. PERTIMBANGAN UNTUK OPERASI
Anestesia
Pertimbangan utama dalam memilih obat anestesi, atau
kombinasi obat-abatan anestesi, adalah pengaruhnya ter-
hadap TIK. Karena semua obat yang menyebabkan vasodila-
tasi serebral mungkin berakibat peninggian TIK, pemaka-
iannya sedapat mungkin harus dicegah. Satu yang terbu-
ruk dalam hal ini adalah ketamin, yang merupakan vaso-
dilator kuat dan karenanya secara umum dicegah penggu-
naannya pada pasien cedera kepala. Semua obat anestesi
inhalasi dapat meninggikan aliran darah serebral secara
ringan hingga berat. Obat inhalasi volatil seperti ha-
lotan. enfluran dan isofluran, semua meninggikan aliran
darah serebral, namun mereka mungkin aman pada konsen-
trasi rendah. Isofluran paling sedikit kemungkinannya
menyebabkan vasodilatasi serebral. Nitrous oksida bere-
fek vasodilatasi ringan yang mungkin secara klinik ti-
dak bermakna, dan karenanya dipertimbangkan sebagai o-
bat yang baik untuk digunakan pada pasien cedera kepa-
la. Kombinasi yang umum digunakan adalah nitrous oksi-
da (50-70 % dengan oksigen), relaksan otot intravena,
dan tiopental. Penggunaan hiperventilasi dan mannitol
sebelum dan selama induksi dapat mengaburkan efek vaso-
dilatasi dan membatasi hipertensi intrakranial pada ba-
tas tertentu saat kranium mulai dibuka. Bila selama o-
perasi pembengkakan otak maligna terjadi, yang refrak-
tori terhadap hiperventilasi dan mannitol, tiopental
(Pentothal) pada dosis besar (5-10 mg/kg) harus digu-
nakan. Obat ini dapat menyebabkan hipotensi, terutama
pada pasien hipovolemik, karenanya harus digunakan ha-
ti-hati. Sebagai pilihan terakhir, penggunaan hipotensi
terkontrol, dengan trimetafan (Arfonad) atau nitroprus-
sida (Nipride) dapat dipertimbangkan. Pada setiap kea-
daan, penting untuk memastikan penyebab pembengkakan
otak, seperti kongesti vena akibat kompresi leher dan
adanya hematoma tersembunyi baik ipsi atau kontralate-
ral dari sisi kraniotomi.
Hematoma Subdural
Subdural hematoma akuta mungkin diakibatkan oleh perda-
rahan otak yang mengalami laserasi, pembuluh kortikal
tulang, atau vena bridging yang mengalami avulsi. Umum-
nya cedera otak yang nyata, tampak pada lobus frontal
inferior dan lobus temporal. Untuk mencapai garis te-
ngah, baik regio frontal, temporal dan parietal, seba-
iknya dibuat flap yang luas dalam menindak hematoma
subdural akuta. Insisi scalp adalah tanda tanya standar
dimulai tepat anterior tragus pada arkus zigomatik, me-
lengkung keposterior diatas telinga kegaris tengah dan
turun digaris tengah kesekitar satu sentimeter atau te-
pat sebelum batas rambut. Bila pasien cepat memburuk,
dekompresi temporal segera dapat dilakukan melalui kra-
niektomi kecil. Ini akan mengurangi tekanan pada batang
otak dan mungkin dapat mencegah atau memulihkan hernia-
si tentorial yang telah terjadi. Bila hal ini tercapai,
sisa flap dapat dilengkapkan. Perluasan medial kranio-
tomi adalah sekitar 1.5 sm dari garis tengah untuk men-
cegah cedera sinus sagittal superior atau salah satu
dari lakuna vena atau vena draining. Pada saat yang sa-
ma, bukaan flap memungkinkan operator melihat vena dra-
ining utama dengan mudah, dan dapat mencapai vena yang
mengalami avulsi dekat garis tengah. Perluasan anterior
flap tulang mungkin bervariasi, tergantung luasnya ke-
rusakan frontal dan klot darah yang tampak pada CT
scan. Kraniektomi subtemporal berguna sebagai katup te-
kanan. Sudah diperlihatkan bahwa kraniektomi subtempo-
ral luas dapat memudahkan kontrol hipertensi intrakra-
nial pada keadaan dimana semua tindakan medikal gagal.
Operatif ultrasound secara rutin digunakan untuk memas-
tikan adanya hematoma intraserebral yang sebelumnya ti-
dak terdeteksi atau lesi massa yang membesar pada sisi
lain otak. Kebanyakan pasien dengan hematoma subdural
akuta mempunyai kontusi atau hematoma intraserebral.
Hematoma Epidural
Hematoma epidural yang khas berlokasi diregio temporal
dan sering akibat dari robeknya pembuluh meningea media
sekunder atas fraktura tulang tengkorak atau berhubung-
an dengan cedera sinus vena. Umumnya cenderung lebih
kecil dan dengan perjalanan yang lebih ringan. Ini
mungkin untuk kasus sangat jarang, terutama bila datang
keahli bedah saraf setelah beberapa jam sejak cedera,
lebih aman ditindak non operatif. Namun kebanyakan he-
matoma epidural merupakan gawat darurat bedah dan harus
dievakuasi sesegera mungkin. Karena otak dibawah hema-
toma epidural umumnya cukup normal, setiap usaha untuk
mengurangi tekanan dilakukan sesegera mungkin untuk
mencegah kerusakan otak. Outcome dari operasi untuk he-
matoma epidural sangat tergantung pada keadaan klinis
pasien sebelum evakuasi operatif. Bila klotnya besar,
atau terdapat keraguan atas luasnya kerusakan otak di-
bawahnya, dianjurkan membuat flap kraniotomi luas stan-
dar. Pada keadaan dimana hematoma epidural jelas terba-
tas pada satu regio dan dimana tidak disertai adanya
perdarahan subdural tampak pada CT scan, flap kranioto-
mi modifikasi yang lebih kecil dapat digunakan.
Hematoma Intraserebral
Cedera otak sering merupakan fenomena yang terjadi lam-
bat. CT scan saat masuk sering menjadi buruk setelah
beberapa hari, akibat dari apa yang disebut hematoma
intraserebral traumatika yang tertunda (DTICH/delayed
traumatic intracerebral hematomas). Fenomena klinis
yang menarik ini patogenesisnya tidak jelas dan progno-
sisnya diperdebatkan. Kontusi paling sering berlokasi
pada permukaan anterior dan inferior lobus frontal dan
temporal. Kontusi yang berukuran sekitar 2 sm harus se-
gera didebridemen bila menyebabkan efek massa yang nya-
ta. Harus tetap bekerja didaerah yang nekrotik secara
hati-hati dan cegah kerusakan jaringan normal sekitar-
nya. Hal ini tak selalu mudah dilakukan dan memerlukan
ketelitian atas pertimbangan klinis. Sebagai patokan u-
mum, debridemen lobus temporal kiri dilakukan lebih
konservatif dibanding debridemen sisi kanan, terutama
pada pasien tidak kidal.
Hematoma Fossa Posterior
Untungnya kurang umum terjadi dibanding lesi supraten-
torial. Umumnya, pendekatan operatif agresif diambil
dalam mengelola lesi ini, karena pasien dapat memburuk
secara cepat. Pasien dengan hematoma fossa posterior
dapat memburuk dari keadaan resposif ke keadaan koma
dalam hitungan menit. Selanjutnya, karena umumnya me-
merlukan waktu lebih lama untuk mengevakuasi setiap le-
si dan karena struktur otak yang terletak difossa pos-
terior yang sangat kritis untuk fungsi vital, operator
tidak boleh berlalai-lalai dengan waktu. Posisi telung-
kup atau tiga perempat telungkup dengan penyangga kepa-
la Mayfield lazim digunakan.
Fraktura depressed
Fraktura tengkorak dianggap nyata depressed bila tabula
luar dari tengkorak terletak dibawah tingkat tabula da-
lam tulang sekitarnya. Kadang-kadang depresi tidak tam-
pak pada sinar-x polos, namun biasanya jelas pada CT
scan. Fraktura tengkorak depressed dapat tertutup atau
terbuka. Kebanyakan fraktura depressed tertutup terjadi
pada anak-anak kecil dan mungkin dengan jenis bola ping
pong. Indikasi operasi yang paling umum pada setiap ka-
sus adalah kosmetik, terutama pada fraktura frontal.
Pada fraktura depressed terbuka, luka sering kotor dan
terkontaminasi. Sering kulit, rambut atau debris asing
lainnya terdapat diantara fragmen tulang yang depress-
ed, bahkan bila luka tampak relatif bersih dari luar.
Karenanya, kecuali pada cedera yang sangat sederhana,
diharuskan merawat setiap fraktura dalam kamar operasi.
Sering laserasi dural terjadi dibawah fraktura, dan de-
ngan sangat hati-hati harus ditutup secara primer. Ba-
gaimanapun, dura yang utuh tidak berarti tiadanya kon-
tusi otak dibawahnya. CT scan pra bedah karenanya sa-
ngat berguna dalam menentukan luasnya operasi yang ha-
rus dilakukan. Secara umum dapat diterima untuk meng-
ganti fragmen tulang pada daerah kraniektomi. Infeksi
pasca bedah dilaporkan kurang dari 5 persen. Fraktura
depressed yang terletak diatas sinus vena utama sulit
untuk ditindak.
Cedera Kepala Penetrasi
Bila disebabkan peluru, beratnya cedera kepala tergan-
tung kaliber senjata, jarak tembak, dan trajek peluru.
Sinar-x polos tengkorak dan CT scan tidak ternilai da-
lam merencanakan pengelolaan setiap kasus. Pada kasus
militer dapat dijumpai cedera kecepatan tinggi dari se-
napan, dan ini lebih mematikan. Luka militer bisa juga
akibat peluru tabur, yang biasanya berkecepatan rendah
karena bentuknya yang tak beraturan. Cedera penetrasi
juga bisa sekunder atas berbagai objek nonmissil, se-
perti pisau atau gunting, yang menyebabkan kerusakan o-
tak fokal namun dengan sedikit cedera 'shock' diffusa.
Pendekatan operatif terhadap cedera kepala penet-
rans agak berbeda dengan cedera kepala tertutup. Bila
objek yang mengalami penetrasi tetap pada tempatnya dan
direncanakan untuk dikeluarkan dari tengkorak, dibiar-
kan tetap ditempatnya hingga pasien betul-betul siap
untuk intervensi operatif. Ini untuk mencegah perdarah-
an yang tidak terkontrol, yang mungkin terjadi setelah
pengangkatan setiap objek. Berbeda dengan operasi ter-
hadap cedera kepala tertutup, operasi untuk cedera ke-
pala penetrating biasanya termasuk diantaranya membuat
bukaan kranial yang terbatas. Bukaan scalp mungkin ha-
nya berupa ekstensi linear atau bentuk S dari luka ma-
suk atau flap bentuk U terbatas. Bukaan kedalam kranium
mungkin via kraniektomi, atau bila operator menyukai,
melalui kraniotomi kecil. Kegunaan utama operasi adalah
untuk mendebridemen otak yang nekrotik, membuang frag-
men tulang dan benda asing lainnya dari parenkhima o-
tak, menghentikan perdarahan, mengevakuasi semua hema-
toma, serta akhirnya memastikan penutupan dura yang ke-
dap air serta scalp. Sering fragmen peluru mengalami
penetrasi kesisi lain dari otak. Kecuali bila mudah di-
capai, operasi tidak harus dilakukan pada sisi lainnya
dalam usaha mengangkat peluru. Kebijaksanaan standard
tentara adalah melakukan reoperasi pasien yang luka
tembak pelurunya telah ditutup dirumah-sakit garis de-
pan, untuk mengambil semua fragmen tulang. Namun Viet-
nam Head Injury Study mendemonstrasikan dengan CT scan
bahwa hampir semua pasien masih mempunyai sisa fragmen
tulang walau telah dengan operasi kedua dan tampaknya
tidak menunjukkan peningkatan insidens komplikasi.
Pengangkatan lengkap setiap fragmen tulang tidak mung-
kin dilakukan tanpa merusak otak normal. Karenanya saat
ini dipercaya bahwa debridemen dalam tingkat yang dapat
dipertanggung-jawabkan dibawah perlindungan antibiotik
adalah pilihan yang aman dan dapat dipertanggung-jawab-
kan. Ini juga terbukti dari pengalaman tentara dipepe-
rangan Lebanon.
Cedera Sinus Venosus
Cedera sinus vena termasuk cedera yang paling sulit
yang dihadapi ahli bedah saraf. Sinus utama bisa dili-
gasi atau direkonstruksi. Umumnya dibenarkan bahwa se-
pertiga anterior sinus sagittal superior aman untuk di-
ligasi, namun ligasi sepertiga posterior paling memung-
kinkan untuk menyebabkan infark venosa massif otak. Li-
gasi sepertiga tengah efeknya agak tidak bisa diduga,
dan ligasi sinus transversus dominan juga dapat mence-
lakakan. Bila akan dilakukan reparasi sinus utama,
shunt Kapp-Gielchinsky merupakan alat yang sangat ber-
guna. Ini suatu shunt vaskular yang khas, namun memi-
liki balon yang dapat dikembangkan pada kedua ujungnya.
Ia bisa digunakan untuk mempertahankan aliran darah
vena saat rekonstruksi direncanakan atau dilangsungkan.
Seringkali secara tehnik lebih mudah menggunakan flap
dural untuk menjahit cedera sinus. Manuver bedah saraf
standar lainnya menggunakan penekanan, gelfoam, Surgi-
cel dan sarana hemostatik lainnya mungkin tidak terni-
lai dalam mengontrol perdarahan. Penggunaan unit auto-
transfusi cepat dapat mengurangi jumlah kebutuhan
transfusi darah, jadi mengurangi beban bank darah dan
menekan risiko transfusi darah terhadap pasien.