ILMU BEDAH SARAF


Dr. Syaiful Saanin, Neurosurgeon.
saanin@padang.wasantara.net.id
Ka. SMF Bedah Saraf RSUP. Dr. M. Djamil/FK-UNAND Padang.

Cari dalam ejaan/bahasa Indonesia di situs ini :
Search term:
Case-sensitive - yes
exact fuzzy

2. CEDERA KEPALA
A. Penyebab
B. Klasifikasi
C. Pengelolaan Cedera Kepala
D. Pertimbangan untuk Operasi
E. Obat-obat Terapeutik
F. Pemantauan dan Pengontrolan T.I.K
G. Pengelolaan Cedera Penyerta
H. Sekuele Cedera Kepala
I. Prognosis
J. Konklusi
 
KEMBALI KEHALAMAN UTAMA
 

        5. OBAT-OBAT TERAPEUTIK
        
        Kemajuan dalam pendekatan 'intensivist' terhadap  kela- 
        inan akut berakibat tampilnya metoda yang lebih  ilmiah 
        dan sempurna terhadap pasien cedera kepala, dengan  ma- 
        salah  berganda yang menyertainya. Pengelolaan  agresif 
        setiap  masalah, diharapkan, dapat mengurangi  insidens 
        kerusakan sekunder. Pertama dapat diharapkan bahwa  se- 
        tiap pendekatan dapat mengurangi kematian disebabkan o- 
        leh komplikasi medikal, dan ini telah dikerjakan  dalam 
        serial prospektif yang terdokumentasi baik.  Penelitian 
        juga memperlihatkan bahwa kebanyakan pasien yang 'dise- 
        lamatkan'  oleh pengelolaan agresif  tidak  berhubungan 
        dengan derajat beratnya kelainan atau vegetatif,  namun 
        nyatanya berjalan menjadi hanya kelainan yang sedang a- 
        tau membuat pemulihan yang baik. Jadi pendekatan siste- 
        matik atau intensif terhadap pengelolaan cedera  kepala 
        berat adalah efektif, cukup untuk membenarkan pernyata- 
        an sumber-sumber lain dalam tujuan ini.
             Sayangnya pengalaman dengan terapi obat-obatan se- 
        jauh ini kurang memuaskan.Disebabkan oleh  keirreversi- 
        belan dari beberapa kerusakan dan kerumitan patogenesis 
        cedera kepala, tampaknya tak mungkin akan ditemukan  o- 
        bat  ajaib bagaikan penisilin. Tampaknya lebih  mungkin 
        bahwa kombinasi beberapa obat serta intervensi, masing-
        masing dengan efek menguntungkan yang kecil, akan  mem- 
        bentuk impak kumulatif yang nyata terhadap outcome.  E- 
        fek  kecil dari masing-masing obat ini sulit untuk  di- 
        perlihatkan secara tegas ketidakhomogenannya pada pasi- 
        en  cedera kepala, jumlah yang besar dari  pasien  yang 
        diperlukan untuk melengkapi trial klinik, dan  hambatan 
        biaya.  Dengan dasar pemikiran ini, kita  dapat  segera 
        menilai  obat-obatan yang umum digunakan dan  merenung- 
        kan kemungkinan lain yang lebih baik.
        
        
        Antikonvulsan
        
        Penggunaan antikonvulsan profilaktik pada pasien dengan 
        cedera kepala berat tetap kontroversial. Penelitian be- 
        dah saraf tahun 1972 menunjukkan 40 persen dari  mereka 
        tidak  menggunakan obatnya secara teratur  baik  karena 
        ketidak-pastian indikasi atau karena risikonya,  sangat 
        tidak mendukung pertimbangan untuk membenarkan pemakai- 
        annya. Janet memelopori penelitian epilepsi pasca cede- 
        ra dan menemukan bahwa komplikasi ini terjadi sekitar 5 
        persen dari pasien yang masuk karena cedera kepala  non 
        misil dan 15 persen darinya merupakan pasien cedera ke- 
        pala berat. Ada tiga faktor yang berhubungan dengan in- 
        sidens yang tinggi dari epilepsi yang muncul  kemudian: 
        (1) kejang dini, terjadi dalam minggu pertama; (2)  he- 
        matoma intrakranial; dan (3) fraktura tengkorak depres- 
        sed. Diperkirakan bahwa perawatan dengan fenytoin  yang 
        dimulai sesegera mungkin (dalam 24 jam) mungkin  mence- 
        gah terbentuknya fokus epileptogenik. Young  mengadakan 
        penelitian yang memperlihatkan pemberian fenytoin  pro- 
        filaktik  tidak mencegah kejang pasca cedera baik  dini 
        maupun  tunda.  Pada penelitian ini konsentrasi  plasma 
        dipertahankan antara 10 dan 20 ug/ml. Walau diperingat- 
        kan  bahwa mempertahankan kadar obat yang tinggi  dapat 
        mempengaruhi  hasil penelitian, dianjurkan  menggunakan 
        antikonvulsan  hanya setelah pasien  mendapat  serangan 
        kejang.  McQueen menentukan bahwa karena insidens  yang 
        rendah dari kejang pasca cedera (7 % dalam satu  tahun; 
        10 % pada dua tahun), penelitian klinis acak harus men- 
        cakup 1200 pasien untuk bisa disimpulkan. Karenanya se- 
        mua  penelitian  yang dilaporkan adalah  terlalu  kecil 
        (dengan faktor dari paling tidak enam). Bobot dari pem- 
        buktian karenanya terus didukung dengan pemberian rutin 
        antikonvulsan pada kelompok risiko tinggi, namun  tidak 
        perlu pada semua pasien dengan cedera kepala.  Akhir-a- 
        khir  ini Temkin melaporkan pada pasien  cedera  kepala 
        berat  yang mendapatkan fenytoin atau plasebo yang  di- 
        mulai 24 jam dari cedera dan diteruskan untuk satu  ta- 
        hun, akan mengurangi insidens kejang selama minggu per- 
        tama setelah cedera, namun tidak setelahnya.
             Saat ini digunakan fenytoin (500 mg intravena  da- 
        lam 10 menit) pada ruang gawat darurat pada semua pasi- 
        en dengan cedera kepala berat. Dosis disesuaikan  kadar 
        darah terapeutik yang dicapai. Menurut Young, pencapai- 
        an  kadar darah lebih dari 15-20 ug/ml  bisa  dipegang. 
        Kebutuhan  keseluruhan mungkin diberikan sebagai  dosis 
        tunggal perhari. Tak ada ketentuan yang ketat dan cepat 
        untuk bila menghentikan antikonvulsan, walau Temkin  a- 
        khir-akhir ini memberi batasan untuk menghentikan peng- 
        obatan  setelah minggu pertama pada  kebanyakan  kasus. 
        EEG secara umum tak berperan dalam menentukan  kebijak- 
        sanaan ini. Obat ini harus tapered off bertahap. Terda- 
        pat  bukti serupa bahwa karbamazepin  (Tegretol)  lebih 
        disukai untuk pemakaian jangka panjang karena memperba- 
        iki tampilan dalam tes fungsi kognisi.
        
        
        Steroid
        
        Walau kortikosteroid tidak terbukti memperlihatkan man- 
        faat  pada  cedera kepala, beberapa  ahli  bedah  saraf 
        menggunakannya  untuk kasus berat. Dua penelitian  mem- 
        buktikan  bahwa dosis steroid sangat besar mungkin  me- 
        ngurangi  tingkat mortalitas pada cedera kepala  berat. 
        Namun pemeriksaan yang lebih ketat oleh Faupel melapor- 
        kan  penurunan kematian dicapai sebagai akibat  pening- 
        katan yang besar dari pasien yang hidup dengan  vegeta- 
        tif.  Bila kelompok outcome dibagi kedalam baik  (pemu- 
        lihan  baik dan cacad sedang) dan buruk  (cacad  berat, 
        vegetatif dan mati), tidak ada perbadaan yang  bermakna 
        secara  statistik antara kelompok yang  diberi  steroid 
        dan yang diberi plasebo. Gobiet membandingkan  kelompok 
        yang diberi deksametason dosis tinggi (96 mg/hari)  de- 
        ngan kelompok dosis konvensional (16 mg/hari), dan  ke- 
        lompok plasebo. Tidak ada perbedaan yang bermakna seca- 
        ra statistik angka kematian antara kelompok dosis ting- 
        gi  dan plasebo, namun penelitian ini  terbatas  karena 
        menjadi non blinded dan sekuensial (semua pasien menda- 
        pat pengobatan yang serupa dalam satu tahun).
             Bagaimanapun harus waspada terhadap kesalahan ben- 
        tuIk  II  dan kesalahan efek keuntungan  aktual  karena 
        jumlah sampel yang tidak adekuat. Saul, Ducker, Salcman 
        dan  Carro mengira bahwa steroid mungkin  menolong  sub 
        kelompok tertentu pasien dengan cedera kepala.  Pustaka 
        menyajikan  beberapa artikel yang  mendukung  pandangan 
        bahwa kerusakan otak karena cedera, kontras dengan  tu- 
        mor  otak, tidak berreaksi baik terhadap steroid,  baik 
        dalam  arti mengontrol TIK ataupun adalam arti  memper- 
        baiki outcome. Terakhir penelitian NASCIS II, memperli- 
        hatkan keuntungan efek dari metilprednisolon dosis san- 
        gat tinggi pada cedera cord spinal, mungkin memacu lagi 
        perhatian terhadap penggunaan steroid untuk cedera  ke- 
        pala (dosis lihat bab cedera cord tulang belakang).
        
        
        Mannitol
        
        Obat  ini sekarang luas digunakan untuk mengurangi  te- 
        kanan intrakranial. Umumnya sediaan yang digunakan ada- 
        lah larutan 20 persen mannitol (bm 180). Umumnya diper- 
        caya bahwa mannitol mempertahankan gradien osmotik  an- 
        tara  plasma dan otak, dengan akibat pergeseran  cairan 
        keluar  dari otak dan, karenanya, menurunkan TIK.  Pem- 
        buktiannya agak sulit, dan tentu mungkin ada  mekanisme 
        lain dimana mannitol menurunkan TIK. Osmolalitas  serum 
        tidak diperbolehkan diatas 320 osmol/liter, bila  mung- 
        kin,  dalam usaha mencegah asidosis sistemik dan  gagal 
        ginjal. Dosis tepat mannitol berragam. Lazimnya diguna- 
        kan 1-2 g/kg diberikan intravena secepat mungkin.  Bila 
        pasien memperlihatkan perburukan neurologis atau herni- 
        asi tentorial, mannitol diberikan sesegera mungkin  da- 
        lam  perjalanan keruang CT scanner. Pasien harus  dalam 
        kateter Foley terpasang, karena diharapkan terjadi diu- 
        resis.  Dengan penggunaan yang sinambung, mannitol  in- 
        travaskuler akan seimbang dengan diotak dan kadar darah 
        lebih tinggi yang progresif diperlukan untuk  menimbul- 
        kan respons.
             Urea 30 persen (bm 60) dan gliserol 10 persen  se- 
        belumnya digunakan bergantian dengan mannitol pada  pe- 
        makaian  kronik. Obat-obat ini mempunyai berat  molekul 
        lebih kecil dan cenderung lebih cepat mencapai  keseim- 
        bangan dengan otak. Urea juga berhubungan dengan  insi- 
        dens  yang tinggi dari hemoglobinuria dan  pengelupasan 
        kulit yang berat bila ia terinfiltrasi. Wald dan McLau- 
        rin melaporkan pemakaian gliserol per oral pada  pasien 
        cedera kepala, namun obat-obat oral tidak dipertimbang- 
        kan pemakaiannya dalam cedera kepala akut karena  bebe- 
        rapa alasan.
        
        
        Lasix
        
        Telah dilaporkan penggunaan furosemid, baik sendiri ma- 
        upun bersama-sama mannitol pada cedera kepala dan dalam 
        berbagai  situasi. Schettini, Stahurski dan Young  mem- 
        perlihatkan  bahwa diuresis dapat  ditingkatkan  dengan 
        mengkombinasikan mannitol dan furosemid pada pasien be- 
        dah saraf, dengan pengerutan otak yang lebih  konsisten 
        dan pasti. Puncak diuresis 17 ml/menit dicapai dalam 30 
        menit  pemberian mannitol, dan penurunan ke 4  ml/menit 
        selama  70 menit berikutnya. Sebaliknya, selama  perja- 
        lanan waktu yang identik, kombinasi infus  mannitol-fu- 
        rosemid menghasilkan tingkat ekskresi air permulaan se- 
        besar 30 ml/menit, diikuti peninggian hingga 42  ml/me- 
        nit, dan kemudian menurun ke 17 ml/menit. Pasien  mene- 
        rima 1.4 g/kg mannitol + 0.3 mg/kg furosemid. Efek  me- 
        rugikan yang ditemukan pada pemberian kombinasi terjadi 
        hanya berupa peninggian kecepatan kehilangan elektrolit 
        yang  bisa dikoreksi. Penemuan ini diperkuat oleh  Wil- 
        kinson dan Rosenfeld.
        
        
        Bikarbonat Sodium
        
        Selama dengan hipoksemia, pH arterial yang rendah  saat 
        masuk, menunjukkan asidosis sistemik, tidaklah  jarang. 
        Bila pasien dalam keadaan shok, biasanya karena  asido- 
        sis  laktik. Bila tekanan CO2 arterial (PaCO2)  tinggi, 
        menunjukkan kombinasi asidosis respiratori dan  metabo- 
        lik.  Asidosis harus dikoreksi, dan  bikarbonat  sodium 
        mungkin diberikan dengan dosis 1 mEk/kg setiap 10 menit 
        atau hingga pulih. Harus diingat bahwa pemulihan asido- 
        sis ringan dapat terjadi cepat dan spontan bila  venti- 
        lasi  dan perfusi diperbaiki dengan intubasi dan  pemu- 
        lihan tekanan arterial sistemik. Sebagai pegangan umum, 
        pH darah arterial dibawah 7.1 menunjukkan asidosis  me- 
        tabolik berat dan diharuskan pemakaian bikarbonat sodi- 
        um. Pada tahap ini, fungsi kardiak dirugikan oleh  asi- 
        dosis.  Dosis secara kasar dihitung  berdasar  formula: 
        dosis bikarbonat sodium (mEk) ekual dengan 0,2 kali be- 
        rat  badan (kg) dikali 27 mEk/menit  dikurangi  tingkat 
        bikarbonat serum pasien. Setengah dari dosis yang dihi- 
        tung diberikan pertama-kali, dan dosis berikutnya dibe- 
        rikan setelah pengulangan pemeriksaan pH.
        
        
        Tris-hidroksi-metil-aminometan (THAM)
        
        Sudah dibuktikan bahwa cedera kepala berhubungan dengan 
        asidosis  metabolik seperti ditunjukkan tingkat  laktat 
        CSS yang tinggi. Juga telah diperlihatkan bahwa  pasien 
        dengan laktat CSS yang tinggi memiliki outcome yang le- 
        bih buruk dan bahwa ini dengan perjalanan yang memburuk 
        umumnya memperlihatkan penurunan progresif pH CSS  dari 
        7.3 hingga 7.2 karena asidosis laktik. Beberapa  kelom- 
        pok  telah memeriksa peran asidosis  dalam  patogenesis 
        kerusakan neuronal. DeSalles, Kontos dan Becker  akhir-
        akhir  ini mempelajari kebermaknaan  prognostik  laktat 
        CSS ventrikular pada cedera kepala berat dan  menemukan 
        nilai pH yang lebih rendah pada otak pasien yang menda- 
        patkan operasi atas hematoma subdural akuta. THAM  ada- 
        lah agen penyangga yang mempenetrasi CSS dan  karenanya 
        secara  teoritis lebih superior dari bikarbonat  sodium 
        dalam mengobati asidosis CSS. Akioka menggunakan dog e- 
        pidural balloon model memperlihatkan manfaat THAM  ter- 
        hadap TIK. Diperkuat oleh Gaab dengan menggunakan cold-
        lession  edema  model pada tikus.  Diikuti  Rosner  dan 
        Becker yang melaporkan manfaat THAM pada cat fluid per- 
        cussion model. Mereka menemukan bahwa THAM  berhubungan 
        dengan  pengurangan morbiditas dan  mortalitas  seperti 
        juga  penurunan TIK setelah cedera perkusi.  Penelitian 
        klinis atas obat ini sekarang dipelopori Medical Colle- 
        ge of Virginia.
        
        
        Barbiturat
        
        Penelitian menunjukkan adanya efek protektif barbiturat 
        terhadap  otak pada anoksia dan iskemia serebral.  Juga 
        telah  dicatat bahwa  barbiturat efektif  dalam  mengu- 
        rangi tekanan intrakranial. Penelitian Richmond dan To- 
        lonto menunjukkan bahwa tak ada manfaat yang dapat  di- 
        ambil  dari  pemberian barbiturat  dosis  tinggi  dalam 
        pengendalian TIK maupun outcome. Dalam kedua penelitian 
        barbiturat diberikan sebagai terapi inisial. Pada pene- 
        litian mutakhir memakai pentobarbital dosis tinggi yang 
        diberikan setelah semua pengontrol TIK konvensional ga- 
        gal,  didapatkan  efek yang nyata  bermanfaat  terhadap 
        TIK. Karena  penelitiannya bersifat silang,  tak  bisa 
        didapat efek pentobarbital terhadap outcome. Bagaimana- 
        pun  terbukti bahwa barbiturat harus dicadangkan  untuk 
        pasien  yang gagal terhadap semua bentuk terapi  hiper- 
        tensi intrakranial.
             Protokol pemberian pentobarbital adalah memberikan 
        dosis loading 10 mg/kg dalam 30 menit dan 5 mg/kg seti- 
        ap  jam selama tiga jam, diikuti dosis  pemeliharaan  1 
        mg/kg/jam diatur hingga dicapai kadar serum 3 hingga  4 
        mg%. Hipotensi adalah faktor penimbul keterbatasan.
        
        
        Nalokson
        
        Nalokson adalah antagonis narkotik, terbukti memulihkan 
        hipotensi akibat cedera kepala pada kucing.  Diperkira- 
        kan bahwa pelepasan opiat endogen bertanggung-jawab  a- 
        tas  hipotensi  pasca konkusi. Beberapa data  ada  yang 
        mendukung dan membantah nilai obat ini pada cedera  ke- 
        pala. Penelitian terakhir NASCIS II memperlihatkan  ti- 
        dak ada manfaat nalokson pada cedera cord spinal.
        
        
        Hipnotik Aksi Singkat
        
        Karena  barbiturat cenderung menimbulkan hipotensi  dan 
        lamanya  pemulihan setelah penghentian,  diteliti  obat 
        anestetik  yang memiliki aksi lebih singkat  untuk  me- 
        ngontrol hipertensi intrakranial. Althesin, suatu  obat 
        anestetik steroid intravena, walau tidak pernah diizin- 
        kan  penggunaannya di USA, sangat populer  di  Britania 
        Raya  sebelum produksinya dihentikan  karena  hubungan- 
        nya dengan anafilaksis. Etomidat merupakan pilihan yang 
        baik  untuk penggunaan anestetik, namun belum ada  data 
        dalam penggunaan jangka panjang pada cedera kepala.
        
        
        Oksigen Hiperbarik
        
        Walau  Sukoff dan Ragatz melaporkan 1981  bahwa  terapi 
        oksigen hiperbarik (HBO) dapat mengurangi TIK dan mung- 
        kin  mempunyai  nilai dalam  mengobati  edema  serebral 
        traumatika, jenis terapi ini tidak digunakan secara lu- 
        as karena, secara umum, hasilnya tidak terlalu  istime- 
        wa. Selanjutnya pengobatan ini, dimana dilakukan penye- 
        lubungan pasien dalam ruang hiperbarik, sulit  dikerja- 
        kan pada pasien kritis. Namun telah dibuktikan terjadi- 
        nya penurunan TIK yang konsisten selama pemakaian oksi- 
        gen hiperbarik dengan tekanan dua atmosfer serta  dila- 
        porkan  terjadinya perbaikan neurologis. Terakhir  ini, 
        Rockswold, Ford, Bergman dan Anderson melaporkan  pene- 
        litiannya dengan HBO pada cedera kepala berat.  Ditemu- 
        kan walau HBO jelas memperbaiki survival pasien  dengan 
        skor  SKG 4 hingga 6, ia tidak  memperbaiki  persentase 
        pasien dengan pemulihan baik.
        
        
        Pembersih Radikal Bebas
        
        Peran  oksigen radikal dalam patogenesis cedera  kepala 
        sudah mendapat perhatian yang sangat besar.  Schettini, 
        Lippmann dan Walsh memperlihatkan pengurangan  kematian 
        yang dramatik pada dog epidural balloon compression-de- 
        compression model dengan menggunakan native  superoxide 
        dismutase (SOD) setelah cedera. Karena penelitian  ini, 
        SOD dalam bentuk nativ maupun bentuk konyugasinya,  mu- 
        lai diteliti secara klinis.