8. KRANIOSINOSTOSIS
Istilah kraniosinostosis pertama diperkenalkan Virchow
dan digunakan untuk penutupan dini satu atau lebih su-
tura kranial. Pertumbuhan perpendikuler tulang terhadap
sutura yang terkena terganggu (teori Virchow). Keadaan
ini biasanya tampak saat lahir dan mungkin bersamaan
dengan anomali lain.
Kraniosinostosis dapat dibagi dalam jenis primer
dan sekunder. Kraniosinostosis primer akibat dari ab-
normalitas intrinsik sutura kranial dan dapat diklasi-
fikasikan menurut sutura yang terkena. Delapan jenis
memiliki bentuk yang khas:
1. Brakhisefali: kepala terkompres dan datar akibat pe-
nutupan dini sutura koronal bilateral (sinostosis
koronal).
2. Skafosefali: kepala memanjang dan sempit akibat pe-
nutupan dini sutura sagital (sinostosis sagital).
3. Plagiosefali: kepala tak seimbang atau serong akibat
penutupan dini sutura koronal unilateral.
4. Trigonosefali: Kening segitiga atau sempit akibat
penutupan dini sutura frontal atau metopik.
5. Oksisefali, akrosefali, turrisefali: kapala runcing
atau menjulang akibat penutupan dini semua sutura.
Kraniosinostosis paling sering adalah sinostosis
sagital, diikuti sinostosis koronal. Ada perbedaan ke-
lamin; rasio laki/wanita adalah 4:1 pada sinostosis sa-
gital dan 2:3 pada sinostosis koronal.
Kraniosinostosis sekunder dapat diklasifikasikan
sebagai dalam tabel.
Patogenesis kraniosinostosis belum jelas. Kasus
familial sering dijumpai, faktor genetik mungkin berpe-
ran, pada sinostosis koronal. Kasus familial belum per-
nah dilaporkan pada sinostosis lainnya. Tekanan yang
terjadi terhadap tengkorak selama kehidupan fetal mung-
kin berperan penyebab, karena fetus multipel, posisi
fetus abnormal, disproporsi kepala fetus dengan pelvis
maternal sering dijumpai pada riwayat klinik yang ber-
kaitan. Trauma intrauterin mungkin juga menyebabkan
kraniosinostosis, karena temuan histologis pada penu-
tupan dini sutura koronal adalah serupa dengan pemben-
tukan kalus atau tahap kuratif dari fraktura diastatik.
Penelitian histologi memperlihatkan tak ada bukti mik-
roskopik dari sutura pada area dengan abnormalitas kli-
nis maksimum, dan perubahan basis tengkorak adalah se-
kunder atas obliterasi sutura.
Presentasi Klinis
Kelainan primer pertumbuhan tengkorak dan deformitas
tengkorak sekunder atas lesi intrakranial atau gangguan
perkembangan otak harus dibedakan. Kraniosinostosis a-
dalah kelainan primer pertumbuhan kranial dan biasanya
menunjukkan gejala berikut:
1. deformitas tengkorak
2. peninggian TIK
3. tanda okuler
4. retardasi mental
5. gangguan motor
6. sindaktili yang menyertai
Deformitas kranial yang menyertai dapat diklasifi-
kasikan kedalam dua kelompok: (1) deformitas kranial
sekunder terhadap lesi yang meluas intrakranial (hidro-
sefalus, lesi yang meluas difus, dan tumor atau sista,
lesi yang meluas terbatas) dan (2) deformitas kranial
sekunder terhadap lesi yang mengurangi volume kandung
intrakranial (hipoplasia otak atau atrofi serebral dan
hipoksia atau infarksi).
Diferensiasi jenis mikrosefalik kraniosinostosis
dari mikrosefali primer dibuat berdasar temuan klinis
dari (1) peninggian TIK, (2) digital marking dan garis
sutura, dan (3) choked disc atau atrofi optik.
Kraniosinostosis primer terjadi sebelum lahir pada
kebanyakan kasus, namun diagnosisnya sulit karena uku-
ran yang kecil dari deformitas kranial saat lahir. Be-
Tabel 8-1. Klasifikasi Kraniosinostosis (Duggan)
-------------------------------------------------------
I. Kraniosinostosis primer
A. Brakhisefali
B. Skafosefali
C. Plagiosefali
D. Trigonosefali
E. Oksisefali
II. Kraniosinostosis sekunder
A. Kraniosinostosis sebagai bagian sindroma lain
yang diketahui
1. Sindroma Crouzon (kraniofasial disostosis)
2. Sindroma Apert (akrosefalosindaktili)
3. Sindroma Carpenter (akrosefalopolisindaktili)
4. Sindroma Treacher-Collins (mandibulofasial-
sinostosis)
5. Displasia kraniotelensefalik
6. Hipotelorisme orbital, arinensefali,
trigonosefali
7. Tengkorak cloverleaf
B. Kraniosinostosis yang berhubungan dengan keadaan
lain
1. Penyakit metabolik
a. Ricket yang dapat ditindak
b. Hiperkalsemia idiopatik
c. Gargoylisme
d. Hipertiroidisme
2. Displasia dan disostosis tulang
a. Hipofosfatasia
b. Akhondroplasia
c. Disostosis metafiseal
d. Sindroma Rubinstein-Taybi
e. Mongolisme
f. Displasia tulang berkaitan dengan
hiperostosis tengkorak
3. Kraniosinostosis setelah pintas ventrikuler
4. Kraniosinostosis sehubungan dengan mikrosefali
5. Kelainan hematologis (diikuti penebalan diploe
akibat berbagai anemia)
a. Ikterus hemolitika kongenital
b. Polisitemia vera
c. Penyakit sickle cell
d. Talasemia
6. Malformasi lain-lain yang berkaitan
7. Trauma
--------------------------------------------------------
rat otak menjadi dua kali pada usia delapan bulan dan
tiga kali saat dua tahun, dan deformitas tengkorak pa-
ling jelas pada tahap tersebut. Birth molding adalah
deformitas kranial yang tampak saat lahir dan biasanya
hilang dalam seminggu. Positional molding terjadi bila
kepala tetap pada posisi yang sama dan jangan disalah-
diagnosiskan dengan sinostosis lambdoid.
Kraniosinostosis sering bersamaan dengan anomali
kongenital. Insidens anomali yang menyertai adalah
tinggi pada sinostosis koronal bilateral. Anomali yang
diketahui berhubungan dengan kraniosinostosis termasuk:
sindaktili
bibir bercelah
langit-langit bercelah
holoprosensefali
agenesis korpus kalosusm
spina bifida
malformasi Arnold-Chiari
penyakit jantung kongenital
hipogonadisme
Banyak sindroma yang anomali kongenitalnya berka-
itan dengan kraniosinostosis. Tiga tersering adalah
sindroma Apert, sindroma Carpenter, sindroma Crouzon.
Sindroma Apert's khas dengan kraniosinostosis irre-
guler, terutama sinostosis koronal bilateral, propto-
sis, muka rata, fisura palpebra yang miring kebawah,
strabismus, hidung kecil, hipoplasia maksilari, alur
horizontal supraorbital, hipertelorisme, orbit yang
dangkal, lengkung langit-langit yang tinggi, sindaktili
osseosa atau kutaneus, dan tampilan lainnya. Mungkin
disertai retardasi mental, atrofi giri serebral, hidro-
sefalus. Sindroma ini dipercaya diturunkan melalui au-
tosom dominan.
Sindroma Carpenter's terdiri brakhisefali dengan
berbagai sinostosis sutura koronal, sagital, dan lamb-
doid, tepi supra orbital rendah, pergeseran kelateral
kanti dalam, polisindaktili, hipertelorisme, obesitas,
hipogonadisme, dan khas lainnya. Diturunkan autosomal
resesif. Dikira terletak antara sindroma Apert dan sin-
droma Laurence-Moon-Biedl.
Sindroma Crouzon's terdiri dari proptosis akibat
orbit yang dangkal, hipertelorisme, frontal menonjol,
sinostosis sutura koronal, sagital dan lambdoid, defor-
mitas 'parrot-beak' hidung, hipoplasia maksilari, pro-
gnatisme, atresia khoanal, dan khas lainnya. Sindroma
ini dipercaya diturunkan secara autosomal dominan.
Temuan Radiografik
Deformitas kranial pada kraniosinostosis disebabkan o-
leh gangguan pertumbuhan perpendikuer terhadap sutura
yang tekena dan pertumbuhan kompensatori sutura normal.
Pada skafosefali, pertumbuhan lateral perpendikuler
terhadap sutura sagital terganggu dan tengkorak menja-
di memanjang keanteroposterior. Deformitas tengkorak
terberat tergantung sutura yang terkena. Digital mar-
king tampak pada sekeliling sutura yang terkena atau
pada bagian tengkorak yang tumbuh pada banyak kasus.
Digital marking paling jelas pada sinostosis sutural
multipel atau total. Bagian yang berfusi dari sutura
Tabel 8-2. Sindroma yang Berkaitan dengan
Kraniosinostosis (Cohen)
--------------------------------------------------------
Chromosomal Syndromes
5p+
7p-
13q-
Monogenic Syndromes
Apert
Armendares
Baller-Gerold
Berant
Carpenter
Christian I
Christian II
Craniofacial dyssynostosis
Crouzon
Elejalde
FG
Frontonasal dysplasia
Gorlin-Chaudhry
Hootnick-Holmes
Lowry
Pfeiffer
Saethre-Chotzen
Summitt
Washington I
Washington II
Weiss
Teratogenically Induced Syndrome
Aminopterin
Sporadic, Incompletely Delineated Syndromes
Andersen-Pindborg
Antley-Bixler
Fairbanks
Hall
Hermann I
Hermann II
Idaho I
Idaho II
Pederson
Sakati
Waardenburg
Wisconsin
--------------------------------------------------------
yang abnormal sering memperlihatkan tidak hanya penu-
tupan garis sutura namun juga sklerosis parasutural.
Konsekuensinya, penonjolan lokal bagian yang berfusi
mungkin dilihat pada foto polos. Bila diduga disostosis
kleidokranial, foto polos dada diperlukan untuk memas-
tikan tiadanya klavikula.
CT scan memperlihatkan tiadanya sutura kranial
(yang normalnya ada) dan pendataran serta penebalan
Tabel 8-3. Keadaan yang Bersamaan dengan
Malformasi Tengkorak Cloverleaf
-------------------------------------------------------
Monogenic Syndromes
Apert
Carpenter
Crouzon
Pfeiffer
Thanatophoric
Environmentally Induced Syndromes
Amniotic band
Iatrogenic malformation
Unknown Genesis
Isolated malformation
Various incompletely delineated unique pattern
-------------------------------------------------------
tengkorak sekitar sutura yang terkena pada kebanyakan
kasus. CT scan juga memperlihatkan perubahan parenkhi-
mal atau anomali intrakranial yang berkaitan seperti
hidrosefalus dan malformasi.
Sidik tulang kalvarial menunjukkan sutura abnormal
menjadi area dengan akumulasi radionuklida berkurang a-
tau tiada, disaat pengambilan isotop normal ditemukan
pada semua sutura pada mikrokrania.
Pertimbangan Operasi
Tindakan terhadap kraniosinostosis ditujukan kepada
pemberian kesempatan kepada tengkorak untuk ekspansi.
Sutura dibuat secara operasi hingga perubahan yang ir-
reversibel terjadi pada otak. Karena otak pertumbuhan-
nya mencapai 85 persen pada usia tiga tahun, maka ope-
rasi harus dilakukan sesegera mungkin, sebaiknya dalam
enam bulan sejak lahir. Sinostosis sutura multipel me-
merlukan operasi dini untuk membuang tekanan kranium
terhadap otak. Bahkan pada sinostosis sutura tunggal,
operasi dini diperlukan untuk memperbaiki deformitas
kranial. Hasil yang baik dapat dicapai setelah usia
satu tahun bila koreksi dikombinasi dengan tindakan be-
dah terhadap dasar tengkorak.
Kebanyakan pasien dengan kraniosinostosis sekunder
bukan kandidat operasi. Mikrosefali bukan indikasi un-
tuk tindakan bedah. Kraniosinostosis pasca operasi pin-
tas tidak selalu menghambat pertumbuhan otak.
Kraniektomi linear pertama diperkenalkan Lanne-
longue pada 1890. Suturektomi mengakibatkan ekspansi
tengkorak pada bidang paralel terhadap pertumbuhan yang
terhambat sebelumnya. Hasil operasi pertama buruk ka-
rena refusi dini sutura berakibat ossifikasi periosteum
dan dura. Sejak tehnik yang mencegah refusi sutura de-
ngan penggunaan lembaran tantalum pada tepi tulang oleh
Simmons dan Peyton di 1947, berakibat setiap operasi
menjadi lebih baik. Film polietilen dan lembaran Silas-
tik juga digunakan. Beberapa ahli bedah-saraf melakukan
kraniektomi linear tanpa memakai material yang mence-
gah refusi, karena penggunaan benda asing menimbulkan
kemungkinan infeksi. Larutan fiksasi asam Zenker bisa
digunakan pada tepi kraniektomi linear untuk mencegah
refusi. Kraniektomi linear terdiri dari pembuangan su-
tura abnormal, namun kraniektomi paralel bisa dilakukan
pada kasus skafosefali untuk melindungi sinus sagital
superior (kraniektomi parasagital bilateral). Kraniek-
tomi yang lebih radikal dapat dilakukan pada kasus kra-
niosinostosis untuk mendapatkan hasil kosmetis yang
lebih baik. Operasi bertahap dapat dilakukan untuk sin-
ostosis sutura multipel.
Kemajuan rekonstruksi kraniofasial mutakhir me-
mungkinkan dekompresi dan rekonstruksi orbit untuk
menghilangkan gejala okular yang menyertai pada sinos-
tosis koronal atau plagiosefali. Operasi radikal untuk
setiap deformitas kraniofasial seperti sindroma Crouzon
menjadi mungkin. Tindakan bedah rekonstruktif tengko-
rak, orbit, dan muka mungkin dilakukan pada dua tahap.
Suturektomi yang cukup sepenjang dasar tengkorak mung-
kin membatasi deformitas dan membuat tindakan bedah
tambahan tidak perlu. Koreksi satu tahap dari sindroma
Crouzon sekarang bisa dilakukan.