2. KLASIFIKASI
Cedera kepala bisa diklasifikasikan atas berbagai hal.
Untuk kegunaan praktis, tiga jenis klasifikasi akan sa-
ngat berguna, yaitu berdasar mekanisme, tingkat berat-
nya cedera kepala serta berdasar morfologi.
Tabel 1
Klasifikasi cedera kepala
-------------------------------------------------------
A. Berdasarkan mekanisme
1 Tertutup
2 Penetrans
B. Berdasarkan beratnya
1 Skor Skala Koma Glasgow
2 Ringan, sedang, berat
C. Berdasarkan morfologi
1 Fraktura tengkorak
a Kalvaria
1 Linear atau stelata
2 Depressed atau nondepressed
b Basilar
2 Lesi intrakranial
a Fokal
1 Epidural
2 Subdural
3 Intraserebral
b Difusa
1 Konkusi ringan
2 Konkusi klasik
3 Cedera aksonal difusa
BERDASAR MEKANISME
Cedera kepala secara luas diklasifikasikan sebagai ter-
tutup dan penetrans. Walau istilah ini luas digunakan
dan berguna untuk membedakan titik pandang, namun sebe-
tulnya tidak benar-benar dapat dipisahkan. Misalnya
fraktura tengkorak depres dapat dimasukkan kesalah satu
golongan tersebut, tergantung kedalaman dan parahnya
cedera tulang. Sekalipun demikian, untuk kegunaan kli-
nis, istilah cedera kepala tertutup biasanya dihubung-
kan dengan kecelakaan kendaraan, jatuh dan pukulan, dan
cedera kepala penetrans lebih sering dikaitkan dengan
luka tembak dan luka tusuk. Karena pengelolaan kedua
kelompok besar ini sedikit berbeda, dipertahankanlah
pengelompokan ini untuk keperluan dskriptif.
BERDASAR BERATNYA
Sebelum 1974, penulis berbeda menggunakan terminologi
dengan konotasi bermacam-macam untuk menjelaskan pasien
dengan cedera kepala, dengan akibat betul-betul tidak
mungkin untuk membandingkan kelompok pasien dari senter
yang berbeda. Pada tahun 1974 Teasdale dan Jennet, de-
ngan mempelajari tanda-tanda yang tampaknya lebih dapat
dipercaya dalam memprediksi outcome dan yang mana tam-
paknya mempunyai variasi yang kecil antar pengamat,
merancang hal yang sekarang dikenal sebagai Skala Koma
Glasgow. Pengenalan SKG berakibat timbulnya keseragaman
dan kedisiplinan dalam literatur cedera kepala. Skala
ini telah mencapai penggunaan yang luas untuk menjelas-
kan pasien dengan cedera kepala dan selanjutnya sudah
diadopsi untuk mendeskripsikan penderita dengan peru-
bahan tingkat kesadaran karena sebab lain.
Jennett dan Teasdale menentukan koma sebagai ke-
tidakmampuan untuk menuruti perintah, mengucapkan kata-
kata dan membuka mata. Pada pasien yang tidak mempunyai
ketiga aspek pada definisi tersebut tidak dianggap se-
bagai koma. Pasien yang bisa membuka mata secara spon-
tan, dapat mengikuti perintah serta mempunyai orienta-
si, mempunyai skor total 15 poin, sedang pasien yang
flaksid, dimana tidak bisa membuka mata atau berbicara
mempunyai skor minimum yaitu 3. Tidak ada skor tunggal
antara 3 dan 15 menentukan titik mutlak untuk koma. Ba-
gaimanapun 90% pasien dengan skor total delapan atau
kurang, dan tidak untuk yang mempunyai skor 9 atau le-
bih, dijumpai dalam keadaan koma sesuai dengan definisi
terdahulu. Untuk kegunaan praktis, skor total SKG 8 a-
tau kurang menjadi definisi yang sudah umum diterima
sebagai pasien koma. Perbedaan antara pasien dengan ce-
dera kepala berat dan dengan cedera kepala sedang atau
ringan karenanya menjadi sangat jelas. Namun perbedaan
antara cedera kepala sedang dan berat lebih sering me-
miliki masalah. Beberapa menyatakan bahwa pasien cedera
kepala dengan jumlah skor 9 hingga 12 dikelompokkan se-
bagai cedera kepala sedang, dan skor SKG 13 hingga 15
sebagai ringan. Williams, Levin dan Eisenberg baru-baru
ini melaporkan defisit neurologis penderita dengan ce-
dera kepala ringan (SKG 12 hingga 15) dengan lesi massa
intrakranial pada CT pertama adalah sesuai dengan
pasien dengan cedera kepala sedang (SKG 9 hingga 11).
Pasien dengan cedera kepala ringan tanpa dengan kompli-
kasi lesi intrakranial pada CT jelas lebih baik.
Tanpa memperdulikan nilai SKG, pasien digolongkan
sebagai penderita cedera kepala berat bila :
1. Pupil tak ekual
2. Pemeriksaan motor tak ekual.
3. Cedera kepala terbuka dengan bocornya CSS atau
adanya jaringan otak yang terbuka.
4. Perburukan neurologik.
5. Fraktura tengkorak depressed.
BERDASAR MORFOLOGI
Hadirnya CT Scanning menimbulkan revolusi dalam klasi-
fikasi dan pengelolaan cedera kepala. Walau pada pasien
tertentu yang mengalami perburukan secara cepat mungkin
dioperasi tanpa CT scan, kebanyakan pasien cedera berat
sangat diuntungkan oleh CT scan sebelum dioperasi.
Karenanya tindak lanjut CT scan berulang sangat penting
karena gambaran morfologis pada pasien cedera kepala
sering mengalami evolusi yang nyata dalam beberapa jam
pertama, beberapa hari, dan bahkan beberapa minggu se-
telah cedera. Secara morfologi, cedera kepala mungkin
secara umum digolongkan kedalam dua kelompok utama:
fraktura tengkorak dan lesi intrakranial.
Fraktura Tengkorak
Fraktura tengkorak mungkin tampak pada kalvaria atau
basis, mungkin linear atau stelata, mungkin depressed
atau nondepressed. Fraktura tengkorak basal sulit tam-
pak pada foto sinar-x polos dan biasanya perlu CT scan
dengan setelan jendela-tulang untuk memperlihatkan lo-
kasinya. Adanya tanda klinis fraktura tengkorak basal
mempertinggi indeks kemungkinan dan membantu identifi-
kasinya. Sebagai pegangan umum, depressed fragmen lebih
dari ketebalan tengkorak memerlukan operasi elevasi.
Fraktura tengkorak terbuka atau compound berakibat hu-
bungan langsung antara laserasi scalp dan permukaan se-
rebral karena duranya robek, dan fraktura ini memerlu-
kan operasi perbaikan segera.
Mengutip Jennett dan Teasdale, "Untuk mendasari
pemikiran, dan terutama untuk membenarkan pemikiran,
fraktura tengkorak adalah pertanda keparahan yang nyata
setelah cedera kepala. Beribu-ribu kepala disinar-x
diruang gawat darurat, namun hanya dua atau tiga kasus
dari seratus yang memiliki fraktura; mengakibatkan ra-
diologis menulisi kertas berdasarkan pengiriman yang
tidak benar dan menuntut klinisi mengerjakan triase
yang lebih baik sebelum sinar-x dikerjakan. Dokter be-
dah saraf telah lama menjelaskan bahwa penaksiran ting-
kat kesadaran lebih penting dari sinar-x tengkorak, dan
ini secara salah ditafsirkan bahwa menaruh perhatian
untuk melacak adanya fraktura adalah tidak penting,
terutama setelah cedera kepala yang agak ringan. Kenya-
taannya, pada pasien dengan kesadaran tak terganggu
yang mungkin dipulangkan setelah kecelakaan ringan,
adanya fraktura adalah sangat berarti, karena mewas-
padakan klinisi terhadap risiko komplikasi seperti he-
matoma intrakranial atau infeksi". Frekuensi fraktura
tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktura ditemukan
bila penelitian dilakukan pada populasi yang lebih ba-
nyak mempunyai cedera berat. Fraktura kalvaria linear
mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400
kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien
yang tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura
tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah sa-
kit untuk pengamatan, tidak peduli bagaimana baiknya
tampak pasien tersebut.
Lesi Intrakranial
Mungkin dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difu-
sa, walau kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersa-
maan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural, hematoma
subdural, dan kontusi (atau hematoma intraserebral).
Pasien pada kelompok cedera otak difusa, secara umum,
menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan perubahan
sensorium atau bahkan koma dalam. Basis selular cedera
otak difusa menjadi lebih jelas pada tahun-tahun tera-
khir ini.
Lesi Fokal
Hematoma Epidural. Klot terletak diluar dura,
namun didalam tengkorak. Paling sering terletak diregi-
o temporal atau temporal-parietal dan sering akibat ro-
beknya pembuluh meningeal media. Klot biasanya dianggap
berasal arterial, namun mungkin sekunder dari perdarah-
an vena pada sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma
epidural mungkin akibat robeknya sinus vena, terutama
diregio parietal-oksipital atau fossa posterior. Wa-
lau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering
(0.5% dari keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera
kepala), harus selalu diingat saat menegakkan diagnosis
dan ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis
biasanya baik karena cedera otak disekitarnya biasa-
nya masih terbatas. Outcome langsung bergantung pada
status pasien sebelum operasi. Mortalitas dari hematoma
epidural sekitar 0% pada pasien tidak koma, 9% pada
pasien obtundan, dan 20% pada pasien koma dalam.
Hematoma Subdural. Sangat lebih sering dari hema-
toma epidural, ditemukan sekitar 30% penderita dengan
cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat ro-
beknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus
draining. Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi
permukaan atau substansi otak. Fraktura tengkorak mung-
kin ada atau tidak. Selain itu, kerusakan otak yang
mendasari hematoma subdural akuta biasanya sangat lebih
berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidu-
ral. Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin diperkecil
oleh tindakan operasi yang sangat segera dan pengelola-
an medis agresif.
Kontusi dan hematoma intraserebral. Kontusi sereb-
ral sejati terjadi cukup sering. Frekuensinya lebih
nyata sejak kualitas dan jumlah CT scanner meningkat.
Selanjutnya, kontusi otak hampir selalu berkaitan de-
ngan hematoma subdural. Majoritas terbesar kontusi ter-
jadi dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi
pada setiap tempat termasuk serebelum dan batang otak.
Perbedaan antara kontusi dan hematoma intraserebral
traumatika tetap tidak jelas batasannya. Lesi jenis
'salt-and-pepper' klasik jelas suatu kontusi, dan he-
matoma yang besar jelas bukan. Bagaimanapun, terdapat
zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun
menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa hari.
Cedera difusa
Cedera otak difusa membentuk kerusakan otak berat prog-
resif yang berkelanjutan, disebabkan oleh meningkatnya
jumlah cedera akselerasi-deselerasi otak. Pada bentuk
murni, cedera otak difusa adalah jenis cedera kepala
yang paling sering.
Konkusi Ringan. Konkusi ringan cedera dimana kesa-
daran tidak terganggu namun terdapat suatu tingkat dis-
fungsi neurologis temporer. Cedera ini sering terjadi
dan karena derajatnya ringan, sering tidak dibawa kepu-
sat medik. Bentuk paling ringan konkusi berakibat kon-
fusi dan disorientasi tanpa amnesia. Sindrom ini biasa-
nya pulih sempurna dan tanpa disertai adanya sekuele
major. Cedera kepala yang sedikit lebih berat menye-
babkan konfusi dengan baik amnesia retrograd maupun
posttraumatika.
Konkusi Serebral Klasik. Konkusi serebral klasik
adalah keadaan pasca trauma dengan akibat hilangnya ke-
sadaran. Keadaan ini selalu disertai suatu tingkat am-
nesia retrograd dan posttraumatika, dan lamanya amnesia
posttraumatika adalah pengukur yang baik atas beratnya
cedera. Hilangnya kesadaran adalah sementara dan dapat
pulih. Menurut definisi yang tidak terlalu ketat, pasi-
en kembali sadar sempurna dalam enam jam, walau biasa-
nya sangat awal. Kebanyakan pasien setelah konkusi se-
rebral klasik tidak mempunyai sekuele kecuali amnesia
atas kejadian yang berkaitan dengan cedera, namun be-
berapa pasien mempunyai defisit neurologis yang berja-
lan lama, walau kadang-kadang sangat ringan.
Cedera Aksonal Difusa (CAD). Cedera aksonal difusa
(Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah istilah untuk men-
jelaskan koma pasca traumatika yang lama yang tidak di-
karenakan lesi massa atau kerusakan iskhemik. Kehilang-
an kesadaran sejak saat cedera berlanjut diluar enam
jam. Fenomena ini mungkin dipisahkan menjadi kategori
ringan, sedang dan berat. CAD ringan relatif jarang dan
dibatasi pada kelompok dengan koma yang berakhir pada 6
hingga 24 jam, dan pasien mulai dapat ikut perintah se-
telah 24 jam. CAD sedang dibatasi pada koma yang bera-
khir lebih dari 24 jam tanpa tanda-tanda batang otak
yang menonjol. Ini bentuk CAD yang paling sering dan
merupakan 45% dari semua pasien dengan CAD. CAD berat
biasanya terjadi pada kecelakaan kendaraan dan bentuk
yang paling mematikan. Merupakan 36% dari semua pasien
dengan CAD. Pasien menampakkan koma dalam dan menetap
untuk waktu yang lama. Sering menunjukkan tanda dekor-
tikasi atau deserebrasi dan sering dengan cacad berat
yang menetap bila penderita tidak mati. Pasien sering
menunjukkan disfungsi otonom seperti hipertensi, hiper-
hidrosis dan hiperpireksia dan sebelumnya tampak mem-
punyai cedera batang otak primer. Sekarang dipercaya
bahwa CAD umumnya lebih banyak berdasarkan pada fisio-
logi atas gambaran klinik yang terjadi.