ILMU BEDAH SARAF


Dr. Syaiful Saanin, Neurosurgeon.
saanin@padang.wasantara.net.id
Ka. SMF Bedah Saraf RSUP. M. Jamil/FK-UNAND Padang.

Cari dalam ejaan/bahasa Indonesia di situs ini :
Search term:
Case-sensitive - yes
exact fuzzy

6. KELAINAN SEREBRO-VASKULER
A. Perdarahan Subarakhnoid
B. Perdarahan Intraserebral Nontraumatika
C. Iskemia Serebral dan Rekonstruksi Vaskuler
 
KEMBALI KEHALAMAN UTAMA
 

        
        2. PERDARAHAN INTRASEREBRAL 
           NONTRAUMATIKA
        
        Perdarahan  intraserebral (PIS/ICH)  spontan  merupakan 
        6.3-12 % dari semua kasus strok baru pada tiap tahunnya 
        dan  duapertiganya fatal. Insidens tahunan PIS  spontan 
        umumnya  sekitar  9 per 100.000  populasi.  Pria  lebih 
        sering terkena. Duapertiga berusia antara 45-75 tahun.
        
        
        ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
        
        PIS (ICH) primer biasa terjadi pada kapsul internal dan 
        hematoma  meluas kemedial kesubstansi kelabu dalam  dan 
        kelateral melalui substansi putih yang relatif aseluler 
        korona  radiata. Pembuluh yang ruptur adalah satu  dari 
        arteria  perforating  kecil yang  meninggalkan  arteria 
        serebral media dekat pangkalnya dikarotid internal  dan 
        sering  dijelaskan  sebagai  arteria  lentikulostriata. 
        Pemeriksaan   postmortem   menunjukkan   pada   arteria 
        perforating pasien hipertensif terdapat banyak dilatasi 
        aneurismal  yang  sangat kecil  yang  diduga  rupturnya 
        menjadi  sumber  perdarahan.  Lebih  jarang  perdarahan 
        terjadi  pada  fossa posterior yang dimulai  pada  pons 
        atau hemisfer serebeler.
             PIS akut sering terjadi saat atau setelah  latihan 
        fisik.  Sekitar  duapertiga akan  mengalami  perburukan 
        neurologis  progresif  dan sepertiganya  dalam  defisit 
        maksimal saat datang kerumah sakit. Penurunan kesadaran 
        terjadi pada 60% dan duapertiganya jatuh kedalam  koma. 
        Nyeri kepala dan mual dengan muntah terjadi pada 20-40% 
        kasus.   Gejala  ini  karena  peninggian   TIK   akibat 
        perdarahan. Kejang kurang umum terjadi, sekitar  7-14%. 
        Gejala  dan tanda lainnya tergantung ukuran dan  lokasi 
        spesifik  dari  bekuan  darah.  Tanda  khas  perdarahan 
        ganglia basal, biasanya putaminal, adalah defisit motor 
        kontralateral  dan gaze ipsi lateral  dengan  perubahan 
        sensori,  visual  dan tabiat. Perubahan  pupil  terjadi 
        akibat  ancaman  herniasi unkal lobus  temporal  akibat 
        peninggian  TIK  dan pergeseran  garis  tengah.  Gejala 
        afasik bila hemisfer dominan terkena.
             Perdarahan   menyebabkan   kerusakan    neurologis 
        melalui dua cara:
        1. Kerusakan   otak  yang  nyata  terjadi   pada   saat 
        perdarahan.  Ini  terutama pada kasus  dimana  hematoma 
        meluas kemedial dan talamus serta ganglia basal rusak.
        2. Hematoma  yang membelah korona  radiata  menyebabkan 
        kerusakan yang kurang selluler namun mungkin  berukuran 
        besar  dan menyebabkan penekanan serta gangguan  fungsi 
        neurologis yang mungkin reversibel.
             80%  pasien adalah hipertensif dan biasanya  dalam 
        eksaserbasi  akut dari hipertensinya pada saat  datang. 
        Kebanyakan kasus hematoma memecah kesistema ventrikuler 
        atau  rongga subarakhnoid menimbulkan  gambaran  klinis 
        PSA.  Pria terkena 5-20% lebih sering dari  wanita  dan 
        75-90%  terjadi antara usia 45-75 tahun. Pasien  dengan 
        koagulopatia lebih berrisiko terhadap PIS seperti  juga 
        penderita yang mendapat antikoagulan terutama Coumadin. 
        Trombositopenia  dengan  hitung  platelet  kurang  dari 
        20.000, penyakit hati, leukemia, dan obat-obat  seperti 
        amfetamin meninggikan risiko terjadinya PIS.
             PIS   terjadi  pada  teritori   vaskuler   arteria 
        perforating kecil seperti lentikulostriata pada ganglia 
        basal, talamoperforator diensefalon, cabang  paramedian 
        basiler  pada pons. Karenanya kebanyakan  terjadi  pada 
        struktur  dalam  dari hemisfer  serebral.  Berikut  ini 
        struktur beserta frekuensi kejadiannya: putamen 30-50%, 
        substansi putih subkortikal 30%, serebelum 16%, talamus 
        10-15%,  serta pons 5-12%. Arteria yang  paling  sering 
        menimbulkan  perdarahan adalah cabang  lentikulostriata 
        lateral  dari  arteria  serebral  media  yang   mencatu 
        putamen.
             PIS  merupakan  sekitar  10%  dari  semua   strok. 
        Seperti   dijelaskan   diatas,   ia   disebabkan   oleh 
        perdarahan arterial langsung ke parenkhima otak. Ruptur 
        vaskuler  dikira terjadi pada aneurisma  milier  kecil, 
        dijelaskan  oleh  Charcot dan Bouchard  1868,  dan/atau 
        pada  arteria  lipohialinotik yang sering  tampak  pada 
        otopsi  pasien dengan hipertensi. Minoritas  kasus  PIS 
        kemungkinan   disebabkan  aneurisma,  AVM,   malformasi 
        kavernosa,  amiloid serebral, atau tumor.  Glioblastoma 
        adalah  tumor otak primer yang paling sering  mengalami 
        perdarahan,  sedangkan  melanoma,  khoriokarsinoma  dan 
        ipernefroma  adalah  tumor  metastatik  yang  tersering 
        menimbulkan perdarahan.
             Kematian akibat PIS sekitar 50% dengan 3/4  pasien 
        yang  hidup,  tetap dengan  defisit  neurologis  nyata. 
        Penelitian  memperlihatkan  bahwa  prognosis   terutama 
        tergantung  pada  derajat  klinis  saat  pasien  masuk, 
        lokasi  serta  ukuran perdarahan.  Pasien  sadar  tentu 
        lebih baik dari pada pasien koma. Penelitian Dixon 1984 
        memperlihatkan bahwa satu-satunya prediktor  terpenting 
        atas  outcome adalah Skala Koma Glasgow. Pasien  dengan 
        hematoma  lober superfisial cenderung lebih  baik  dari 
        perdarahan batang otak yang lebih dalam. Perluasan klot 
        ke  sistema  ventrikuler  memperburuk  outcome.  Pasien 
        dengan perdarahan dengan diameter lebih dari 3 sm  atau 
        volumenya lebih dari 50 sk, lebih buruk. Pasien  dengan 
        kondisi  medis  buruk dan yang berusia  70  tahun  atau 
        lebih cenderung mempunyai outcome buruk.
             Tampilan  klinis karenanya akan berupa  meningisme 
        pada  onset  akut dan bersamaan  dengan  tampilan  yang 
        segera  dari defisit neurologis fokal  akibat  hematoma 
        yang bila  cukup  besar,  perburukan  progresif  akibat 
        peninggian  tekanan intrakranial.  Hilangnya  kesadaran 
        lebih sering dibanding ruptur aneurisma serebral.
             Penelitian  Herbstein dan Schaumberg  1974  dengan 
        menyuntikkan   eritrosit   yang   dilabel    radioaktif 
        memperlihatkan  bahwa  fase aktif perdarahan  saat  PIS 
        akuta berakhir dibawah dua jam. Perburukan  selanjutnya 
        diduga sebagai edema otak reaktif yang dapat  dikurangi 
        dengan evakuasi secara bedah terhadap klot darah.
        
        
        Hipertensi Arterial
        
        Kelainan serebrovaskuler hipertensif merupakan  70-90 % 
        PIS spontan. Sumber tersering perdarahan adalah arteria 
        penetrating  kecil  (80-300um), yaitu  arteria  talamo-
        perforating  dan  lentikulostriata serta  cabang  para-
        median  arteria  basiler. Tampak  degenerasi  yang  di-
        induksi  oleh hipertensi pada media  dinding  arterial, 
        nekrosis fibrinoid, yang berakibat kelemahan  progresif 
        dan/atau  terbentuknya  mikroaneurisma. Apa  yang  mem- 
        presipitasi  perdarahan tidak jelas,  walau  peninggian 
        tekanan  darah  mendadak karena latihan  atau  kegiatan 
        fisik umum terjadi.
             Predileksi  perubahan  patologis  yang   diinduksi 
        hipertensi  pada  arteria subkortikal  dan  perforating 
        kecil menjelaskan lokasi anatomik khas perdarahan  ini. 
        Daerah paling sering terkena adalah kaudat dan  putamen 
        (35-45 %), diikuti substansi putih subkortikal  (25 %), 
        talamus (20 %), pons (5 %). 90 % perdarahan pons adalah 
        akibat  hipertensi, dan 60-75 %  perdarahan  putaminal, 
        talamik,  dan serebelar adalah hipertensif.  Hipertensi 
        tak  jelas  sebagai faktor  etiologis  pada  perdarahan 
        lober.  Perdarahan ulang tampaknya  jarang,  penelitian 
        mutakhir sekitar 2.7 %. Penyebab utama perburukan tunda 
        adalah  sekunder terhadap edema serebral  dan  nekrosis 
        iskemik jaringan otak sekitar atau hidrosefalus.
        
        
        Aneurisma Intrakranial
        
        Perdarahan   akibat  aneurisma  yang  ruptur   biasanya 
        keruang  subarakhnoid  dan jarang  keventrikel  lateral 
        atau parenkhim otak. Aneurisma yang pecah merupakan 18-
        23 % kasus. Peradarahan biasanya pada lobus frontal dan 
        temporal, diakibatkan  oleh aneurisma  arteria  karotid 
        internal  atau serebral media.  Kemungkinan  perdarahan 
        ulang 4 % pada 24 jam pertama sejak perdarahan inisial, 
        dan  1.5 %  setiap  hari.  Insidens  perdarahan   ulang 
        19 %  selama  2  minggu pertama,  64 %  pada  1  bulan, 
        mencapai 78 % pada 2 bulan.
             Patogenesis  pembentukan dan perdarahan  aneurisma 
        kontroversial. Lesi ini diperkirakan sebagai  kelemahan 
        kongenital  pada  lapisan  muskuler  yang  memungkinkan 
        intima menonjol diantaranya, akhirnya merobek  membrana 
        elastik.  Pendapat  lain, lesi ini adalah  didapat  dan 
        perubahan   degeneratif   membrana   elastik   internal 
        memungkinkan  intima  mengalami herniasi  melalui  area 
        yang  lemah.  Mungkin juga kedua hal  tersebut  terjadi 
        bersamaan. 
             Aneurisma  mikotik, 1-2 % dari  seluruh  aneurisma 
        serebral,  paling  sering akibat emboli  septik  keotak 
        dari   endokarditis  bakterial.  Perdarahan   tersering 
        keparenkhima  otak akibat lokasinya distal dari  sirkel 
        Willis dan biasanya dilobus parietal.
             Aneurisma  intrakranial  jarang  terjadi   setelah 
        cedera  kepala,  biasa  sepanjang  arteria  perikalosal 
        didekat falks atau pada cabang distal arteria  serebral 
        media   pada   permukaan  kortikal   didekat   fraktura 
        tengkorak.  Aneurisma  traumatika  biasanya   berakibat 
        perdarahan parenkhimal dalam masa minggu, bulan, bahkan 
        tahun setelah cedera kepala berat.
        
        
        Angiopati Amiloid Serebral
        
        Penyebab   tersering  ketiga  PIS  setelah   hipertensi 
        arterial dan aneurisma, sekitar 10 % dari PIS  spontan. 
        Autopsi  menunjukkan  40-70 % pasien  ini  mati  karena 
        perdarahan.  Kelainan  ini khas dengan  deposit  fibril 
        amiloid pada media dan intima arteria ukuran kecil  dan 
        sedang pada otak dan leptomening pasien tua. Perdarahan 
        mungkin  akibat  robeknya dinding pembuluh  yang  lemah 
        atau  mikroaneurisma. Insidens angiopati  amiloid  pada 
        pemeriksaan  setelah  mati  sekitar  8 %  pada   dekade 
        ketujuh dan 60 % pada dekade kesepuluh.
             Angiopati   amiloid  serebral  tidak   berhubungan 
        dengan angiopati amiloid sistemik dan terjadi sporadis,  
        namun  hubungan  famili  pernah  dilaporkan.   Hubungan 
        dengan  Alzheimer dipostulasikan karena  plak  dijumpai 
        pada   lebih  dari  50 %  kasus  dan   10-30 %   pasien 
        menunjukkan   demensia   progresif.   Berbeda    dengan 
        perdarahan  hipertensif, ia mempunyai  predileksi  pada 
        lapisan  superfisial  dari korteks  serebral,  terutama 
        pada  lobus parietal dan oksipital, dan  jarang  tampak 
        pada  substansi  putih atau  kelabu  dalam.  Perdarahan 
        spontan  berganda  pada pasien  tua  normotensif  lebih 
        mungkin  karena angiopati amiloid. Perdarahan  berulang 
        tidak  jarang  pada  kasus yang  operatif  maupun  non-
        operatif.
        
        
        Malformasi Vaskuler
        
        Malformasi  vaskuler intrakranial umumnya dibagi  empat 
        jenis kelainan patologis: 
        (1) malformasi arteria venosa (AVM),   
        (2) telangiektasia kapiler,   
        (3) malformasi kavernosa ('angioma'),    
        (4) malformasi venosa ('angioma').
             AVM  merupakan 6-13 % penyebab PIS spontan.  Suatu 
        kelainan kongenital yang terjadi minggu keempat  hingga 
        kedelapan kehidupan embrio. Terdapat hubungan persisten 
        antara  sistema  arterial  dan vena  tanpa  adanya  bed 
        kapiler. Nidus pembuluh yang berkelok-kelok dicatu oleh 
        arteri,  membesar progresif sesuai waktu karena  volume 
        yang beraliran kuat akibat tahanan perifer yang  rendah 
        dari pintas arteria-venosa. Peninggian tekanan vena dan 
        volume dengan aliran deras menyebabkan pembesaran  vena 
        pencurah  yang  progresif. Terjadinya  hambatan  aliran 
        curah vena atau varises menambah risiko perdarahan.
             AVM  terletak terutama di hemisfer  serebral  (70-
        93 %) dan lebih sering mengenai cabang arteria serebral 
        media.  Umumnya,  risiko perdarahan  subarakhnoid  atau 
        intraparenkhimal  dari AVM setelah didiagnosis  sekitar 
        3-4 %  pertahun. Risiko perdarahan yang  tampil  dengan 
        kejang atau tanpa kejang adalah serupa (3.9 dan 4.3 %). 
        Tingkat perdarahan mungkin tinggi selama tahun  pertama 
        setelah  didiagnosis bahkan pada pasien  tanpa  riwayat 
        perdarahan. Tak ada data konklusif yang  memperlihatkan 
        bahwa  AVM  yang  lebih  kecil  lebih  sering  berdarah 
        dibanding yang lebih besar.
             Telangiektasia   kapiler  adalah  kapiler   kecil, 
        soliter,  berdilatasi abnormal dengan  intervensi  pada 
        parenkhima   otak.  Predominan  pada  pons   dan   atap 
        ventrikel  keempat.  Hanya  kadang-kadang   berhubungan 
        dengan perdarahan spontan.
             Malformasi   kavernosa  adalah  anomali   vaskuler 
        sinusoid yang berdilatasi tanpa mengintervensi jaringan 
        neural  kecuali pada tepinya. Bervariasi dalam  ukuran, 
        terkadang   berganda,  dan  ditemukan   terutama   pada 
        hemisfer serebral. Lesi ini paling sering tampil dengan 
        nyeri kepala, bangkitan, atau defisit neurologis fokal. 
        Walau   MRI  biasanya  menunjukkan  adanya   perdarahan 
        tersembunyi,  perdarahan  yang  nyata  adalah   jarang. 
        Perkiraan  risiko perdarahan yang nyata  secara  klinis 
        adalah 0.25-0.7 % per orang-tahun eksposur.
             Malformasi   venosa  adalah  koleksi   vena   yang 
        tersusun radial dan dialirkan kevena sentral.  Terdapat 
        intervensi  parenkhima neural didalam malformasi  vena. 
        Terletak  biasanya dilobus frontal atau  parietal  atau 
        substansi  putih  dalam  dari  serebelum.  Diagnosisnya 
        insidental. Insidens perdarahan yang berhubungan dengan 
        lesi  ini  agak  tinggi  (17-22 %),  pada  pasien  yang 
        didiagnosis  setelah timbulnya komplikasi  yang  berat. 
        Pada  semua kasus yang radiologis  menunjukkan  angioma 
        venosa,  perkiraan  risiko perdarahan  0.22 %  pertahun 
        (Garner,  1991).  Temuan  ini  membenarkan   pendekatan 
        konservatif.
             Variks  venosa, jenis patologis yang berbeda  dari 
        malformasi  vaskuler, dikira sebagai varian  malformasi 
        venosa. Berisi vena tunggal yang berdilatasi yang tidak 
        berhubungan  dengan  pintas  arteriovenosa.  Perdarahan 
        spontan dari variks sangat jarang.
        
        
        Tumor Otak
        
        Perdarahan  spontan kedalam tumor otak kurang dari  1 % 
        dari  tumor otak, sedang tumor  yang  bertanggung-jawab 
        dijumpai  pada  2-10 % pasien dengan PIS.  Jenis  tumor 
        yang paling sering berdarah adalah glioma malignan  dan 
        metastase,  tersering  adalah melanoma,  karsinoma  sel 
        renal,  khoriokarsinoma,  dan  karsinoma  bronkhogenik. 
        Kecenderungan  tumor  malignan  untuk  berdarah  dikira 
        berhubungan  dengan  kecenderungannya  untuk  mengalami 
        nekrosis  spontan akibat pertumbuhannya yang cepat  dan 
        vaskulatur  yang  kaya namun mudah rusak.  Tumor  jinak 
        jarang pecah spontan.
        
        
        Antikoagulan
        
        Sodium  warfarin, antikoagulan oral,  sering  digunakan 
        mencegah  embolisme venosa atau arterial.  Sekitar  8 % 
        pasien  yang  mendapat sodium warfarin  akan  mengalami 
        komplikasi  perdarahan. Walau  perdarahan  intrakranial 
        hanya  0.5-1.5 % dari semua komplikasi, namun  biasanya 
        mematikan.  Pasien  dengan antikoagulan  oral  memiliki 
        risiko perdarahan 11 kali lebih tinggi dibanding pasien 
        tanpa  antikoagulan  pada  faktor  risiko  yang   sama. 
        Sekitar 80 % pasien dengan antikoagulan yang  mengalami 
        PIS  mempunyai waktu protrombin yang  sangat  memanjang 
        (lebih  dari 16-18 dt). Walau ada yang menemukan  bahwa 
        penambahan  usia, infarksi serebral sebelumnya,  hiper-
        tensi,   dan  penambahan  durasi  terapi   antikoagulan 
        meninggikan  risiko PIS, peneliti lain tidak  menemukan 
        adanya   hubungan.  Cedera  kepala  tidak   menunjukkan 
        sebagai  etiologi  yang bermakna dari PIS  pada  pasien 
        ini. Lokasi tersering perdarahan adalah ruang subdural, 
        diikuti  parenkhima otak dan kemudian  perdarahan  sub-
        arakhnoid.
        
        
        Kelainan Perdarahan Herediter
        
        Hemofilia  dan kelainan von Willebrand  merupakan  90 % 
        dari  defek perdarahan herediter yang berat.  Hemofilia 
        adalah  defisiensi faktor VIII (hemofilia A) atau  yang 
        lebih jarang, faktor IX (hemofilia B), yang resesif  X-
        link. Terdapat pemanjangan waktu tromboplastin parsial. 
        Tampilan  klinis  bervariasi  berdasar  derajat  faktor 
        defisiensi  yang  didapat  dari  pemeriksaan  pembekuan 
        invitro. Perdarahan intrakranial dapat terjadi  spontan 
        atau akibat cedera kepala tak berarti.
             Penyakit  von Willebrand adalah  kelainan  dominan 
        autosom  yang khas dengan defisiensi  aktifitas  faktor 
        VIII,   waktu  perdarahan  yang  memanjang,   aggregasi 
        platelet  ristosetin abnormal.. Tindakan berat  seperti 
        operasi tidak merupakan risiko besar pada pasien dengan 
        kelainan  von  Willebrand, tidak seperti  yang  terjadi 
        pada hemofilia. Perdarahan spontan jarang.
        
        
        Trombositopenia
        
        Trombositopenia  (jumlah platelet kurang  dari  80.000/ 
        mm3) adalah penyebab tersering dari perdarahan abnormal 
        karena   produksi   platelet  yang   menurun,   ataupun 
        peninggian  sekuestrasi atau destruksi yang  bertambah. 
        Penyebab  penurunan produksi platelet antaranya  anemia 
        aplastik,  leukemia, keadaan gagal sumsum tulang  lain, 
        dan  setelah  terapi khemoterapi  sitotoksik.  Penyebab 
        peninggian destruksi platelet antaranya trombositopenik 
        purpura idiopatik (autoimun), trombositopenia  sekunder 
        atau  yang diinduksi obat-obatan,  purpura  trombosito-
        penia  trombotik, sindroma uremik hemolitik,  koagulasi 
        intravaskuler diseminata, dan vaskulitis. Secara  umum, 
        jumlah  platelet lebih dari 50.000/mm3 tidak  berkaitan 
        dengan   komplikasi  perdarahan  yang   bermakna,   dan 
        perdarahan spontan berat jarang dengan jumlah  platelet 
        lebih  dari 20.000/mm3. Walau jarang, PIS spontan  bisa 
        terjadi dan khas dengan onset yang tak jelas dari nyeri 
        kepala, diikuti perburukan tingkat kesadaran.  Hematoma 
        subdural lebih jarang.
        
        
        Obat-obatan Simpatomimetik
        
        Amfetamin,  fenilpropanolamin, dan kokain  adalah  obat 
        simpatomimetik  yang paling sering  berhubungan  dengan 
        strok hemoragik. Penggunaan kokain yang meningkat  pada 
        dekade  terakhir  ini paralel dengan  peninggian  kasus 
        strok yang berhubungan dengan kokain. Usia pasien strok 
        yang  berkait dengan kokain rata-rata 32 tahun,  paling 
        sering  pada  usia duapuluhan. PIS  terjadi  pada  49 % 
        pasien, PSA pada 29 %, dan infarksi serebral pada 22 %. 
        Ditemukan  kelainan pada 72 % pasien  yang  mendapatkan 
        angiografi,  seperti  aneurisma, AVM,  vaskulitis,  dan 
        vasospasme,  oklusi  atau stenosis arterial.  Ada  juga 
        yang mempunyai anomali lebih dari satu.
             Dipostulasikan  bahwa peninggian transien  tekanan 
        darah  setelah pemakaian obat ini mungkin  bertanggung-
        jawab atas rupturnya pembuluh darah serebral,  termasuk 
        anurisma   dan  AVM  intrakranial.  Sebagai   tambahan, 
        perdarahan  akibat vaskulitis yang tampak  pada  angio-
        grafi  sebelumnya, menambah kemungkinan dari  angiopati 
        yang  diinduksi  obat-obatan.  Dalam  hal  ini,  secara 
        patologis,  terdapat  angitis  nekrotizing  yang   khas 
        dengan degenerasi fibrinoid dan nekrosis dari media dan 
        intima   arteria  berukuran  kecil  dan  sedang   serta 
        arteriola. Apakah perubahan disebabkan oleh efek toksik 
        langsung   dari  obat  atau  reaksi   hipersensitifitas 
        terhadap obat belum jelas.
        
        
        GAMBARAN KLINIS
        
        PIS spontan khas dengan onset mendadak dan evolusi yang 
        relatif  cepat dari gejala dalam hitungan  menit,  jam, 
        dan terkadang hari. Perdarahan sekunder terhadap terapi 
        antikoagulan biasanya mempunyai perjalanan gejala  yang 
        lebih lambat. Terjadi khas dengan tiadanya  tanda-tanda 
        peringatan; pasien umumnya merasa sehat sebelum iktus.
             Saat datang, 72 % pasien dengan PIS dalam koma,  8 
        %  dalam  stupor,  walau  perdarahan  lobar   mempunyai 
        insidens  koma lebih rendah. Diantara pasien  yang  non 
        koma, 60 % adalah hemiplegik, 43 % kesulitan bicara, 13 
        % dengan kelainan pupil, dan 16 % dengan bangkitan.
             Nyeri  kepala tampil hanya pada 33 %  pasien  pada 
        onset  gejala  dan  pada  60 %  sebelum,  selama,  atau 
        setelah  timbulnya  defisit  neurologis.  Nyeri  kepala 
        berat  atau nyeri kepala yang memburuk  progresif  yang 
        bersamaan dengan defisit neurologis harus  mewaspadakan 
        kita akan kemungkinan PIS. Walau nyeri kepala  biasanya 
        nonspesifik,  Ropper dan Davis menemukan  bahwa  lokasi 
        mungkin membantu memperkirakan letak perdarahan lober.
             Muntah  terjadi  pada 51 % pasien.  Terjadi  lebih 
        sering pada onset PIS dibanding dengan infarksi.
             Tanda dan gejala neurologis tergantung lokasi  dan 
        ukuran  perdarahan.  Sindroma klinis  berdasarkan  pada 
        perdarahan  pada suatu lokasi anatomis  tertentu  telah 
        diketahui. Kebanyakan berkaitan dengan hipertensi.
        
        
        Putamen

        Perdarahan  putaminal khas dengan onset progresif  pada 
        hampir  duapertiga  pasien, dan kurang  dari  sepertiga 
        mempunyai  gejala  mendadak dan  hampir  maksimal  saat 
        onset. Nyeri kepala tampil saat onset gejala hanya pada 
        14 %  kasus  dan pada setiap waktu  hanya  28 %;  semua 
        pasien  menunjukkan berbagai bentuk defisit motori  dan 
        sekitar  65 % mengalami perubahan reaksi terhadap  pin-
        prick.
             Perdarahan  putaminal  kecil  menyebabkan  defisit 
        sedang  motori  dan sensori  kontralateral.  Perdarahan 
        berukuran sedang mula-mula mungkin tampil dengan  hemi-
        plegia flaksid, defisit hemisensori, deviasi  konjugasi 
        mata  pada  sisi perdarahan,  hemianopia  homonim,  dan 
        disfasia  bila yang terkena hemisfer dominan.  Progresi 
        menjadi  perdarahan  masif berakibat  stupor  dan  lalu 
        koma,  variasi  respirasi,  pupil  tak  berreaksi  yang 
        berdilatasi,  hilangnya  gerak  ekstra-okuler,   postur 
        motor abnormal, dan respons Babinski bilateral.
        
        
        Talamus
        
        Sindroma klinis akibat perdarahan talamus sudah dikenal. 
        Umumnya  perdarahan talamus kecil  menyebabkan  defisit 
        neurologis  lebih  berat  dari  perdarahan   putaminal. 
        Seperti perdarahan putaminal, hemiparesis kontralateral 
        terjadi  bila  kapsula internal  tertekan.  Namun  khas 
        dengan  hilangnya hemisensori kontralateral yang  nyata 
        yang   mengenai  kepala,  muka,  lengan,   dan   tubuh. 
        Perluasan  perdarahan  kesubtalamus  dan  batang   otak 
        berakibat gambaran okuler klasik yaitu terbatasnya gaze 
        vertikal,  deviasi  mata  kebawah,  pupil  kecil  namun 
        berreaksi  baik atau lemah. Anisokoria, hilangnya  kon-
        vergensi, pupil tak berreaksi, deviasi serong,  defisit 
        lapang  pandang,  dan nistagmus retraksi  juga  tampak. 
        Anosognosia yang berkaitan dengan perdarahan sisi kanan 
        dan  gangguan bicara yang berhubungan dengan lesi  sisi 
        kiri  tidak jarang terjadi. Nyeri kepala  terjadi  pada 
        20-40 %  pasien.  Hidrosefalus  dapat  terjadi   akibat 
        penekanan jalur CSS.
        
        
        Pons
        
        Perdarahan  pontin  paling  umum  menyebabkan  kematian 
        dari  semua  perdarahan otak. Bahkan  perdarahan  kecil 
        segera  menyebabkan koma, pupil pinpoint (1  mm)  namun 
        reaktif, gangguan gerak okuler lateral, kelainan  saraf 
        kranial,  kuadriplegia,  dan  postur  ekstensor.  Nyeri 
        kepala, mual dan muntah jarang.
        
        
        Cerebelum
        
        Sindroma klinis perdarahan serebeler pertama dijelaskan 
        secara  jelas  oleh  Fisher.  Yang  khas  adalah  onset 
        mendadak  dari mual, muntah, tidak mampu  bejalan  atau 
        berdiri.  Tergantung dari evolusi  perdarahan,  derajat 
        gangguan  neurologis terjadi. Hipertensi adalah  faktor 
        etiologi pada kebanyakan kasus.
             Duapertiga dari pasien dengan perdarahan serebeler 
        spontan mengalami gangguan tingkat kesadaran dan  tetap 
        responsif saat datang; hanya 14 % koma saat masuk. 50 % 
        menjadi  koma  dalam 24 jam, dan  75 %  dalam  seminggu 
        sejak  onset. Mual dan muntah tampil pada  95 %,  nyeri 
        kepala  (umumnya  bioksipital) pada  73 %,  dan  pusing 
        (dizziness)  pada  55 %. Ketidakmampuan  berjalan  atau 
        berdiri  pada 94 %. Dari pasien non  koma,  tanda-tanda 
        serebeler umum terjadi termasuk ataksia langkah (78 %), 
        ataksia  trunkal (65 %), dan ataksia apendikuler  ipsi-
        lateral  (65 %). Temuan lain adalah palsi saraf  fasial 
        perifer   (61 %),   palsi  gaze   ipsilateral   (54 %), 
        nistagmus  horizontal (51 %), dan miosis (30 %).  Hemi-
        plegia  dan hemiparesis jarang, dan bila  ada  biasanya 
        disebabkan  oleh strok oklusif yang terjadi  sebelumnya 
        atau bersamaan. Triad klinis ataksia apendikuler, palsi 
        gaze ipsilateral, dan palsi fasial perifer  mengarahkan 
        pada perdarahan serebeler.
             Perdarahan  serebeler  garis  tengah   menimbulkan 
        dilema  diagnostik  atas  pemeriksaan  klinis.  Umumnya 
        perjalanan   pasien  lebih  ganas  dan  tampil   dengan 
        oftalmoplegia   total,  arefleksia,  dan   kuadriplegia 
        flaksid.
             Pada  pasien  koma,  diagnosis  klinis  perdarahan 
        serebeler  lebih  sulit karena  disfungsi  batang  otak 
        berat.  Dari  pasien koma,  83 %  dengan  oftalmoplegia 
        eksternal  yang  lengkap,  53 %  dengan   irreguleritas 
        pernafasan,  54 % dengan kelemahan fasial  ipsilateral. 
        Pupil  umumnya  kecil; tak ada  reaksi  pupil  terhadap 
        sinar pada 40 % pasien.
        
        
        Lober
        
        Sindroma klinis akut perdarahan lober dijelaskan Ropper 
        dan  Davis.  Hipertensi kronik tampil hanya  pada  31 % 
        kasus, dan 4 % pasien yang koma saat datang. Perdarahan 
        oksipital  khas  menyebabkan nyeri berat  sekitar  mata 
        ipsilateral  dan  hemianopsia  yang  jelas.  Perdarahan 
        temporal kiri khas dengan nyeri ringan pada atau  dekat 
        bagian   anterior  telinga,  disfasia   fluent   dengan 
        pengertian   pendengaran  yang  buruk  namun   repetisi 
        relatif baik. Perdarahan frontal menyebabkan  kelemahan 
        lengan kontralateral berat, kelemahan muka dan  tungkai 
        ringan,  dan nyeri kepala frontal. Perdarahan  parietal 
        mulai dengan nyeri kepala temporal anterior  ('temple') 
        serta  defisit  hemisensori,  terkadang   mengenaitubuh 
        kegaris tengah. Evolusi gejala yang lebih cepat,  dalam 
        beberapa  menit,  namun tidak seketika  bersama  dengan 
        satu   dari  sindroma  tersebut   membantu   membedakan 
        perdarahan lober dari strok jenis lain. Kebanyakan  AVM 
        dan tumor memiliki lokasi lober.
        
        
        Kortikal
        
        Manifestasi  klinis  dari perdarahan  kortikal  spontan 
        tergantung ukuran dan lokasi perdarahan. Bila lesi  ini 
        terjadi  pada pasien normotensif, demensia, tua,  lebih 
        sering   diakibatkan   angiopati   amiloid    serebral. 
        Perdarahan berganda atau berulang memperkuat diagnosis. 
        Walau dapat berlokasi lober, berbeda dengan  perdarahan 
        lober, yang mana mereka terjadi dari  korteks.  Kadang-
        kadang   meluas  kesubstansi  putih  dalam  dan   pecah 
        keventrikel  lateral  atau kesuperfisial  keruang  sub-
        arakhnoid atau subdural.
        
        
        Intraventrikuler
        
        Perdarahan  intraventrikuler  spontan  tidak  berkaitan 
        dengan  sindroma  klinis  akut  tertentu.  Namun  onset 
        mendadak   nyeri  kepala  berat  dan  kekakuan   nukhal 
        mewaspadakan akan kemungkinan pecahnya aneurisma,  yang 
        terkadang   pecah   kesistema   ventrikuler.    Sebagai 
        tambahan, perburukan neurologis progresif setelah onset 
        gejala   non   fokal  mengarahkan   pada   hidrosefalus 
        obstruktif akuta akibat darah intraventrikuler.
             Umumnya   tanda  dan  gejala   perdarahan   intra-
        ventrikuler berhubungan dengan etiologi perdarahan  dan 
        PIS  yang terjadi. Sekitar 78 % perdarahan  ventrikuler 
        bersamaan    dengan   perdarahan   subarakhnoid    atau 
        parenkhimal.  Pada  pasien  dengan  perdarahan   hiper-
        tensif,  62 %  pecah kesistema  ventrikuler.  Aneurisma 
        atau  AVM  intraventrikuler  yang  pecah  harus  sangat 
        diduga bila tidak dijumpai perdarahan parenkhimal  yang 
        menyertai.
        
        
        DIAGNOSIS DAN PEMERIKSAAN DENGAN PENCITRAAN
        
        Pemeriksaan  saat serangan danriwayat medis  sebelumnya 
        memberi nilai penting akan penyebab perdarahan. Sebagai 
        tambahan,  pemeriksaan fisik umum dengan  teliti  serta 
        pemeriksaan neurologis adalah esensial. Berdasar temuan 
        tersebut  dan  pengetahuan akan  tampilan  klinis  PIS, 
        harus   mewaspadakan  kita  akan  adanya   lesi   massa 
        intrakranial,  namun  juga  kemungkinan  etiologi   dan 
        lokasi.
        
        
        Pungsi lumbar
        Walau gambaran klinis sering cukup untuk  memperkirakan 
        diagnosis, ia tak dapat ditegakkan dengan pasti  hingga 
        adanya  ruptur  aneurisma disingkirkan.  Pungsi  lumbar 
        dilakukan  pada  semua kasus  yang  diperkirakan  tidak 
        disertai peninggian tekanan intrakranial.
        
        
        Tomografi terkomputer
        Hematoma intraserebral segar tampak jelas, juga  ukuran 
        dan  lokasi  terhadap substansi putih dan  kelabu  dari 
        otak.  Distribusi  anatomis  hematoma  sendiri  memberi 
        pengarahan yang kuat akan etiologinya.
             CT  scan  memungkinkan diagnosis  yang  cepat  dan 
        akurat  atas PIS spontan. Tampilan  sering  mengarahkan 
        pada  lesi spesifik. CT scan dengan  kontras  intravena 
        mungkin  menunjukkan adanya tumor atau AVM,  pengenalan 
        atas kemungkinan penyebab perdarahan.
        
        
        Pencitraan Resonansi Magnetik (MRI)
        Dengan gadolinium intravena diindikasikan untuk  pasien 
        yang klinis stabil bila perdarahan spontan terjadi pada 
        pasien  nonhipertensif  dengan  pemeriksaan   koagulasi 
        normal,  perdarahan pada lokasi yang tidak  biasa  pada 
        pasien  hipertensif,  tampilan  klinis  mengarah   pada 
        penyebab   nonhipertensif,   atau   CT   scan   inisial 
        menunjukan lesi yang bertanggung-jawab seperti tumor.
        
        
        Angiografi
        Angiografi  serebral haus dilakukan pada  semua  pasien 
        yang  diduga  mempunyai PIS akibat  aneurisma,  fistula 
        arteriovenosa,  malformasi vaskuler,  atau  vaskulitis. 
        Terkadang,  angiogram  inisial mungkin  negatif  akibat 
        penekanan  oleh hematoma pada kelainan  vaskuler.  Bila 
        lesi  vaskuler  yang bertanggung-jawab  sangat  diduga, 
        angiografu  ulang  harus dilakukan 2-3  minggu  setelah 
        hematoma   berkurang  serta  edema   berkurang.   Hanya 
        angiografi  yang  dapat memberikan jawaban  pasti  atas 
        pertanyaan akan kelainan vaskuler yang mendasari.
        
        
        PENGELOLAAN
        
        Tindakan  segera terhadap pasien dengan  PIS  ditujukan 
        langsung   terhadap  pengendalian  TIK   serta mencegah 
        perburukan   neurologis  berikutnya.   Tindakan   medis 
        seperti  hiperventilasi, diuretik osmotik  dan  steroid 
        digunakan untuk mengurangi hipertensi intrakranial yang 
        disebabkan oleh efek massa perdarahan. Sudah dibuktikan 
        bahwa evakuasi perdarahan yang luas dan terletak  dalam 
        dapat  meninggikan  survival pada pasien  dengan  koma, 
        terutama  yang  bila  dilakukan  segera  setelah  onset 
        perdarahan.
             Walau  begitu pasien sering tetap  dengan  defisit 
        neurologis  yang  jelas.  Pasien  yang   memperlihatkan 
        tanda-tanda  herniasi  unkus memerlukan  evakuasi  yang 
        sangat  segera  dari hematoma.  Angiogram  memungkinkan 
        untuk menemukan kelainan vaskuler. Adalah sangat serius 
        untuk  memikirkan pengangkatan PIS yang besar  terutama 
        bila ia terletak pada hemisfer yang nondominan, bila ia 
        bersamaan  dengan hipertensi intrakranial yang  menetap 
        dan diikuti perburukan neurologis walau telah diberikan 
        tindakan medis maksimal.
             Adanya  hematoma  dalam  jaringan  otak  bersamaan 
        dengan adanya kelainan neurologis tampaknya  memerlukan 
        evakuasi   bedah  segera  sebagai  tindakan   terpilih. 
        Beratnya   perdarahan  inisial   menggolongkan   pasien 
        kedalam tiga kelompok:
        
        1. Perdarahan progresif fatal. Kebanyakan pasien berada 
        pada keadaan medis buruk. Perubahan hebat tekanan darah 
        mempengaruhi   kemampuan  otak  untuk   mengatur   catu 
        darahnya,  gangguan elektrolit umum terjadi dan  pasien 
        sering  dehidrasi. Hipoksia akibat efek  serebral  dari 
        perdarahan  serta  obstruksi  jalan  nafas  memperburuk 
        keadaan. Perburukan dapat diikuti sejak saat perdarahan 
        dengan  bertambahnya  tanda-tanda  peninggian  TIK  dan 
        gangguan  batang otak. Pengelolaan inisial  pada  kasus 
        berat  ini  adalah medikal  dengan  mengontrol  tekanan 
        darah   ketingkat  yang  tepat,   memulihkan   kelainan 
        metabolik,  mencegah  hipoksia dan  menurunkan  tekanan 
        intrakranial  dengan  manitol,  steroid  serta tindakan 
        hiperventilasi.
        
        2. Kelompok sakit ringan, 
        
        3. Kelompok  intermediet, dimana perdarahan cukup berat 
        untuk menimbulkan defisit neurologis parah namun  tidak 
        cukup  untuk  menyebabkan pasien tidak  dapat  bertahan 
        hidup.  Tindakan  medikal diatas  diberikan  hingga  ia 
        keluar dari keadaan berbahaya, namun keadaan neurologis 
        tidak  menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Pada  keadaan 
        ini pengangkatan hematoma, terutama yang terletak  pada 
        substansi  putih, dilakukan secara bedah.
             Akhir-akhir ini diteliti bahwa bila tanpa disertai 
        efek massa jelas, tidak terbukti bahwa operasi terhadap 
        PIS  kecil,  terutama bila  terletak  superfisial  pada 
        substansi putih subkortikal, akan memperbaiki outcome.
             Dalam mempertimbangkan tindakan operasi  tersangka 
        PIS   hipertensif,  angiogram  penting  untuk   mencari 
        penyebab  potensial  lain seperti aneurisma,  AVM  atau 
        tumor. Sayangnya kemungkinan amiloid tidak begitu dapat 
        diprediksi dan bila ditemukan mungkin agak  menimbulkan 
        kesulitan saat operasi dalam hal mengatasi  perdarahan. 
        Juga  sangat penting untuk mencari kelainan  perdarahan 
        sebelum operasi dan mengoreksinya bila mungkin.
             Perdarahan   primer  fossa   posterior   mempunyai 
        keistimewaan  dimana evakuasi dini dari  hematoma  pada 
        pasien yang hidup setelah perdarahan inisial  merupakan 
        urgensi  yang  sangat. Obstruksi jalur  CSS  baik  pada 
        akuaduk atau ventrikel keempat menyebabkan hidrosefalus 
        segera  yang  memperburuk  keadaan  pada  pasien   yang 
        perdarahannya  sendiri  belum  tentu  mengancam   jiwa. 
        Perdarahan  serebeler  biasanya timbul  tanpa  disertai 
        kehilangan  kesadaran,  ataupun  defisit  motorik  atau 
        sensorik.  Namun nyeri kepala, pusing, serta  kesulitan 
        berjalan,  dan  gerak  mata  abnormal  sering  terjadi. 
        Karena  perburukan klinis sering terjadi  sangat  cepat 
        dan tindakan evakuasi secara bedah telah  diperlihatkan 
        bermanfaat, penting sekali menemukan kelainan klinisnya 
        sesegera mungkin.
        
        
        PENGELOLAAN SECARA MEDIKAL
        
        
        Penilaian dan Pengelolaan Inisial
        
        Pengelolaan  spontan terutama tergantung keadaan klinis 
        pasien serta etiologi, ukuran serta lokasi  perdarahan. 
        Tak peduli apakah tindakan konservatif atau bedah  yang 
        akan dilakukan, penilaian dan tindakan medikal  inisial 
        terhadap pasien adalah sama.    
             Saat  pasien datang atau  berkonsultasi,  evaluasi 
        dan  pengelolaan  awal harus  dilakukan  bersama  tanpa 
        penundaan   yang  tak  perlu.  Pemeriksaan   neurologis 
        inisial,  yang  dapat dilakukan dalam 10  menit,  harus 
        menyeluruh.  Informasi  ini penting  tidak  saja  untuk 
        memastikan prognosis, namun juga untuk membuat  rencana 
        tindakan  selanjutnya.  Pemeriksaan  neurologis  serial  
        harus dilakukan.
                  Tindakan standar adalah untuk  mempertahankan 
        jalan nafas, pernafasan, dan sirkulasi. Hipoksia  harus 
        ditindak segera untuk mencegah cedera serebral sekunder 
        akibat iskemia. Pengamatan ketat dan pengaturan tekanan 
        darah  penting  baik  pada  pasien  hipertensif  maupun 
        nonhipertensif.    Jalur   arterial   dipasang    untuk 
        pemantauan  yang sinambung atas tekanan darah.  Setelah 
        PIS,  kebanyakan  pasien  adalah  hipertensif.  Penting 
        untuk tidak menurunkan tekanan darah secara  berlebihan 
        pada   pasien  dengan  lesi  massa   intrakranial   dan 
        peninggian TIK, karena secara bersamaan akan menurunkan 
        tekanan  perfusi  serebral.  Awalnya,  usaha  dilakukan 
        untuk  mempertahankan  tekanan darah  sistolik  sekitar 
        160mmHg pada pasien yang sadar dan sekitar 180mmHg pada 
        pasien koma, walau nilai ini terkadang tidak mutlak dan 
        akan bervariasi tergantung masing-masing pasien. Pasien 
        dengan  riwayat  hipertensi berat  dan  tak  terkontrol 
        mungkin  diperkenankan  untuk  mempertahankan   tekanan 
        darah   sistoliknya  diatas  180mmHg,  namun   biasanya 
        dibawah  210mmHg, untuk mencegah  meluasnya  perdarahan 
        oleh perdarahan ulang. Pengelolaan awal  hipertensinya, 
        lebih disukai labetolol, suatu antagonis alfa-1, beta-1 
        dan beta-2 kompetitif. Drip nitrogliserin mungkin perlu 
        untuk kasus tertentu.
             Gas   darah  arterial  diperiksa   untuk   menilai 
        oksigenasi  dan status asam-basa. Bila jalan nafas  tak 
        dapat  dijamin,  atau diduga suatu  lesi  massa  intra-
        kranial  pada  pasien  koma  atau  obtundan,  dilakukan 
        intubasi  endotrakheal. Cegah pemakaian agen  anestetik 
        yang  akan meninggikan TIK seperti oksida  nitro.  Agen 
        anestetik  aksi pendek lebih disukai. Bila  diduga  ada 
        peninggian   TIK,   dilakukan   hiperventilasi    untuk 
        mempertahankan  PCO2  sekitar  25-30mmHg,  dan  setelah 
        kateter  Foley terpasang, diberikan mannitol  1.5  g/kg 
        IV.  Tindakan  ini juga dilakukan  pada  pasien  dengan 
        perburukan  neurologis  progresif  seperti   perburukan 
        hemiparesis,   anisokoria  progresif,  atau   penurunan 
        tingkat  kesadaran. Dilakukan  elektrokardiografi,  dan 
        denyut nadi dipantau.
             Darah  diambil  saat  jalur  intravena   dipasang. 
        Hitung  darah  lengkap,  hitung  platelet,  elektrolit, 
        nitrogen urea darah, kreatinin serum, waktu protrombin, 
        waktu  tromboplastin  parsial,  dan  tes  fungsi   hati 
        dinilai. Foto polos dilakukan bila perlu.
             Setelah  penilaian  secara cepat  dan  stabilisasi 
        pasien, dilakukan CT scan kepala tanpa kontras.  Sekali 
        diagnosis   PIS   ditegakkan,   pasien   dibawa   untuk 
        mendapatkan    pemeriksaan   radiologis    lain    yang 
        diperlukan,  keunit perawatan intensif,  kamar  operasi 
        atau   kebangsal,  tergantung  status  klinis   pasien, 
        perluasan   dan  lokasi  perdarahan,   serta   etiologi 
        perdarahan. Sasaran awal pengelolaan adalah  pencegahan 
        perdarahan  ulang  dan mengurangi  efek  massa,  sedang 
        tindakan  berikutnya diarahkan pada  perawatan  medikal 
        umum serta pencegahan komplikasi.
        
        
        Pencegahan atas Perdarahan Ulang
        
        Perdarahan  ulang jarang pada  perdarahan  hipertensif. 
        Saat pasien sampai didokter, perdarahan aktif  biasanya 
        sudah berhenti. Hal yang sama, risiko perdarahan  ulang  
        dari  AVM  dan tumor juga jarang. Tindakan  utama  yang 
        dilakukan   untuk  mencegah  perdarahan  ulang   adalah 
        mengontrol  tekanan  darah seperti  dijelaskan  diatas. 
        Pada  perdarahan karena aneurisma yang  ruptur,  risiko 
        perdarahan  ulang lebih tinggi.  Dilakukan usaha  untuk 
        mempertahankan  tekanan  darah 10-20 %  diatas  tingkat 
        normotensif  untuk  mencegah  vasospasme,  namun  cukup 
        rendah   untuk  menekan  risiko  perdarahan.   Beberapa 
        menganjurkan  pemakaian asam aminokaproat,  suatu  agen 
        antifibrinolitik.  Namun manfaat serta  indikasi  untuk 
        pemakaiannya tetap belum jelas.
             Kasus dengan koagulasi abnormal, risiko perdarahan 
        ulang  atau  perdarahan  yang  berlanjut  sangat  nyata 
        kecuali  bila koagulopati dikoreksi. Pasien dengan  PIS 
        akibat  terapi antikoagulan memerlukan  koreksi  segera 
        atas  faktor  koagulasinya.  Heparin  intravena  (waktu 
        paruh 1-2 jam) harus dihentikan, dan diberikan protamin 
        sulfat  agar segera menghapuskan efek  heparin.  Pasien 
        dengan  PIS  yang mendapat warfarin  harus  mendapatkan 
        plasma   segar  yang  dibekukan   (FFP)   agar   segera 
        menghilangkan  antikoagulasi. Vitamin  K  (fitonadion), 
        yang  memerlukan kurang dari 6 jam untuk  mengembalikan 
        parameter  koagulasi  kenormal,  harus  juga  diberikan 
        untuk  membantu mempertahankan hemostasis.  Pemeriksaan 
        koagulasi harus diamati dan tambahan FFP dan vitamin  K 
        diberikan bila perlu.
             Pasien dengan  PIS akibat penyakit von  Willebrand 
        atau  hemofilia  A  atau  B  harus  segera  mendapatkan 
        konsultasi  hematologis.  Pasien von  Willebrand  harus 
        mendapat  kriopresipitat.  Pasien  dengan  hemofilia  A 
        harus  mendapat kriopresipitat atau  konsentrat  liofil 
        faktor VIII. Pasien hemofilia B mungkin bisa  diberikan  
        FFP intravena atau konsentrat yang kaya faktor II, VII, 
        IX,   dan  X.  Kadar  darah  faktor   pembekuan   harus 
        dipertahankan  paling  tidak 20-30 % dari  normal  bila 
        operasi untuk mengevakuasi hematom tidak akan dilakukan 
        dan 50-100 % dari normal bila diperlukan operasi.  Bila 
        PIS   terjadi  pada  pasien  dengan  defek   perdarahan 
        kongenital,  FFP harus diberikan. Ini  akan  memberikan 
        semua faktor pembekuan kecuali platelet.
             PIS  akibat suatu trombositopenia  harus  mendapat 
        transfusi  platelet, tidak peduli etiologi  trombosito-
        penianya  untuk mempertahankan jumlah  platelet  paling 
        tidak  100.000/mm3.  Pasien dengan  penurunan  produksi 
        platelet,  waktu hidup platelet biasanya normal  hingga 
        hitung  platelet dapat dipertahankan  dengan  transfusi 
        berulang.  Pada kasus dengan  peningkatan  penghancuran 
        platelet,  waktu hidup platelet sangat memendek  hingga 
        platelet  yang ditransfusikan hanya  bersikulasi  dalam 
        masa pendek, sekitar satu jam. Jadi transfusi  platelet 
        mempunyai  nilai yang sangat terbatas. Pada kasus  ini, 
        setelah  transfusi  platelet  inisial,   kortikosteroid 
        sering  berguna  dalam  meninggikan  hitung   platelet. 
        Sering  diperlukan  splenektomi untuk  membuang  daerah 
        sekuestrasi platelet masif.
        
        
        Mengurangi Efek Massa
        
        Pengurangan  efek massa dapat dilakukan secara  medikal 
        maupun  bedah.  Pasien dengan peninggian  TIK  dan/atau 
        dengan  area  yang lebih fokal dari efek  massa,  usaha 
        nonbedah  untuk  mengurangi efek  massa  penting  untuk 
        mencegah iskemia serebral sekunder dan kompresi  batang 
        otak  yang  mengancam jiwa. Tindakan  untuk  mengurangi 
        peninggian TIK antaranya (1) elevasi kepala hingga  30o 
        untuk   mengurangi  volume  vena   intrakranial   serta 
        memperbaiki   drainase  vena;  (2) mannitol   intravena 
        (mula-mula  1.5 g/kg bolus, lalu 0.5 g/kg tiap 4-6  jam 
        untuk mempertahankan osmolalitas serum 295-310 mOsm/L); 
        (3) restriksi cairan ringan (67-75 % dari pemeliharaan) 
        dengan  penambahan  bolus  cairan  koloid  bila  perlu; 
        (4) ventrikulostomi   dengan   pemantauan   TIK   serta 
        drainasi  CSS  untuk  mempertahankan  TIK  kurang  dari 
        20mmHg;  dan  (5)  intubasi  endotrakheal  dan   hiper-
        ventilasi, mempertahankan PCO2 25-30mmHg.
             Pada  pasien  sadar  dengan  efek  massa  regional 
        akibat  PIS, peninggian kepala, restriksi  cairan,  dan 
        mannitol biasanya memadai. Tindakan ini dilakukan untuk 
        memperbaiki  tekanan  perfusi serebral  dan  mengurangi 
        cedera  iskemik  sekunder. Harus  ingat  bahwa  tekanan 
        perfusi  serebral  adalah  sama  dengan  tekanan  darah 
        arterial  rata-rata  dikurangi  tekanan   intrakranial, 
        hingga tekanan darah sistemik harus dipertahankan  pada 
        tingkat normal, atau lebih disukai sedikit lebih tinggi 
        dari   tingkat  normal.  Diusahakan   tekanan   perfusi 
        serebral setidaknya 70mg, bila perlu memakai vasopresor 
        seperti dopamin intravena atau fenilefrin.
             Pasien  sadar dipantau dengan  dengan  pemeriksaan 
        neurologis  serial, pemantauan TIK  jarang  diperlukan. 
        Pada  pasien  koma yang tidak sekarat  (moribund),  TIK 
        dipantau  secara rutin. Disukai ventrikulostomi  karena 
        memungkinkan  mengalirkan  CSS, karenanya  lebih  mudah 
        mengontrol  TIK. Perdarahan  intra-ventrikuler  menjadi 
        esensial  karena  sering  terjadi  hidrosefalus  akibat 
        hilangnya  jalur keluar CSS. Lebih  disukai  pengaliran 
        CSS  dengan  ventrikulostomi  dibanding  hiperventilasi 
        untuk  pengontrolan  TIK jangka  lama.  Pemantauan  TIK 
        membantu menduga manfaat tindakan medikal dan  membantu 
        memutuskan  apakah intervensi bedah  diperlukan.  Walau 
        pemantauan  TIK bermanfaat menuntun tindakan atas  PIS, 
        belum  dapat  diputuskan manfaatnya  dalam  memperbaiki 
        outcome.
             Pemakaian  kortikosteroid untuk  mengurangi  edema 
        serebral  akibat PIS pernah dilaporkan bermanfaat  pada 
        banyak  kasus  anekdotal dan sering  dianjurkan.  Namun 
        penelitian   menunjukkan   bahwa   deksametason   tidak 
        menunjukkan  efek  yang  bermanfaat,  disamping   jelas 
        meningkatkan  komplikasi (infeksi dan diabetes).  Namun 
        digunakan  deksametason IV, 4mg tiap 6 jam pada  pasien 
        dengan  perdarahan parenkhimal dimana tampilan CT  scan 
        memperlihatkan edema serebral yang berat.
        
        
        Perawatan Umum
        
        Manfaat nimodipin dalam mengelola PSA akibat  aneurisma 
        yang pecah sudah sangat jelas. Pasien dengan perdarahan 
        intraventrikuler atau kombinasi dengan perdarahan  sub-
        arakhnoid  atau parenkhimal akibat robeknya  aneurisma, 
        nimodipin diberikan 60mg melalui mulut atau NGT  setiap 
        4  jam. Namun penggunaan pada PIS  nonaneurismal  belum 
        pasti,  hingga tidak digunakan pada pasien PIS  spontan 
        nonaneurismal (UCLA, 1993).
             Antikonvulsan   diberikan  begitu  diagnosis   PIS 
        supratentorial  ditegakkan,  kecuali  bila   perdarahan 
        terbatas  pada  talamus  atau  ganglia  basal.   Secara 
        inisial disukai  fenitoin karena kadar darah terapeutik 
        dapat  dicapai dalam 1 jam dengan pemberian  IV,  mudah 
        pemberiannya,  dan efektif mencegah kejang  umum.  Pada 
        dewasa,  pembebanan 1 g IV (50 mg/mnt) diikuti  300-400 
        mg  IV atau oral perhari. Tekanan darah harus  dipantau 
        selama  pembebanan IV karena infus yang  terlalu  cepat 
        dapat  berakibat  penurunan  tekanan  darah   mendadak. 
        Sebagai  tambahan, EKG harus dipantau  karena  fenitoin 
        berkaitan  dengan  aritmia kardiak  termasuk  pelebaran 
        interval  PR  dan  gelombang Q  dengan  diikuti  kolaps 
        vaskuler.  Kadar  fenitoin  dipantau  ketat  dan  dosis 
        disesuaikan hingga kadar fenitoin serum dalam jangkauan 
        terapeutik (10-20 ug/mL) dan pasien bebas kejang.
             Antikonvulsan lain seperti fenobarbital (60  mg/IV 
        atao oral, dua kali sehari, kadar terapeutik darah  20-
        40  ug/mL)  dan  karbamazepin (200 mg  oral,  3-4  kali 
        sehari,  kadar  terapeutik  4-12  ug/mL).  Kejang  bisa 
        bersamaan  dengan peninggian dramatik TIK  dan  tekanan 
        darah  sistemik,  yang  dapat  menyebabkan  perdarahan, 
        karenanya  harus  dicegah.  Selain  itu  hipoksia   dan 
        asidosis   sering  tampak  selama   aktifitas   kejang, 
        potensial untuk menambah cedera otak sekunder.
             Pengelolaan  metabolik yang baik  diperlukan  pada 
        pasien dengan PIS. Status cairan, elektrolit serum, dan 
        fungsi  renal  harus ditaksir berulang,  terutama  pada 
        pasien dengan restriksi cairan, mendapat mannitol  atau 
        diuretika  lain,  atau  tidak  makan.  Nutrisi  memadai 
        adalah esensial.
             Perawatan   pulmoner   agresif   dilakukan   untuk 
        mencegah  sumbatan  mukus,  aspirasi,  dan   pneumonia. 
        Stoking  kompresi  pneumatik dan  tabung  anti  embolik 
        dipasang  untuk mencegah trombosis vena  dalam.  Terapi 
        fisik dimulai dini, memperbaiki jangkauan gerak.  Bidai 
        pergelangan  tangan  dan kaki dipasang  untuk  mencegah 
        kontraktur fleksi.
        
        
        Pemeriksaan Lain
        
        Pemeriksaan  dengan  pencitraan  lain  dilakukan   bila 
        etiologi perdarahan tidak jelas. Bisa berupa sidik  MRI 
        berulang  dengan  atau  tanpa  gadolinium  IV  dan/atau 
        angiogram  serebral.  CT scan  kepala  ulang  dilakukan 
        paling  tidak sekali perminggu selama  beberapa  minggu 
        sejak  perdarahan guna menaksir resolusi  hematoma  dan 
        juga  memeriksa terjadinya  hidrosefalus  komunikating, 
        terutama pada kasus perdarahan intraventrikuler. Hidro-
        sefalus  tunda mungkin bertanggung-jawab atas  tiadanya 
        perbaikan klinis atau perburukan pada beberapa  pasien. 
        CT  scan  harus lebih sering  bila  pasien  menunjukkan 
        semua  tanda  perdarahan ulang atau  perburukan  neuro-
        logis.
        
        
        PENGELOLAAN SECARA BEDAH
        
        Indikasi Operasi
        
        Indikasi  tindakan bedah terhadap pasien  PIS  terutama 
        tergantung pada etiologi, lokasi dan ukuran perdarahan, 
        serta  status  klinis pasien.  Masih  ditunggu,  apakah 
        evakuasi stereotaktik perdarahan intraparenkhimal  akan 
        berpengaruh  besar atas pengelolaan kasus secara  umum, 
        terutama pada kasus PIS yang terletak dalam.
        
        
        Etiologi Perdarahan
        
        Tampaknya  keberhasilan  terapi  konservatif  pada  PIS 
        hipertensif  sama  dengan terapi  bedah,  kecuali  pada 
        keadaan  tertentu  seperti  perdarahan  serebeler   dan 
        kadang-kadang  perdarahan lober atau  putaminal  dengan 
        perburukan   neurologis   progresif,   operasi   sangat 
        dianjurkan. Dilain fihak, manfaat operasi pada PIS non-
        hipertensif sudah jelas.
             Tindakan  bedah atas PIS spontan karena  angiopati 
        amiloid  harus  dicegah.  Operasi  akan   mengakibatkan 
        perdarahan  selama dan sesudah bedah. Dianjurkan  bahwa 
        tindakan  terhadap  perdarahan  masif  serebral  akibat 
        angiopati  amiloid  yang  khas pada  tampilan  CT  scan 
        dibatasi pada tindakan suportif.     
             Malformasi  arteriovenosa  yang  berdarah,  jarang 
        memerlukan  tindakan bedah, kecuali pada  kasus  dengan 
        peninggian  TIK atau ancaman kompresi batang otak  oleh 
        hematoma  yang mengancaman jiwa harus segera  dilakukan 
        operasi  pengangkatan  hematoma.  Semua  usaha  medikal 
        dilakukan  karena tindakan ini tidak  jarang  berakibat 
        perdarahan yang gawat dan tak terkontrol. Karena risiko 
        perdarahan ulang rendah, disukai untuk menunggu  paling 
        tidak satu minggu sebelum dilakukan tindakan bedah. Ini 
        memberi waktu agar edema serebral berkurang dan  pasien 
        membaik, serta memungkinkan melakukan angiografi dengan 
        lebih  sedikit distorsi oleh efek massa hingga  rencana 
        operasi  lebih  tepat.  Pendekatan  endovaskuler   atau 
        operasi   terbuka  dilakukan   secara   sendiri-sendiri 
        ataupun kombinasi.
             Waktu operasi atas aneurisma serebral yang  ruptur 
        tidak  ditentukan oleh PIS yang terjadi kecuali  pasien 
        memburuk  karena efek massa. Bila  diperlukan  evakuasi 
        hematoma,  harus dilakukan perbaikan atas  aneurismanya 
        pada saat operasi yang sama. 
             PIS   spontan   pada   tumor   otak   mengharuskan 
        eksplorasi bedah serta biopsi rongga hematomanya. Tidak 
        perlu  dilakukan secara gawat darurat  kecuali  terjadi 
        peninggian TIK yang mengancam jiwa atau adanya  defisit 
        neurologis progresif. MRI prabedah harus dilakukan, dan 
        bila perlu angiografi.
             Pengangakatan  secara bedah atas PIS spontan  pada 
        pasien  dengan  koagulopati tergantung  kondisi  klinis 
        pasien  serta  kesanggupan untuk  memperbaiki  kelainan 
        perdarahannya.  Pada pasien dengan  defisit  neurologis 
        progresif, kelainan koagulasi yang dapat dikoreksi, dan 
        lesi  yang  mungkin dijangkau,  adalah  kandidat  untuk 
        tindakan  bedah.  Diatesis perdarahan  yang  tak  dapat 
        dikoreksi tidak dipertimbangkan untuk operasi. Bila PIS 
        karena   terapi antikoagulan, antikoagulan tidak  boleh 
        diberikan lagi paling tidak seminggu sejak operasi. PIS 
        karena  suatu  trombositopenia, hitung  platelet  harus 
        dipertahankan  diatas 100.000/mm3 untuk seminggu  pasca 
        bedah.  Pasien  dengan  hemofilia  atau  kelainan   von 
        Willebrand,   kadar   darah  faktor   pembekuan   harus 
        dipertahankan  pada  50-100 % normal  untuk  7-10  hari 
        pasca bedah.
             Tindakan bedah pada PIS yang berkaitan dengan agen 
        simpatomimetik pada pasien yang tanpa kelainan vaskuler 
        adalah  serupa  dengan perdarahan  hipertensif.  Pasien 
        dengan   ruptur  aneuriusma  serebral  atau  AVM   yang 
        diinduksi obat-obatan dipertimbangkan unruk operasi.
        
        
        Lokasi dan Ukuran Perdarahan Hipertensif
        
        Indikasi bedah untuk pengangkatan perdarahan  putaminal 
        tetap  belum jelas. Umumnya disetujui  perdarahan  yang 
        diameternya kurang dari 3sm atau perdarahan yang  lebih 
        besar  yang meluas ke otak tengah atau  yang  berkaitan 
        dengan  tanda-tanda  kompresi batang  otak  tidak  akan 
        menunjukkan manfaat dengan evakuasi bedah, kecuali pada 
        kelompok  terakhir  tindakan  bedah  adalah  penyelamat 
        jiwa,  namun  perbaikan  jarang akan  melebihi  keadaan 
        vegetatif atau cacad berat.
             Pengelolaan  pasien  dengan  perdarahan   'sedang' 
        kurang pasti. Beberapa menyangsikan operasi akan  lebih 
        bermanfaat bila dibanding nonbedah, lainnya  melaporkan 
        adanya  perbaikan  hasil akhir bila  operasi  dilakukan 
        didalam  6  jam sejak perdarahan, atau  apabila  pasien 
        mengalami  perburukan  neurologis yang  cepat.  Fujitsu 
        menyimpulkan  bahwa  hanya  pasien  dengan   perburukan 
        neurologis progresif cepat yang memperlihatkan  manfaat 
        fungsional  atas  bedah. Pasien dengan  tanpa  progresi 
        atau  progresi lambat selama 6 jam pertama atau  dengan 
        perjalanan   fulminan  tidak   memperlihatkan   manfaat 
        fungsional  dengan  bedah. Jadi  tindakan  bedah  harus 
        dipertimbangkan  hanya  pada  pasien  dengan   hematoma 
        ukuran  sedang  (3-6sm) dan  yang  neurologis  memburuk 
        namun tanpa tanda kompresi batang otak.
             Perdarahan  talamik  hipertensif  terbaik  dirawat 
        nonbedah. Ventrikulostomi mungkin perlu apabila terjadi 
        ekstensi  perdarahan keventrikuler atau  adanya  tanda-
        tanda hidrosefalus obstruktif. Pasien dengan perdarahan 
        berdiameter  kurang  dari 1sm  jarang  disertai  ruptur 
        ventrikuler  dan  sembuh dengan baik.  Bila  perdarahan 
        berdiameter 1-3sm, juga membaik, namun dengan  beberapa 
        kecacadan.  Perbaikan dari perdarahan  berdiameter  3sm 
        atau  lebih  jarang terjadi. Pasien  dengan  perdarahan 
        lebih  dari 3.3sm umumnya mati. Kwak mendapatkan  bahwa 
        perdarahan  berdiameter  3sm atau  lebih  akan  memberi 
        hasil  akhir  nonfungsional. Saat ini tidak  ada  bukti 
        bahwa pasien dengan hematoma besar akan diberi  manfaat 
        oleh tindakan bedah.
             Perdarahan serebeler spontan adalah kelainan  yang 
        ditindak  bedah.  Ojemann dan  Heros  telah  menegaskan 
        pentingnya  tindakan  sebelum  efek  massa  menyebabkan 
        perubahan tingkat kesadaran dan keadaan klinis yang tak 
        stabil,  karena  perburukan  neurologis  oleh  kompresi 
        batang otak sering tidak dapat diduga dan  irreversibel 
        bila telah terjadi. Ott melaporkan angka kematian  17 % 
        pada pasien yang sadar atau letargi pra bedah dibanding 
        angka  kematian 75 % pada pasien yang stupor atau  koma 
        prabedah.  Penting  diingat bahwa evakuasi  bedah  pada 
        hematoma  serebeler adalah diindikasikan,  bahkan  pada 
        pasien  koma dengan bukti-bukti adanya kompresi  batang 
        otak.
             Little  menemukan  bahwa  60 %  pasien  perdarahan 
        serebeler  berdiameter  lebih  dari 3sm  pada  CT  scan 
        berada dalam koma atau cepat menjadi koma, sedang  yang 
        berdiameter  kurang deari 3sm adalah bangun  dan  sadar 
        serta mempunyai perjalanan yang jinak.     
             Dianjurkan evakuasi bedah pada hematoma  serebeler 
        besar  (diameter  > 3sm)  dalam 1  minggu  sejak  onset 
        bahkan   pada  pasien  yang  sadar,  karena  morbiditas 
        operasi  adalah minimal. Lesi ini  cenderung  menggeser 
        ventrikel  keempat dan sering menyebabkan  hidrosefalus 
        obstruktif  atau  kompresi  batang  otak.  Bila  pasien 
        datang  setelah lebih dari seminggu, risiko  perburukan 
        lebih lanjut kecil dan dianjurkan tindakan konservatif. 
        Lesi  dengan diameter kurang dari 3sm jarang  menggeser 
        ventrikel keempat atau menyebabkan kompresi batang otak 
        dan biasanya berhasil dirawat secara medikal  intensif. 
        Evakuasi  bedah bahkan terhadap hematoma kecil  (< 3sm) 
        tidak  boleh  ditunda bila ada  tanda-tanda  perburukan 
        neurologis.
             Ventrikulostomi   secara  rutin   dilakukan   saat 
        operasi  dan  dimanfaatkan untuk pemantauan  TIK  pasca 
        bedah.  Namun  bila pada perdarahan  serebeler  spontan 
        dilakukan ventrikulostomi hanya sebagai suatu  tindakan 
        tunggal, mungkin terjadi herniasi keatas yang fatal.
             Perdarahan  lober etiologinya  terutama  nonhiper-
        tensif.   Namun  karena  sifatnya  serupa   hipertensi, 
        biasanya pertama ditindak medikal kecuali terbukti  ada 
        perburukan neurologis progresif.
             Hanya  sedikit peran bedah pada perdarahan  pontin 
        hipertensif.  Lesi  yang pada CT scan  lebih  dari  1sm 
        hampir  selalu  fatal,  sedang  bila  kurang  dari  1sm 
        menyebabkan cacad berat pada pasien yang hidup  setelah 
        apapun   bentuk   tindakannya.   O'Laorie    melaporkan 
        perbaikan  pasien  dengan evakuasi  perdarahan  pontin, 
        namun   etiologinya  tak  diketahui.   Tak   seorangpun 
        diantaranya    mempunyai   riwayat   hipertensi,    dan 
        kebanyakan kasusnya berusia kurang dari 29 tahun.
             Perdarahan intraventrikuler yang berkaitan  dengan 
        PIS  hipertensif ditindak dengan  ventrikulostomi  bila 
        perlu.  Ini  akan jadi tindakan  penyelamat  jiwa  pada 
        keadaan hidrosefalus obstruktif.
        
        
        Status Klinis
        
        Tingkat   kesadaran   saat  datang   adalah   indikator 
        prognostik penting pada PIS spontan. Dengan kekecualian 
        perdarahan  serebeler hipertensif, pasien  yang  datang 
        dengan koma dan tanda-tanda kompresi batang otak jarang 
        diuntungkan  oleh dekompresi bedah. Pasien  yang  sadar 
        dan  bangun  tidak  dipertimbangkan   sebagai  kandidat 
        bedah,  kecuali pada perdarahan  serebeler  berdiameter 
        lebih  dari  3sm. Pasien dengan  perburukan  neurologis 
        progresif  akan  diuntungkan  oleh  tindakan   evakuasi 
        bedah atas  hematomanya dalam hal perdarahan  putaminal 
        dan lober hipertensif. Pada perdarahan  nonhipertensif, 
        tindakan bedah sangat tergantung etiologi perdarahan.
        
        
        Saat Melakukan Operasi
        
        Saat  intervensi bedah akan mempengaruhi  hasil  akhir. 
        Beberapa  menganjurkan  segera (< 24 jam)  atau  sangat 
        segera (< 6 jam) sejak iktus, lainnya menyukai  operasi 
        tunda. Karena indikasi untuk operasi dan pola pemikiran 
        bervariasi,  tidak  ada kesimpulan yang  telah  didapat 
        tentang   waktu  yang  ideal  untuk  operasi.   Umumnya 
        disetujui,  operasi sangat dianjurkan pada pasien  yang 
        menunjukkan perburukan neurologis.
        
        
        HASIL AKHIR
        
        Outcome PIS spontan dipengaruhi berbagai faktor seperti 
        etiologi,  ukuran,  lokasi,  ruptur  ventrikuler,  usia 
        pasien, dan rencana operasi atau medikal.
             Secara   keseluruhan,   mortalitas   PIS   spontan 
        diperkirakan  38 %  (15-57 %). Kanaya  menemukan  22 %. 
        Penting untuk diingat bahwa gambaran mortalitas  adalah 
        dibawah  perkiraan kematian sebenarnya, karena  sekitar 
        35 %  pasien dengan PIS spontan mati sebelum  tindakan. 
        Juga  gambaran mortalitas tidak mencakup pasien  dengan 
        keadaan  vegetatif  atau  cacad  berat.  85-90 %   dari 
        kematian karena PIS spontan terjadi dalam 1 bulan sejak 
        saat  perdarahan, dan kebanyakan didalam beberapa  hari 
        pertama.
        
        
        SINUS KAVERNOSUS
        
        1. Fistula Karotiko-kavernosa
        
        Tanda  dan  gejala FKK (CCF) diakibatkan  oleh  anatomi 
        sinus kavernosus. Walau anatomi tepat hubungan  arteria 
        dan  vena  masih kontroversi,  konsep  dasarnya  adalah 
        bahwa  sebelum  arteria karotid internal  menuju  ruang 
        subarakhnoid  ia melalui kantung dura pada setiap  sisi 
        sella  tursika, sinus kavernosus, yang berisi  jaringan 
        vena dan juga berisi saraf otak keenam serta saraf otak 
        ketiga  dan  keempat pada dindingnya. Divisi  satu  dan 
        dua  saraf  kelima  pada  daerah  dinding  yang  paling 
        lateral. Sinus kavernosus berhubungan keanterior dengan 
        orbit  melalui vena oftalmik superior, kemedial  dengan 
        sinus kavernosus sisi berlawanan dan keposterior dengan 
        pleksus   venosus  basiler  fossa   posterior   melalui 
        beberapa  kanal  vena anastomotik  didalam  dura  dasar 
        tengkorak,  antaranya  sinus  petrosal.  Pada   fistula 
        karotiko-kavernosa terjadi lubang pada bagian kavernosa 
        arteria  karotid  internal,  menyebabkan  darah  dengan 
        tekanan arterial masuk langsung kesistema vena (pleksus 
        vena)  yang  mengelilinginya  dan  biasanya   dialirkan 
        kevena oftalmik superior. Efek klinis diakibatkan  oleh 
        peninggian  tekanan  dan  iskemia  daerah   bersangkuan 
        karena darah sekarang dialirkan melalui fistula.
             Peninggian  aliran darah dan tekanan dari  fistula 
        disinus  kavernosus  ke  orbit  melalui  vena  oftalmik 
        superior inilah yang menyebabkan gejala yang  teramati. 
        Adanya  fistula menimbulkan bruit yang  dapat  didengar 
        baik  oleh  pasien maupun pemeriksa,  terbaik  didengar 
        diatas mata. Distensi vena oftalmik berakibat proptosis 
        bola  mata karena pulsasi darah yang berasal  arterial, 
        dan  mungkin  berpulsasi, baik pada satu  maupun  kedua 
        mata.  Karena tekanan vena oftalmik meninggi  ketingkat 
        yang  cukup untuk mengganggu perfusi normal pada  mata, 
        karena  terjadi iskemia arterial  sekunder, maka fungsi 
        retinal  akan terganggu yang cukup untuk  mengakibatkan 
        kebutaan. Biasanya mata tampak merah. Saraf otak  dalam 
        sinus kavernosus juga terganggu.
             Diplopia  mungkin  karena  sebab  mekanik   akibat 
        posisi  abnormal  mata atau akibat tekanan  pada  saraf 
        kranial pada sinus kavernosus.
             Walau aliran darah sangat tinggi pada FKK, keadaan 
        ini  jarang  mengancam nyawa karena  fistula  dibungkus 
        sempurna  dalam dinding sinus kavernosus dan  karenanya 
        terpisah dari otak dan ruang subarakhnoid.
             Saraf otak keenam, karena lokasinya didalan  sinus 
        kavernosus,  dua kali lebih sering terganggu  dibanding 
        saraf yang terletak pada dinding sinus kavernosus (III, 
        IV, V1, V2).
             Diferensial  diagnosis  mata  yang  pulsatil   dan 
        protrusi  adalah  tiadanya  sayap  sfenoid   kongenital 
        seperti  pada neurofibromatosis. Pada keadaan ini  dura 
        lobus  temporal  berhubungan  dengan  jaringan  orbital 
        karena  adanya  defek tulang sfenoid dan  pulsasi  otak 
        dihantarkan  langsung  keorbit,  berakibat  eksoftalmos 
        yang pulsatil.
             Keadaan  lain  yang mempunyai gejala  seperti  FKK 
        antaranya   trombosis  sinus  kavernosus,   eksoftalmos 
        endokrin (tiroid), tumor retro-orbital, atau malformasi 
        vaskuler orbital.
             Sebagian kecil kasus, FKK dialirkan kepleksus vena 
        fossa posterior dan mata tidak terganggu.
             Karena sinus kavernosus berhubungan satu sama lain 
        melalui sistem anastomotik vena sekitar sella  tursika, 
        FKK  pada satu sisi mungkin mengalirkan  darah  kesinus 
        seberangnya hingga menimbulkan gejala yang serupa  pada 
        sisi yang sehat. Pasien akan tampil dengan  eksoftalmos 
        pulsatil bilateral.
        
        
        Etiologi
        
        1. Trauma.   Fraktura  dasar  tengkorak  dapat   meluas 
        melalui kanal karotid dan menyebabkan disrupsi  arteria 
        yang   dipegang   oleh  pita  fibrosa   didalam   sinus 
        kavernosus. Ini mungkin cukup untuk menimbulkan  lubang 
        pada  arteria  atau menarik  putus  pembuluh  meningeal 
        kecil  dan menyebabkan arteria berdarah kedalam  sinus. 
        Pembengkakan  orbital atau memar sering  dijumpai  pada 
        cedera kepala dan penting untuk mendengar bruit  diatas 
        mata pada setiap kasus tersebut. Selain itu bisa akibat 
        penetrasi  langsung  benda  asing  atau  saat  tindakan 
        operatif terhadap arteria karotid dan pleksus vena pada 
        sinus kavernosus.
        
        
        2. Fistula spontan. Lebih jarang dijumpai dibanding FKK 
        traumatika.   Biasanya  terjadi  pada  wanita   berusia 
        pertengahan atau pasca menopause. Cenderung  unilateral 
        dan  diduga  akibat  AVM didalam  bungkus  dural  sinus 
        kavernosus. Walau aliran dan tekanan fistula ini  lebih 
        kecil  dibanding  yang  traumatika,  ia  sulit  diatasi 
        karena  mungkin disebabkan oleh beberapa fistula  kecil 
        dan catu darahnya mungkin berasal dari arteria  karotid 
        internal  serta  eksternal.  Jarang  diakibatkan   oleh 
        rupturnya  aneurisma kecil pada  bagian  intrakavernosa 
        arteria karotid atau pada pangkal AVM dural kecil  yang 
        mendapat  catu  dari cabang meningeal  arteria  karotid 
        internal  dan  berdarah  langsung  kesinus   kavernosus 
        bersangkutan. 
        
        
        Pemeriksaan
        
        Tindakan  terpilih, baik untuk diagnosis maupun  terapi 
        adalah  angiografi. Angiogram menunjukkan adanya  serta 
        ukuran  dan  lokasi  fistula,  saluran  drainase  vena, 
        kemungkinan etiologi fistula serta metode terbaik untuk 
        terapi.
        
        
        Tindakan

        FKK  dapat  ditindak  dengan  cara  teknik   embolisasi 
        intravaskuler  atau operasi langsung terhadap  fistula. 
        Embolisasi biasanya dilakukan saat tindakan  angiografi 
        diagnostik.
             Beberapa fistula karotiko-kavernosa, terutama yang 
        kecil  bisa  menutup spontan, sering  berkaitan  dengan 
        tindakan angiografi atau dengan tindakan kompresi  pada 
        karotid.  Atas alasan ini ada yang  menganjurkan  untuk 
        mengajar  pasien  melakukan  kompresi  intermiten  pada 
        arteria  karotid  komunis dileher dengan  harapan  akan 
        terjadinya  suatu  penutupan  spontan.  Remisi  spontan 
        diperkirakan hanya pada 5-10% kasus.
             Tindakan  bedah idealnya dilakukan dengan  menutup 
        fistula disaat patensi arteri dipertahankan. Ini sulit, 
        namun  dapat  dilakukan  embolisasi  dengan  memasukkan 
        kateter  balon  ukuran  kecil  yang  dikontrol   secara 
        radiologi,  kemudian  diinflasikan  didaerah   fistula, 
        kemudian  balon  kecil yang dapat  dilepaskan  tersebut 
        ditinggalkan  insitu. Ini cara yang sangat efektif  dan 
        aman dan dapat dilakukan pada kebanyakan FKK. Terkadang 
        operasi  langsung  mengobliterasi  fistula  atau   vena 
        pelimbahnya  diperlukan, namun tindakan ini  rumit  dan 
        dicadangkan  apabila  teknik embolisasi  gagal.  Ligasi 
        arteria  karotid  internal diatas dan  dibawah  fistula 
        bisa mengatasi, namun merusak arterinya sendiri.
             Perubahan ketajaman penglihatan mata  bersangkutan 
        menentukan  kecepatan  kapan operasi  harus  dilakukan, 
        penurunan  ketajaman penglihatan yang  cepat  merupakan 
        indikasi operasi segera.
        
        
        2. Trombosis sinus kavernosus
        
        Biasanya  terjadi  sebagai komplikasi  proses  infektif 
        didaerah  sistema  vena yang  dialirkan  kesinus.  Yang 
        sudah  dapat diterangkan secara jelas  adalah  sekunder 
        terhadap   sepsis  bagian  wajah  yang  darah   venanya 
        dialirkan melalui vena oftalmik.
             Trombosis  sinus  berakibat  proptosis  mata  sisi 
        bersangkutan dengan palsi saraf ketiga, keempat, keenam 
        serta  divisi oftalmik saraf kelima. Sebagai  tambahan, 
        pasien yang menampilkan tanda-tanda infeksinya  seperti 
        adanya   meningisme   akibat  sinus   kavernosus   yang 
        terinfeksi  serta  trombosis,  terletak  sangat   dekat 
        dengan ruang subarakhnoid.
             Terapi antibiotik dimulai sesegera mungkin setelah 
        contoh   untuk   pemeriksaan   bakteriologis   diambil. 
        Organisme   yang  bertanggung-jawab  tersering   adalah 
        stafilokokus. Bukti  klinis meningisme adalah  indikasi 
        untuk  pungsi lumbar dan pemeriksaan bakteriologis  CSS 
        lengkap.
        
        
        3. Aneurisma Sinus Kavernosus

        Aneurisma   arteria  karotid  internal  yang    terjadi 
        didalam  sinus  kavernosus.  Pembesarannya  menyebabkan 
        nyeri  akibat peregangan dinding sinus dural  bersamaan 
        dengan palsi saraf kranial, terutama keenam dan  divisi 
        oftalmik  saraf kelima. Adanya palsi saraf keenam  yang 
        nyeri  pada  pasien usia pertengahan  mengarahkan  pada 
        dugaan adanya suatu aneurisma arteria karotid  internal 
        intrakavernosus.   Rupturnya   aneurisma   memungkinkan 
        penjelasan atas suatu fistula karotiko-kavernosa, namun 
        terjadi  didalam sinus kavernosus, dimana  ia  terletak 
        diluar   ruang   subarakhnoid  maka   karenanya   tidak 
        bertanggung-jawab akan PSA.
        
        
        Tindakan
        
        Trombosis  aneurisma  yang belum ruptur  dapat  terjadi 
        setelah   melakukan  ligasi  arteria  karotid   komunis 
        dileher.