3. PENGELOLAAN CEDERA KEPALA
Cedera Kepala Ringan
Definisi: Pasien bangun, dan mungkin bisa berorientasi.
Pengelolaan:
1. Riwayat: Jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesa-
daran, amnesia, nyeri kepala
2. Pemeriksaan umum untuk menegakkan cedera sistemik
3. Pemeriksaan neurologis
4. Radiografi tengkorak
5. Radiografi servikal dan lain-lain atas indikasi
6. Kadar alkohol darah serta urin untuk skrining toksik
7. CT scan idealnya dilakukan bila didapatkan tujuh per-
tama dari kriteria rawat
Kriteria Rawat:
1. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)
2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
3. Penurunan tingkat kesadaran
4. Nyeri kepala sedang hingga berat
5. Intoksikasi alkohol atau obat
6. Fraktura tengkorak
7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
8. Cedera penyerta yang jelas
9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung-
jawabkan
10. CT scan abnormal
Dipulangkan dari UGD:
1. Pasien tidak memiliki kriteria rawat
2. Beritahukan untuk kembali bila timbul masalah dan
jelaskan tentang 'lembar peringatan'
3. Rencanakan untuk kontrol dalam 1 minggu
Majoritas pasien yang datang ke UGD dengan cedera
kepala berada pada kategori ini. Pasien dalam keadaan
bangun saat diperiksa dokter namun mungkin amnestik a-
tas kejadian sekitar saat cedera. Mungkin terdapat ri-
wayat kehilangan kesadaran sebentar, yang biasanya su-
lit untuk dipastikan. Hal tersebut mungkin dikacaukan
oleh alkohol atau intoksikans lain.
Kebanyakan pasien dengan cedera kepala ringan akan
menuju pemulihan tanpa disertai hal-hal yang berarti,
terkadang dengan sekuele neurologis yang sangat ringan.
Namun sekitar 3% pasien secara tidak disangka memburuk
dan gawat neurologis bila kelainan status mentalnya ti-
dak diketahui secara dini. Dalam menghadapi hal ini,
pertentangan klasik antara keefektifan biaya dan tin-
dakan terbaik yang mungkin diberikan betul-betul ber-
laku. Namun tindakan yang dibawah ini optimal untuk
pasien dengan cedera kepala ringan.
Sinar-x tengkorak dilakukan untuk mencari keadaan:
fraktura tengkorak linear atau depressed, posisi kelen-
jar pineal bila mengalami kalsifikasi, level air-udara
dalam sinus, pneumosefalus, fraktura fasial, dan benda
asing. Permintaan rutin radiografi sinar-x tengkorak
untuk pasien dengan cedera kepala minor, untuk mengu-
rangi pemeriksaan yang bernilai rendah, mengikuti panel
yang dirancang berdasarkan pada tingkat risiko:
1. Untuk kelompok dengan risiko rendah, dengan tanda-
tanda dan gejala-gejala awal minimal seperti nyeri
kepala, pusing, atau laserasi scalp, dianjurkan di-
pulangkan kelingkungan yang dapat dipertanggung-ja-
wabkan untuk pengamatan, dengan tidak memerlukan ra-
diografi tengkorak.
2. Untuk kelompok dengan risiko sedang, dengan tanda-
tanda awal seperti muntah, intoksikasi alkohol atau
obat, amnesia posttraumatika, atau tanda-tanda ada-
nya fraktura basilar atau depressed, tindakan yang
dianjurkan termasuk peningkatan pengamatan ketat,
pertimbangan untuk CT scan atau radiografi foto po-
los serta konsultasi bedah saraf.
3. Untuk kelompok dengan risiko tinggi, dengan gejala-
gejala awal paling serius seperti tingkat kesadaran
yang tertekan atau menurun, tanda-tanda neurologis
fokal atau cedera tembus, dilakukan konsultasi bedah
saraf dan CT scan emergensi.
Sekitar 75% pasien termasuk kelompok risiko rendah, 23%
kelompok risiko sedang dan 2% kelompok risiko berat.
Jadi berdasar panel tersebut sekitar tiga perempat pa-
sien dengan cedera kepala tidak memerlukan sinar-x
tengkorak. Panel tersebut menekankan bahwa arahannya
tidak berarti menyingkirkan pertimbangan klinis. Sela-
in itu beratnya cedera umumnya berbeda dari rumah-sakit
kerumah-sakit lainnya.
Fraktura yang ditemukan berragam sesuai beratnya
cedera, 3% dari pasien UGD dengan cedera kepala ringan
(jadi tidak dirawat) hingga 65% pada pasien dengan ce-
dera kepala berat. Kalvaria terkena tiga kali lebih se-
ring dari pada basis. Harus diingat bahwa fraktura ba-
sal sering tidak tampak pada foto tengkorak pertama.
Tanda klinis basis yang fraktura, hematoma orbital,
rhinorrhea atau otorrrhea CSS, hemotimpanum, atau tan-
da Battle, harus dianggap bukti adanya fraktura basal
dan mengharuskan pasien untuk dirawat.
Idealnya, CT scan harus dilakukan pada semua pasi-
en, walau dalam prakteknya serta biayanya, tidak mung-
kin pada kebanyakan rumah-sakit. Bila pasien bangun
sempurna dan alert serta dapat berada dibawah pengawas-
an selama 12-24 jam, pemeriksaan ini dapat ditunda atau
bila perlu dibatalkan. Dianjurkan, sehubungan dengan
kapan CT scan dilakukan pada pasien cedera kepala ri-
ngan, CT scan tetap diusahakan. Walau jarang, bisa ter-
jadi pada pasien dengan CT scan pertama yang normal,
berkembang lesi massa beberapa jam kemudian. Pengamatan
neurologis ketat dilakukan oleh petugas yang peka ter-
hadap kemungkinan perburukan, yang tanpa keraguan dalam
menghadapi setiap kemungkinan perubahan yang terjadi.
Tulang belakang servikal serta bagian lainnya ha-
rus disinar-x bila ada nyeri atau tenderness. Tidak ada
obat-obatan yang dianjurkan kecuali analgesik non nar-
kotik seperti Tylenol (parasetamol). Toksoid tetanus
diberikan bila terdapat luka terbuka. Tes darah rutin
biasanya tidak perlu bila tidak ada cedera sistemik.
Kadar alkohol darah dan skrining toksin urin mungkin
diindikasikan untuk keperluan medikolegal.
Cedera kepala ringan dengan CT scan normal dapat
dipulangkan bila ada yang bertanggung jawab dalam peng-
awasan dirumah dan dengan menyertakan 'lembar peringat-
an' untuk menempatkan pasien dalam pengamatan ketat se-
kitar 12 jam dan membawa pasien kembali bila sesuatu
terjadi. Bila tidak memiliki relasi yang dapat bertang-
gung-jawab, pasien tetap di UGD selama 12 jam dengan
pemeriksaan neurologis setiap setengah jam dan kemudian
dipulangkan bila tampak stabil.
Bila ditemukan lesi pada CT scan, pasien harus di-
rawat dan dikelola sesuai perjalanan neurologisnya pada
hari-hari berikutnya. CT scan berikutnya dilakukan se-
belum pasien dipulangkan, atau lebih awal bila terjadi
perburukan neurologis.
Cedera Kepala Sedang
Definisi: Pasien mungkin konfusi atau somnolen namun
tetap mampu untuk mengikuti perintah sederhana (SKG 9-
12).
Pengelolaan:
Di Unit Gawat Darurat:
1. Riwayat: jenis dan saat kecelakaan, kehilangan ke-
sadaran, amnesia, nyeri kepala
2. Pemeriksaan umum guna menyingkirkan cedera sistemik
3. Pemeriksaan neurologis
4. Radiograf tengkorak
5. Radiograf tulang belakang leher dan lain-lain bila
ada indikasi
6. Kadar alkohol darah dan skrining toksik dari urin
7. Contoh darah untuk penentuan golongan darah
8. Tes darah dasar dan EKG
9. CT scan kepala
10. Rawat untuk pengamatan bahkan bila CT scan normal
Setelah dirawat:
1. Pemeriksaan neurologis setiap setengah jam
2. CT scan ulangan hari ketiga atau lebih awal bila a-
da perburukan neurologis
3. Pengamatan TIK dan pengukuran lain seperti untuk ce-
dera kepala berat akan memperburuk pasien
4. Kontrol setelah pulang biasanya pada 2 minggu, 3 bu-
lan, 6 bulan dan bila perlu 1 tahun setelah cedera
Walau pasien ini tetap mampu mengikuti perintah seder-
hana, mereka dapat memburuk secara cepat. Karenanya ha-
rus ditindak hampir seperti halnya terhadap pasien ce-
dera kepala berat, walau mungkin dengan kewaspadaan
yang tidak begitu akut terhadap urgensi.
Saat masuk UGD, riwayat singkat diambil dan
stabilitas kardiopulmonal dipastikan sebelum menilai
status neurologisnya. Tes darah termasuk pemeriksaan
rutin, profil koagulasi, kadar alkohol dan contoh untuk
bank darah. Film tulang belakang leher diambil, CT scan
umumnya diindikasikan. Pasien dirawat untuk pengamatan
bahkan bila CT scan normal.
Cedera Kepala Berat
Definisi: Pasien tidak mampu mengikuti bahkan perintah
sederhana karena gangguan kesadaran.
Pengelolaan:
Di Unit Gawat Darurat
1. Riwayat:
Usia, jenis dan saat kecelakaan
Penggunaan alkohol atau obat-obatan
Perjalanan neurologis
Perjalanan tanda-tanda vital
Muntah, aspirasi, anoksia atau kejang
Riwayat penyakit sebelumnya, termasuk obat-obatan
yang dipakai serta alergi
2. Stabilisasi Kardiopulmoner:
Jalan nafas, intubasi dini
Tekanan darah, normalkan segera dengan Salin
normal atau darah
Foley, tube nasogastrik kateter
Film diagnostik: tulang belakang leher, abdomen,
pelvis, tengkorak, dada, ekstremiras
3. Pemeriksaan Umum
4. Tindakan Emergensi Untuk Cedera Yang Menyertai:
Trakheostomi
Tube dada
Stabilisasi leher: kolar kaku, tong Gardner-Wells
dan traksi
Parasentesis abdominal
5. Pemeriksaan Neurologis:
Kemampuan membuka mata
Respons motor
Respons verbal
Reaksi cahaya pupil
Okulosefalik (dolls)
Okulovestibular (kalorik)
6. Obat-obat Terapeutik:
Bikarbonat sodium
Fenitoin(?)
Steroid (???)
Mannitol
Hiperventilasi
7. Tes Diagnostik: (desenden menurut yang diminati)
CT scan
Ventrikulogram udara
Angiogram
Di Unit Perawatan Intensif (UPI/ICU)
Lihat diagram
Kelompok ini terdiri dari penderita yang tidak mampu
mengikuti perintah sederhana bahkan setelah stabilisa-
si kardiopulmonal. Walau definisi tersebut memasukan
cedera otak dalam spektrum yang luas, ia mengidentifi-
kasikan kelompok dari penderita yang berada pada risiko
maksimal atas morbiditas dan mortalitas. Pendekatan
'tunggu dan lihat' sangat mencelakakan dan diagnosis
serta tindakan tepat adalah paling penting. Pengelola-
an pasien dibagi lima tingkatan: (1) stabilisasi kar-
diopulmoner, (2) pemeriksaan umum, (3) pemeriksaan neu-
rologis, (4) prosedur diagnostik, dan (5) indikasi ope-
rasi.
Stabilisasi Kardiopulmoner
Cedera otak sering diperburuk oleh kerusakan sekunder.
Miller melaporkan pasien dengan cedera otak berat yang
dinilai saat masuk UGD, 30% dalam hipoksemik (PO2 < 65
mmHg), 13% dengan hipotensif (TD sistolik < 95 mmHg),
dan 12% dengan anemik (hematokrit < 30%). Diperlihatkan
bahwa hipotensi saat masuk (TD sistolik <90 mmHg) ada-
lah satu dari tiga faktor pada pasien dengan cedera ke-
pala berat dengan CT scan normal (dua lainnya adalah u-
sia > 40 tahun dan posturing motor) yang, bila ditemu-
kan saat masuk, berhubungan dengan akan terjadinya pe-
ningkatan TIK. TIK tinggi berhubungan dengan outcome
yang lebih buruk. Karenanya wajib untuk menstabilkan
kardiopulmoner segera.
Jalan Nafas
Yang sering bersamaan dengan konkusi adalah terhentinya
nafas untuk sementara. Apnea yang lama sering menjadi
penyebab kematian yang segera pada suatu kecelakaan.
Bila pernafasan buatan segera dilakukan, dapat dicapai
outcome yang baik. Apnea, atelektasis, aspirasi dan
sindroma distres respirasi akuta (ARDS) sering bersama-
an dengan cedera kepala berat, dan karenanya satu-sa-
tunya aspek yang paling penting dalam pengelolaan se-
gera pasien tersebut adalah mempertahankan jalan nafas
yang baik. Setiap pasien dengan cedera kepala berat ha-
rus diintubasi segera. Kecermatan harus diperhatikan
dalam menjamin letak yang benar dari tube endotrakheal,
bukan esofageal. Jarang, bila perlu dilakukan trakheos-
tomi emergensi, terutama pada pasien dengan cedera mak-
silofasial berat dimana intubasi dihindari karena pem-
bengkakan berat jaringan lunak serta adanya distorsi
anatomi.
Dalam usaha mempertahankan jalan nafas, saluran
mulut dan nasal harus bersih dari semua benda asing,
sekresi, darah dan muntah. Sekali tube endotrakheal pa-
da tempatnya, balon harus digembungkan untuk mencegah
atau mengurangi aspirasi, dan pengisapan seksama salur-
an trakheal harus dilakukan. Oksigen seratus persen di-
gunakan untuk ventilasi sampai gas darah diperiksa dan
dilakukan pengaturan yang cukup atas FIO2. Terdapat se-
dikit bahaya toksisitas oksigen 100% bila penggunaannya
kurang dari 48-72 jam.
Tekanan Darah
Hipotensi dan hipoksia adalah musuh yang paling men-
dasar pada pasien cedera kepala. Sudah diperlihatkan
bahwa adanya hipotensi (TD sistolik < 90 mmHg) pada pa-
sien cedera kepala berat mempertinggi tingkat
mortalitas dari 27% ke 50%. Selain itu, ditemukan bahwa
35% pasien yang datang pada rumah sakit besar adalah
hipotensif. Bila jalan nafas sudah diperbaiki, nadi dan
tekanan darah pasien diperiksa dan siapkan jalur vena.
Minimum dua jalur vena (gunakan Jelcos 14 atau 16)
harus terpasang baik. Umumnya digunakan kateter vena
infraklavikular perkutaneus subklavian atau jugular,
walau kadang-kadang pembukaan vena safena atau brakhial
diperlukan untuk mendapat jalur vena yang memadai. Pada
titik ini, darah bisa diambil untuk pemeriksaan rutin,
skrining koagulasi, kadar alkohol serum, contoh untuk
bank darah serta gas darah arterial.
Bila pasien hipotensif, sangat penting untuk mem-
perbaikinya sesegera mungkin. Hipotensi biasanya tidak
karena cedera kepala semata, kecuali pada fase terminal
dimana sudah terjadi kegagalan medullari. Jauh lebih u-
mum, hipotensi adalah pertanda kehilangan darah banyak,
yang mana bisa tampak atau tersembunyi, atau keduanya.
Pada pasien cedera dengan hipotensif, pertama ha-
rus dipikirkan cedera cord spinal yang terjadi (dengan
kuadriplegia atau paraplegia) serta kontusi atau tam-
ponade kardiak dan pneumotoraks tension sebagai penye-
babnya. Selama upaya mencari penyebab hipotensi, peng-
gantian volume harus dimulai dengan menggunakan salin
normal atau plasmanat. Transfusi darah harus dilakukan
sesegera mungkin bila tekanan darah tidak bereaksi me-
madai terhadap penggantian cairan atau bila kadar hemo-
globin kurang dari 10 gm% (HCT 30%). Darah kelompok O
Rh negatif mungkin bisa digunakan selama belum terse-
dianya darah yang telah dibanding silang. Pentingnya
parasentesis abdominal rutin pada pasien koma dengan
hipotensif sudah terbukti.
Harus ditekankan bahwa pemeriksaan neurologis ti-
dak berarti sepanjang pasien dalam hipotensif. Pasien
yang tidak responsif terhadap stimulasi saat hipoten-
sif, sering kembali kepemeriksaan neurologis yang men-
dekati normal segera setelah tekanan darah diperbaiki.
Kateter
Kateter Foley ( 16-18 French untuk dewasa) diinsersi-
kan dengan hati-hati dan urine dikirimkan untuk peme-
riksaan urinalisis dan skrining toksik (bila tersedia).
Hematuria gross mengarah pada cedera renal dan ini
indikasi untuk IVP emergensi. Hematuria ringan mungkin
sekunder atas kateterisasi traumatika, kontusi renal a-
tau jarang-jarang aneurisma aortik dissekting. Perhati-
an khusus harus diberikan atas catatan masukan dan ke-
luaran cairan, terutama pada anak dan orang tua. Seba-
gai tambahan untuk menjamin keseimbangan cairan, setiap
catatan membantu penaksiran kehilangan darah serta
pengamatan perfusi renal.
Tabel2. Penyebab umum kehilangan darah pada pasien ce-
dera multipel
-------------------------------------------------------
Tampak
Laserasi scalp
Cedera maksilofasial
Fraktura compound
Cedera jaringan lunak lain
Tersembunyi
Intraperitoneal atau retroperitoneal
Hemotoraks
Perdarahan pelvik
Perdarahan pada ekstremitas pada sisi fraktura tu-
lang panjang
Hematoma subgaleal atau ekstradural pada bayi
Ruptura traumatika aorta
-------------------------------------------------------
Tube nasogastrik, lebih disukai kateter plastik
lumen ganda, diinsersikan dan dihubungkan kepenghisap
dinding. Komplikasi potensial tindakan ini seperti ma-
suknya tube intrakranial sebagai akibat sekunder frak-
tura tengkorak basal, harus selalu diingat. Pada pasien
dengan fraktura tengkorak basal anterior mungkin mema-
sukkan tube dalam penampakan langsung dengan laringo-
skop atau melalukannya per orum.
Sinar-X Diagnostik
Segera dilakukan setelah stabilisasi kardiopulmoner,
sebagai yang diuraikan berikut ini.
Tulang Belakang Leher (Lateral Lintas-Meja dan An-
teroposterior). Adalah film pertama yang harus diambil
pada pasien dengan cedera kepala berat dan harus dibaca
oleh spesialis bedah saraf atau radiologist sebelum
leher pasien dipindahkan. Gambaran yang harus dicari
adalah (1) hilangnya alignment korpus vertebral, (2)
fraktura atau kompresi tulang, (3) hilangnya align-
ment sendi faset, dan (4) pembengkakan jaringan lunak
prevertebral (lebih dari 5 mm diseberang korpus verteb-
ral C3 adalah bermakna). Setiap usaha harus dilakukan
untuk menampilkan tingkat servikal bawah (C6 hingga C7,
C7 hingga T1) karena sering terhalang oleh bahu, ter-
utama pada pasien besar. Fraktura subluksasi pada ting-
kat ini mungkin tidak tampak bila film tidak diulang
dengan traksi kaudad kedua lengan disertai penetrasi
sinar-x yang lebih kuat. Bila manuver ini gagal juga,
tampilan 'swimmer' bisa dilakukan. Bila film menunjuk-
kan kelainan diatas, leher harus tetap dalam immobili-
sasi dengan kolar keras (Philadelphia) sementara me-
nunggu pemeriksaan lain (/I>CT scan resolusi tinggi atau
politomogram).
Dada. Film penting ini berguna memastikan (1) mal-
posisi tube endotrakheal, (2) pneumotoraks, (3) hemo-
toraks, (4) kontusi paru-paru, (5) hemoperikardium, (6)
fraktura iga, (7) fraktura tulang belakang toraks, dan
(8) kelainan patologi toraks lainnya yang mungkin akan
mendasari tindakan terhadap pasien.
Tengkorak (Anteroposterior dan Lateral). Seperti
dijelaskan dimuka, berguna walau nilainya terkadang a-
gak dibawah CT scanning. Ia membantu mengidentifikasi-
kan cedera maksilofasial, fraktura tengkorak depressed,
dan cedera penetrasi. Adanya udara intrakranial (pneu-
mosefalus) atau level udara-cairan pada sinus mewaspa-
dakan pemeriksa akan adanya fraktura tengkorak basal
yang mungkin tidak terdeteksi.
Abdominal. Film abdominal anteroposterior tunggal
(KUB) biasanya diambil pada pasien trauma. Ini membantu
memastikan (secara kasar) hematoma retroperitoneal lu-
as, fraktura tulang belakang lumbosakral, viscera yang
mengalami distensi, dan kemungkinan udara subdiafragma-
tika.
Pelvik. Film pelvik anteroposterior dan lateral
biasanya dilakukan untuk mencari cedera pelvik yang
merupakan tempat kehilangan darah yang berarti.
Ekstremitas. Bila diindikasikan untuk mencari
fraktura atau subluksasi.
Pemeriksaan Umum
Selama proses penstabilan kardiopulmoner, dilakukan pe-
meriksaan umum secara cepat untuk mencari cedera lain.
Lebih dari 50% pasien cedera kepala berat disertai ce-
dera sistemik major lainnya, memerlukan penanganan oleh
spesialis lain. Perhatian khusus diberikan pada:
1. Cedera kepala dan leher: laserasi, tempat perdarah-
an, otorrhea, rhinorrhea, mata racoon (ekkhimosis
periorbital).
2. Cedera toraks: fraktura iga, pneumotoraks atau
hemotoraks, tamponade kardiak, (dengan bunyi jan-
tung lemah, distensi vena jugular, dan hipotensi),
aspirasi, atau ARDS.
3. Cedera abdominal: terutama laserasi hati, limpa atau
ginjal. Perdarahan biasanya berakibat tenderness,
guarding atau distensi abdominal. Namun tanda-tanda
ini mungkin tidak muncul dini dan mungkin tersembu-
nyi pada pasien koma. Adanya bising usus biasanya
pertanda tenang.
4. Cedera pelvik: Cedera pada pasien yang tidak koma
bisa ditetapkan secara klinis. Konfirmasi radiologis
biasanya diperlukan. Pemeriksaan rektal mungkin ber-
guna. Cedera pelvik sering bersamaan dengan kehi-
langan darah tersembunyi dalam jumlah besar.
5. Cedera tulang belakang: Trauma kepala dan tulang be-
lakang mungkin bersamaan, dan kombinasi tersebut ha-
rus selalu dicari walau kejadiannya hanya 2 hingga
5% dari pasien cedera kepala berat. Tulang belakang
leher paling sering dikenai.
6. Cedera ekstremitas: Mungkin terjadi kerusakan tulang
atau jaringan lunak (otot, saraf, pembuluh darah).
Fraktura pada pasien gelisah harus dibidai segera
untuk mencegah kerusakan saraf dan pembuluh bersang-
kutan. Tindakan definitif pada kebanyakan pasien ce-
dera ekstremitas dapat ditunda hingga setelah tin-
dakan terhadap masalah yang mengancam nyawa.
Pemeriksaan Neurologis
Segera setelah status kardiopulmoner distabilkan, peme-
riksaan neurologis cepat dan terarah dilaksanakan (Ta-
bel). Walau berbagai faktor dapat menghalangi penilaian
akurat dari status neurologis pasien pada saat tersebut
(hipotensi, hipoksia, atau intoksikasi), data yang ber-
harga dapat diperoleh. Antara alert penuh dan koma da-
lam, terjadi perubahan kesadaran yang sinambung hingga
sulit untuk melakukan penilaian secara objektif. Seba-
gai dikemukakan didepan, untuk keperluan ini SKG digu-
nakan secara luas.
Bila pasien menunjukkan respons yang bervariasi
terhadap stimulasi, atau responsnya berbeda pada setiap
sisi, tampilan respons yang terbaik lebih merupakan in-
dikator prognostik yang lebih akurat dibanding respons
yang terburuk. Untuk mengikuti kecenderungan arah per-
jalanan penyakit, lebih baik melaporkan baik respons
terbaik maupun terburuk. Dengan kata lain, respons
motor sisi kiri dan kanan dicatat terpisah. Sebagai
stimulus nyeri standar adalah penekanan dalam terhadap
bed kuku.
Pemeriksaan tidak hanya terbatas pada parameter
ketidaksadaran yang digunakan dalam SKG (kemampuan mem-
buka mata, respons motor serta respons verbal), namun
hal yang sama pentingnya dalam menaksir pasien dengan
gangguan kesadaran adalah usia, tanda-tanda vital, res-
pons pupil, dan gerakan mata. SKG memberikan grading
sederhana dari arousal dan kapasitas fungsional korteks
serebral, dan respons pupil serta gerakan mata diguna-
kan untuk menilai fungsi batang otak. Usia lanjut,
hipotensi, dan hipoksia semuanya mempengaruhi buruknya
outcome. Semua faktor tersebut berpengaruh dalam penen-
tuan prognosis pada cedera kepala berat.
Tabel 4. Pemeriksaan neurologis awal pada cedera kepala
-------------------------------------------------------
1. Skala Koma Glasgow
2. Respons pupil terhadap cahaya
3. Gerakan mata
a. Okulosefalik (dolls)
b. Okulovestibular (kalorik)
4. Kekuatan motor
5. Pemeriksaan sensori sederhana
-------------------------------------------------------
Pupil
Pemeriksaan teliti ukuran pupil serta reaksinya ter-
hadap cahaya adalah paling penting pada pemeriksaan
pertama. Tanda dini herniasi lobus temporal yang dike-
tahui dengan baik adalah dilatasi ringan pupil serta
respons cahaya pupil yang lambat. Baik kompresi maupun
distorsi saraf okulomotor saat herniasi tentorial-unkal
mengganggu fungsi akson parasimpatetik yang menghantar-
kan sinyal eferen untuk konstriksi pupil, berakibat di-
latasi pupil ringan. Namun miotik pupil bilateral ter-
jadi pada tingkat awal dari herniasi sefalik sentral.
Ini karena terganggunya jalur simpatetik pupilomotor
bilateral yang berasal dari hipotalamus, memungkinkan
tonus parasimpatetik predominan dan konstriksi pupil.
Herniasi yang berlanjut berakibat bertambahnya dilatasi
pupil serta paralisis refleks cahayanya. Dengan midria-
sis lengkap (pupil 8-9 mm), ptosis dan paresis rektus
medial dan otot okular lainnya yang dipersarafi oleh
saraf okulomotor terjadi. Sinar yang terang selalu di-
perlukan untuk menentukan respons cahaya pupil. Lensa
yang kuat seperti plus 20-diopter dari oftalmoskop
standar sangat bermanfaat untuk membedakan respons ca-
haya pupil yang lemah dan tiadanya reaksi, terutama bi-
la pupilnya kecil.
Mencari kelainan pupil lain yang dapat terjadi pa-
da pasien tidak sadar sangat perlu pada pasien cedera
kepala. Hippus adalah fenomena yang tidak bisa dite-
rangkan yaitu dilatasi dan kontraksi pupil spontan, dan
sering dijumpai pada pasien dengan respirasi Cheyne-
Stoke. Selain menunjukkan fungsi yang terganggu, ia di-
duga lebih menunjukkan integritas fungsional jalur sim-
patetik-parasimpatetik pupil. Terputusnya lengkung afe-
ren refleks cahaya pupil didalam saraf optik diperiksa
dengan menggunakan tes swinging flashlight. Cahaya lam-
pu senter diayunkan dari mata normal kemata yang ter-
ganggu, cedera pada saraf optik ditunjukkan oleh res-
pons paradoksal pupil: yaitu dilatasi, bukannya kons-
triksi. Terbukti bahwa sinyal cahaya yang dihantarkan
kenukleus Edinger-Westphal di otak tengah melalui saraf
optik yang rusak tidak cukup untuk mempertahankan kons-
triksi yang disebabkan oleh illuminasi pada mata nor-
mal. Dilatasi pupil paradoks diamati saat cahaya dige-
rakkan dari mata normal kemata abnormal dan disebut de-
fek pupil aferen atau pupil Marcus-Gunn, dan tiadanya
opasifikasi media okular adalah bukti cedera saraf
optik.
Pupil kecil bilateral menunjukkan pasien mengguna-
kan obat tertentu, terutama opiat, atau mengalami satu
atau beberapa ensefalopati metabolik atau lesi destruk-
tif dari pons. Dalam hal ini refleks cahaya pupil bia-
sanya dapat dilihat bila diperiksa dengan lensa kuat.
Miosis yang terjadi pada lesi pontin adalah akibat in-
aktifasi struktural atau fisiologikal jalur simpatetik
yang turun dari hipotalamus melalui sistem aktifasi re-
tikular ke cord spinal. Pupil Horner bilateral kadang-
kadang terlihat pada lesi batang otak, tapi pada pasien
trauma perhatian harus diberikan atas kemungkinan pu-
tusnya jalur simpatetik eferen pada apeks paru-paru,
didasar leher, atau selubung karotid ipsilateral. Pu-
pil posisi tengah dengan respons cahaya variabel dapat
ditemukan pada setiap tingkat dari koma. Cedera saraf
okulomotor traumatika adalah diagnosis untuk pasien de-
ngan riwayat dilatasi pupil sejak onset cedera, dengan
perbaikan derajat kesadaran, dan dengan kelemahan otot
okular yang sesuai. Pupil midriatik (6 mm atau lebih)
terjadi kadang-kadang akibat trauma langsung pada bola
mata. Midriasis traumatika ini biasanya unilateral dan
tidak disertai paresis otot okular. Jarang ditemukan
pupil korektopik yang berhubungan dengan kelainan otak
tengah. Pada tanda ini, bukaan pupil tampak bermigrasi
didalam stroma iris karena pada sektor yang berbeda da-
ri otot iris berkontraksi dan berrelaksasi secara tidak
sinkron.
Akhirnya, pupil yang berdilatasi dan fixed bilate-
ral pada pasien dengan cedera kepala mungkin akibat
perfusi vaskular serebral yang inadekuat. Keadaan ini
mungkin akibat hipotensi sekunder terhadap kehilangan
darah atau oleh peninggian tekanan intrakranial pada
tingkat yang mengganggu aliran darah serebral. Kembali-
nya respons pupil mungkin terjadi segera setelah perba-
ikan aliran darah bila masa perfusi yang inadekuat ti-
dak terlalu lama.
Gerakan Mata
Gerakan okular adalah indeks yang penting dari aktifi-
tas fungsional yang berada pada formasi retikular ba-
tang otak. Bila pasien cukup alert untuk mengikuti pe-
rintah sederhana, pergerakan mata lengkap mudah dida-
pat, dan integritas sistem motor okular keseluruhan di-
dalam batang otak dapat dipastikan. Pada keadaan kesa-
daran yang tertekan, gerak mata volunter menghilang, i-
ni mungkin disfungsi pengaktifasi struktur neural ge-
rakan mata. Pada keadaan ini respons okulosefalik atau
okulovestibular digunakan untuk menentukan ada atau ti-
daknya gangguan gerak mata. Untuk melakukan tes ini,
harus mengerti hubungan anatomi respons yang normal.
Anatomi. Klinisi sudah lama mengetahui bahwa pu-
sat conjugate gaze mengatur gerak mata cepat horizontal
(saccades) dan respons vestibular terdapat didalam for-
masi retikular pontin paramedian bawah. Regio ini ter-
masuk pengatur denyut untuk gerak mata cepat dan integ-
rator saraf yang menentukan posisi diam mata. Peneliti-
an terakhir pada kucing memperlihatkan bagian kaudal
pusat horizontal gaze meluas ke bagian kaudal nukleus
prepositus hipoglossi pada rostral medulla dan ia jelas
berperan-serta pada gerak mata lambat vestibular dan
volunter saccadic. Jadi penelitian klinis dan hewan me-
nunjukkan bahwa jalur bersama akhir dari semua gerak
mata horizontal konjugata ipsilateral terletak pada
tegmentum sambungan pontomedullari paramedian. Dari si-
ni, sinyal untuk gerak mata horizontal dihantarkan ke
nukleus abdusen ipsilateral berdekatan dan menyilang
garis tengah diregio para-abdusen untuk naik di fasi-
kulus longitudinal medial kontralateral ke neuron rek-
tus medial dinukleus okulomotor.
Respons okulosefalik. Pada pasien cedera kepala
tidak sadar, hilangnya gerak mata horizontal menunjuk-
kan perlunya pemeriksaan diagnostik yang mendesak. Bila
fraktura leher sudah disingkirkan, fungsi pusat gaze
pontin harus segera ditentukan dengan manuver okulose-
falik. Kepala ditinggikan 30o dari posisi baring dan
dengan cepat diputar to and fro pada bidang horizontal.
Pada respons doll's eye normal, setiap mata cenderung
mempertahankan posisinya terhadap ruangan dengan gerak
berlawanan terhadap rotasi kepala dan secara horizontal
menuju posisi lateral dan medial yang sesuai pada orbi-
ta. Ketika manuver ini dilakukan, kelopak mata mungkin
harus diretraksi secara manual untuk melihat gerak bola
mata lebih baik. Impuls aferen dari akar saraf leher
dan kanal semisirkuler berperan pada refleks kompensasi
normal yang menggeser mata pada arah berlawanan dengan
rotasi kepala. Terganggunya atau tiadanya respons oku-
losefalik mungkin akibat malposisi atau pemutaran
kepala yang inadekuat. Beberapa pasien dengan gangguan
respons okulosefalik terganggu atau tiada, akan memi-
liki respons kalorik normal. Karenanya, semua pasien
dengan gangguan respons okulosefalik, dan juga dimana
fraktura leher belum bisa ditentukan hingga tidak bisa
diperiksa tes respons tersebut, harus dilakukan stimu-
lasi kalorik dari jalur okulovestibuler.
Respons okulovestibuler. Stimulasi dilakukan de-
ngan air es dan hanya membutuhkan sedikit waktu.
Obstruksi didalam kanal auditori eksternal oleh darah
atau serumen harus dibersihkan. Terbatasnya gerak otot
mata terjadi pada pasien dengan edema orbital. Pembeng-
kakan intraorbital biasanya jelas tampak namun tidak
menghalangi pemeriksaan tes okulosefalik atau kalorik.
Banyaknya informasi tetap menguntungkan. Gerakan endo-
limfe didalam kanal semisirkuler horizontal bekerja
terutama terhadap gerak konjugasi dari otot rektus me-
dial dan lateral. Untuk mendapatkan pergeseran maksi-
mal cairan ini selama stimulasi kalorik, kanal horizon-
tal diletakkan pada bidang vertikal dengan meninggikan
kepala pasien 30o dari posisi baring. Gradien suhu an-
tara cairan irigasi dan endolimfe menimbulkan gerakan
endolimfe dalam kanal semisirkuler. Dalam keadaan nor-
mal, terjadi dalam 20 hingga 60 detik dan berakhir da-
lam beberapa menit. Irigasi air hangat kanal eksternal
menyebabkan naiknya cairan endolimfatik, menimbulkan
deviasi tonik kontralateral dari mata. Irigasi air di-
ngin menyebabkan turunnya endolimfe, menimbulkan devia-
si gaze tonik ipsilateral.
Walau hubungan langsung antara neuron vestibuler
dan okuler telah diketahui, deviasi mata tonik setelah
stimulasi kalorik barangkali disebabkan oleh interaksi
yang kompleks didalam sistem kontrol gerak mata di sis-
tem retikuler pontomedullari. Pada pasien alert, stimu-
lasi kalorik dingin menyebabkan nistagmus fase cepat
pada arah berlawanan dari deviasi mata tonik. Pada kea-
daan ini dekenal mnemonik 'cows', cold opposite, warm
same. Namun pada pasien koma, supresi fungsional sistem
aktivasi retikuler ditunjukkan oleh tiadanya nistagmus
sebagai respons terhadap stimulasi kalorik, jadi hanya
deviasi mata tonik yang tampak (cold same). Dengan 20
ml air es sudah cukup, tapi bila tak terjadi respons
dalam satu menit, tes terbaik diulang dengan volume
yang lebih besar. Bila irigasi kedua tidak menimbulkan
gerak mata, manuver okulosefalik simultan dapat dilaku-
kan untuk memperkuat stimulus. Untuk menyingkirkan
cedera kanal semisirkuler atau saraf vestibuler sebagai
penyebab tiadanya respons kalorik dingin, respons kalo-
rik air hangat normal pada telinga berlawanan dapat
dilakukan.
Respons okulosefalik lengkap pada pasien tidak sa-
dar menunjukkan bahwa proses yang menyebabkan koma
menyisakan formasi retikular pontin, fasikulus longitu-
dinal medial, dan nuklei okulomotor serta abdusen de-
ngan akar-akar sarafnya. Selanjutnya, supresi sistem
aktivasi retikuler bertanggung-jawab atas hilangnya ke-
sadaran diduga yang bekerja rostral dari struktur pon-
tin dan otak tengah. Respons antara, yaitu tiadanya
respons okulosefalik namun respons kalorik intak, da-
pat terjadi pada lesi supratentorial. Tiadanya kedua
respons tersebut menunjukkan proses patologis berat
yang meluas ke pons yang lebih bawah.
Saat tes okulosefalik dan kalorik dilakukan, kela-
inan motilitas okular infranuklir, internuklir dan sup-
ranuklir dapat ditemukan. Lesi destruktif dari baik
frontal maupun pusat gaze pontin berakibat overaksi to-
nik dari aksis frontal-pontin sisi berlawanan untuk ge-
rak mata horizontal. Deviasi tonik mata terjadi akibat
aksi sistem frontal-pontin yang masih utuh. Overaksi i-
ni berakibat deviasi ipsilateral pada lesi lobus fron-
tal dan deviasi gaze kontralateral pada lesi pontin.
Pada koma dalam, deviasi gaze akibat keseimbangan yang
berlebihan tidak harus terjadi. Untuk membedakan antara
kemungkinan lesi frontal atau pontin pada pasien dengan
atau tanpa deviasi gaze diperlukan tes okulosefalik a-
tau kalorik. Pada deviasi gaze akibat lesi lobus fron-
tal, refleks okulosefalik dan kalorik tetap intak kare-
na input vestibular formasi retikular pontin paramedian
tetap utuh. Lesi pontin memutuskan interaksi formasi
retikular pontin para median okulovestibular dan okulo-
sefalik hingga rotasi kepala menuju mata yang mengalami
deviasi atau irigasi air dingin pada telinga kontrala-
teral deviasi gaze, tidak mengatasi deviasi gaze. Gaze
horizontal konjugata tak lengkap atau paretik setelah
stimulasi kalorik yang memadai menunjukkan kerusakan
partial pusat gaze pontin. Respons okulosefalik dan o-
kulovestibuler diskonjugata diakibatkan baik oleh palsi
saraf kranial ketiga dan keenam atau oftalmoplegia in-
ternuklir bila hanya satu otot horizontal yang paretik.
Bila setiap otot horizontal untuk gaze konjugata pare-
tik tapi yang satu melebihi lainnya, tampak palsi gaze
pontin bentuk terbalik.
Deviasi miring adalah divergensi mata pada bidang
vertikal dan adalah tanda adanya lesi dalam batang o-
tak. Penjelasan atas deviasi tonik dan vertikal satu a-
tau kedua mata tidak diketahui. Pada deviasi miring,
lokalisasi neuroanatomik dalam batang otak tidak selalu
bisa ditentukan baik dengan adanya mata yang kebawah a-
tau hipometrik, atau mata yang keatas atau hipermetrik.
Secara umum, palsi saraf ketiga dan keenam tidak
sulit untuk ditemukan pada pasien dengan cedera kepala.
Palsi saraf keempat tak selalu dapat diidentifikasi pa-
da koma karena aksi yang terbatas dari otot oblik supe-
rior. Pada pasien alert dan perbaikan, paresis oblik
superior menimbulkan penglihatan ganda yang menyusah-
kan, terutama dengan gaze kebawah dan kedalam. Pening-
gian kepala arah berlawanan dengan sisi otot yang pare-
tik mengurangi penglihatan ganda, sedang pengangkatan
kepala ipsilateral menambah diplopia. Oftalmoplegia in-
ternuklir ditunjukkan oleh paresis adduksi terbatas
tanpa gangguan tambahan pada pupil, kelopak,, atau otot
vertikal yang dipesarafi saraf ketiga. Oftalmoplegia i-
ni disebabkan disrupsi fasikulus longitudinal medial
ipsilateral yang menghubungkan subnukleus okulomotor
untuk nukleus rektus medial kepusat gaze horizontal
kontralateral. Baik oftalmoplegia internuklir bilateral
maupun unilateral mungkin tampak, tergantung pada sam-
pai mana cedera batang otaknya.
Sedikit yang diketahui tentang insidens palsi gaze
vertikal pada keadaan koma. Deviasi mata kebawah jarang
pada cedera kepala namun mungkin berhubungan dengan
perdarahan talamik posterior. Gangguan gaze keatas ter-
kadang tampak pada pasien dengan hematoma subdural bi-
lateral atau hidrosefalus, dan diduga karena adanya
kompresi pada pelat tektal. Dengan tes kalorik dingin
unilateral, deviasi mata kebawah ditemukan pada koma
disebabkan intoksikasi obat. Gaze vertikal dites dengan
merotasikan kepala secara manual pada bidang vertikal.
Manuver ini normalnya menimbulkan gaze keatas dan keba-
wah kompensatori. Irigasi simultan kedua telinga meng-
aktifkan kanal semisirkuler untuk menimbulkan respons
vertikal; tes air dingin bilateral menimbulkan gerakan
mata tonik keatas, dan tes air hangat bilateral menim-
bulkan gaze tonik kebawah.
Fungsi Motor
Pemeriksaan dasar dilengkapi dengan pemeriksaan motor
sederhana karena pasien dengan cedera kepala berat ti-
dak cukup responsif terhadap setiap nilai pemeriksaan
hingga dapat dipercaya. Setiap ekstremitas diperiksa
dan dinilai dengan skala berikut yang digunakan secara
internasional:
Kekuatan normal 5
Kelemahan sedang 4
Kelemahan berat (antigravity) 3
Kelemahan berat (not antigravity) 2
Gerakan trace 1
Tak ada gerakan 0
Prosedur Diagnostik
Segera setelah keadaan kardiorespiratori distabilkan
dan pemeriksaan neurologis pendahuluan dilengkapkan,
segera ditentukan adanya lesi massa intrakranial. Pasi-
en diintubasi dan diparalisakan memakai pankuronium
(Pavulon) atau obat sejenis dan dipasang ventilasi me-
kanik. Manuver ini mencegah pasien menggeliat atau ber-
gerak, yang berarti mencegah terjadinya peninggian TIK
dan secara nyata menambah kualitas pemeriksaan diagnos-
tik. CT scanning mengungguli semua tes yang lebih kuno.
Namun tes lain digunakan juga baik sebagai pengganti CT
scanning, atau tes angiografi untuk melengkapi data
tertentu.
Ventrikulografi
Sebelum berkembangnya CT scanning, ventrikulografi uda-
ra dan angiografi merupakan tes radiologis emergensi
paling penting untuk menilai pasien cedera kepala de-
ngan koma. Yang pertama disukai karena bisa didapat da-
lam waktu singkat, bahkan walaupun yang terakhir lebih
banyak memberikan informasi. Ventrikulografi memberi
dua bagian informasi penting: derajat pergeseran otak
supratentorial dan tekanan intrakranial. Bila prosedur
ini dilakukan dalam metoda dan tampilan standar, ven-
trikel hampir selalu dapat dikanulasi yang akan membe-
rikan pengukuran TIK yang baik serta pemeriksaan udara,
bahkan bila pasien dengan pergeseran ventrikular berat
atau ventrikular dalam slit-like akibat sekunder dari
kompresi.
Tehnik. Bila tak ada tanda fokal yang sering seba-
gai pertanda lesi massa unilateral, dipilih sisi kanan.
Bila ada alasan adanya massa pada suatu sisi, sisi yang
berlawanan digunakan lebih mudah untuk mengkanulasi
ventrikel yang kurang terkompres. Scalp dicukur luas
pada daerah sutura koronal. Setelah menpersiapkan area
tersebut dengan larutan betadin dan menutup dengan kain
steril, dibuat insisi 1 sm pada scalp tepat didepan su-
tura koronal pada garis pupil tengah. Dengan mata bor
9/64 pada bor puntir, dibuat lubang kecil melalui teng-
korak pada tempat tersebut. Bor diarahkan pada nasion,
dan pada bidang sagittal mengarah telinga berlawanan.
Panjang mata bor diatur 2 hingga 2.5 sm untuk mencegah-
nya amblas kejaringan otak. Segera setelah bor menembus
tengkorak , yang bisa 'dirasa', bor ditarik. Dura ter-
baik ditembus dengan mata bor yang dipegang dengan ta-
ngan dengan gerakan memuntir. Manometer diisi salin
steril pada tingkat sekitar 300 mm air dan dihubung-
kan ketube fleksibel menggunakan stopkok. Kanula otak
no. 16 atau tube ventrikulostomi dilewatkan melalui lu-
bang menuju ventrikel lateral. Porosnya seperti dikata-
kan, mengarah nasion dan telinga seberang. Bila ventri-
kel tidak tercapai dengan cara ini, aksis dimiringkan
menuju pupil ipsilateral dan kemudian ditujukan pada
pupil kontralateral pada dua tembusan berikutnya. Ven-
trikel ditembus sekitar 7-8 sm; tidak dianjurkan lebih
dalam. Sekali kanula tembus, stilet dicabut sedikit un-
tuk memastikan masuknya keventrikel. Bila kanul sudah
pada ventrikel, CSS akan tampak mengalir keluar saat
stilet dicabut. Hati-hati jangan sampai lebih dari satu
atau dua tetes CSS terbuang saat mencabut stilet dan
menghubungkannya ketube manometer, hingga didapat baca-
an TIK yang paling akurat. Bila ketiga jalur pada satu
sisi gagal mencapai ventrikel, prosedur diulang pada
sisi lainnya. Bila gagal juga, prosedur dibatalkan.
Sekali manometer telah dihubungkan dengan kanula,
stopkok dibuka dan TIK diukur dengan pasien berbaring
datar pada punggungnya. Foramen Monro digunakan sebagai
titik referensi. Harus diingat bahwa hipotensi arterial
mungkin berakibat bacaan TIK yang rendah dan bahwa hi-
perkarbia dan hipoksia cenderung meninggikan TIK. Sete-
lah mengukur tekanan, sekitar 7 cc udara secara hati-
hati ditukar dengan CSS, kepala ditinggikan dari sisi
ke sisi, dan sinar-x tengkorak posisi Towne antero-
posterior dilakukan setelah kanula diangkat serta in-
sisi scalp dijahit dengan jahitan tunggal.
TIK normal pada pasien relaks atau paralisa yang
tidak dengan hipotensif atau hiperkarbik/hipoksik ada-
lah 10 mmHg (136 mmH2O) atau kurang. Walau tekanan ber-
variasi antara 10 hingga 20 mmHg (136 hingga 272 mmH2O)
mungkin terjadi dengan gangguan sedang volume intrakra-
nial , tekanan yang lebih tinggi dari ini memperingat-
kan hematoma intrakranial yang luas, cedera otak diffu-
sa berat, atau keduanya. Perubahan besar dinamika te-
kanan-volume intrakranial diperlukan untuk meninggikan
TIK hingga taraf tersebut.
Lesi massa intrakranial unilateral paling berbaha-
ya adalah bila menggeser garis tengah sebesar 5 mm atau
lebih.Ini selalu berhubungan dengan peninggian TIK ke-
cuali disertai kebocoran CSS. Lesi lobus temporal yang
nyata mungkin hanya menyebabkan pergeseran garis te-
ngah minimal, namun TIK biasanya menjadi tinggi dan
ventrikel ketiga, bila tampak, sering bergeser melebih-
i ventrikel lateral. Bila pergeseran garis tengah tidak
ada atau sedikit, TIK meninggi, dan pasien tidak hiper-
karbik, maka terdapat baik lesi massa bilateral atau
cedera otak diffusa serius. CT scan akan memecahkan ma-
salah ini, namun bila ini tidak tersedia maka pasien
harus memiliki angiogram untuk menentukan hamatoma bi-
lateral yang balans atau kontusi yang mungkin memerlu-
kan intervensi operatif.
Trefinasi Bor-puntir
Mahoney melaporkan percobaannya dengan trefinasi bor-
puntir di UGD pada pasien dengan sindroma herniasi un-
kal progresif cepat walau setelah terapi medikal prog-
resif. Ini dapat digunakan bila terdapat keterlambatan
dalam mendapatkan hasil CT scan, walau terkadang lebih
disukai menggunakan ventrikulogram udara. Ketepatannya
81% untuk ada atau tidaknya hematoma. Trefinasi dilaku-
kan pada sisi pupil yang melebar, dua jari diatas ar-
kus zigoma dan dua jari anterior telinga, menggunakan
bor tangan bergaris tengah 15/64 inci. Dura dibuka, dan
evakuasi parsial dari hematoma dilakukan dengan penghi-
sap. Andrews juga melakukan eksploratori burr-holes pa-
da pasien dengan tanda klinik herniasi tentorial atau
disfungsi batang otak saat pasien masuk UGD. Pasien
langsung masuk kamar operasi setelah intubasi dan resu-
sitasi, dan dilakukan burr-hole. Eksplorasi lengkap
mencakup lubang di temporal, frontal dan parietal. Mas-
sa ekstraserebral ditemukan 56%. Eksplorasi pada 38%
negatif dan dari CT scan tidak didapatkan hematoma yang
bermakna. Pada 6%, hematoma ekstra-aksial yang harus
dioperasi terlalaikan. Pilihan ini perlu dipikirkan bi-
la CT scan tidak segera dapat disediakan atau pasien
jelas dalam herniasi.
Angiografi
Indikasi. Angiografi dilakukan pada pasien cedera
kepala akut bila CT scanning tidak tersedia. Bila ter-
sedia, angiografi kadang-kadang diindikasikan misalnya
bila ada efek massa yang tampak pada CT scan namun ti-
dak ada hematoma yang tampak (diagnosis diferensialnya
adalah hematoma isodens dan pembengkakan parenkhimal a-
kuta), bila cedera vaskuler diduga, atau bila temuan CT
scan tidak sesuai dengan status neurologikal pasien.
Laporan terakhir menyebutkan pada 24 pasien dengan di-
seksi arteria karotid traumatika didapatkan tanda
sindroma Horner, disfasia, hemiparesis, obtundasi, dan
monoparesis. Bila diduga hematoma subdural isodens, ke-
beradaannya dapat dipertegas dengan mengubah jendela CT
scan atau menggunakan pemeriksaan dengan penguatan kon-
tras, sebelum melakukan angiografi.
Tehnik. Selain memerlukan waktu untuk mempersiap-
kannya, pemeriksaan ini memerlukan keahlian tersendiri
dalam usaha agar pelaksanaannya aman dan efektif. Bila
dilakukan oleh ahli, kateterisasi transfemoral adalah
pilihan. Ini memberikan informasi terbanyak, namun ka-
rena memerlukan waktu yang lebih lama dan lebih sulit
secara tehnis, tidak banyak digunakan pada pasien cede-
ra kepala. Angiogram yang didapat di UGD biasanya di-
lakukan dengan suntikan langsung pada arteria karotid
komunis atau internal. Pada setiap kasus, harus hati-
hati agar tidak menusuk daerah bifurkasio, jadi cegah
sinus carotid dan plak ateroma. Jarum no. 18 digunakan
untuk tindakan ini. Tangan kiri menahan arteri karotid
pada badan vertebral menggunakan telunjuk dan jari te-
ngah. Jarum angiografi diinsersikan antara kedua jari
penahan dan ditujukan miring kedinding arteri. Dinding
pembuluh dapat juga ditembus tegak-lurus dalam mencegah
tergelincirnya jarum dan setelah tembus jarum diarahkan
paralel dinding pembuluh. Siring 20 ml dengan stopkok
dan tube penghubung diisi dengan salin dan dalam keada-
an siap. Media kontras iodin larut air nonionik (misal
Omnipaque 300) dimasukkan siring 10 ml dan dihubungkan
kestopkok. Sekali tube penghubung terhubung dengan ja-
rum, aliran darah yang baik dibuktikan dengan siring
salin. Stopkok diputar dan media kontras disuntikkan
secara cepat. Tepat sebelum siring kosong, radiografer
mulai mengambil foto. Angiografi biplane dengan peng-
ganti film otomatis adalah ideal. Namun bila ini tidak
tersedia, tiga film AP dan tiga film lateral biasanya
memberikan data yang lengkap. Pengisian sisi berlawanan
bisa didapat dengan mengkompresi arteria karotid komu-
nis kontralateral saat penyuntikan material kontras.
Tehnik Seldinger mungkin digunakan dalam kateteri-
sasi karotid. Ini adalah penetrasi arteri karotid komu-
nis pada leher bagian bawah dengan jarum no. 18 dan me-
masukkan penuntun Seldinger panjang 50 sm melalui jarum
tersebut. Jarum kemudian dilepas saat penuntun 3 sm di-
luar ujungnya. Kateter 30 sm (PE 160) dimasukkan mela-
lui penuntun dan dengan gerak puntir didorong kepembu-
luh. Penuntun kemudian ditarik. Aliran darah yang baik
harus dipastikan sebelum menyuntikkan kontras. Bila di-
duga adanya diseksi karotid, pemeriksaan transfemoral
harus dilakukan, karena penyuntikan karotid langsung
membawa risiko arah lumen yang salah.
Interpretasi. Lesi massa supratentorial biasanya
menyebabkan pergeseran kontralateral arteria serebral
anterior dan vena serebral internal. Yang terakhir,
menjadi lebih dekat ke titik tengah kranium, kurang
terpengaruh oleh pemutaran film, yang biasa merupakan
masalah umum akibat pemutaran kepala ke setiap sisi.
Walau pergeseran pembuluh tidak memberikan perbedaan
antara pembengkakan parenkhimal dan hematoma, pemerik-
saan pola dapat membantu letaknya lesi. Lesi frontal
menyebabkan lengkungan arteria serebral anterior, hing-
ga disebut 'rounded shift', dengan pergeseran terbatas
dari vena serebral internal. Lesi parietal cenderung
menyebabkan 'square shift' arteria serebral anterior,
primer karena pelebaran falks serebral yang kaku kepos-
terior, dan vena serebral internal tergeser lebih nya-
ta. Lesi lobus temporal berakibat pergeseran medial bi-
furkasi arteria karotid internal dan pergeseran keatas
yang khas grup arteria serebral media. Ini mungkin juga
tampak pada pandangan lateral, namun kurang dapat di-
pertanggung-jawabkan karena bahkan rotasi yang ringan
dari kepala dapat memprojeksikan lengkungan keatas yang
jelas. Ini harus diingat bahwa lesi parietal mungkin
tidak menyebabkan pergeseran garis tengah yang nyata
bila lesi massa bilateral dalam keadaan yang seimbang.
Lesi massa infratentorial sulit terdeteksi secara
angiografi, dan penyuntikan vertebral jarang dilakukan
untuk keperluan ini. Massa fossa posterior mungkin di-
duga bila terbukti adanya hidrosefalus pada film karo-
tid (yaitu pergeseran keatas dari arteria perikalosal
pada film lateral dan pelengkungan kelateral pembuluh
talamostriata pada film anteroposterior).
Herniasi transtentorial tampak pada angiogram ka-
rotid anteroposterior dan lateral sebagai peregangan
yang jelas arteria khoroidal anterior sebagai akibat
pergeseran unkal kemedial. Bila arteria komunikating
posterior tampak, ia juga tampak terregang dan terka-
dang terkompres terhadap prosesus klinoid posterior.
Arteria serebral posterior tergeser keinferior pada
film tampak lateral dan tampak bergeser kemedial bersa-
ma kedua arteria serebelar superior pada film antero-
posterior karena herniasi girus hipokampal.
Lesi massa sendiri tampak sebagai area avaskular
pada angiogrfi. Tampilan klasik hematoma ekstra-aksial
pada film AP tampak sebagai ruang yang jelas antara ta-
bula interna tengkorak dan pembuluh kecil pada permuka-
an otak yang tampak pada fase vena. Bila klot terletak
dekat verteks, film oblik diperlukan untuk memperlihat-
kan keberadaannya, walau pergeseran sinus vena menjauhi
tulang mungkin tampak pada tampilan lateral pada bebe-
rapa kasus dimana klot mencapai verteks. Klot subfron-
tal diduga bila bagian proksimal arteria serebral ante-
rior tergeser keatas dan kebelakang. Perbedaan antara
hematoma subdural dan ekstradural pada angiogram sulit
dipastikan dan agak memerlukan pengalaman akademis. Ke-
laianan pada waktu transit, spasme pembuluh intrakrani-
al, dan bentuk lain cedera vaskular mungkin tampak pada
pasien cedera kepala.
Tomografi Terkomputer
Indikasi. CT scanning jelas merupakan prosedur
pilihan dalam mengevaluasi pasien cedera kepala dan ke-
mungkinan memperbaiki secara jelas outcome pasien de-
ngan cedera kepala. Setiap kali muncul scanner generasi
baru, selalu disertai dengan perbaikan informasi yang
diberikan. Namun perencanaan terpenting yang berkaitan
dengan pengelolaan pasien adalah berlandaskan pada te-
muan dasar tertentu. Dianjurkan sekali bahwa CT scan e-
mergensi harus dilakukan sesegera mungkin (dalam sete-
ngah jam) setelah pasien dengan cedera kepala berat da-
tang. Rumah sakit harus memiliki tehnisi CT yang siap
24 jam atau mudah dicari dalam keadaan darurat. Dian-
jurkan CT scan ulang bila terjadi perubahan status kli-
nis pasien atau terjadi peninggian TIK yang tak dapat
dijelaskan. Selanjutnya temuan CT scan dinilai untuk
bila perlu dilakukan monitoring TIK.
Tehnik. Segera setelah status pulmonari distabil-
kan, pasien didorong kekamar CT. Pada saat ini, kamar
operasi diperingatkan akan kenungkinan akan dilakukan-
nya kraniotomi, dan bila perlu persiapan lain diambil
untuk memastikan kesiapan pasien untuk operasi. Ini
termasuk penentuan golongan serta x-matching darah
serta menghubungi keluarga yang bertanggung-jawab atas
izin operasi. Pasien diikuti kekamar CT oleh dokter ka-
rena pasien dalam sakit parah dan sering memburuk de-
ngan mendadak. Biasanya pasien kekamar CT sudah dalam
intubasi, paralisis, dan dengan ventilasi mekanik. Ti-
dak bijaksana untuk bersikap pasif pada saat ini, di-
haruskan melakukan pengamatan yang berulang dari tanda
vital dan reaksi pupil.
Bila CT scan menampakkan adanya lesi massa opera-
bel, pasien didorong kekamar operasi. Manipulasi jende-
la scanner selama scanning kadang-kadang diperlukan un-
tuk melihat hematoma yang relatif isodens.
Interpretasi. 70% CT scan pasien mempunyai kelain-
an: lesi densitas rendah 10%, lesi non operatif densi-
tas tinggi 19%, lesi densitas tinggi yang harus operasi
41% (Narayan). Lesi densitas rendah, bila tampak pada
tiadanya lesi densitas tinggi, diinterpretasikan seba-
gai edema atau infarksi. Lesi densitas tinggi non ope-
ratif adalah kontusio atau hematoma yang menyebabkan
pergeseran garis tengah kurang dari 5 mm. Lesi densitas
tinggi (hematoma epidural, subdural, intraserebral) di-
anggap memerlukan tindakan operasi dekompresi bila me-
nyebabkan pergeseran garis tengah 5 mm atau lebih.
Dengan kata lain, dasar pemikiran ditekankan pada dera-
jat pergeseran garis tengah dalam menentukan pasien ma-
na yang harus dioperasi. Pergeseran garis tengah yang
bermakna pada pasien cedera kepala sudah dibuktikan ada
kaitannya dengan tingkat kesadaran.
Densitas CT scan diukur dengan skala yang mula-mu-
la diperkenalkan oleh Hounsfield dan selanjutnya dimo-
difikasi dengan faktor dua. Pada skala ini, koefisien
absorpsi air (Nomor Hounsfield, atau H) adalah 0, uda-
ra -1000, dan tulang +1000. Nomor H untuk struktur in-
trakranial sebagai berikut:
Udara -1000
Lemak -100
Air 0
CSS 4-10
Substansi putih 22-36
Substansi kelabu 32-46
Darah yang ekstravasasi 50-90
Tulang atau kalsifikasi 800-1000
Pada CT scan, edema tampak sebagai zona densitas rendah
dengan nilai penguatan berkisar antara 16 dan 24 H, bi-
la dibandingkan dengan nilai substansi putih 22 hingga
36 H. Berkaitan dengan densitas rendah ini, efek lesi
massa terhadap ventrikel berdekatan mungkin bisa di-
saksikan, menunjukkan adanya kompresi, distorsi, dan
pergeseran sistem ventrikular. Edema mungkin fokal,
multi fokal atau diffusa. Dengan edema serebral difusa,
mungkin sulit untuk memastikan densitas yang lebih ren-
dah karena tidak ada area otak normal sebagai pemban-
dingnya. Pada setiap kasus dengan kompresi ventrikular
bilateral, yang mungkin sangat hebat hingga berakibat
sistem ventrikular tidak dapat disaksikan, terutama pa-
da anak-anak. Diperdebatkan apakah gambaran pembengkak-
an otak diffusa disebabkan oleh edema atau bendungan
vaskular. Walau nomor penguatan bisa diharapkan untuk
membedakan kedua keadaan, hal tersebut tetap rumit ka-
rena adanya perubahan lemak otak setelah cedera. Miller
dan Corales menyimpulkan bahwa konsep edema otak pasca
trauma terlalu berlebihan, dan mereka menitik-beratkan
peran perubahan vaskular dalam genesis dari gambaran
morfologis.
Kontusi serebral tampak sebagai area densitas
tinggi yang tak homogen yang tersebar diantara area
densitas rendah, dengan nilai penguatan berkisar anta-
ra 50 hingga 60 H. Tampilan CT akibat area perdarahan
kecil multipel dalam substansi otak, berhubungan de-
ngan area edema. Tepinya biasanya susah ditentukan. E-
fek massa sering tampak, walau mungkin minimal. Tergan-
tung luasnya perdarahan, derajat edema, dan perjalanan
waktu, kontusi mungkin tampak menjadi predominan dens
atau lusen. Outcome pasien yang menunjukkan baik lesi
densitas rendah atau lesi densitas tinggi non operatif
(kontusi) adalah sangat serupa, perkiraan selanjutnya
menunjukkan bahwa secara keseluruhan morfologisnya ada-
lah berhubungan erat.
Walau tidak selalu mungkin membedakan antara hema-
toma subdural dan epidural pada CT scan, yang terakhir
ini khas dengan bentuk bikonveks atau lentikular, kare-
na perlekatan yang erat antara dura dengan tabula
interna mencegah hematoma mengalami penyebaran. Sekitar
20% pasien dengan hematoma ekstraserebral ditemukan me-
miliki perdarahan baik pada rongga subdural maupun epi-
dural saat operasi atau otopsi. Terdapat sedikit ke-
mungkinan darah epidural bercampur dengan CSS, hingga
lesi ini menunjukkan koleksi dens uniform dan jarang-
jarang isodens. Ini mungkin terjadi pada tampilan kemu-
dian waktu, terutama setelah evakuasi lesi balans kon-
tralateral.
Hematoma subdural yang khas cenderung menjadi le-
bih difus dibanding hematoma epidural dan memiliki tepi
dalam yang konkaf yang mengikuti permukaan otak. Perbe-
daan antara lesi akuta, subakuta dan kronik agak tidak
pasti. Namun dari penelitian diklasifikasikan akuta bi-
la simtomatik untuk 0 hingga 7 hari, subakuta bila sim-
tomatik dalam 7 hingga 22 hari dan kronik bila simtoma-
tik lebih dari 20 hari, 100% kelompok akuta mempunyai
lesi hiperdens, 70% kelompok subakuta memiliki lesi i-
sodens dan 76% kelompok kronik memiliki lesi hipodens.
Hilangnya sulsi serebral diatas konveksitas dan distor-
si ventrikel ipsilateral mungkin merupakan tanda adanya
hematoma isodens. Selalu, derajat pergeseran garis te-
ngah merupakan kriteria utama dimana perencanaan ope-
rasi evakuasi ditentukan.
Hematoma intraserebral traumatika biasanya berlo-
kasi dilobus frontal dan temporal anterior, walau bisa
terjadi dimana saja. Kebanyakan hematoma terbentuk se-
gera setelah cedera, namun lesi tertunda bukannya tidak
jarang, biasanya terbentuk dalam minggu pertama. Ada-
lah lesi densitas tinggi dengan nilai penguatan antara
70 hingga 90 H dan biasanya dikelilingi zona densitas
rendah karena edema. Hematoma traumatika lebih sering
multipel dibanding hematoma akibat sebab lain.
Perdarahan intraventrikular semula dipercaya mem-
punyai prognosis yang buruk secara uniform. Ini tidak
lagi dianggap benar setelah berkembangnya CT scanning.
Ia sering bersamaan dengan perdarahan parenkhimal. Da-
rah menjadi isodens relatif cepat dan sering menghilang
sempurna dalam seminggu. Ventrikulostomi diletakkan di-
ventrikel yang kurang berdarah, dan tube besar (No. 8
French) digunakan saat perdarahan intraventrikular tam-
pak pada CT.
Hidrosefalus obstruktif akuta mungkin terbentuk
sekunder atas hematoma fossa posterior yang menyumbat
jalur ventrikular. Namun hidrosefalus yang timbul kemu-
dian jauh lebih sering, terjadi pada 3 dari 48 pasien
dengan cedera kepala berat yang diikuti dengan CT scan
serial (Narayan). Hidrosefalus komunikans ini akibat
dari darah dirongga subarakhnoid dan biasanya nyata ha-
ri ke 14 pasca cedera.
Infarksi iskemik akuta mungkin tampak sebagai area
densitas rendah dibanding otak sekitarnya. Infarksi da-
pat dideteksi CT scan dalam 24 jam dari onsetnya, dan
lebih dari 60% jelas tampak pada hari ketujuh. Pemberi-
an kontras memperbaiki hasil diagnostik hingga 15%, dan
pencitraan resonansi magnetik (MRI) mungkin akan lebih
sensitif.
Indikasi Operasi
Sulit untuk memutuskan secara tegas dan cepat dalam me-
ngelola kelainan cedera kepala yang bentuknya sangat
berragam. Ada beberapa petunjuk yang telah terbuktikan
berguna 'disaat dalam keterbatasan'. Beberapa berdasar-
kan pada data, beberapa atas kelainan klinis, dan bebe-
rapa atas keinginan yang besar untuk menyederhanakan
masalah kompleks yang tidak mengandung harapan.
Dalam bentuk yang sederhana, kriteria untuk me-
nyimpulkan suatu lesi massa harus dioperasi adalah
pergeseran garis tengah 5 mm atau lebih. Setiap perge-
seran dapat dilihat pada CT scan, angiografi, atau ven-
trikulografi. Semua hematoma epidural, subdural, atau
intraserebral yang mempunyai pergeseran garis tengah 5
mm atau lebih harus dievakuasi secara operatif. Kadang-
kadang dijumpai pasien dengan hematoma kecil dengan
pergeseran ringan yang tetap alert dan tanpa kelainan
neurologi. Pendekatan konservatif dilaksanakan pada pa-
sien tersebut, namun bisa terjadi perburukan, dan peng-
amatan yang ketat sangat diperlukan. Bila terjadi peru-
bahan pada status mental, ulangan harus dilakukan se-
gera.
Semua lesi massa dengan pergeseran 5 mm atau lebih
harus dioperasi, kecuali pasien dalam mati otak. Dasar
pemikiran ini adalah terbukti bahwa beberapa pasien de-
ngan pupil yang non reaktif bilateral, gangguan respons
okulosefalik, dan postur deserebrasi sekalipun dapat
mengalami perbaikan yang besar. Beberapa yang ditindak
maksimal dapat mencapai kategori 'baik' atau 'cacad se-
dang', walau dari tanda-tandanya sebelumnya diramalkan
lain.
Pengelolaan kontusi otak agak kurang tegas. Pene-
litian yeng memberikan tuntunan pada keadaan ini semula
dilakukan Galbraith dan Teasdale. Dari 26 pasien dengan
hematoma intrakranial traumatika yang dikelola non ope-
ratif, semua pasien dengan TIK lebih dari 30 mmHg akan
memburuk dan memerlukan operasi. Sebaliknya hanya satu
pasien dengan tingkat TIK kurang dari 20 mmHg memburuk.
Pasien dengan TIK antara 2 hingga 30 mmHg dikelompok-
kan yang memerlukan dan tidak memerlukan operasi.
Penelitian Narayan akhir-akhir ini terhadap 130
pasien cedera kepala dengan kontusi murni yang dilaku-
kan CT scan dan, bila perlu, pengamatan TIK di unit pe-
rawatan intensif bedah saraf (NICU). Tampak bahwa pasi-
en dengan kontusi otak yang dapat mengikuti perintah
saat masuk tidak memerlukan monitoring TIK dan sebagai
pegangan, cukup dengan pengamatan sederhana. Namun yang
tak dapat mengikuti perintah (tanpa adanya lesi fokal
diarea bicara) sering mempunyai hipertensi intrakranial
dan patut mendapatkan monitoring TIK. Sebagian besar
pasien dengan sisterna basal terkompres memerlukan ope-
rasi. Diketahui bahwa algoritma ini sangat berguna da-
lam mengelola pasien.
Sudah disimpulkan bahwa pasien dengan hematoma lo-
bus temporal besar ( lebih dari 30 sk) mempunyai risiko
yang lebih besar untuk mengalami herniasi tentorial di-
banding yang mempunyai lesi frontal atau oksipital. Hal
ini mengharuskan operasi yang dini pada setiap kasus
tersebut.
Bila CT scan tak dapat dilakukan segera, keputusan
operasi diambil berdasarkan ventrikulografi dan penga-
matan TIK. Sekali lagi, pergeseran garis tengah 5 mm a-
tau lebih mengindikasikan perlunya tindakan operasi de-
kompresi segera. Bila tidak ada pergeseran garis tengah
namun TIK meninggi hingga sekitar 20 mmHg, angiografi
harus dilakukan segera untuk menyingkirkan lesi balans
bilateral.
Bila angiografi dilakukan pada pasien dengan cede-
ra kepala berat, temuan berikut ini harus diingat seba-
gai indikasi untuk operasi:
1. Lesi massa intra atau ekstra aksial menyebabkan per-
geseran pembuluh serebral anterior menyeberang garis
tengah sejauh 5 mm atau lebih.
2. Lesi massa ekstra aksial lebih dari 5mm terhadap ta-
bula interna, bila ia berhubungan dengan pergeseran
arteri serebral anterior atau media berapapun jauh-
nya.
3. Lesi massa ekstra aksial bilateral lebih dari 5 mm
terhadap tabula interna. Kecuali untuk pasien dengan
atrofi otak yang jelas, setiap massa intrakranial a-
kan menyebabkan peninggian TIK yang nyata.
4. Lesi massa intra aksial lobus temporal menyebabkan
pengangkatan nyata dari arteria serebral media atau
pergeseran garis tengah berapapun jauhnya. Pasien i-
ni berada dalam posisi yang paling berbahaya, kare-
na hanya pembengkakan yang ringan dapat menyebabkan
sindroma herniasi tentorial yang berkembang sangat
cepat.
Bila pasien sudah diputuskan sebagai kandidat untuk o-
perasi, ia segera dibawa keruang operasi; bila tidak,
pasien dibawa ke NSICU. Bila pasien memiliki lesi mas-
sa, mannitol (1 hingga 2 g/kg) harus diberikan dalam
perjalanan keruang operasi. Sebagai tambahan, pasien
harus dihiperventilasi hingga didapat PCO2 arterial 25
hingga 30 mmHg. Untuk semua tindakan yang diambil hing-
ga demikian jauh, waktu adalah essensi. Makin cepat le-
si massa dievakuasi, makin besar kemungkinan untuk pe-
mulihan yang lebih baik. Bila, disisi lain, tidak ada
lesi yang harus dioperasi ditemukan, pasien diamati se-
cara sungguh-sungguh di NSICU, baik klinis dan dengan
berbagai parameter fisiologi, terutama pengamatan TIK
dan CT scan serial. Setiap peninggian TIK diatas 20 mm-
Hg yang tidak dapat segera dijelaskan dan tak dapat di-
koreksi dan setiap perburukan status neurologis mengha-
ruskan mengulang CT scan segera diikuti perbaikan dalam
tindakan yang sesuai.
LEMBAR PERINGATAN UNTUK PASIEN CEDERA KEPALA RINGAN
_________________________________________________________________
PADA SAAT INI KAMI TIDAK MENEMUKAN KELAINAN YANG MENUNJUKKAN BAH-
WA CEDERA KEPALA YANG ANDA ALAMI ADALAH SERIUS. NAMUN, GEJALA
YANG BARU DAN KOMPLIKASI YANG TIDAK DISANGKA-SANGKA DAPAT TIMBUL
DALAM BEBERAPA JAM HINGGA BEBERAPA HARI SETELAH CEDERA. 24 JAM
PERTAMA ADALAH WAKTU YANG PALING GENTING DAN ANDA HARUS TETAP BE-
RADA DALAM PENGAWASAN KELUARGA ATAU ORANG YANG DAPAT DIPERTANG-
GUNG-JAWABKAN, PALING TIDAK DALAM PERIODE INI. BILA ADA DARI TAN-
DA-TANDA DIBAWAH INI TERJADI, SEGERA KEMBALI KERUMAH-SAKIT:
1. Mengantuk atau semakin sulit membangunkan pasien (Pasien harus
dibangunkan setiap 2 jam selama masa tidur).
2. Mual atau muntah.
3. Kejang-kejang atau sawan.
4. Mengalirnya darah atau cairan dari hidung atau telinga.
5. Nyeri kepala hebat.
6. Kelemahan atau kehilangan rasa dari tungkai atau lengan.
7. Bingung atau berkelakuan asing.
8. Satu pupil (bagian hitam dari mata) lebih lebar dari sisi la-
innya; gerakan yang tidak biasa dari bola mata, penglihatan
ganda atau gangguan penglihatan lainnya.
9. Denyut nadi yang sangat lambat atau sangat cepat, atau pola
pernafasan yang tidak biasa.
Bila terdapat pembengkakan pada sisi cedera, gunakan bung-
kusan es, pastikan bahwa terdapat kain atau handuk antara bung-
kusan es dan kulit. Bila pembengkakan membesar dengan cepat wa-
laupun menggunakan bungkusan es, kembali kerumah-sakit.
Anda dapat makan atau minum seperti apa yang anda inginkan.
Namun anda tidak diperkenankan meminum minuman beralkohol paling
tidak selama tiga hari sejak cedera.
Jangan makan sedatif atau penghilang nyeri jenis apapun yang
lebih kuat dari parasetamol, paling tidak dalam 24 jam pertama.
Jangan gunakan obat-obat yang mengandung asetosal (aspirin).
Algoritma tindakan pada pasien cedera kepala.