungkin berguna. Pada prolaps gambaran klinik menetap dan sulit untuk berubah, dan penderita sangat jarang mendapatkan perbaikan. Pada kelainan diskogenik akan sulit untuk mendapatkan pola yang tetap untuk perjalanan dan prognosis. Pada tabel diatas beberapa pendekatan dikemukakan. Pada mielografi tak ada perbedaan besar yang membedakan protrusi dan prolaps. Bila indentasi besar dan mendorong medium kontras, mungkin ini disebabkan oleh prolaps. Penilaian gambaran klinik serta perjalanannya, seperti juga pemilihan tindakan, memerlukan pemahaman klinik yang baik dan pengalaman yang luas atas berbagai aspek dari nyeri pinggang bawah. Seperti terlihat pada tabel diatas, protrusi dan prolaps memberikan perjalanan yang secara keseluruhan berbeda. Pada protrusi didapatkan membran tipis dan fragmen yang mengalami inkarserasi jelas mengingatkan akan prolaps. Disisi lain, prolaps kecil yang terletak pada "dead area" pada kanal spinal tidak harus memberikan gejala. Dengan diskografi mungkin untuk menentukan apakah anulus fibrosus intak atau tidak. Pada protrusi tahanan terhadap injeksi jauh lebih besar dibandingkan terhadap prolaps. Sejumlah cairan mungkin dapat disuntikan dan pada prolaps akan keluar kerongga epidural. 2. Deformitas Siatik Ada beberapa tanda tidak khas pada sindroma radik saraf lumbar yang memperjelas siatika, tes straight leg- raising positif, nyeri pada peregangan saraf femoral, dan deformitas siatik. Penguatan tanda-tanda ini tergantung letak dan ukuran protrusi diskus inter- vertebral. Sempitnya ruang epidural L3/L4 dan L4/L5, tes straight leg-raising positif dan deformitas lebih sering dijumpai pada protrusi dan prolaps pada tingkat ini dibanding tingkat L5/S1. Pada lumbago tulang belakang lumbar menjadi mendatar dan tubuh membungkuk kedepan, dan sering disertai inklinasi kelateral pada sindroma radik saraf. Patsold (1975) melaporkan bahwa 75% deformitas skoliotik pada penderita protrusi atau prolaps diskus intervertebral dibenarkan oleh mielo- grafi. Deformitas tergantung apakah radik saraf tertekan dari anterior, superior atau inferior. Alasannya ialah reaksi refleks postural, yang akan membedakan penekanan pada radik saraf. Penderita selalu bertahan pada posisi yang menyebabkan paling sedikit penekanan terhadap radik saraf. Walau deformitas jelas, beberapa pasien hanya menunjukkan sedikit nyeri. Nyeri pertama-tama tampak bila dilakukan mobilitas secara aktif maupun pasif dan bila mencoba meluruskan badan. Pada prolaps medial yang besar jarang inklinasi kelateral karena tidak akan mengurangi tekanan pada radik saraf. Konveksitas skoliosis lumbar menentukan arah inklinasi lateral dari tubuh. Skoliosis lumbar dapat menjadi konveks baik mengarah maupun menjauhi kompresi radik saraf. Cara termudah mengenal ini adalah mengamati postur tubuh. Bila pasien condong kearah tungkai siatik, digunakan istilah 'deformitas siatik ipsilateral', dan bila tubuh condong menjauhi tungkai siatik disebut 'deformitas siatik kontralateral'. Bila siatika jelas, pasien tidak membawa beban tubuhnya pada tungkai terkena , yangdifleksikannya baik pada sendi panggul maupun lutut, dan berdiri pada jarinya dengan kaki pada posisi dropfoot ringan. Beban tubuh pada tungkai siatik hanya dapat dilakukan pada waktu singkat. Deformitas siatik menjadi jelas bila tubuh ditekuk kedepan karena kontak antara radik saraf dengan prolaps serta protrusi semakin berat. Pada kasus yang belum lanjut, deformitas hanya menjadi nyata bila pasien membungkuk kedepan. Bila duduk dan berbaring, deformitas siatik hampir selalu hilang sempurna. Hubungan deformitas siatik dengan posisi protrusi atau prolaps cukup menarik. Terdapat hubungan topografik langsung antara tepi diskus intervertebral posterior dan radik-radik saraf pada segmen lumbar. Protrusi diskus intervertebral melakukan kontak dengan berbagai bagian radik saraf ketika ia berjalan dari superomedial keinferolateral, dan penyilangan radik saraf diatas diskus intervertebral bervariasi pada setiap tingkat. Beberapa istilah digunakan untuk menyeragamkan penamaan radik-radik saraf yang berpasangan dengan mengingat dua lengan yang meninggalkan setiap segmen. Keluarnya radik saraf dari dura digambarkan sebagai daerah bahu, dan prolaps karenanya dapat terletak dibawah bahu, diatas bahu atau pada ketiak. Pada inklinasi tulang belakang lumbar kesamping, bagian konveks diskus intervertebral akan bergerak kesuperior. Protrusi yang terletak superior terhadap radik saraf (pada bahu) akan bergerak menjauhi radik, bila protrusi dibawah radik (pada ketiak) akan terdorong mendekati. Jadi pada protrusi lateral pasien akan membungkuk kedepan sisi sehat (deformitas siatik kontralateral) dan pada prolaps medial menuju sisi sakit (deformitas siatik ipsilateral). Bila protrusi dibelakang bahu, tidak ada skoliosis siatik pada posisi berdiri. Bila pasien membungkuk kedepan, radik akan meluncur kemedial atau lateral diatas protrusi. Tentu ada bentuk peralihan dimana prolaps besar akan mengenai radik-radik dari dua tingkat, yaitu satu radik dari superior dan lainnya dari inferior, dan ini akan menyebabkan deformitas campuran. Pada protrusi medial dengan dasar luas, radik saraf sisi berlawanan akan terkena. Bila membungkuk kedepan, skoliosis siatik tak harus timbul. Ada penderita mendapatkan pengurangan rasa nyeri dengan menambah lordosis lumbar. Ini terutama ditemukan pada penderita dengan protrusi dan prolaps dari diskus intervertebral lumbar superior. Setelah penyebab nyeri siatik dikurangi, mungkin akan tetap meninggalkan deformitas siatik yang tidak menghilang dalam beberapa bulan. Disini dipentingkan fisioterapi. 3. Sindroma Lumbar Monoradikular Gejala yang berhubungan hanya dengan satu segmen ditemukan pada hampir setengah dari sindroma radik saraf lumbar . Pada sisanya, kelainan kliniknya campuran, dan paling sering ini tergantung pada jumlah radik saraf yang tekena. Pada penderita sindroma monoradikular lumbar, 98% terjadi pada dua segmen yang lebih bawah. Akar S1 terkena 54.2% dan L5 dengan 43.8%. Akar L4 hanya dikenai 1% dan sisanya radik saraf lumbar superior yang terkena (Lindemann dan Kuhlendahl 1953, Bradford dan Spurling 1950, De Palma dan Rothman 1970, Finnesson 1973 dan Armstrong 1965). Walau diskus intervertebral lumbar superior jarang terkena dibanding segmen L5 dan S1, ia penting bukan saja karena sulitnya diagnostik, namun juga karena konsekuensi praktik yang terdapat pada kerusakan radik-radik saraf ini. Ini terdapat pada 1-2% dari semua kelainan diskogenik. a. Sindroma L4 Saraf siatik dicatu sebagian oleh serabut dari radik L4, karenanya tes straight leg-raising positif dapat ditampilkan pada setengah penderita dengan sindroma ini. b. Sindroma L5 Pada inspeksi, sindroma L5 tersering ditunjukkan oleh postur penderita yang sangat sering membungkuk kedepan. Nyeri menjalar dari daerah lumbosakral diatas bagian posterior paha turun kebagian anterolateral tungkai bawah ke maleolus lateral dimana nyeri menjadi semakin hebat. Nyeri dan hipestesi berjalan sepanjang belakang kaki ke ibu jari kaki. Terdapat kesulitan mendorsi- fleksikan kaki dan jari yang menyebabkan kesulitan melangkah dan karenanya dan paling penting adalah secara hati-hati menganalisa gangguan motor. Bila gangguan motor ditemukan, extensor hallucis longus adalah otot yang paling sering mengalami paretik (Schliac 1973). Hilangnya fungsi ekstensor pada ibu jari tak boleh terluputkan dan kelainannya mudah diperiksa. Pada kompresi radik saraf yang lama, kehilangan dorsifleksi kaki akan timbul karena otot tibial anterior menjadi lemah. Atrofi ringan mungkin ditemukan pada otot tungkai bawah. Tidak ada gangguan refleks pada sindroma L5. c. Sindroma S1 Jarak yang relatif besar antara kantung dural, radik- radik saraf dan diskus intervertebral berakibat gejala yang tak spesifik dan tak sejelas misalnya sindroma L5. Kebanyakan sindroma siatika tanpa nyeri sakral dapat berasal dari radik S1. Nyeri dan hipestesi diarahkan lebih kepoterior dari sindroma L5 dan berjalan sepanjang posterior paha dan posterior betis. Radiasi gejala ketumit dan tepi lateral kaki termasuk jari ketiga hingga kelima. Gangguan motor mengenai otot triceps surae, jadi mengurangi kekuatan fleksi plantar. Juga paresis otot gluteal. Tanda khas adalah melemahnya atau hilangnya refleks tendon Akhilles dengan penurunan sensasi diatas aspek lateral tumit yang mungkin meluas kedepan kejari empat dan lima. Pada kompresi yang sangat kuat dan setelah kompresi yang lama, refleks tendon Achilles mungkin hilang sempurna dan tidak akan kembali bila tekanan pada radik saraf tidak dihilangkan pada saat tersebut. d. Sindroma Lumbar Poliradikuler Pada kelainan diskus intervertebral lumbar , dua atau lebih radik saraf dapat terkena. Pola segmental menjadi terganggu seperti juga gambaran klinik. Prolaps dan protrusi dapat mengenai beberapa segmen dan simptomatologi poliradikuler mungkin ditemui. Prolaps paramedian (pada ketiak) dapat menekan aspek medial dari radik saraf pada tingkat yang sama dan aspek lateral radik saraf timbul dari tingkat yang lebih bawah. Sebaliknya prolaps lateral (diatas bahu) dapat menekan radik saraf yang keluar dari tingkat superior bersangkutan. Ini sangat sering pada kasus tingkat L5/S1. Akar L5 berjalan melalui foramina intervertebral L5/S1 pada bagian atasnya dan kemudian mendekati aspek lateral diskus intervertebral lumbo- sakral. Dengan prolaps lateral L5/S1, radik L5 menyilang bagian lateral diskus intervertebral lumbosakral dan tidak pada sulkus saraf spinal. Prolaps lateral L5/S1 karenanya bisa mengenai bagian lateral radik S1 dan bagian medial radik L5. Terserangnya radik L5 pada prolaps lateral lumbosakral lebih sering dari yang diperkirakan. 18% mengenai radik lumbar kelima dan 6% menunjukkan tanda- tanda terkena. Pengalaman paling sering menunjukkan bahwa bila ada tanda-tanda sindroma L5 dan mielogram negatif pada diskus intervertebral L4/L5, jarum mungkin diinsersikan ke diskus intervertebral L4/L5 untuk melihat apakah diskus intervertebral ini normal. Prosedur sederhana ini mungkin menyebabkan eksplorasi diskus intervertebral L4/L5 menjadi tidak perlu. Pada kasus ini, diskus intervertebral L5/S1 mungkin dieksplorasi kelateral dengan membuang setengah medial faset L5/S1. Prolaps lateral dapat mudah terlalaikan bila hanya laminotomi eksplorasi yang dikerjakan. Bila ada prolaps lateral masif dari diskus intervertebral L4/L5, radik saraf yang berhubungan (L4) dapat terkena walau radik saraf L5 tidak langsung berdekatan dengan prolaps diskus intervertebral berdekatan. Bila seluruh kantung dural terkena pada prolaps besar dari aspek anterior kanal spinal, sejumlah radik saraf menjadi terkena yang akan menyebabkan simptomatologi poliradikuler dimana tulang belakang lumbar menjadi kifosis. Terserangnya beberapa radik saraf secara bersamaan sering terjadi sebagai bagian dari sindroma post diskotomi karena adhesi yang terbentuk. Paling sering adalah kombinasi sindroma L5 dan S1. Terdapat paresis ekstensor kaki dan jari dan refleks tendon Akhilles terganggu. Gangguan sensitifitas bervariasi dan juga distribusi nyeri selama perjalanan kliniknya, namun paling menonjol adalah sindroma S1 pada kebanyakan penderita. Kombinasi sindroma L4 dan L5 berakibat gangguan motor pada kuadriseps, tibial anterior dan extensor hallucis longus. Nyeri dan hipestesi didistribusikan sepanjang aspek anterolateral seluruh tungkai dan sindroma L5 menonjol. Prolaps medial mungkin menyebabkan siatika. Selama perjalanan klinik mungkin timbul variasi pada tungkai mana penjalaran nyeri terjadi. Siatika bi- lateral sangat jarang pada kelainan diskus inter- vertebral dan bila terjadi harus dilakukan pemeriksaan yang lebih luas. RADIOGRAFI A. Foto Polos Foto polos pada sindroma lumbar memberikan sangat sedikit informasi tentang sindroma tersebut namun dapat membantu menyingkirkan kelainan lain. Protrusi, prolaps, instabilitas segmental tidak dapat didemons- trasikan. Pemeriksaan lain dengan bantuan media kontras mungkin diperlukan. Degenerasi diskus intervertebral dikenal dengan tampaknya reaksi tulang ruas tulang belakang dan pemendekan tinggi diskus intervertebral. Pada penderita tua penyempitan rongga intervertebral dapat ditampilkan seperti halnya perubahan osteo- sklerotik dari end-plates. Osteofit besar dapat tampak dan sering menjembatani ruang antara ruas tulang belakang. Osteofit semula mengarah horizontal, namun berubah vertikal hingga osteofit ruas tulang belakang berdekatan tumbuh bersama hingga terbentuk jembatan pada ruang inter-vertebral. Hal ini terutama terjadi kearah anterior dan lateral. Kadang-kadang prolaps dorsal dapat berubah menjadi osteofit yang menonjol kekanal spinal atau sebagian menyumbat foramina inter- vertebral. Osteofit adalah tahap akhir proses degeneratif pada diskus intervertebral dan tidak dapat dianggap sebagai sindroma diskus intervertebral akut. Kellgren dan Lawrence menemukan degenerasi diskus secara radiografik pada 83 % pria dan 72 % wanita antara usia 55 dan 64 tahun tanpa memperdulikan gejala, sedang pada tulang belakang lumbar 66 % pada pria dan 45 % pada wanita, dibanding dengan 30 % pria dan 27 % wanita dengan arthritis faset secara radio- grafi. Kelainan degeneratif diskus intervertebral adalah berhubungan dengan usia dan tidak perlu menunjukkan adanya gejala. Diskus sendiri tak langsung dapat dilihat pada radiografi rutin, kesimpulan atas keadaan fisiologiknya dibuat secara tak langsung dengan ada atau tiadanya penyempitan ruang diskus dan adanya osteofit marginal. Yang terakhir adalah perubahan yang terjadi relatif kemudian pada degenerasi diskus intervertebral, serta penyempitan diskus pada foto polos adalah indikator degenersi diskus yang agak kurang peka. Togerson dan Dotter (1976) meneliti pasien dengan sindroma diskus intervertebral lumbar dan membandingkannya dengan sejumlah yang sama penderita tanpa nyeri pinggang bawah. Frekuensi spondilosis dan lordosis lumbar ekual untuk masing-masing kelompok, namun ditemukan penyempitan ruang diskus pada kelompuk tanpa gejala sebesar 22 % dan pada kelompok dengan nyeri pinggang sebesar 56 %. Walau penyempitan ruang diskus jelas berhubungan dengan usia, lebih nyata didapat pada dekade ketujuh dibanding dekade kelima bila tidak memperdulikan gejala, lebih banyak pada penderita dengan gejala dibanding orang yang tanpa gejala. Ini menunjukkan bahwa degenerasi diskus sangat mungkin bila gejala dijumpai. Frymoyer menemukan bahwa hanya penyempitan ruang diskus L4 yang jelas berhubungan dengan gejala nyeri pinggang bawah dan nyeri tungkai. Didapat juga hubungan yang positif antara nyeri pinggang dengan adanya spur traksi dan spondilolisis serta spondilo-listesis. Dari data disimpulkan bahwa foto polos kecil nilainya dalam menentukan penyebab nyeri pinggang atau dalam menentukan siapa yang berisiko. Interpretasi radiograf penting karena sekali kelainan lain disingkirkan, deformitas prediskotik dapat diamati. Deviasi aksial, anomali ruas tulang belakang dan penyempitan kanal spinal lumbar mempercepat perkembangan selanjutnya kelainan ini. Proyeksi anteroposterior. Jumlah ruas tulang belakang lumbar dapat ditentukan dan setiap bentuk peralihan teramati pada daerah lumbosakral dimana ketidaksetangkupan dapat menyebabkan beban yang tidak ekual dari diskus intervertebral yang mungkin memiliki beberapa kepentingan dalam perkembangan kelainan diskus intervertebral. Gambaran paralel end-plates ruas tulang belakang diamati, demikian juga letak arkus. Pada skoliosis ia bergeser kearah kecekungannya. Pada tumor dan kelainan inflamatori ia akan membesar atau menghilang sama sekali. Pemendekan diskus intervertebral dan juga hiperlordosis tulang belakang memungkinkan kontak erat antara prosesus spinosus dan suatu sklerosis reaktif dapat diperlihatkan yang mungkin merupakan penyebab perasaan tidak enak. Ini dijelaskan Baastrup dan digunakan namanya. Bila pungtur diperlukan dalam mendiagnosa kelainan diskus intervertebral, perlu untuk mengindentifikasi foramina interarkuata yang bertindak sebagai pengarah untuk tempat pungtur. Walau nyatanya kebanyakan ahli bedah merasa bahwa spina bifida occulta tidak merupakan masalah, selalu harus dilaporkan, terutama bila operasi dilakukan pada daerah tersebut, karena peningkatan kehati-hatian diperlukan dalam mencapai bagian tulang belakang daerah ini untuk mencegah ketidak-sengajaan membuka kantung dural. Proyeksi lateral. Memberikan lebih banyak informasi dan fenomena Guntzsche dapat diamati dimana tampak pelurusan lordosis lumbar. Pelurusan ini merupakan tanda dari sindroma diskus intervertebral. Namun pelurusan dapat terjadi bila pasien dalam posisi panggul dan lutut fleksi. Tebal diskus intervertebral pada daerah lumbal makin kedistal akan semakin tebal hingga tingkat diskus intervertebral lumbar empat. Penyempitan rongga intervertebral pada pemuda penting secara klinis. Juga dislokasi ruas tulang belakang arah posteroanterior tanpa tanda-tanda cedera pada proses artikular, yang disebut pseudospondilo- listesis (spondilolistesis degeneratif), menurut Schmorl dan Junghanns (1968). Osteofit pada tepi posterior ruas tulang belakang mungkin juga penting. Bila ditemukan suatu perubahan, perlu memperluas pemeriksaan radiografik dengan pandangan oblik dan tomografi, dan suatu saat mielografi mungkin perlu. Dalam meneliti spondilosis dan spondilolistesis lebih lanjut, pandangan oblik memberikan informasi penting. Gangguan pertumbuhan juvenile tidak mempunyai arti klinik, namun merupakan pertanda degenerasi diskus intervertebral dini. Pembengkakkan tepi ruas tulang belakang tidak harus berarti osteofit posterior. Ini mungkin hanya variasi kontur ruas tulang belakang normal dan mudah dikenal melalui tomografi atau mielografi. Perubahan radiografik menampakkan perubahan yang lanjut dari kompleks tiga sendi. B. Mielografi 1. Tampilan Rongga subarakhnoid ditampilkan dengan menyuntikkan medium kontras. Rongga subarakhnoid dibatasi membran arakhnoid yang berdekatan dengan dura. Kantung dural bersama rongga subarakhnoid turun bersama-sama menuju ruas tulang belakang sakral kedua. Pada daerah lumbar rongga subarakhnoid berisi cairan spinal yang mengelilingi serabut-serabut saraf kauda ekuina dan mengikuti radik-radik saraf keforamina intervertebral membentuk kantung radik. Rungga epidural (ekstradural) adalah rongga antara kantung dural dan bagian tulang dari kanal spinal. Pleksus vena yang besar dan lemak epidural mengisi rongga ini. Bagian anterior kantung dural berhadapan dengan bagian posterior diskus intervertebral berdekatan dengan konsekuensinya semua perubahan pada segmen posterior diskus intervertebral akan menyebabkan indentasi kantung dural. Pada protrusi atau prolaps medial atau para medial pandangan lateral akan memperlihatkan indentasi pembengkakkan pada kantung dural yang terisi kontras pada tingkat diskus intervertebral yang terkena. Gangguan pada kantung dural tidak hanya tergantung ukuran prolaps namun juga pada jarak antara tepi posterior diskus intervertebral dan dura. Jarak ini sempit pada tingkat L1-L4. Pembengkakan kecil karenanya mudah dikenal pada mielografi. Pada tingkat L5-S1 jaraknya lebih lebar dan prolaps medial kecil tidak akan menekan kantung dural dan karenanya tak ditampilkan pada mielografi. Serabut-serabut saraf kauda ekuina tampak sebagai pita radiolusen tipis pada mielografi dan bila kantung dural mengalami penekanan mereka akan melewati daerah obstruksi dengan tampilan seperti lengkungan. Pengisian kantung radik saraf dengan medium kontras adalah paling penting dalam mendiagnosa dengan mielografi. Untuk alasan ini mielografi juga disebut radikulografi. Pengenalan kantung radik perlu untuk memperlihatkan posisi dan perjalanan saraf-saraf spinal. Kantung radik dapat sedikit terindentasi atau sama sekali terputus, dan antara kedua ekstrem ini berbagai kemungkinan dapat ditampilkan. Protrusi lateral dapat sulit dikenal dan mungkin perlu melakukan mielografi secara sempurna dengan pengisian yang baik dari kantung dural. 2. Media Kontras Mielografi pertama dilakukan Dandy (1919) dengan media udara. Mielografi pertama dengan media kontras positif dilakukan Sicard dan Forstier (1922). Kontras adalah minyak iodium dan sejak itu berbagai media kontras telah digunakan. Mielografi dengan udara dan minyak sangat berbahaya, namun hanya sedikit informasi yang dapat diterima. Demonstrasi kantung-kantung radik tidak mungkin. Diantara media kontras positif antara lain adalah minyak iodium tak larut dan ester iodium serta substansi larut air. Minyak iodium seperti Iodipin, dan ester iodium seperti Pantopaque diabsorbsi dengan susah payah, dan karena lamanya absorbsi mereka dapat mengakibatkan arakhnoiditis pada kanal spinal. Membuang medium kontras dengan pungtur lumbar sekunder tidak selalu berhasil. Media kontras larut air tampaknya lebih memadai pada mielografi lumbar karena diresorbsi lengkap dan tidak menyebabkan komplikasi sekunder. Pemakaian luas dan kemungkinan efek samping membuat mielografi sebagai pemeriksaan yang harus dikerjakan dengan pertimbangan. Perkembangan media kontras yang lebih sempurna, yang larut air dan memberikan informasi yang lebih baik, didapat dengan menggunakan Meglumine iothalamate (Conray), Meglumine iocarmate (Dimer X), Metrizamide (Amipaque), Iohexol (Omnipaque), dan Iopamidol (Isovue). Keuntungan agen larut air ini antaranya lebih sensitif terhadap perubahan patologis hingga lengan radik saraf dapat terlihat jelas, kurang toksis dan kurang menyebabkan arakhnoiditis. Sebagai tambahan, absorpsinya melalui teka lumbar dan villi arakhnoid parasagittal hingga tidak perlu dikeluarkan lagi, hal mana paling tidak menyenangkan pada mielografi dengan minyak. Dengan memakai Metrizamide (Amipaque), risiko aliran kontras ketingkat lebih tinggi dapat dikurangi karena toksisitasnya yang sangat rendah hingga bila mencapai toraks atau leher tidak akan menimbulkan komplikasi. Metrizamide adalah medium kontras triiodized yang larut air namun tidak terurai. Substansi padatnya dapat dicampurkan dengan pelarutnya pada konsentrasi yang diinginkan. Larutan 170 mg J/ml adalah isotonik terhadap cairan spinal. Neurotoksisitas seperti kemampuan epileptogenik sangat rendah dibanding media kontras larut air yang terurai (Skalpe - Talle 1973, Skalpe dan Amundsen 1975, Hindmarsch 1973, Golman 1973, Nachemson 1976). Medium kontras bercampur cepat dengan cairan spinal serta viskositasnya rendah. Karenanya tampilan rongga subarakhnoid dan radik-radik saraf bisa didapat dengan cepat dan dengan akurasi yang tinggi. Ia ditolerasi baik dan tidak memerlukan anestesi spinal. Kadang-kadang media kontras tertimbun diepidural, namun tidak dijumpai efek samping. Ia dapat juga digunakan untuk diskografi. Ia cepat diabsorbsi dari rongga subarakhnoid dalam waktu sekitar delapan jam, dan tidak memerlukan pungtur sekunder untuk mengeluarkan media kontras seperti yang sebelumnya berlaku untuk media kontras jenis iodium/minyak. Penggunaan baru dari Metrizamide adalah dalam tomografi aksial terkomputer yang dilakukan 8 jam setelah mielografi. Masih cukup material kontras yang tertinggal ditempatnya untuk menampilkan diskus intervertebral yang mengalami herniasi yang sebelumnya tidak ditampilkan dengan baik pada tomografi aksial terkomputer. Arti mielografi sebagai penunjang penting sebelum operasi diperlihatkan Hirsch dan Nachemson yang melaporkan hubungan tanda-tanda neurologik dengan mielografi kontras larut air pada penderita yang dioperasi karena diduga herniasi diskus lumbar. 90 % pasien dengan mielogram positif, ditemukan herniasi diskus saat operasi yang mana menunjukkan tingginya sensitifitas tes ini. Data yang sama dikemukakan Spangfort yang menyatakan lebih dari dua kali temuan negatif pada operasi bila sebelumnya tidak dilakukan mielografi. Kelainan mielografi semata-mata tidak boleh diperlakukan sebagai satu-satunya penentu operasi. Hitselberger dan Witten menemukan 37 % penderita tanpa gejala mempunyai kelainan tulang belakang leher dan lumbarnya, dimana dua pertiganya (24 %) adalah pada lumbar. Walau nilai mielografi sangat membantu dalam menyaring pasien, pertentangan masih terjadi hingga saat ini dikarenakan risikonya, keterbatasannya dan ketidaktepatannya dibandingkan cara pemeriksaan lain. Karena sifatnya invasif, mielografi mempunyai risiko yang kuat, termasuk nyeri kepala, mual, muntah, masalah urinari, kejang dan keluhan psikik. Walau sudah dengan Metrizamide, risiko masih tinggi yaitu 23 - 64 %. 3. Indikasi Baru akhir-akhir ini mielogafi menjadi prosedur diagnostik yang dianjurkan untuk mendiagnosis semua keadaan yang diduga akibat penyempitan kanal spinal. Kelainan diskogenik tidak hanya didiagnosis namun juga ditindak berdasarkan tanda dan gejala klinik, dan keputusan operasi harus ditentukan berdasarkan pemeriksaan klinik. Mielografi memberikan penegasan dan juga memberikan tingkat yang tepat dari prolaps yang menentukan operasi. Pungtur lumbar untuk analisis cairan spinal tidak diperlukan pada keadaan ini. Indikasi utama mielografi pada penderita kelainan diskus intervertebral adalah adanya nyeri radikuler dan gagal terhadap semua tindakan dan pada penderita dimana operasi akan dilaksanakan. Indikasi lainnya adalah stenosis tulang belakang dan kemungkinan adanya tumor. Mielografi prabedah saat ini tidak harus ditinggalkan. Pada beberapa kasus akan memberikan jawaban apakah operasi harus dilaksanakan atau tidak. Akhirnya seperti telah dijelaskan, mielografi akan memberikan tingkat yang tepat yang mana sangat penting ketika simpto- matologi sering berbentuk campuran. Pada pemeriksaan hubungan antara pengamatan klinik, mielografik dan operatif didapatkan bahwa tanda-tanda klinik hanya berkaitan 60% dan tanda-tanda mielografik 95% terhadap pengamatan operatif. Menurut Nachemson (1976) akurasi diagnostik diperbaiki dari 60 menjadi 90% bila mielografi ditambahkan pada pemeriksaan. Mielografi juga menunjukkan apakah prolaps berasal dari atas atau bawah dan selanjutnya memberikan informasi arkus mana yang akan dibuka, hingga menghindarkan perlunya melakukan laminotomi diagnostik kecil. Pada kasus tertentu dimana pasien menolak, mielografi tidak boleh dilakukan. Bila tanda-tanda dan gejala-gejala sangat jelas dan informatif, kepentingan mielografi pada kasus ini tidak diutamakan. Tentu mielografi tidak boleh dilakukan pada penderita yang peka iodium terutama yang menunjukkan kepekaan terhadap makanan laut. Pada kasus khas sindroma L5 dengan paralisis akut, mielografi tidak selalu perlu dan operasi dapat dilaksanakan segera. Bila diduga sindroma kauda, keadaannya sangat berbeda dan mielografi harus dilakukan dalam usaha menentukan tingkat. Pada kasus asuransi dimana diagnosisnya sulit, mielografi dianjurkan. Pada kasus dengan masalah asuransi dokumentasi yang dapat dilihat lebih bernilai dari tanda-tanda dan gejala-gejala. Sindroma diskus intervertebral lumbar lokal sangat jarang memerlukan mielografi. Ini termasuk nyeri pinggang akut yang mungkin atau tidak berhubungan dengan tanda-tanda neurologik yang jelas. Bila tindakan konservatif gagal setelah beberapa bulan, perlu dipikirkan mielografi. Pada anak-anak harus hati-hati dalam merencanakan dan melakukan mielografi. Namun bila ada dugaan suatu tumor sangat dianjurkan sebagai prosedur diagnostik. Bila pada mielografi tidak ada cairan yang didapat, harus diingat bahwa kebocoran cairan spinal ringan mungkin terjadi dan karenanya beberapa tindakan pencegahan harus diambil seperti halnya melakukan pungtur lumbar diagnostik. Harus waspada akan kemungkinan adanya peninggian tekanan intraserebral serta akibatnya yang mungkin memberat pada keadaan ini. 4. Tehnik Pasien diletakkan pada meja radiografik dengan punggung datar dengan bantuan kantung udara yang dapat digembungkan dibawah perut. Kepala meja ditinggikan. Jarum diinsersikan pada inter-space antara L2 dan L3. Bila lesi diduga lebih atas, kontras dimasukkan dengan kontrol radiografik antara L1 dan L2. Jarum segera ditarik setelah injeksi. Injeksi biasa dilakukan dengan tabung plastik yang bersatu dengan jarum. Pastikan kontras berada intratekal. Tampilan posteroanterior diambil dengan meja ditinggikan dengan berbagai derajat, dan film diambil untuk menampilkan berbagai tingkat. Tampilan oblik diambil dengan pasien dalam posisi telungkup dan miring kesatu sisi dan selanjutnya kesisi lain. Bila diduga suatu prolaps mobil atau fragmen, projeksi fleksi dan ekstensi diambil dalam posisi berdiri tampilan lateral. Untuk mendapatkan proyeksi yang kaya kontras dianjurkan untuk menyelesaikan seluruh pemeriksaan secara lengkap dalam 10 hingga 20 menit, setelah mana medium kontras segera mulai diabsorbsi. Dalam hal penggunaan Metrizamide perlu mempertahankan posisi pasien setengah duduk 600 selama 6 jam agar kontras tidak naik melebihi tingkat lumbar. 5. Komplikasi Komplikasi mungkin timbul baik karena medium kontras atau pungtur lumbar maupun keduanya. Setiap benda asing yang dimasukkan kekanal spinal akan menambah iritasi terhadap sistem saraf pusat dengan nyeri kepala, muntah, meningismus, sedikit peninggian suhu dan juga kekakuan otot. Walau toksisitasnya rendah, media kontras yang baru mungkin menyebabkan komplikasi jenis yang sama. Setelah mielografi dengan Metrizamide 20% pasien merasa nyeri kepala untuk beberapa hari. 2-3% penderita dengan nyeri kepala juga menderita meningismus, serta muntah dapat terjadi. Suatu saat gejala spontan berkurang dan tindakan terbaik adalah analgesik dan istirahat baring. Bila kesalahan menyuntikkan media kontras (Metrizamid) kerongga epi- dural, tak ada hal-hal istimewa yang diharapkan terjadi. Medium kontras diabsorbsi cepat dari daerah ini tanpa menyebabkan kerusakan apapun. Karena penggunaan medium kontras mempunyai komplikasi yang relatif kecil, maka komplikasi akan diakibatkan terutama oleh pungtur lumbarnya. Komplikasi yang harus dipikirkan adalah infeksi. Namun dari berbagai laporan, kejadiannya relatif kecil. Secara keseluruhan, efek samping dan komplikasi ini tidak akan mengurangi nilai mielografi sebagai alat bantu diagnostik. 6. Temuan Mielografik Mielografi diambil pada pandangan anteroposterior, lateral dan oblik untuk mendapatkan analisis proses yang menimbulkan penyempitan kanal spinal. Bila diduga suatu prolaps yang mobil atau segmen yang tak stabil, tampilan fungsional diambil pada fleksi dan ekstensi maksimum. Protrusi dan prolaps lumbar akan menyebabkan indentasi khas pada mielogram. Tampilannya berbeda tergantung proyeksi yang digunakan. Tampak Lateral. Tepi anterior dan posterior medium kontras tampak dan kantung-kantung radik saraf tercakup. Ujung bawah kantung dural menunjukkan variasi anatomis yang dapat berupa kerucut atau lengkungan. Kantung dural berakhir pada ruas tulang belakang sakral kedua atau mungkin lebih pendek pada ruas tulang belakang sakral pertama, yang mungkin akan membingungkan dengan prolaps medial pada tingkat L5-S1. Gambaran posterior diskus intervertebral L1-L4 serupa dalam tampilan lateral. Disini terdapat hubungan yang nyaris langsung yang tidak terjadi pada segmen L5-S1 dimana terdapat sedikit rongga. Indentasi medium kontras pada beberapa segmen biasa didapat pada penderita tua. Indentasi pada satu atau dua segmen adalah patognomonik. Tampak Anteroposterior. Kantung-kantung radik saraf dapat ditampilkan. Ini mungkin berupa penekanan atau obstruksi lengkap ('amputasi'). Tampak Oblik. Menampilkan kantung-kantung radik saraf dan kontur lateral kantung dural. Media kontras larut air tak hanya menampilkan kontur permukaan kantung dural dan kantung-kantung radik namun juga struktur interior dapat diperlihatkan. Kepadatan kontras media tidak akan terlalu tinggi bila ia sudah bercampur dengan cairan spinal. Serabut saraf akan tampak sebagai pita tipis yang panjang. Dari tampilan berbeda, mudah untuk menganalisa ukuran dan lokalisasi protrusi diskus intervertebral. Protrusi medial dan para medial mudah diperlihatkan pada tampilan lateral dan oblik. Protrusi lateral lebih mudah diamati pada tampilan anteroposterior. Prolaps masif didemonstrasikan oleh berbagai tampilan. Namun indentasi dapat terjadi tanpa ada hubungannya dengan degenerasi diskus intervertebral. Tumor, menyempitan oseus kanal spinal lumbar, sering menyerupai prolaps diskus intervertebral. Perpindahan fragmen diskus intervertebral seperti juga protrusi medial pada tingkat L5-S1 dan protrusi lateral pada setiap lengan radik tidak selalu tampak pada mielogram. Seperti ditunjukkan oleh mielogram, prolaps turun dari medial kelateral ke- foramina intervertebral (Brussatis dan Steeger 1974). Tindakan menyeluruh tergantung gambaran klinik dan bahkan bila perubahan ditampilkan pada mielografi, operasi dikontra-indikasikan pada penderita dengan tidak cukup gejala atau temuan. Sebaliknya operasi dipikirkan pada kasus dimana tindakan konservatif tidak memberikan hasil dan hasil mielografi tidak menampakkan informasi positif. Pada mielografi tidak ada perbedaan besar yang membedakan protrusi dan prolaps. Bila indentasi besar dan mendorong medium kontras, mungkin ini disebabkan oleh prolaps. PEMERIKSAAN LAIN Setelah pemeriksaan klinik termasuk riwayat lengkap, pemeriksaan objektif dan radiografi dan pada kasus tertentu mielografi, diagnosis mungkin perlu dipertajam untuk mendapatkan peng-indentifikasian asal, lokalisasi dan tingkat lesi. A. Pemeriksaan Laboratorium Termasuk Analisis Cairan Spinal Pemeriksaan tambahan dipersiapkan hanya untuk keperluan diagnosis diferensial. Pemeriksaan laboratorium mungkin mempunyai beberapa nilai dan pada sindroma lumbar tidak dijumpai perubahan nilai-nilai darah, laju endap darah atau foresis-elektro. Cairan spinal bisa didapat saat mielografi dan analisis dapat dilakukan. Pada degenerasi diskus intervertebral cairan spinal jernih dan mudah mengalir melalui jarum kecil. Tes Queckenstedt dapat dilakukan. Pada kelainan degenerasi diskus intervertebral tes ini tak diperlukan. Pada prolaps besar atau setelah operasi diskus intervertebral kadang-kadang dijumpai sedikit peningkatan protein cairan spinal. Hitung sel normal. Keadaan protein meningkat dan hitung sel normal disertai tekanan cairan normal disebut 'dissociation globolinocyto-logique' (sindroma Guillain-Barre). Pada sindroma ini protein total dan koloid nilainya sangat tinggi. Kelainan ini dapat dijumpai pada beberapa keadaan spinal. Analisis cairan spinal tidak memberi banyak pada kasus degenerasi diskus intervertebral dan hanya dipersiapkan untuk diagnosis diferensial dari keadaan lain, terutama pada inflamasi (herpes zoster, sifilis) atau tumor. Pada keadaan dengan peninggian protein dan hitung sel bersama dengan blok spinal (Queckenstedt positif), pemeriksaan lanjutan harus dikerjakan. B. Diskografi Rongga intradiskal dapat didemonstrasikan dengan menyuntikkan media kontras kedalam diskus inter- vertebral. Diskus intervertebral sulit untuk disuntik dengan medium kontras dan sedikit kontras yang masuk dapat diperlihatkan oleh gambaran seperti lensa pada radiografi. Diskus intervertebral yang berdegenerasi dapat mengabsorbsi 2 hingga 4 cm3 cairan dan akan memperlihatkan sejumlah rongga kecil pada jaringan diskus intervertebral. Nilai dari diskografi lumbar minimal pada diagnosis rutin karena diketahui degenerasi terjadi pada usia tertentu setelah tampilan normal sulit diharapkan. Penting untuk mengingat bahwa diskus inter- vertebral yang berdegenerasi tidak perlu menimbulkan gejala. Lagi pula mielografi dengan media kontras larut air lebih mudah dikerjakan dan lebih akurat dalam informasi. Diskografi hanya dapat membedakan antara protrusi dan prolaps yang mungkin sama artinya dalam tindakan selanjutnya. Pada perforasi anulus fibrosus, medium kontras akan mengalir keluar aspek posterior anulus fibrosus. Operasi diindikasikan pada kasus ini. Bahkan dengan Metrizamide hasil negatif palsunya 20% pada interspace L5-S1. Pada setiap pasien dengan gangguan radik lumbar kelima dan jarum yang dimasukkan ke diskus intervertebral L4/L5 membuktikan keadaan normal, pertama harus diduga terutama bila diskus intervertebral lumbosakral menyempit dan kolaps, adalah bahwa radik lumbar kelima tertekan pada daerah interforaminal baik oleh diskus intervertebral yang mengalami herniasi atau oleh spurring lateral dari herniasi yang sudah lama. C. Miografi-elektro Gangguan motor dapat dinilai secara objektif dengan miografi-elektro. Kelemahan otot anggota bawah sering dapat diketahui pada pemeriksaan klinik. Gangguan otot neurogenik yang timbul sehubungan dengan adanya prolaps tak dapat diperlihatkan oleh miografi-elektro hingga perjalanan penyakitnya lanjut. Penggunaan miografi- elektro untuk memperlihatkan gangguan neurologik adalah semata-mata untuk diagnostik diferensial. D. Tomografi Terkomputer Sangat akurat dalam mendiagnosis herniasi diskus intervertebral dengan kompresi radik saraf sebagai penyebab siatika. Kriteria diagnostik harus spesifik. Pertama, protrusi harus fokal dan tak setangkup, sering terletak dorsolateral, langsung didekat radik saraf yang melintang diskus. Kedua, harus tampak kompresi radik saraf dan/atau pergeseran. Ketiga, sering pembengkakan pasca jejas pada radik saraf terkena, kaudal dari herniasi, dengan pembesaran saraf serta pengaburan tepinya karena edema, eksudat inflamatori, atau pembesaran vena epidural sekitarnya. Bila temuan ini dijumpai, akurasi diagnostik sangat tinggi. E. Pencitraan Resonansi Magnetik Baik MRI maupun CT resolusi tinggi memberikan tampilan yang sangat baik atas perubahan morfologik serta pengaruh dari herniasi diskus. PRM memperjelas akibat herniasi terhadap struktur intraspinal, juga memberikan kemungkinan menduga perubahan patologis yang terjadi dalam diskus sebelum perubahan pada konturnya. Nukleus pulposus dan anulus fibrosus terutama mengandung air, kolagen serta proteoglikan, dengan perbedaan utama pada kadar relatif komponen tersebut, tingkat hidrasi, dan jenis utama dari kolagen yang dominan (Ghosh, 1988). Pada pencitraan dengan pembebanan T2, intensitas sinyal yang tinggi pada bagian sentral diskus berasal dari nukleus pulposus dan serabut anular dalam (Yu, 1988). Intensitas sinyal diskus tergantung keadaan hidrasi dan fisiokimia jaringan diskal (Hickey, 1986). Pada pencitraan dengan pembebanan T2 pada serabut anular luar memperlihatkan intensitas sinyal yang sangat lemah, seperti halnya ligamen longitudinal posterior didekatnya (Pech dan Haughton, 1985). Dengan penuaan, akan terjadi penghancuran bertahap proteoglikan nukleus, pengeringan bertahap material inti mukoid, serta hilangnya batas anatomik antara nukleus dan serabut anular dalam (Miller, 1988). Diatas usia 30, celah intranuklir ditemukan pada diskus normal pada pencitraan pembebanan T2, dan ini normal pada pertumbuhan jaringan normal. F. Tomografi Terkomputer yang diperkuat Diperdebatkan keuntungan dan kerugiannya. Dilakukan pada hari mielografi dilakukan. Sulit melakukan penilaian jaringan lunak. DIAGNOSIS DIFERENSIAL SINDROMA AKAR SARAF LUMBAR Dalam menganalisa nyeri pada anggota bawah, penting untuk membedakan siatika sebenarnya dengan nyeri yang menyerupai siatika. Selain itu harus dibedakan antara nyeri radik saraf dan nyeri akibat terganggunya saraf perifer. Sebagai pegangan, siatika disebabkan oleh degenerasi dua diskus intervertebral lumbar yang terbawah. Neuralgi femoral paling sering disebabkan degenerasi diskus intervertebral lumbar bagian atas. Pengaruh postur pada gejala menunjukkan terkenanya diskus intervertebral. Postur tidak berpengaruh pada siatika atau neuralgi femoral oleh peenyebab lain. Ini terutama ditunjukkan oleh tes traksi terhadap tulang belakang lumbar atau tes regang femoral yang bermakna pada gangguan pada radik saraf. Dengan traksi pada tulang belakang lumbar, mungkin akan mengurangi kontak antara radik saraf dengan diskus intervertebral hingga penjalaran nyeri baik siatika maupun neuralgi femoral dapat berubah. Tes traksi berguna dalam mendiagnosis sindroma radik saraf lumbar, yang dilakukan dengan memakai bebat sekitar pelvis dengan pegangannya tergantung dari tiap sisi (Kramer 1973). Penderita menarik pegangan kebawah dan dengan tindakan ini intensitas dan penjalaran nyeri yang berasal dari radik-radik saraf lumbar akan berubah. Pasien juga dapat membungkuk kedepan saat menarik pegangan. Pada protrusi kecil, siatika dan deformitas siatik akan hilang selama traksi. Mungkin juga nyeri akan berkurang dan lokalisasi berubah. Nyeri lateral dapat bergerak lebih kemedial dan nyeri radik saraf tajam berubah menjadi nyeri pinggang tumpul, dan akhirnya siatika dapat merubah penjalarannya dari bagian distal keproksimal dari anggota bawah. Kadang- kadang nyeri bahkan bertambah saat traksi dan menjalar lebih keperifer. Ini dapat terjadi apabila prolaps menjadi lebih besar atau mengalami fragmentasi menjadi sekuester. Tes traksi juga menjelaskan apakah traksi akan bernilai terapeutik bagi pasien. Kekecualian, tes traksi dapat positif pada sindroma radik saraf karena berbagai penyebab. Nyeri berasal dari sendi panggul atau vaskuler tidak akan terpengaruh oleh tes traksi. A. Penyebab Ekstravertebral Tidak jarang nyeri dari panggul dikelirukan dengan sindroma radik saraf lumbar. Sebabnya adalah sangat sering dua keadaan ini terjadi bersamaan dan penjalaran nyerinya sangat serupa. Karenanya perlu menyingkirkan kemungkinan osteoarthrosis panggul serta nekrosis kaput femoral. Pasien osteoarthrosis sering mengeluh nyeri yang menjalar kebawah, yaitu kepaha dan lutut. Ini semula dijelaskan sebagai terganggunya saraf obturator yang mencatu bagian anterior sendi panggul dengan serabut-serabut sensori. Sangat mungkin nyeri ini adalah akibat terganggunya saraf simpatetik (saraf vaskuler) seperti diduga Idelberger (1977). Pada sindroma radik saraf lumbar beberapa tanda mungkin tidak dijumpai hingga menyulitkan penegakan diagnosis. Tidak ada gangguan lumbar lokal yang menimbulkan siatika tanpa nyeri sakral. Gangguan neurologik mungkin sangat sedikit atau sama sekali tidak ada. Bila tes straight leg-raising mengenai sendi panggul, ini akan sangat membingungkan. Pada siatika tes siatik sangat berbeda. Berbeda dengannya, pergerakan sendi panggul menyebabkan pergerakan pelvik yang konkomitan dengan kemungkinan nyeri radik saraf. Pertanda terganggunya sendi panggul adalah perbedaan pada rotasi kedalam kedua sisi. Juga perlu secara teliti mendengarkan riwayat pasien dimana sindroma radik saraf dijelaskan oleh hubungan terhadap perubahan posisi dan tes traksi. Untuk diagnosis terkenanya sendi panggul, selanjutnya disarankan menyuntikkan anestesi lokal intra-artikular sebagai pengarah. Radiografi termasuk tomografi digunakan untuk diagnosis menyeluruh. Pada sindroma radik saraf yang disebabkan protrusi diskus intervertebral atau prolaps diskus intervertebral, mielografi akan memberikan jawabannya. Perubahan inflamatori atau degeneratif pada sendi sakroiliak dapat menimbulkan nyeri serupa dengan siatika proksimal. Tes Mennel dan pemeriksaan klinik yaitu radiografi dan sintigrafi akan membantu diagnosis. Nyeri pada daerah sendi panggul mungkin disebabkan peri-arthrosis panggul yang baik sendi panggul maupun tulang belakang lumbar tidak menunjukkan adanya kelainan patologik. Dalam usaha menegakkan diagnosis, trokhanter maior dapat diinfiltrasi dengan anestetik lokal. Tanda-tanda pleksus saraf lumbosakral akibat tumor ekstra-vertebral dari rektum, uterus atau prostat hanya timbul bila tumor mencapai ukuran besar. Kadang- kadang suatu aneurisma arteri iliak komunis bisa menyebabkan siatika (Elliot 1971). Tidak jarang diterima rujukan hanya karena kebingungan atas nyeri tungkai apakah dari sindroma radik saraf lumbar atau dari kelainan vaskular perifer. Bila nyeri bertambah saat berjalan, ini sangat tidak biasa pada siatika. Tes traksi negatif serta tiadanya hubungan dengan posisi postural menyingkirkan gangguan radik saraf. Ada pula kelainan pada saraf siatiknya sendiri yang menyebabkan diagnosis diferensial menjadi sulit. Antaranya herpes zoster, neuritis alkoholik, leprosi, kelainan tik, diabetes dan periarteritis nodosa. Neuropati diabetik harus selalu diingat pada pasien tua. Kadang-kadang siatika yang timbul setelah penyuntikan saraf siatik harus diingat karena mungkin pengobatannya termasuk injeksi pada daerah siatik. Sisi injeksi tampak keras. Nyeri menjalar mudah dibangkitkan dengan menekan daerah tersebut. Berlawanan dengan cedera pleksus dan saraf perifer, lesi radik saraf tidak pernah bersamaan dengan tanda-tanda vegetatif. Pada lesi saraf siatik terdapat kelainan fungsi sudorimotor didaerah gangguan sensasi. Pada lesi radik saraf tidak pernah ada kelainan perspirasi bahkan bila sensasi hilang total didalam daerah yang dicatu oleh beberapa radik (Schliack 1975). Bila nyeri dan gangguan sensasi terbatas pada lipat paha dan bagian anterior paha, parestetik meralgia harus dipikirkan. Ini karena cedera pada saraf kulit femoral lateral. Sebaliknya dari sindroma L3, tidak ada gangguan pada refleks tendon patellar pada parestetik meralgia. Tindakan lain yang membantu diagnosis adalah infiltrasi lokal anestetik dan tes traksi. B. Penyebab Vertebral Selain sindroma radik saraf yang disebabkan kelainan diskus inter-vertebral dijumpai kelainan lain yang menyebabkan siatika dan mengenai saraf femoral. Ini harus dipikirkan sebagai diagnosis diferensial dalam menganalisa nyeri sakral. Siatika dapat timbul bilateral pada spondilo- listesis dan sangat sedikit dipengaruhi perubahan postur. Akar-radik saraf terjerat oleh jaringan fibrosa disekelilingnya serta menyebabkan pengangkatan atau traksi keatas sisi posterior ruas tulang belakang berdekatan. Spondilitis mungkin juga mengenai radik dan tidak terpengaruh oleh postur. Nyeri malam adalah khas. Bila spondilitis dimulai dianterior, siatika adalah gejala lanjut. Hal yang serupa terjadi pada tumor tulang belakang yang sebagian besar adalah metastase, dan gejala radik hanya terjadi bila massa tumor mengenai kanal spinal atau bila timbul fraktura patologis. Gejala siatik bertambah dan tes straight leg-raising positif pada kedua sisi. Tumor primer mungkin timbul pada segmen ruas tulang belakang terutama pada saraf- sarafnya. Gejala neurologik terjadi, dan terdapat perubahan cairan spinal. Kadang-kadang kelainan Paget dan fluorosis menyebabkan siatika karena pertumbuhan tulang dengan penyempitan kanal spinal serta foramina intervertebral. Stenosis spinal pada kebanyakan kasus disebabkan oleh kelainan diskus intervertebral dan menyebabkan siatika. C. Sindroma Kauda Sindroma kauda menunjukkan sindroma radik saraf lumbar poli-radikuler secara menyeluruh. Semua radik saraf dikauda tertekan baik oleh prolaps diskus inter- vertebral maupun tumor dan menimbulkan gejala radik lumbar maupun sakral. Lesi kauda akut adalah akibat prolaps besar dari tingkat L3/L4 atau L4/L5. Mula-mula adalah nyeri hebat lumbar dan radikular. Segera setelah paresis timbul, gejala khas prolaps diskus intervertebral menghilang. Kompresi kauda akut akibat prolaps diskus intervertebral memerlukan operasi segera. Dalam beberapa jam dapat timbul cedera yang irreversibel. Kecil kemungkinan pulih bila operasi dilakukan dua atau tiga hari setelah kompresi kaudal. Gejala sindroma kauda khas dan dari sudut diagnostik diferensial menarik untuk menganalisa etiologinya. Kelainan diskus intervertebral khas dengan onset mendadak dan kaitannya dengan postur. Pemeriksaan radiologi dan laboratori normal. Pada tumor kauda tidak ada hubungan dengan beban berat atau tanpa beban berat. Laboratori dan mielografi akan memberi petunjuk diagnosis. Analisis cairan spinal mungkin penting. Blok cairan spinal menunjukkan kompresi spinal, namun memerlukan pemeriksaan lain untuk memperjelas kelainan seperti mielografi. Cairan spinal normal dan alirannya yang bebas pada tes Queckenstedt tidak menyingkirkan kemungkinan kompresi kauda yang terletak dalam. Tindakan diagnostik terpenting adalah mielografi namun tidak selalu menjelaskan sumber kelainan. TINDAKAN Mengingat etiologi dan patologi, tindakan secara umum serupa. Sasaran utama adalah menghilangkan nyeri. Kurang penting untuk memperbaiki mobilitas tulang belakang lumbar. Sasaran harus ditujukan untuk mengurangi keluhan rasa tidak enak subyektif dan tidak terlalu ditujukan kepada deformitas anatomik. Pada mielografi, indentasi medium kontras mungkin sangat besar namun bila tidak ada gejala maka tidak ada alasan untuk operasi. Pada prolaps diskus intervertebral lumbar ada hubungan gejala dan perubahan patologik sebagai makin besar prolaps semakin berat gejala neurologik dan nyeri. Kebanyakan kelainan diskus inter- vertebral tampak sebagai fragmentasi, perlunakan dan protrusi ringan dibanding prolaps sebenarnya. Secara umum terdapat perubahan sekunder dari sendi-sendi dan otot-otot intervertebral. Penting diingat keberagaman dan kepekaan masing-masing radik saraf yang menyebabkan gejala dan tidak perlu perubahan patologik identik kasus demi kasus. Karenanya tindakan harus diarahkan terhadap intensitas gejala yang dipacu oleh sensitivitas radik- radik saraf dan serabut-serabut saraf. Dengan kata lain terdapat reaksi yang berbeda dari radik-radik saraf terhadap rangsangan mekanik akibat deformitas pato- logik. Terdapat gabungan pengaruh tekanan mekanik dan sensitifitas saraf dimana yang terakhir ini dapat dipengaruhi oleh obat-obatan, iklim dan tindakan fisik. Perubahan psikik juga penting. Kemungkinan berhasil pada tindakan konservatif sangat terbatas. Akar saraf yang sudah cedera oleh tekanan akan bereaksi abnormal bila menghadapi keadaan alergi atau infeksi, karenanya dianjurkan mengatasi fokus infeksi lokal pada pengobatan siatika dan nyeri pinggang bawah. Hal menarik lain adalah remisi spontan gejala pada kasus nyeri dengan onset akut akibat degenerasi diskus intervertebral. Tidak perlu merencanakan suatu tindakan dalam dua atau tiga minggu. Harus dipikirkan semua kemungkinan cara pengobatan sesuai dengan kasus. Usaha yang gagal pada terapi manual atau pemijatan dalam waktu lama harus diganti dengan istirahat dan pemakaian panas. Beberapa pasien bereaksi baik terhadap pemijatan, lainnya justru memburuk. Hal serupa terjadi pada traksi. Diagnosa yang teliti dan pengalaman yang luas diperlukan dalam merencanakan cara terbaik untuk masing-masing pasien. Onset nyeri dan adanya suatu keadaan kronik akibat beberapa keadaan patologik membentuk lingkaran setan. Mula-mula adalah masalah mekanik yang diikuti iritasi radik-radik saraf dengan akibat timbulnya spasme otot reflektori, kontraktur kapsul sendi, serta perubahan sirkulasi, postur abnormal, aberasi psikik serta akhirnya nyeri. 'Serangan' terapeutik pada rantai manapun akan memberikan hasil yang baik. Pemeriksaan teliti akan menunjukkan bagian mana dari segmen yang paling terserang dan rencana tindakan didasarkan kepadanya. Harus dipikirkan tekanan material diskus intervertebral yang mengalami fragmentasi, perubahan abnormal volume diskus intervertebral, nyeri yang berasal dari kapsula sendi intervertebral dan spasme otot. Pikirkan usia pasien, keadaan fisik secara umum serta keadaan mental. Pasien yang bersifat pasif terbaik ditindak dengan istirahat tempat tidur, pemijatan, packing dan infiltrasi. Pasien yang aktif lebih baik ditindak lebih aktif dengan traksi. Tindakan berdasar penyebab tidak akan berhasil pada kelainan diskus intervertebral. Material diskus intervertebral yang telah rusak tidak dapat diperbaiki oleh jaringan, karenanya tindakan harus simptomatik dengan satu tujuan saja yaitu mengurangi nyeri. Mula- mula selalu harus dengan tindakan konservatif, namun bila tidak memberikan hasil yang baik dan nyeri tetap berat, pikirkan operasi. A. Tindakan Konservatif 1. Istirahat Pengurangan rasa tidak enak dan nyeri dapat dicapai dengan istirahat, penggunaan panas, pemijatan, terapi- elektro serta analgesik. Lingkaran setan berupa nyeri- regangan-nyeri, dapat dipengaruhi oleh tindakan tersebut. Penting untuk mengatur posisi saat istirahat. Tidak ada aturan bagaimana meletakkan tubuh hingga bebas dari nyeri dalam pengobatan lumbago. Dalam setiap gangguan fungsional pada interspace, pasien mengatur posisi tulang belakang yang paling efektif mengurangi nyeri. Tergantung penyebab, segala variasi posisi berdiri atau horizontal dapat mengubah perjalanan nyeri. Sebagai pegangan, pasien dengan nyeri pinggang bawah lebih menyukai beristirahat pada tempat tidur. Pada siatika posisi terlentang lebih disukai, tapi pasien mungkin memilih posisi yang tidak lazim untuk mengurangi rasa tidak enaknya. Kenyataan bahwa pasien telah menemukan posisi tubuh yang meringankan nyeri dan dapat ditemukan oleh pemeriksa. Nyeri yang timbul setelah berada dalam posisi horizontal untuk waktu yang lama menunjukkan penambahan volume diskus inter- vertebral dan dapat dikurangi dengan memberi beban aksial secara hati-hati. Bila ada alasan untuk tidak memungkinkan pasien berada dalam posisi berdiri, kepala atau kaki tempat tidur dapat ditinggikan. Kontraksi isometrik otot pinggang akan menambah tekanan intra- diskal dan akan mengurangi volume diskus intervertebral walau pada posisi horizontal. Pada kasus nyeri pinggang bawah yang kurang begitu berat akibat dislokasi yang lebih ringan dari fragmen diskus inter-vertebral, pasien dapat digerakkan dengan arah yang memungkinkan kembalinya nukleus pulposus keposisi normal (Idelberger 1977). Traksi dengan bebat ekstensi dapat mempercepat proses ini. Tindakan dikolam dengan gerakan yang kuat mungkin cukup untuk mengobati nyeri sakral dengan onset akut dan nyeri akan hilang dengan cepat. Gejala dari degenerasi diskus intervertebral biasanya akibat penambahan beban aksial dan karenanya tindakan terbaik adalah istirahat ditempat tidur. Diskus intervertebral menerima beban paling rendah saat berbaring horizontal dengan sendi lutut dan panggul dalam fleksi. Pada keadaan ini tekanan intra- diskal 35 kp. Tempat tidur harus rata dan keras. Pasien harus mengatur fleksi lutut dan panggul pada posisi yang paling nyaman. Dianjurkan memakai penyangga untuk tungkai berupa blok karet busa. Jenis tindakan ini salah satu yang terbaik yang dapat ditawarkan pada pasien dan diakhiri dalam beberapa hari serta dua hingga tiga minggu untuk kasus yang lebih sulit. Hirschberg (1974) melaporkan hasil yang sangat baik pada penderita yang dirawat konservatif dan mendemonstrasikan bagaimana pengurangan tekanan intra- diskal menyebabkan hilangnya ketidaknyamanan serta nyeri. Istirahat harus dilanjutkan dan dilakukan untuk waktu yang lama dalam usaha menghilangkan penekanan terhadap radik saraf dan juga membantu pengerutan fragmen diskus intervertebral. Berdiri, menekuk tubuh dan mengangkat dapat menyebabkan berulangnya keadaan dan musnahnya perbaikan yang telah didapat. Pemijatan, packing, terapi-elektro harus dicegah selama tahap akut. Penting untuk melakukan tindakan menurut prinsip yang tegas, dan pasien dapat dijaga fisik dan mental disaat ia menggunakan sesedikit mungkin gerakan dan higiene pasien dapat dirancang untuk keadaan berbaring pada sisi tubuhnya. 2. Pemanasan Panas menyebabkan hiperemi dengan akibat pengenduran otot-otot yang spastik. Dengan adanya aksi refleks, terjadi perubahan pada segmen yang bersangkutan. Dengan pemanasan dalam, reaksi inflamatori berkurang. Juga terjadi perubahan tingkat konduksi saraf motor dan aktifitas motor spinal dari neuron motor alfa dan gamma hingga terjadi relaksasi spasme otot yang diinduksi nyeri. Panas bisa didapat dengan berbagai cara, baik melalui kontak langsung maupun secara tak langsung melalui radiasi panas. Dipercaya bahwa kantung panas mempunyai efek jaringan dalam. Udara panas juga berefek baik. Untuk pemakaian sederhana dirumah, mandi air panas atau botol air dapat digunakan. Pemanasan suhu badan terbaik dengan menggunakan wool tebal. Seringkali pasien dengan sindroma lumbar menemukan keuntungan dengan panas. Sangat sering kedinginan memperberat ketidaknyamanan. Alasannya tidak diketahui. Pasien yang menderita nyeri sakral khronik dan siatika selalu mencegah kedinginan dan karenanya berpakaian hangat. Derivat minyak asam salisil, yang meningkatkan panas, selalu digunakan oleh pasien nyeri pinggang bawah. Tak ada alasan untuk percaya, ini akan mengubah keadaan biokimia jaringan segmen lumbar. Mandi air panas, kompres hangat, pemijatan dan traksi dapat dianjurkan. Beberapa obat gosok, bebat dan aplikasi lain yang dapat digunakan untuk meningkatkan panas dapat digunakan pada pinggang. Selama istirahat ditempat tidur, dapat digunakan dan dianjurkan kompres panas dengan meletakkan dibawah pasien tanpa menggerakkan pasien terlalu banyak. Dalam semua keadaan, panas tidak pernah digunakan terhadap pasien dalam posisi telungkup karena hiperlordosis paling sering menimbulkan nyeri. Bila panas menambah nyeri, diagnosis harus dipertanyakan, karena pada tumor dan keadaan inflamatori, hiperemi akan menambah dan memperkuat nyeri. 3. Obat-obatan Tidak ada bukti bahwa obat dapat mempengaruhi perubahan volume jaringan diskus intervertebral. Karena perbedaan mekanisme patogenetik, dijumpai beberapa jenis obat. Beberapa berefek analgesik dan anti flogistik dan umum digunakan seperti aspirin, indometasin, kombinasi aspirin dan kodein atau acet- aminofen dan kodein yang dapat diberikan secara oral, rektal atau parenteral. Sasaran utama adalah mengurangi nyeri. Bila nyeri hilang, otot yang tegang akan berelaksasi. Tahap awal, dianjurkan aminofenazon, pyramidon, fenilbutazon. Injeksi intramuskuler dengan kombinasi fenilbutazon dan aminofenazon digunakan pertama kali. Terakhir dilaporkan bahwa obat kombinasi memberi hasil memuaskan. Komponen antiflogistik diduga mempengaruhi reaksi inflamasi yang diakibatkan iritasi mekanik pada segmen bergerak. Pada saat operasi sangat banyak ditemukan radik-radik saraf yang menunjukkan tanda-tanda inflamasi. Obat-obat kombinasi yang mengandung kortison mempunyai sifat antiflogistik kuat. Karena efek sampingnya dianjurkan untuk pemakaian dalam waktu yang singkat. Efek samping yang timbul pada pemakaian lama tidak dapat dipertanggungjawabkan. Pemberian intramuskuler lebih disukai karena memudahkan kontrol dan penilaian. Nyeri kronik dianjurkan diatasi dengan indometasin atau aspirin yang umumnya ditolerasi baik. Vitamin B diduga mempunyai efek neurotropik yang membantu regenerasi serabut saraf yang terjepit. Dapat diberikan pada sindroma radik saraf kronik. Relaksan otot mempunyai efek berbeda dimana ia langsung mempengaruhi otot yang menjadi relaks dengan akibat mengurangi nyeri. Efek merelaksasikan otot secara tidak langsung didapat juga dari sedatif dan tranquilizer yang sering dijumpai pada preparat kombinasi. Tranquilizer akan menurunkan sensitifitas elemen saraf yang teriritasi secara mekanik pada segmen bergerak, karenanya lingkaran setan nyeri-spasme-nyeri dapat diputus. Pada pasien dengan psikik tidak seimbang dianjurkan pemberian sedativa. Diazepam, sedatif bebas barbiturat dan relaksan otot dapat digunakan sebagai penambah pada tindakan lain. Jenis obat diatur sesuai intensitas gejala. Pada nyeri pinggang bawah ringan dianjurkan tidak menggunakan obat apapun. Terapi fisik cukup memadai. Bila nyeri bertambah dan tidak hilang dengan istirahat, obat-obat seperti disebut diatas dapat digunakan. Pada nyeri akut berat, dianjurkan analgesik kuat dan antiflogistik. Bila tidak ditemukan perbaikan dalam waktu yang singkat, terapi obat-obatan harus diakhiri. Penyebab gejala mungkin kompresi mekanik serius terhadap radik-radik saraf lumbar dan memerlukan tindakan yang lebih sesuai. 4. Pemijatan Mungkin berguna pada sindroma lumbar bila keadaan akut sudah berlalu. Beberapa jenis pemijatan akan memperkuat siatika akut atau lumbago karena pemijatan akan menggerakkan tulang belakang lumbar dan pasien tidak dapat untuk tetap pada posisinya. Pada fase akut sindroma lumbar , otot paravertebral serta iskhiokrural mempunyai efek stabilisasi. Ia mengatur segmen bergerak dalam istirahat hingga tak ada lagi penekanan lebih lanjut atau tarikan pada radik saraf atau ramus meningeal dari saraf spinal. Pada posisi istirahat tonus otot menurun dan efek stabilisasi menghilang. Otot tak dapat mempertahankan kebutuhan yang terus menerus akan kontraktilitasnya untuk mempertahankan stabilitas dan suatu saat akan terjadi insufisiensi otot. Bila keadaan ini tercapai, perlu melakukan pemijatan dan fisioterapi dalam usaha mengembalikan otot kekeadaan semula. Pemijatan hanya sebagian dapat mempengaruhi otot-otot yang berkontraksi dan keras pada daerah lumbosakral. Tenaga yang lebih kuat diperlukan untuk merawat otot pinggang bawah. Terapi-elektro karenanya dilakukan lebih awal. Jenis-jenis pemijatan dan pengaruhnya telah dijelaskan dan disamping pemijatan klasik, pemijatan jet air dapat digunakan. Aliran air diarahkan tangensial terhadap pinggang dengan tekanan 1 hingga 2 atmosfir. Dengan cara ini otot pinggang paravertebral yang luas dan berkontraksi digerakkan tanpa perlu penekanan terhadap lordosis lumbar yang biasanya terjadi pada pemijatan tangan. Posisi penderita selama pemijatan penting. Posisi telungkup tak dapat dianjurkan karena lordosis lumbar akan bertambah dengan tekanan pemijatan dan karenanya pasien harus diletakkan telungkup pada penyangga karet busa yang memungkinkan pasien memfleksikan panggul dan tungkainya bersama-sama. 5. Terapi Elektro Ada beberapa cara dengan tujuan penyembuhan oleh energi listrik. Dengan miografi-elektro diperlihatkan bahwa pemijatan mempunyai efek merelaksasikan otot yang berkontraksi serupa dengan yang didapat melalui alat elektrik. Sindroma lumbar yang memerlukan pemijatan jangka panjang lebih baik ditindak dengan terapi- elektro yang akan menghemat tenaga maupun waktu. Berbagai arus dapat digunakan. Arus frekuensi tinggi menghasilkan panas pada jaringan dalam. Panjang gelombang terlalu pendek tidak akan merangsang sel. Frekuensi yang dianjurkan adalah 20.000 Hz yang disebut arus arsonal dan dipancarkan melalui diatermi dengan 3 X 106 Hz hingga gelombang pendek 5 X 107 Hz. Arus frekuensi rendah (15-250 Hz) mempunyai pengaruh pada sel dan arus searah digunakan pada galvanisasi serta arus bolak balik digunakan pada faradisasi. Pada fisika yang disebut frekuensi rendah adalah antara 1-5.000 Hz, namun pada keadaan biologik dibuktikan bahwa yang mempunyai nilai terapeutik adalah antara 15-250 Hz. Pada arus diadinamik terdapat perubahan antara frekuensi dan amplitudo yang berefek penghilang nyeri (Bernard 1955). Arus listrik digunakan secara bipoler dengan dua elektroda yang berarti bahwa energi maksimum akan dikonsentrasikan pada elektroda dan akan menurunkan pergerakan arus melalui jaringan. Kekuatan gelombang tinggi superfisisal dipancarkan lebih dalam dengan pengurangan pada jaringan menjadi kekuatan gelombang rendah. Pada peningkatan penggunaan arus, mungkin timbul nyeri. Pada degenerasi diskus intervertebral, hal tersebut tergantung pada arus dengan efek dalamnya. Pada saat ini tindakan elektrik terhadap pasien rawat jalan dapat dilakukan. Frekuensi menengah dan rendah digunakan sebagai arus interferensi. Ini secara keseluruhan berbeda bila dibanding dengan arus frekuensi rendah yang semula digunakan karena kesamaannya dengan frekuensi potensial elektrik yang terdapat pada jaringan. Pada terapi arus interferensi, arus frekuensi menengah sekitar 4.000 Hz diarahkan pada badan. Frekuensi tiap-tiap arus berbeda hingga 100 Hz. Masing- masing amplituda dan frekuensi akan dirubah oleh badan menjadi frekuensi yang mempunyai efek biologi. Satu keuntungan dengan arus interferensi adalah bahwa efeknya menjadi terpusat pada lapisan jaringan dalam dengan arus frekuensi rendah antara 0-100 Hz dan arus frekuensi menengah didalam jaringan permukaan, tanpa menyebabkan kerusakan apapun disini atau merangsang timbulnya nyeri pada kulit. Karenanya arus dapat diarahkan ke jaringan sasaran dalam frekuensi dan kekuatan yang disisi lain tak dapat dimasukkan secara langsung. Pada sindroma diskus intervertebral, lapisan otot yang lebih dalam serta segmen bergerak menjadi sasaran dari arus. Sistem saraf vegetatif akan terpengaruh dan secara sekunder pembuluh akan berdilatasi, dengan akibat penambahan sirkulasi jaringan dalam. Belum ada penelitian tentang efek suatu arus terhadap metabolisme diskus intervertebral. Namun demikian peningkatan sirkulasi jaringan disekeliling diskus intervertebral jelas memperbaiki metabolismenya. Penggunaan arus interferensi dalam pengobatan nyeri pinggang bawah saat ini meningkat melebihi beberapa pengobatan lainnya. 6. Terapi Manual Pada kebanyakan kelainan diskus intervertebral merupakan kontra-indikasi, terutama bila disebabkan oleh perpindahan jaringan diskus intervertebral. Tidak ada cara yang khas untuk memastikan apakah nyeri sakral berasal dari protrusi diskus intervertebral, otot lumbar atau sendi intervertebral. Karenanya tindakan ini tidak dianjurkan. Risiko timbulnya protrusi atau prolaps bisa timbul karena manipulasi yang berupa kifosis, inklinasi lateral atau torsi dari tulang belakang lumbar (Stoddard 1961, Maigne 1970). Pada protrusi yang besar, tenaga yang diperlukan untuk merobek ligamen longitudinal posterior tidak besar. Tindakan ini hanya diizinkan bila tahap akut sudah berlalu dan bila sudah diketahui bahwa mobilisasi sudah harus dilakukan serta adanya perbaikan dari keadaan otot. Perubahan tinggi diskus intervertebral akibat degenerasi berakibat perubahan posisi sendi-sendi ruas tulang belakang. Ini mungkin dapat diperbaiki dengan mobilisasi dikolam atau terapi manual. Kembalinya kekeadaan sendi yang normal adalah sasaran terpenting pada rehabilitasi penderita nyeri pinggang muda usia. 7. Traksi Hasil baik sering didapat pada terapi sindroma pinggang bawah dengan traksi. Tindakan ini seperti halnya terapi hidra semakin populer. Hasil yang baik telah dilaporkan banyak penulis sejak Erlacher (1951) hingga Ulrich (1974). Efek terapeutik traksi tergantung jumlah elemen yang terkena. Traksi tulang belakang lumbar termasuk pelebaran area intervertebral termasuk semua elemen fungsional segmen bergerak. Dengan terdapatnya penambahan volume diskus intervertebral (Kramer 1973), reduksi tekanan intra diskal hingga menormalkan fragmen diskus intervertebral yang mengalami dislokasi, merupakan faktor yang paling penting pada traksi. Armstrong (1965) menjelaskan efek isap sekunder karena traksi. Setelah traksi yang berhasil, mielogram tetap tak berubah. Hanya beberapa milimeter yang diperlukan merubah posisi antara diskus intervertebral yang mengalami perpindahan dan reseptor nyeri. Sekali edem berkurang, nyeripun berkurang dikarenakan cukup ruangan untuk radik saraf. Pada traksi, otot tulang belakang lumbar bereaksi refleks dengan berkontraksi dan tahanan otot tergantung pada elastisitas , tonus dan kontraksi otot. Reaksi refleks otot dapat dikurangi dengan melakukan traksi secara berkala. Miografi-elektro otot lumbar tidak dapat menjelaskan perubahan selama traksi (Rothenberg dan Sanford 1953). 8. Injeksi Lokal Umumnya terjadi perbaikan spontan pada degenerasi diskus inter-vertebral. Bagaimanapun rasa tidak enak dan nyeri dapat menetap atau meningkat. Bila mielografi atau operasi tidak akan dilakukan segera, injeksi lokal dan intradiskal terbukti memberikan hasil baik. Anestetik, antiflogistik dan anti-inflamatori mempengaruhi fungsi segmen lumbar. Sesuai keadaan anatomi, berbagai cara dapat digunakan. Anestetik lokal diberikan dekat tulang belakang (para-spinal) atau didaerah foramina intervertebral (paravertebral). Injeksi paraspinal lebih diutamakan untuk menginfiltrasi kapsula sendi intervertebral, otot pinggang dan ligamen intervertebral. Dengan cara ini spasme otot dapat diobati dan pada saat yang sama seluruh segmen bergerak akan dipengaruhi oleh rami dorsal saraf spinal yang telah diinfiltrasi. Kemungkinan perubahan pada pembengkakan inflamatori struktur saraf terbatas. Obat dapat disuntikkan kerongga epidural atau sub-arakhnoid. Injeksi dapat pula dilakukan pada diskus intervertebral. Injeksi Paravertebral Anestetik lokal dapat disuntikkan keforamina intervertebral. Saraf spinal dan ramus meningeal yang kembali kekanal spinal dapat dicapai dengan injeksi paravertebral, karenanya reaksi saraf dalam kanal spinal dapat diobati. Reischauer (1949 dan 1961) menyatakan bahwa merendam radik saraf bersangkutan dengan anestesi lokal akan mengurangi iritabilitas. Berbagai anestetik dapat digunakan, namun berguna untuk memakai yang mempunyai efek depot. Difusi akan berperan mempengaruhi radik saraf dan reseptor pada ligamen longitudinal posterior. Pada desensitisasi radik saraf harus dicegah lingkaran setan iritasi mekanik, pembengkakan inflamatori, serta konsekuensi yang diakibatkannya berupa iritasi karena penyempitan rongga yang berat. Injeksi Epidural Posterior Sumber rasa tidak enak dan gejala lainnya dicapai dengan memasukkan jarum kerongga epidural. Akar saraf dapat direndam oleh anestetik atau obat anti- inflamatori (Kortison), dan nyeri akibat perlekatan dan jaringan parut pasca operatif dapat dikurangi. Akar saraf berdekatan pada yang saat sama menjadi teranestesi akibat difusi suntikan dan tidak jarang terjadi paresis. Injeksi Epidural Kaudal Rongga paradural lumbosakral dicapai melalui inferior via hiatus sakral dengan jarum panjang. Digunakan bila bagian bawah pleksus sakral harus disuntik. Kehilangan sensibilitas terbatas pada daerah S3 dan S5 dan menimbulkan anestesia sadel. Cairan injeksi (kortiko- steroid) dapat mencapai daerah lebih tinggi bila pelvis ditinggikan. Injeksi Intratekal Terutama kortikosteroid. Dideposit pada rongga sub- arakhnoid lumbar. Difusi dalam kantung dura, dan akhirnya radik saraf dapat dicapai dan efek anti- flogistik serta anti edema juga tercapai. Keuntungannya obat tidak melalui sawar darah-cairan spinal hingga kadarnya dapat lebih tinggi dibanding pemberian oral atau parenteral. Indikasi utama adalah sindroma radik saraf khronik dan sindroma pasca diskotomi. Injeksi Intradiskal Berbeda dengan tindakan injeksi lainnya, disini injeksi dapat langsung beraksi pada jaringan diskus inter- vertebral. Dengan menyuntikkan suatu substansi khondrolitik atau penurun tekanan, dapat terjadi perubahan pada volume, perlunakan dan perpindahan jaringan diskus intervertebral. Jadi secara keseluruhan berbeda dengan cara penyuntikan lain. Penyuntikan diskus intervertebral lumbar merupakan tindakan terapeutik. Saat ini kepentingan klinik tertuju pada penyuntikan khimo-papain yang akan mendekomposisi kartilago. Proteoglikan akan terurai menjadi keratan sulfat khondroitin sulfat serta proteo-glikan sendiri. Depolimerisasi akibat rangsang kimia dari jaringan diskus intervertebral (khemonukleolisis) menyebabkan percepatan perubahan karena usia pada diskus inter- vertebral dengan membuang makromolekul diskus inter- vertebral. Bila terjadi kehilangan cairan dan material diskus intervertebral, terjadi kolaps dan penurunan tinggi intervertebral. Terjadi pengerutan, karenanya tekanan berkurang terhadap radik saraf (dibuktikan banyak penulis, Smith 1964 hingga Watts 1975). Hasil yang didapat 75% baik, 5% sedang dan 9% buruk. Komplikasi tersering adalah renjatan anafilaktik (Finnesson 1973). Bahkan dosis kecil khimopapain yang mencapai rongga sub-arakhnoid menyebabkan perdarahan terutama terjadi bila dilakukan infus intravena (Sheally 1967, Sussman 1972). Sudah dibuktikan bahwa khimopapain pada pemberian lokal menyebabkan nekrosis jaringan, kerusakan pembuluh, saraf dan otot. Setelah injeksi ekstradural, perubahan degeneratif dapat terjadi pada cord tulang belakang. Setelah pemberian khimopapain terjadi penurunan jarak intervertebral. Sendi-sendi intervertebral dan foramina inter-vertebral terkena dan menimbulkan gejala. Komplikasi menjadi serius pada 3.4% hingga sebagian ahli enggan menggunakannya (Smith dan Brown 1967). Harus selalu ingat bahwa bila melakukan penyuntikan intradiskal, jarum mungkin tidak mencapai sasaran yang benar. Ini menyebabkan disposisi obat ditempat salah atau obat mungkin bocor melalui perforasi anulus fibrosus kerongga epidural atau sub- arakhnoid dimana kemampuan melarutkan akan menyebabkan kerusakan. Karenanya obat yang disuntikkan harus aman mengingat jenis aksinya berhubungan dengan jaringan saraf. Ada obat lain dengan efek anti-inflamatori dan anti-edem yang dapat digunakan dengan lebih aman. Akhir-akhir ini digunakan Aprotinin (Trasylol) (Kramer 1974, Lindner 1975). Trasilol adalah polipeptida yang ditolerasi baik dalam dosis tinggi dan dapat digunakan intravena, intramuskuler atau intratekal. Reaksi alergik rendah (0.1%, Haberland dan Mitis 1967). Ia mempunyai daya gabung besar terhadap substansi dasar yang kaya khondroitin sulfat. Mukopolisakharida yang bertanggung jawab atas hidrasi jaringan diskus intervertebral dinetralkan oleh Trasylol (Torok 1972). Karenanya tekanan onkotik intradiskal berkurang (Kramer dan Laturnus 1975). B. Tindakan Bedah Dibanding jumlah pasien yang ditindak konservatif, sedikit sekali yang dioperasi. Operasi hanya dilakukan bila nyeri hebat tidak berkurang dengan tindakan konservatif. Jenis operasi yang paling sering dilakukan adalah membuang jaringan diskus intervertebral yang mengalami perpindahan yang menekan radik saraf dan disebut diskotomi. 1. Diskotomi Lumbar a. Indikasi Hasil operasi diskus intervertebral lumbar beragam, karenanya perlu dipikirkan dengan serius apakah pasien harus dioperasi atau dirawat konservatif. Indikasi absolut untuk operasi adalah sindroma kauda ekuina dengan hilangnya fungsi berak dan kencing. Bila operasi tak dilakukan dalam beberapa jam, kehilangan fungsi menetap akan terjadi. Pada paresis akut ekstensor kaki atau jari atau kuadriseps, diharuskan operasi segera. Bila ada kelemahan otot gluteal dan betis sebagai tanda sindroma S1, diskotomi tidak perlu, terutama bila gejala lainnya sangat ringan. Gangguan motor yang telah berlangsung lama tanpa gejala berat lainnya tidak pasti membaik dengan operasi karena dekompresi lambat radik saraf tidak akan mengurangi paresis. Tabel 4 Indikasi Operasi Diskus Intervertebralis Lumbar ------------------------------------------------------- A. Absolut 1. Sindroma kompresi kauda ekuina 2. Paresis akut otot-otot penting B. Relatif 1. Sindroma radik saraf yang berat dan terus- menerus serta intraktabel 2. Sindroma radik saraf khronik dengan distribusi nyeri dan tanda-tanda neurologik segmental 3. Serangan berulang nyeri pinggang bawah dan siatika dengan distribusi segmental tanda-tanda neurologik ------------------------------------------------------- Indikasi relatif adalah bila disamping tanda-tanda dan gejala-gejala objektif terdapat faktor penting lainnya yaitu durasi gejala, hasil tindakan sebelumnya, kondisi sosial, usia, kondisi mental penderita. Bila gejala menetap setelah 4-6 minggu tanpa tanda-tanda regresi, pasien umumnya meminta operasi. Nyeri dan deformitas menyebabkan pasien menghendaki tindakan yang dapat mengubah keadaan. Gejala lain seperti gangguan refleks dan hipestesi jarang mengganggu pasien. Syarat tindakan bedah adalah pasien telah menjalani tindakan konservatif termasuk istirahat tempat tidur ketat. Adalah mengherankan bahwa gejala berat akibat kompresi radik saraf dapat menghilang selama tindakan konservatif adekuat dalam waktu singkat. Bila tidak ada perbaikan dengan pasien ditempat tidur dan memakai analgesik terus menerus, operasi diindikasikan. Saat operasi paling sering dijumpai prolaps, atau fragmen diskus yang mengalami inkarserasi ditemukan dibawah selaput tipis dari anulus fibrosus dorsal atau dibelakang ligamen longitudinal posterior. Sindroma radik saraf khronik dengan gangguan neurologis ringan atau tanpa sama sekali adalah kasus perbatasan untuk jenis tindakan. Gejala-gejala radik dan nyeri sakral mungkin berkurang selama periode panjang dari tindakan konservatif namun bila tulang belakang menjadi subjek beban, gejala mungkin timbul lagi. Pada keadaan ini perlu dilihat apakah perbaikan mungkin didapat dengan tindakan konservatif termasuk injeksi lokal dan intra-diskal serta karenanya terjadi perbaikan dimana pasien dapat bekerja kembali. Keadaan sosial juga penting dan terutama bila bekerja dengan membebani tulang belakang. Karena komplikasi setelah operasi, indikasi operasi tidak boleh terlalu luas. Usia pasien harus dipikirkan dan pada penderita berusia lebih dari 60 tahun operasi hanya dilakukan pada kasus terpilih dan perbaikan spontan sering terjadi. Keputusan operasi pada kasus perbatasan adalah mielogram positif dan keinginan mutlak pasien. Walau setiap penentuan praoperatif sangat tergantung pada pemeriksaan diagnostik radiografik, hal ini bukanlah satu-satunya hal yang menentukan. Data klinik adalah sama pentingnya dalam membuat keputusan. Hakelius melaporkan hubungan antara temuan klinik dan temuan patologik operatif sebesar 63 persen. Hirsch dan Nachemson melaporkan hubungan antara tanda neurologik objektif dengan herniasi diskus sebesar 55 persen. Bila straight leg-raising test digabung dengan temuan neurologik objektif, ketepatan diagnostik meningkat hingga 86 persen. Bila mielografi larut air positif digabung dengan straight leg-raising test dan defisit neurologik objektif, ketepatan diagnostik meningkat hingga 95 persen. Penekanan yang berlebihan pada satu dari parameter tersebut dan mengabaikan dua lainnya akan berakibat kegagalan operatif. Atas hal tersebut, kegagalan terutama adalah karena faktor diagnostik dari pada tehnik. Harus selalu diingat bahwa hubungan yang erat harus ada antara temuan klinik objektif dengan temuan radiografik positif dimana yang pertama adalah penyebab dari yang terakhir. Tanpa tiadanya korelasi, tidak dapat dipastikan apakah suatu kelainan radiografik adalah penyebab gejala. Temuan radiografik positif pada penderita tanpa gejala disebut "false positive". Istilah ini tidak seluruhnya benar karena yang betul- betul "false positive" menunjukkan betul-betul tiada kelainan dan harus dibuktikan dengan eksplorasi operatif yang negatif. b. Kontra-indikasi Diperoleh sekunder dari indikasi. Nyeri sakral terus menerus tanpa penjalaran bukanlah indikasi operasi diskus intervertebral. Pada keadaan ini dilakukan fusi. Diskotomi hanya dilakukan bila diagnosis sudah tegak. Tes laboratori seperti laju endap darah serta perubahan radiologi harus benar-benar dianalisa sebelum operasi. Siatika berat dapat disebabkan tumor atau spondilitis. Pada sindroma radik yang belum jelas, analisis harus hati-hati dilakukan hingga trauma operasi tak harus terjadi pada laminektomi yang tidak perlu. Mencegah operasi dianjurkan pada diagnosis yang belum betul-betul jelas karena sindroma pascaoperasi yang parah bisa terjadi. Ini berlaku juga pada " hipokhondriak tulang belakang ". Operasi tidak akan memecahkan masalah dan dikatakan :"Jangan sekali-kali melakukan operasi pada penderita yang dalam perawatan psikhiatrik". Tabel 5 Kontraindikasi Diskotomi Lumbar ----------------------------------------------------------------- Nyeri pinggang bawah tanpa penjalaran Diagnosis yang belum tegak Pasien tidak berkehendak Hipokhondriak tulang belakang ----------------------------------------------------------------- Secara diagnostik kasus ini dapat ditemukan karena perbedaan yang besar antara gejala subyektif dan tanda-tanda obyektif. Pasien kelompok B (tabel 4) dan tidak merasa perlu untuk dioperasi jangan dibujuk karena sangat kecil jaminan yang dapat diberikan atas perbaikan yang sempurna dan harus dijelaskan bahwa setelah operasi keadaan mungkin tetap atau malahan memburuk. c. Pemberitahuan Kepada Pasien Sebelum operasi diharuskan memberitahukan pada penderita bahwa operasi hanya mengobati siatika dan kelainan diskus intervertebral tetap ada serta akan memberi gejala yang sama seperti sebelumnya. Juga diberitahu akan rasa tidak nyaman dan nyeri dapat timbul lagi tidak hanya dari segmen berdekatan namun juga dari segmen yang dioperasi. Dengan mengabaikan kenyataan bahwa kumatnya gejala mungkin terjadi setelah tindakan konservatif maupun operatif, tidak berarti bahwa penolakan harus dilakukan terhadap kedua jenis tindakan tersebut. Karena komplikasi mungkin timbul akibat operasi, harus diberitahukan bahwa cedera operasi mungkin mengenai radik saraf dan dura. Mungkin juga hambatan penyembuhan luka atau akibat dari anestesi. Kadang-kadang pembuluh besar abdominal mengalami perforasi. 106 dari 3000 ahli bedah saraf dan bedah tulang pernah mengalaminya (De Saussure 1959). d. Diskotomi Lumbar Pengangkatan fragmen diskus intervertebral yang mengalami dislokasi adalah operasi standard. Operasi dapat dilakukan pada posisi miring atau telungkup. Anestesi umum dengan intubasi. Posisi terbaik antaranya adalah telungkup pada lutut yang ditekuk. Posisi ini menyebabkan beberapa hambatan bagi anestetis, namun dapat mempertahankan venous return serta juga respirasi abdominal dan dada yang normal. Analisa gas darah serta tekanan vena sentral tidak menunjukkan perbedaan terhadap nilai normal (Ghazvinian dan Kramer 1974). Kifosis maksimal tulang belakang lumbar dan penurunan kecenderungan atas perdarahan epidural memberikan kondisi operasi yang baik. Kulit disayat diatas prosesus spinosus tulang belakang lumbar bagian bawah. Fasia disayat serta otot lumbar disisihkan dan diretraksi. Arkus ruas tulang belakang dicapai dan kanal spinal dicapai melalui ligamen flavum yang dibuka. Disebut flavektomi atau fenestrasi. Dalam usaha mendapatkan radik saraf lebih jelas, adakalanya perlu membuang sebagian arkus ruas tulang belakang (laminotomi) atau membuang in toto pada satu sisi (hemi laminektoni). Kemampuan biomekanik tulang belakang lumbar tidak terganggu oleh laminektomi sepanjang sendi-sendi intervertebral tetap intak. Pembuangan arkus tulang belakang tidak merubah perjalanan kelainan diskus intervertebral degeneratif (Schulitz 1970, Finnesson 1973). Mikroskop operasi menyederhanakan dan memperbaiki teknik operasi, namun perlu betul-betul menentukan lokasi prolaps pra-operatif. Akar saraf diretraksi dan jaringan diskus inter- vertebral yang prolaps atau membengkak dibuang. Fragmen mengandung baik nukleus pulposus, anulus fibrosus dan tulang rawan. Setelah prolaps dibuang, jaringan diskus intervertebral yang mengalami fragmentasi juga dibuang dalam usaha mengurangi rekurensi. Bagian posterior diskus intervertebral mungkin dibuang secara radikal, namun ini tidak penting. Penggantian jaringan yang dibuang dengan implan buatan tidak memberi keuntungan. Defek akibat operasi pada saatnya menyembuh dengan jaringan parut. e. Komplikasi Sedikit pada operasi diskus intervertebral. Menurut Oppel dan Schramm (1976) sekitar 0.29%. Tidak ada kasus dari lesi kauda. Disamping komplikasi anestesi, masalah penyembuhan luka dan trombo-embolisme pasca operatif yang biasa terjadi pada operasi, ada komplikasi khusus diskotomi namun jarang terjadi. Adalah lesi radik saraf, kauda dan dura intra-operatif yang kelak dapat menyebabkan meningokel atau sinus cairan spinal. Salah satu komplikasi serius adalah perforasi pembuluh besar abdominal seperti arteri dan vena iliak. Bila terjadi, balikkan pasien, lakukan laparotomi, rawat pembuluh tersebut. f. Perawatan Pasca Operatif Profilaksi umum terhadap kemungkinan trombo-embolisme adalah mobilisasi segera yang dimulai hari kedua atau ketiga pasca operasi. Kemampuan biomekanik segmen tidak boleh terganggu dan pembebanan aksial tulang belakang sangat berbahaya, namun tidak ada kontraindikasi mobilisasi segera. Bila pengangkatan radikal dari diskus intervertebral dilakukan, dianjurkan mobilisasi dan pembebanan dilakukan bertahap dan menggunakan penyangga ketiak seta bebat traksi. Inklinasi lateral dan kifosis tulang belakang lumbar harus dicegah karena penyembuhan luka akan terganggu. Pasien harus bergerak seperti tahap awal lumbago akut dengan tulang belakang lumbar yang terfiksasi, dan fisioterapis mengajar pasien bagaimana melakukan gerakan selama awal masa pasca operasi. Karena kifosis lumbar tak tercegah saat duduk, maka tidak diizinkan duduk kecuali pada posisi bersandar 450. Bila jahitan sudah diangkat, penderita bergerak lebih aktif dan bila luka sudah lebih kuat gerakan ditingkatkan lagi. Pada operasi diskus inter- vertebral yang sangat luas, penderita dimobilisasi dengan bantuan pengikat pelvik. g. Hasil Bervariasi. Terdapat perbedaan indikasi serta penilaian sangat subjektif. Tingkat keberhasilan berdasar pengurangan gejala radikular. Hasil menggembirakan (sangat baik, baik, sedang) dijumpai pada 80%-90%. Hasil buruk pada 10%. Gejala radikular menetap diakibatkan: 1. Usia: penambahan usia memperburuk hasil. 2. Riwayat penyakit: riwayat gejala singkat memberikan hasil lebih baik dibanding yang sudah berjalan beberapa tahun. 3. Temuan operatif: prolaps masif yang dapat dibuang akan memberi hasil lebih baik dibanding protrusi atau pembengkakan kecil dari jaringan diskus intervertebral. Rasa tak enak dan nyeri karena degenerasi diskus intervertebral tak dapat dihilangkan oleh diskotomi. Kebanyakan pasien mengalami pengulangan nyeri sakral dan akan memberat pada saat mengangkat beban, menarik dan membungkuk. Thomalaske (1977) melaporkan bahwa faktor psikis menyebabkan pasien cenderung mengalihkan nyeri yang dideritanya sebagai akibat operasi. Spangfort (1972) membuktikan bahwa hasil berkaitan dengan temuan operasi. Pengangkatan prolaps total memberikan hasil terbaik. Siatika yang disebabkan protrusi atau pembengkakkan akan memberikan hasil baik pada 40-65%. Disimpulkan bahwa tindakan konservatif harus diambil selama mungkin sebelum suatu operasi diputuskan. Spangfort juga menemukan bahwa derajat herniasi diskus merupakan faktor yang paling penting yang menentukan hasil operasi setelah diskektomi. Secara spesifik, pasien dengan herniasi sangat besar yang pasti menyebabkan penekanan neural, mempunyai kesempatan atas hilangnya siatika secara lengkap sebesar 90.3 persen setelah diskektomi dan setidaknya 99.5 persen berkesempatan untuk pulih sebagian, disaat lain pada penderita dengan eksplorasi negatif hanya mempunyai kesempatan 38.4 persen untuk mendapatkan adanya perbaikan. Dari hal tersebut jelas bahwa faktor kunci dalam menduga hasil operasi adalah kompresi neural yang pasti, yang akan diuntungkan oleh operasi dekompresif. h. Rasa Tidak Nyaman Pasca Operatif - Sindroma Pasca Diskotomi Hanya kadang-kadang pasien terbebas secara sempurna dari gejala setelah operasi diskus intervertebral (tabel 6). Disamping nyeri dari luka, juga tersisa nyeri dari sindroma radik saraf. Gejala radik menetap yang serupa dengan gejala sebelum operasi menandakan efek penyebab dari tekanan mekanik. Hipestesi, refleks dan gangguan motor akan pulih dalam beberapa bulan. Tabel 6 Penyebab Nyeri yang Menetap atau Berulangnya Siatika setelah Operasi Diskus Intervertebral Lumbar ----------------------------------------------------------------- Dekompresi radik saraf tidak cukup Berulangnya prolaps pada segmen yang sama Prolaps atau protrusi pada segmen lain Sindroma pasca diskotomi Infeksi dalam ----------------------------------------------------------------- Gejala lain pada sindroma pasca diskotomi adalah tanda-tanda dari sistem vegetatif seperti kehilangan temperatur (tungkai siatik dingin) dan perubahan sirkulasi dan juga kram betis, yang timbul sebagai bagian dari sindroma S1. Sebagai pegangan, gejala dapat hilang spontan dan dapat diobati dengan berhasil secara stimulasi elektrik dan blok simpatetik lumbar. Ada beberapa alasan untuk timbulnya nyeri radik saraf dan deformitas, yang bisa menetap atau hilang setelah diskotomi. Bila dekompresi radik tidak sempurna, nyeri pasca operasi akan timbul. Alasan lain untuk nyeri pasca operasi adalah gagalnya mengenal tingkat yang tepat, infeksi dalam dan diskitis yang khas dengan peninggian suhu dan akhirnya dapat diperlihatkan secara radio-grafi. Lebih lanjut, berulangnya prolaps mungkin menyebabkan nyeri pasca operasi dan pembentukan perlengketan yang menyebabkan reoperasi menjadi sulit. Timbulnya prolaps atau protrusi pada segmen yang bukan dioperasi bukanlah karena operasi primer. Keadaan tersebut didiagnosa dengan mielografi dan pada operasi yang berhasil. Satu kelompok yang perlu perhatian khusus adalah menetapnya rasa tidak enak atau nyeri pasca operasi. Disebut sindroma pasca diskotomi, dikarenakan perlengketan serta jaringan parut pada radik-radik saraf dan dura. Arakhnoiditis lokal pasca operasi mungkin timbul dan menurut Burton (1977) dibagi empat tahap yang tumpang tindih: 1. radikulitis, 2. arakhnoiditis, 3. arakhnoiditis adhesif tahap 1, 4. arakhnoiditis adhesif tahap 2. Rongga subarakhnoid dan epidural menjadi massa jaringan parut yang besar yang akhirnya menyebabkan iritasi terus menerus terhadap radik-radik saraf. Ini meninggikan kepekaan terhadap gangguan mekanik. Makin banyak manipulasi selama operasi, makin luas reaksi jaringan akan terjadi. Teknik operasi karenanya harus teliti dan perdarahan harus ditekan dengan koagulasi- elektro sebaik mungkin. Teknik operasi yang baik akan mengurangi risiko sindroma pasca operasi walau tidak menghilangkannya sama sekali. Sindroma pasca diskotomi khas dengan penjalaran nyeri bilateral poliradikuler dan hipestesi. Sedikit membungkuk dengan kifosis tulang belakang lumbar akan memperberat nyeri dan deformitas. Perlengketan yang terbentuk antara kantung dura, radik-radik saraf dan kanal spinal hanya memungkinkan gerakan bebas nyeri yang terbatas. Pita jaringan ikat bekerja seperti gergaji terhadap radik saraf. Mielografi menunjukkan jaringan ikat yang mempersempit kantung dura. Kantung radik melekat pada radik saraf dan tidak dapat diperlihatkan. Tidak ada indentasi lokal terhadap medium kontras hingga akan merupakan kontra-indikasi diskotomi kedua pada tingkat bersangkutan. Pada pasien muda sehat dengan sindroma pasca diskotomi, menimbulkan masalah sulit karena tindakan konservatif sering gagal dan pasien kesulitan kembali pada pekerjaannya. Oppel dan Schramm (1976) menemukan bahwa pada penderita dengan komplikasi pasca operasi ditemukan sejumlah besar kelainan psikik yang tak tampak sebelum operasi namun tampaknya dirangsang oleh penyakitnya serta tindakannya. Operasi untuk sindroma pasca diskotomi seperti laminektomi luas, membersihkan radik saraf dari jaringan parut, neurolisis, membawa bahaya akan terbentuknya jaringan parut lebih lanjut dengan berlanjutnya rasa tidak enak dan nyeri. Umumnya rencana tindakan yang paling diterima adalah neurolisis digabung dengan tandur lemak pedikel (Gill 1979). C. Fusi Pada diskotomi penekanan pada radik saraf dibuang. Komponen lain kelainan diskus intervertebral tidak dipengaruhi oleh tindakan ini hingga ketidakstabilan intervertebral tetap adanya, yang mungkin menimbulkan gejala. Tujuan pengobatan adalah membuat stabilisasi tulang belakang yang dapat dicapai dengan fusi. Indikasi dan tehnik fusi lumbar untuk kelainan diskus inter-vertebral degeneratif berubah dalam tiga dekade terakhir. Mula-mula fusi merupakan prosedur umum namun karena hasilnya tidak terlalu baik karena tingginya tingkat nonunion, spondilodesis dikombinasikan dengan eksplorasi radik saraf. Spondilodesis adalah tindakan sekunder khusus pada sindroma diskus inter-vertebral. Pengangkatan jaringan diskus intervertebral yang berpindah atau melunak juga menjadi prosedur yang dianjurkan dalam hubungannya dengan dekompresi radik saraf, dan fusi menjadi prosedur sekunder. Adalah mengherankan bahwa setelah eksisi radikal diskus intervertebral dan dengan segmen yang tak stabil, sedikit rasa tidak enak yang timbul setelah operasi. Lagipula pada pasien dengan spondilodesis yang gagal, kebebasan sempurna dari rasa nyeri dan tidak enak dapat disaksikan, dan penderita dengan fusi berhasil sempurna mungkin tetap menderita nyeri. Kesimpulannya diduga setelah diskotomi prognosisnya adalah tanda tanya. Indikasi fusi lumbar (tabel II.7) adalah nyeri sakral terus menerus dan tak tertanggungkan, dengan peningkatan ketidak-stabilan segmen objektif. Nyeri dapat dikurangi dengan cast plastik yang baik. Nyeri sakral menetap setelah diskotomi adalah tanda ketidakstabilan segmen akibat degenerasi diskus intervertebral dan pengangkatan operatif diskus intervertebral. Osteo-arthrosis mungkin timbul pada segmen. Keadaan ini dapat timbul bila pada hemilaminektomi bagian medial sendi intervertebral dibuang. Mungkin juga didapat osteo-artrosis yang terbatas pada sendi intervertebral lumbar (spondilo- arthrosis) dengan nyeri pinggang bawah dan pada tiap keadaan ini fusi diindikasikan. Sebagai pembantu diagnosis, sendi dapat disuntik dengan anestetik lokal dimana nyeri khas akan hilang. Tabel 7 Indikasi Fusi pada Sindroma Lumbar ------------------------------------------------------- Nyeri sakral hebat menetap pasca diskotomi Segmen takstabil serta nyeri yang diakibatkannya Osteokhondrosis serta spondilosis dengan nyeri pinggang bawah berat ------------------------------------------------------- Bila siatika diakibatkan prolaps atau prolaps yang berulang setelah diskotomi, fusi tidak diindikasikan, namun kemudian hari mungkin menjadi tindakan satu-satunya. Ini harus digabung dengan eksplorasi radik saraf. Tidak perlu dikatakan bahwa operasi harus didahului mielografi. Hanya pada kasus-kasus tersebut operasi dilakukan, dimana kanal spinal dapat dibuka, tanpa bahaya yang terlalu besar. Beberapa tehnik sudah dikemukakan untuk fusi lumbar. Albee (1911) menganjurkan tandur tibial. Bosworth (1945) menganjurkan tandur clothes-peg (tandur H). Tehnik ini sering berakibat nonunion. Spondilodesis anterior intercorporal seperti yang dianjurkan Harmon (1963) tidak memungkinkan eksplorasi kanal spinal secara bersamaan. Prosedur yang diterima tampaknya adalah fusi interkorporal posterior menurut Cloward (1953, 1963), Schmorl dan Junghanns (1968), Finneson (1973), Hohmann (1974) dan Exner (1974). Setelah hemilaminektomi, diskus intervertebral diinsisi serta tandur cortico- cancellous dari krista iliaka dapat diinsersikan kedalam ruas tulang belakang . Aspek posterior ruas tulang belakang harus diperlebar. Terdapat kesulitan teknis pada tindakan ini karena daerah yang sangat sempit dan tidak memungkinkan untuk menarik dura dan radik saraf. Beberapa tahun terakhir, fusi lateral dengan tandur cancellous bone menjadi populer (Wiltse 1968, De Palma dan Rothman 1970, McNab dan Dall 1971, Mau 1974, Brussatis 1976). Diperkirakan fusi yang cepat pada operasi skoliosis dengan tandur cancellous bone memberikan kegunaan yang sama pada fusi tulang belakang lumbar. Cancellous bone digunakan diatas prosesus transversus dan mencakup artikulasi intervertebral. Karenanya menjadi blok tulang yang memanjang diatas sendi dan prosesus transversus. Revaskularisasi dan reosifikasi pada daerah ini lebih baik dari aspek medial arkus ruas tulang belakang. Daerah posterolateral lebih baik sebagai tempat fusi karena berbagai alasan: 1. Selama operasi terdapat kesempatan membuka kanal spinal dan bisa melihat radik saraf serta juga untuk membuang jaringan diskus intervertebral. Fusi dapat dilakukan walau pada laminektomi. 2. Nyeri yang dikira akibat mobilitas segmen berkurang dengan stabilisasi dan terutama atas foramina inter- vertebral. 3. Stabilitas lebih masuk akal dari pada spondilodesis interkorporal. Polster dan Hoefert (1974) memperlihatkan pada percobaan bio-mekanik bahwa spondilodesis postero- lateral memberikan stabilitas terbaik. Tingkat terjadinya pseudo-artrosis sangat kecil bila dibandingkan dengan metoda fusi lain (McNab dan Dall 1971). Karena hanya satu segmen yang berfusi, seperti misalnya lumbosakral, pasien bisa keluar dari tempat tidur pada hari ketiga setelah operasi tanpa fiksasi apapun. Namun pasien harus bangkit "en bloc" hingga tulang belakang lumbar tidak kifosis (Mau 1974). Duduk pada kursi yang dalam dan tidak nyaman tidak diperkenankan. Bila beberapa segmen difusikan, pasien harus memakai cast plester. Brace ini harus dipakai hingga fusi terjadi, biasanya memakan waktu 3-4 bulan. Setelah fusi pasien harus memulai aktifitas secara bertahap perlahan karena pada setiap sisi fusi stres mekanik meninggi, dan rasa nyeri serta tidak enak mungkin bertambah pada daerah ini. Spondilodesis adalah rantai terakhir sepanjang rantai terapeutik dan diharap memenuhi semua harapan yang sangat optimistis. PROFILAKSI DAN REHABILITASI PADA SINDROMA DISKUS INTERVERTEBRALIS LUMBAR Setelah mendapatkan sejumlah keberhasilan pengobatan gangguan fungsional sistem lokomotif, perlu mempertahankan hasil yang didapat dari berbagai prosedur dengan mencegah terjadinya kembali protrusi jaringan diskus intervertebral. Tulang belakang dipertahankan pada posisi netral hingga pergeseran intradiskal yang baru dapat dicegah. Diatas itu semua, berulangnya iritasi mekanik atas radik saraf harus dicegah. Perlu mendapatkan ko-operasi baik dari pasien. Pasien selama fase pertama rehabilitasi harus dicegah mengangkat objek yang berat serta mengangkat saat membungkuk dan juga mencegah gerakan torsi tulang belakang. Fleksi kedepan tulang belakang lumbar tidak diperbolehkan. Pada tulang belakang yang lurus diskus intervertebral lumbar akan dibebani setangkup sehingga risiko dari lesi yang baru dapat dicegah. Dengan pembatasan pergerakan, tulang belakang lumbar menjadi distabilkan dan terpaku pada pelvis oleh otot spinal dan karenanya tidak mudah ditekuk hingga lebih berperan sebagai pilar penyangga. Mempertahankan suatu posisi posterior yang tidak menyenangkan mungkin berakibat berulangnya gejala dan karenanya perlu menyarankan agar penderita tetap pada posisi berbaring, berdiri dan duduk yang benar. Pada kelainan diskus intervertebral degeneratif tak dapat diperkirakan bahwa jaringan akan menjadi stabil sendiri secara cepat serta spontan. Stabilisasi eksternal harus dilakukan. Jaringan diskus inter- vertebral yang mengalami degenerasi dipertahankan dalam keadaan setenang mungkin, dan menurut Schmorl dan Junghanns (1968) stres mekanikal yang memperberat harus disingkirkan. Dalam mencegah agar segmen tidak mengalami dislokasi lagi serta jaringan intradiskal tidak bergeser lagi, perlu menstabilkan segmen secara aktif dan pasif. Secara pasif dapat digunakan ortoses, namun stabilisasi lebih lanjut dapat dengan penguatan otot-otot. Fisioterapi berperan penting dalam profilaksi dan rehabilitasi sindroma lumbar.