2. PERDARAHAN INTRASEREBRAL
NONTRAUMATIKA
Perdarahan intraserebral (PIS/ICH) spontan merupakan
6.3-12 % dari semua kasus strok baru pada tiap tahunnya
dan duapertiganya fatal. Insidens tahunan PIS spontan
umumnya sekitar 9 per 100.000 populasi. Pria lebih
sering terkena. Duapertiga berusia antara 45-75 tahun.
ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
PIS (ICH) primer biasa terjadi pada kapsul internal dan
hematoma meluas kemedial kesubstansi kelabu dalam dan
kelateral melalui substansi putih yang relatif aseluler
korona radiata. Pembuluh yang ruptur adalah satu dari
arteria perforating kecil yang meninggalkan arteria
serebral media dekat pangkalnya dikarotid internal dan
sering dijelaskan sebagai arteria lentikulostriata.
Pemeriksaan postmortem menunjukkan pada arteria
perforating pasien hipertensif terdapat banyak dilatasi
aneurismal yang sangat kecil yang diduga rupturnya
menjadi sumber perdarahan. Lebih jarang perdarahan
terjadi pada fossa posterior yang dimulai pada pons
atau hemisfer serebeler.
PIS akut sering terjadi saat atau setelah latihan
fisik. Sekitar duapertiga akan mengalami perburukan
neurologis progresif dan sepertiganya dalam defisit
maksimal saat datang kerumah sakit. Penurunan kesadaran
terjadi pada 60% dan duapertiganya jatuh kedalam koma.
Nyeri kepala dan mual dengan muntah terjadi pada 20-40%
kasus. Gejala ini karena peninggian TIK akibat
perdarahan. Kejang kurang umum terjadi, sekitar 7-14%.
Gejala dan tanda lainnya tergantung ukuran dan lokasi
spesifik dari bekuan darah. Tanda khas perdarahan
ganglia basal, biasanya putaminal, adalah defisit motor
kontralateral dan gaze ipsi lateral dengan perubahan
sensori, visual dan tabiat. Perubahan pupil terjadi
akibat ancaman herniasi unkal lobus temporal akibat
peninggian TIK dan pergeseran garis tengah. Gejala
afasik bila hemisfer dominan terkena.
Perdarahan menyebabkan kerusakan neurologis
melalui dua cara:
1. Kerusakan otak yang nyata terjadi pada saat
perdarahan. Ini terutama pada kasus dimana hematoma
meluas kemedial dan talamus serta ganglia basal rusak.
2. Hematoma yang membelah korona radiata menyebabkan
kerusakan yang kurang selluler namun mungkin berukuran
besar dan menyebabkan penekanan serta gangguan fungsi
neurologis yang mungkin reversibel.
80% pasien adalah hipertensif dan biasanya dalam
eksaserbasi akut dari hipertensinya pada saat datang.
Kebanyakan kasus hematoma memecah kesistema ventrikuler
atau rongga subarakhnoid menimbulkan gambaran klinis
PSA. Pria terkena 5-20% lebih sering dari wanita dan
75-90% terjadi antara usia 45-75 tahun. Pasien dengan
koagulopatia lebih berrisiko terhadap PIS seperti juga
penderita yang mendapat antikoagulan terutama Coumadin.
Trombositopenia dengan hitung platelet kurang dari
20.000, penyakit hati, leukemia, dan obat-obat seperti
amfetamin meninggikan risiko terjadinya PIS.
PIS terjadi pada teritori vaskuler arteria
perforating kecil seperti lentikulostriata pada ganglia
basal, talamoperforator diensefalon, cabang paramedian
basiler pada pons. Karenanya kebanyakan terjadi pada
struktur dalam dari hemisfer serebral. Berikut ini
struktur beserta frekuensi kejadiannya: putamen 30-50%,
substansi putih subkortikal 30%, serebelum 16%, talamus
10-15%, serta pons 5-12%. Arteria yang paling sering
menimbulkan perdarahan adalah cabang lentikulostriata
lateral dari arteria serebral media yang mencatu
putamen.
PIS merupakan sekitar 10% dari semua strok.
Seperti dijelaskan diatas, ia disebabkan oleh
perdarahan arterial langsung ke parenkhima otak. Ruptur
vaskuler dikira terjadi pada aneurisma milier kecil,
dijelaskan oleh Charcot dan Bouchard 1868, dan/atau
pada arteria lipohialinotik yang sering tampak pada
otopsi pasien dengan hipertensi. Minoritas kasus PIS
kemungkinan disebabkan aneurisma, AVM, malformasi
kavernosa, amiloid serebral, atau tumor. Glioblastoma
adalah tumor otak primer yang paling sering mengalami
perdarahan, sedangkan melanoma, khoriokarsinoma dan
ipernefroma adalah tumor metastatik yang tersering
menimbulkan perdarahan.
Kematian akibat PIS sekitar 50% dengan 3/4 pasien
yang hidup, tetap dengan defisit neurologis nyata.
Penelitian memperlihatkan bahwa prognosis terutama
tergantung pada derajat klinis saat pasien masuk,
lokasi serta ukuran perdarahan. Pasien sadar tentu
lebih baik dari pada pasien koma. Penelitian Dixon 1984
memperlihatkan bahwa satu-satunya prediktor terpenting
atas outcome adalah Skala Koma Glasgow. Pasien dengan
hematoma lober superfisial cenderung lebih baik dari
perdarahan batang otak yang lebih dalam. Perluasan klot
ke sistema ventrikuler memperburuk outcome. Pasien
dengan perdarahan dengan diameter lebih dari 3 sm atau
volumenya lebih dari 50 sk, lebih buruk. Pasien dengan
kondisi medis buruk dan yang berusia 70 tahun atau
lebih cenderung mempunyai outcome buruk.
Tampilan klinis karenanya akan berupa meningisme
pada onset akut dan bersamaan dengan tampilan yang
segera dari defisit neurologis fokal akibat hematoma
yang bila cukup besar, perburukan progresif akibat
peninggian tekanan intrakranial. Hilangnya kesadaran
lebih sering dibanding ruptur aneurisma serebral.
Penelitian Herbstein dan Schaumberg 1974 dengan
menyuntikkan eritrosit yang dilabel radioaktif
memperlihatkan bahwa fase aktif perdarahan saat PIS
akuta berakhir dibawah dua jam. Perburukan selanjutnya
diduga sebagai edema otak reaktif yang dapat dikurangi
dengan evakuasi secara bedah terhadap klot darah.
Hipertensi Arterial
Kelainan serebrovaskuler hipertensif merupakan 70-90 %
PIS spontan. Sumber tersering perdarahan adalah arteria
penetrating kecil (80-300um), yaitu arteria talamo-
perforating dan lentikulostriata serta cabang para-
median arteria basiler. Tampak degenerasi yang di-
induksi oleh hipertensi pada media dinding arterial,
nekrosis fibrinoid, yang berakibat kelemahan progresif
dan/atau terbentuknya mikroaneurisma. Apa yang mem-
presipitasi perdarahan tidak jelas, walau peninggian
tekanan darah mendadak karena latihan atau kegiatan
fisik umum terjadi.
Predileksi perubahan patologis yang diinduksi
hipertensi pada arteria subkortikal dan perforating
kecil menjelaskan lokasi anatomik khas perdarahan ini.
Daerah paling sering terkena adalah kaudat dan putamen
(35-45 %), diikuti substansi putih subkortikal (25 %),
talamus (20 %), pons (5 %). 90 % perdarahan pons adalah
akibat hipertensi, dan 60-75 % perdarahan putaminal,
talamik, dan serebelar adalah hipertensif. Hipertensi
tak jelas sebagai faktor etiologis pada perdarahan
lober. Perdarahan ulang tampaknya jarang, penelitian
mutakhir sekitar 2.7 %. Penyebab utama perburukan tunda
adalah sekunder terhadap edema serebral dan nekrosis
iskemik jaringan otak sekitar atau hidrosefalus.
Aneurisma Intrakranial
Perdarahan akibat aneurisma yang ruptur biasanya
keruang subarakhnoid dan jarang keventrikel lateral
atau parenkhim otak. Aneurisma yang pecah merupakan 18-
23 % kasus. Peradarahan biasanya pada lobus frontal dan
temporal, diakibatkan oleh aneurisma arteria karotid
internal atau serebral media. Kemungkinan perdarahan
ulang 4 % pada 24 jam pertama sejak perdarahan inisial,
dan 1.5 % setiap hari. Insidens perdarahan ulang
19 % selama 2 minggu pertama, 64 % pada 1 bulan,
mencapai 78 % pada 2 bulan.
Patogenesis pembentukan dan perdarahan aneurisma
kontroversial. Lesi ini diperkirakan sebagai kelemahan
kongenital pada lapisan muskuler yang memungkinkan
intima menonjol diantaranya, akhirnya merobek membrana
elastik. Pendapat lain, lesi ini adalah didapat dan
perubahan degeneratif membrana elastik internal
memungkinkan intima mengalami herniasi melalui area
yang lemah. Mungkin juga kedua hal tersebut terjadi
bersamaan.
Aneurisma mikotik, 1-2 % dari seluruh aneurisma
serebral, paling sering akibat emboli septik keotak
dari endokarditis bakterial. Perdarahan tersering
keparenkhima otak akibat lokasinya distal dari sirkel
Willis dan biasanya dilobus parietal.
Aneurisma intrakranial jarang terjadi setelah
cedera kepala, biasa sepanjang arteria perikalosal
didekat falks atau pada cabang distal arteria serebral
media pada permukaan kortikal didekat fraktura
tengkorak. Aneurisma traumatika biasanya berakibat
perdarahan parenkhimal dalam masa minggu, bulan, bahkan
tahun setelah cedera kepala berat.
Angiopati Amiloid Serebral
Penyebab tersering ketiga PIS setelah hipertensi
arterial dan aneurisma, sekitar 10 % dari PIS spontan.
Autopsi menunjukkan 40-70 % pasien ini mati karena
perdarahan. Kelainan ini khas dengan deposit fibril
amiloid pada media dan intima arteria ukuran kecil dan
sedang pada otak dan leptomening pasien tua. Perdarahan
mungkin akibat robeknya dinding pembuluh yang lemah
atau mikroaneurisma. Insidens angiopati amiloid pada
pemeriksaan setelah mati sekitar 8 % pada dekade
ketujuh dan 60 % pada dekade kesepuluh.
Angiopati amiloid serebral tidak berhubungan
dengan angiopati amiloid sistemik dan terjadi sporadis,
namun hubungan famili pernah dilaporkan. Hubungan
dengan Alzheimer dipostulasikan karena plak dijumpai
pada lebih dari 50 % kasus dan 10-30 % pasien
menunjukkan demensia progresif. Berbeda dengan
perdarahan hipertensif, ia mempunyai predileksi pada
lapisan superfisial dari korteks serebral, terutama
pada lobus parietal dan oksipital, dan jarang tampak
pada substansi putih atau kelabu dalam. Perdarahan
spontan berganda pada pasien tua normotensif lebih
mungkin karena angiopati amiloid. Perdarahan berulang
tidak jarang pada kasus yang operatif maupun non-
operatif.
Malformasi Vaskuler
Malformasi vaskuler intrakranial umumnya dibagi empat
jenis kelainan patologis:
(1) malformasi arteria venosa (AVM),
(2) telangiektasia kapiler,
(3) malformasi kavernosa ('angioma'),
(4) malformasi venosa ('angioma').
AVM merupakan 6-13 % penyebab PIS spontan. Suatu
kelainan kongenital yang terjadi minggu keempat hingga
kedelapan kehidupan embrio. Terdapat hubungan persisten
antara sistema arterial dan vena tanpa adanya bed
kapiler. Nidus pembuluh yang berkelok-kelok dicatu oleh
arteri, membesar progresif sesuai waktu karena volume
yang beraliran kuat akibat tahanan perifer yang rendah
dari pintas arteria-venosa. Peninggian tekanan vena dan
volume dengan aliran deras menyebabkan pembesaran vena
pencurah yang progresif. Terjadinya hambatan aliran
curah vena atau varises menambah risiko perdarahan.
AVM terletak terutama di hemisfer serebral (70-
93 %) dan lebih sering mengenai cabang arteria serebral
media. Umumnya, risiko perdarahan subarakhnoid atau
intraparenkhimal dari AVM setelah didiagnosis sekitar
3-4 % pertahun. Risiko perdarahan yang tampil dengan
kejang atau tanpa kejang adalah serupa (3.9 dan 4.3 %).
Tingkat perdarahan mungkin tinggi selama tahun pertama
setelah didiagnosis bahkan pada pasien tanpa riwayat
perdarahan. Tak ada data konklusif yang memperlihatkan
bahwa AVM yang lebih kecil lebih sering berdarah
dibanding yang lebih besar.
Telangiektasia kapiler adalah kapiler kecil,
soliter, berdilatasi abnormal dengan intervensi pada
parenkhima otak. Predominan pada pons dan atap
ventrikel keempat. Hanya kadang-kadang berhubungan
dengan perdarahan spontan.
Malformasi kavernosa adalah anomali vaskuler
sinusoid yang berdilatasi tanpa mengintervensi jaringan
neural kecuali pada tepinya. Bervariasi dalam ukuran,
terkadang berganda, dan ditemukan terutama pada
hemisfer serebral. Lesi ini paling sering tampil dengan
nyeri kepala, bangkitan, atau defisit neurologis fokal.
Walau MRI biasanya menunjukkan adanya perdarahan
tersembunyi, perdarahan yang nyata adalah jarang.
Perkiraan risiko perdarahan yang nyata secara klinis
adalah 0.25-0.7 % per orang-tahun eksposur.
Malformasi venosa adalah koleksi vena yang
tersusun radial dan dialirkan kevena sentral. Terdapat
intervensi parenkhima neural didalam malformasi vena.
Terletak biasanya dilobus frontal atau parietal atau
substansi putih dalam dari serebelum. Diagnosisnya
insidental. Insidens perdarahan yang berhubungan dengan
lesi ini agak tinggi (17-22 %), pada pasien yang
didiagnosis setelah timbulnya komplikasi yang berat.
Pada semua kasus yang radiologis menunjukkan angioma
venosa, perkiraan risiko perdarahan 0.22 % pertahun
(Garner, 1991). Temuan ini membenarkan pendekatan
konservatif.
Variks venosa, jenis patologis yang berbeda dari
malformasi vaskuler, dikira sebagai varian malformasi
venosa. Berisi vena tunggal yang berdilatasi yang tidak
berhubungan dengan pintas arteriovenosa. Perdarahan
spontan dari variks sangat jarang.
Tumor Otak
Perdarahan spontan kedalam tumor otak kurang dari 1 %
dari tumor otak, sedang tumor yang bertanggung-jawab
dijumpai pada 2-10 % pasien dengan PIS. Jenis tumor
yang paling sering berdarah adalah glioma malignan dan
metastase, tersering adalah melanoma, karsinoma sel
renal, khoriokarsinoma, dan karsinoma bronkhogenik.
Kecenderungan tumor malignan untuk berdarah dikira
berhubungan dengan kecenderungannya untuk mengalami
nekrosis spontan akibat pertumbuhannya yang cepat dan
vaskulatur yang kaya namun mudah rusak. Tumor jinak
jarang pecah spontan.
Antikoagulan
Sodium warfarin, antikoagulan oral, sering digunakan
mencegah embolisme venosa atau arterial. Sekitar 8 %
pasien yang mendapat sodium warfarin akan mengalami
komplikasi perdarahan. Walau perdarahan intrakranial
hanya 0.5-1.5 % dari semua komplikasi, namun biasanya
mematikan. Pasien dengan antikoagulan oral memiliki
risiko perdarahan 11 kali lebih tinggi dibanding pasien
tanpa antikoagulan pada faktor risiko yang sama.
Sekitar 80 % pasien dengan antikoagulan yang mengalami
PIS mempunyai waktu protrombin yang sangat memanjang
(lebih dari 16-18 dt). Walau ada yang menemukan bahwa
penambahan usia, infarksi serebral sebelumnya, hiper-
tensi, dan penambahan durasi terapi antikoagulan
meninggikan risiko PIS, peneliti lain tidak menemukan
adanya hubungan. Cedera kepala tidak menunjukkan
sebagai etiologi yang bermakna dari PIS pada pasien
ini. Lokasi tersering perdarahan adalah ruang subdural,
diikuti parenkhima otak dan kemudian perdarahan sub-
arakhnoid.
Kelainan Perdarahan Herediter
Hemofilia dan kelainan von Willebrand merupakan 90 %
dari defek perdarahan herediter yang berat. Hemofilia
adalah defisiensi faktor VIII (hemofilia A) atau yang
lebih jarang, faktor IX (hemofilia B), yang resesif X-
link. Terdapat pemanjangan waktu tromboplastin parsial.
Tampilan klinis bervariasi berdasar derajat faktor
defisiensi yang didapat dari pemeriksaan pembekuan
invitro. Perdarahan intrakranial dapat terjadi spontan
atau akibat cedera kepala tak berarti.
Penyakit von Willebrand adalah kelainan dominan
autosom yang khas dengan defisiensi aktifitas faktor
VIII, waktu perdarahan yang memanjang, aggregasi
platelet ristosetin abnormal.. Tindakan berat seperti
operasi tidak merupakan risiko besar pada pasien dengan
kelainan von Willebrand, tidak seperti yang terjadi
pada hemofilia. Perdarahan spontan jarang.
Trombositopenia
Trombositopenia (jumlah platelet kurang dari 80.000/
mm3) adalah penyebab tersering dari perdarahan abnormal
karena produksi platelet yang menurun, ataupun
peninggian sekuestrasi atau destruksi yang bertambah.
Penyebab penurunan produksi platelet antaranya anemia
aplastik, leukemia, keadaan gagal sumsum tulang lain,
dan setelah terapi khemoterapi sitotoksik. Penyebab
peninggian destruksi platelet antaranya trombositopenik
purpura idiopatik (autoimun), trombositopenia sekunder
atau yang diinduksi obat-obatan, purpura trombosito-
penia trombotik, sindroma uremik hemolitik, koagulasi
intravaskuler diseminata, dan vaskulitis. Secara umum,
jumlah platelet lebih dari 50.000/mm3 tidak berkaitan
dengan komplikasi perdarahan yang bermakna, dan
perdarahan spontan berat jarang dengan jumlah platelet
lebih dari 20.000/mm3. Walau jarang, PIS spontan bisa
terjadi dan khas dengan onset yang tak jelas dari nyeri
kepala, diikuti perburukan tingkat kesadaran. Hematoma
subdural lebih jarang.
Obat-obatan Simpatomimetik
Amfetamin, fenilpropanolamin, dan kokain adalah obat
simpatomimetik yang paling sering berhubungan dengan
strok hemoragik. Penggunaan kokain yang meningkat pada
dekade terakhir ini paralel dengan peninggian kasus
strok yang berhubungan dengan kokain. Usia pasien strok
yang berkait dengan kokain rata-rata 32 tahun, paling
sering pada usia duapuluhan. PIS terjadi pada 49 %
pasien, PSA pada 29 %, dan infarksi serebral pada 22 %.
Ditemukan kelainan pada 72 % pasien yang mendapatkan
angiografi, seperti aneurisma, AVM, vaskulitis, dan
vasospasme, oklusi atau stenosis arterial. Ada juga
yang mempunyai anomali lebih dari satu.
Dipostulasikan bahwa peninggian transien tekanan
darah setelah pemakaian obat ini mungkin bertanggung-
jawab atas rupturnya pembuluh darah serebral, termasuk
anurisma dan AVM intrakranial. Sebagai tambahan,
perdarahan akibat vaskulitis yang tampak pada angio-
grafi sebelumnya, menambah kemungkinan dari angiopati
yang diinduksi obat-obatan. Dalam hal ini, secara
patologis, terdapat angitis nekrotizing yang khas
dengan degenerasi fibrinoid dan nekrosis dari media dan
intima arteria berukuran kecil dan sedang serta
arteriola. Apakah perubahan disebabkan oleh efek toksik
langsung dari obat atau reaksi hipersensitifitas
terhadap obat belum jelas.
GAMBARAN KLINIS
PIS spontan khas dengan onset mendadak dan evolusi yang
relatif cepat dari gejala dalam hitungan menit, jam,
dan terkadang hari. Perdarahan sekunder terhadap terapi
antikoagulan biasanya mempunyai perjalanan gejala yang
lebih lambat. Terjadi khas dengan tiadanya tanda-tanda
peringatan; pasien umumnya merasa sehat sebelum iktus.
Saat datang, 72 % pasien dengan PIS dalam koma, 8
% dalam stupor, walau perdarahan lobar mempunyai
insidens koma lebih rendah. Diantara pasien yang non
koma, 60 % adalah hemiplegik, 43 % kesulitan bicara, 13
% dengan kelainan pupil, dan 16 % dengan bangkitan.
Nyeri kepala tampil hanya pada 33 % pasien pada
onset gejala dan pada 60 % sebelum, selama, atau
setelah timbulnya defisit neurologis. Nyeri kepala
berat atau nyeri kepala yang memburuk progresif yang
bersamaan dengan defisit neurologis harus mewaspadakan
kita akan kemungkinan PIS. Walau nyeri kepala biasanya
nonspesifik, Ropper dan Davis menemukan bahwa lokasi
mungkin membantu memperkirakan letak perdarahan lober.
Muntah terjadi pada 51 % pasien. Terjadi lebih
sering pada onset PIS dibanding dengan infarksi.
Tanda dan gejala neurologis tergantung lokasi dan
ukuran perdarahan. Sindroma klinis berdasarkan pada
perdarahan pada suatu lokasi anatomis tertentu telah
diketahui. Kebanyakan berkaitan dengan hipertensi.
Putamen
Perdarahan putaminal khas dengan onset progresif pada
hampir duapertiga pasien, dan kurang dari sepertiga
mempunyai gejala mendadak dan hampir maksimal saat
onset. Nyeri kepala tampil saat onset gejala hanya pada
14 % kasus dan pada setiap waktu hanya 28 %; semua
pasien menunjukkan berbagai bentuk defisit motori dan
sekitar 65 % mengalami perubahan reaksi terhadap pin-
prick.
Perdarahan putaminal kecil menyebabkan defisit
sedang motori dan sensori kontralateral. Perdarahan
berukuran sedang mula-mula mungkin tampil dengan hemi-
plegia flaksid, defisit hemisensori, deviasi konjugasi
mata pada sisi perdarahan, hemianopia homonim, dan
disfasia bila yang terkena hemisfer dominan. Progresi
menjadi perdarahan masif berakibat stupor dan lalu
koma, variasi respirasi, pupil tak berreaksi yang
berdilatasi, hilangnya gerak ekstra-okuler, postur
motor abnormal, dan respons Babinski bilateral.
Talamus
Sindroma klinis akibat perdarahan talamus sudah dikenal.
Umumnya perdarahan talamus kecil menyebabkan defisit
neurologis lebih berat dari perdarahan putaminal.
Seperti perdarahan putaminal, hemiparesis kontralateral
terjadi bila kapsula internal tertekan. Namun khas
dengan hilangnya hemisensori kontralateral yang nyata
yang mengenai kepala, muka, lengan, dan tubuh.
Perluasan perdarahan kesubtalamus dan batang otak
berakibat gambaran okuler klasik yaitu terbatasnya gaze
vertikal, deviasi mata kebawah, pupil kecil namun
berreaksi baik atau lemah. Anisokoria, hilangnya kon-
vergensi, pupil tak berreaksi, deviasi serong, defisit
lapang pandang, dan nistagmus retraksi juga tampak.
Anosognosia yang berkaitan dengan perdarahan sisi kanan
dan gangguan bicara yang berhubungan dengan lesi sisi
kiri tidak jarang terjadi. Nyeri kepala terjadi pada
20-40 % pasien. Hidrosefalus dapat terjadi akibat
penekanan jalur CSS.
Pons
Perdarahan pontin paling umum menyebabkan kematian
dari semua perdarahan otak. Bahkan perdarahan kecil
segera menyebabkan koma, pupil pinpoint (1 mm) namun
reaktif, gangguan gerak okuler lateral, kelainan saraf
kranial, kuadriplegia, dan postur ekstensor. Nyeri
kepala, mual dan muntah jarang.
Cerebelum
Sindroma klinis perdarahan serebeler pertama dijelaskan
secara jelas oleh Fisher. Yang khas adalah onset
mendadak dari mual, muntah, tidak mampu bejalan atau
berdiri. Tergantung dari evolusi perdarahan, derajat
gangguan neurologis terjadi. Hipertensi adalah faktor
etiologi pada kebanyakan kasus.
Duapertiga dari pasien dengan perdarahan serebeler
spontan mengalami gangguan tingkat kesadaran dan tetap
responsif saat datang; hanya 14 % koma saat masuk. 50 %
menjadi koma dalam 24 jam, dan 75 % dalam seminggu
sejak onset. Mual dan muntah tampil pada 95 %, nyeri
kepala (umumnya bioksipital) pada 73 %, dan pusing
(dizziness) pada 55 %. Ketidakmampuan berjalan atau
berdiri pada 94 %. Dari pasien non koma, tanda-tanda
serebeler umum terjadi termasuk ataksia langkah (78 %),
ataksia trunkal (65 %), dan ataksia apendikuler ipsi-
lateral (65 %). Temuan lain adalah palsi saraf fasial
perifer (61 %), palsi gaze ipsilateral (54 %),
nistagmus horizontal (51 %), dan miosis (30 %). Hemi-
plegia dan hemiparesis jarang, dan bila ada biasanya
disebabkan oleh strok oklusif yang terjadi sebelumnya
atau bersamaan. Triad klinis ataksia apendikuler, palsi
gaze ipsilateral, dan palsi fasial perifer mengarahkan
pada perdarahan serebeler.
Perdarahan serebeler garis tengah menimbulkan
dilema diagnostik atas pemeriksaan klinis. Umumnya
perjalanan pasien lebih ganas dan tampil dengan
oftalmoplegia total, arefleksia, dan kuadriplegia
flaksid.
Pada pasien koma, diagnosis klinis perdarahan
serebeler lebih sulit karena disfungsi batang otak
berat. Dari pasien koma, 83 % dengan oftalmoplegia
eksternal yang lengkap, 53 % dengan irreguleritas
pernafasan, 54 % dengan kelemahan fasial ipsilateral.
Pupil umumnya kecil; tak ada reaksi pupil terhadap
sinar pada 40 % pasien.
Lober
Sindroma klinis akut perdarahan lober dijelaskan Ropper
dan Davis. Hipertensi kronik tampil hanya pada 31 %
kasus, dan 4 % pasien yang koma saat datang. Perdarahan
oksipital khas menyebabkan nyeri berat sekitar mata
ipsilateral dan hemianopsia yang jelas. Perdarahan
temporal kiri khas dengan nyeri ringan pada atau dekat
bagian anterior telinga, disfasia fluent dengan
pengertian pendengaran yang buruk namun repetisi
relatif baik. Perdarahan frontal menyebabkan kelemahan
lengan kontralateral berat, kelemahan muka dan tungkai
ringan, dan nyeri kepala frontal. Perdarahan parietal
mulai dengan nyeri kepala temporal anterior ('temple')
serta defisit hemisensori, terkadang mengenaitubuh
kegaris tengah. Evolusi gejala yang lebih cepat, dalam
beberapa menit, namun tidak seketika bersama dengan
satu dari sindroma tersebut membantu membedakan
perdarahan lober dari strok jenis lain. Kebanyakan AVM
dan tumor memiliki lokasi lober.
Kortikal
Manifestasi klinis dari perdarahan kortikal spontan
tergantung ukuran dan lokasi perdarahan. Bila lesi ini
terjadi pada pasien normotensif, demensia, tua, lebih
sering diakibatkan angiopati amiloid serebral.
Perdarahan berganda atau berulang memperkuat diagnosis.
Walau dapat berlokasi lober, berbeda dengan perdarahan
lober, yang mana mereka terjadi dari korteks. Kadang-
kadang meluas kesubstansi putih dalam dan pecah
keventrikel lateral atau kesuperfisial keruang sub-
arakhnoid atau subdural.
Intraventrikuler
Perdarahan intraventrikuler spontan tidak berkaitan
dengan sindroma klinis akut tertentu. Namun onset
mendadak nyeri kepala berat dan kekakuan nukhal
mewaspadakan akan kemungkinan pecahnya aneurisma, yang
terkadang pecah kesistema ventrikuler. Sebagai
tambahan, perburukan neurologis progresif setelah onset
gejala non fokal mengarahkan pada hidrosefalus
obstruktif akuta akibat darah intraventrikuler.
Umumnya tanda dan gejala perdarahan intra-
ventrikuler berhubungan dengan etiologi perdarahan dan
PIS yang terjadi. Sekitar 78 % perdarahan ventrikuler
bersamaan dengan perdarahan subarakhnoid atau
parenkhimal. Pada pasien dengan perdarahan hiper-
tensif, 62 % pecah kesistema ventrikuler. Aneurisma
atau AVM intraventrikuler yang pecah harus sangat
diduga bila tidak dijumpai perdarahan parenkhimal yang
menyertai.
DIAGNOSIS DAN PEMERIKSAAN DENGAN PENCITRAAN
Pemeriksaan saat serangan danriwayat medis sebelumnya
memberi nilai penting akan penyebab perdarahan. Sebagai
tambahan, pemeriksaan fisik umum dengan teliti serta
pemeriksaan neurologis adalah esensial. Berdasar temuan
tersebut dan pengetahuan akan tampilan klinis PIS,
harus mewaspadakan kita akan adanya lesi massa
intrakranial, namun juga kemungkinan etiologi dan
lokasi.
Pungsi lumbar
Walau gambaran klinis sering cukup untuk memperkirakan
diagnosis, ia tak dapat ditegakkan dengan pasti hingga
adanya ruptur aneurisma disingkirkan. Pungsi lumbar
dilakukan pada semua kasus yang diperkirakan tidak
disertai peninggian tekanan intrakranial.
Tomografi terkomputer
Hematoma intraserebral segar tampak jelas, juga ukuran
dan lokasi terhadap substansi putih dan kelabu dari
otak. Distribusi anatomis hematoma sendiri memberi
pengarahan yang kuat akan etiologinya.
CT scan memungkinkan diagnosis yang cepat dan
akurat atas PIS spontan. Tampilan sering mengarahkan
pada lesi spesifik. CT scan dengan kontras intravena
mungkin menunjukkan adanya tumor atau AVM, pengenalan
atas kemungkinan penyebab perdarahan.
Pencitraan Resonansi Magnetik (MRI)
Dengan gadolinium intravena diindikasikan untuk pasien
yang klinis stabil bila perdarahan spontan terjadi pada
pasien nonhipertensif dengan pemeriksaan koagulasi
normal, perdarahan pada lokasi yang tidak biasa pada
pasien hipertensif, tampilan klinis mengarah pada
penyebab nonhipertensif, atau CT scan inisial
menunjukan lesi yang bertanggung-jawab seperti tumor.
Angiografi
Angiografi serebral haus dilakukan pada semua pasien
yang diduga mempunyai PIS akibat aneurisma, fistula
arteriovenosa, malformasi vaskuler, atau vaskulitis.
Terkadang, angiogram inisial mungkin negatif akibat
penekanan oleh hematoma pada kelainan vaskuler. Bila
lesi vaskuler yang bertanggung-jawab sangat diduga,
angiografu ulang harus dilakukan 2-3 minggu setelah
hematoma berkurang serta edema berkurang. Hanya
angiografi yang dapat memberikan jawaban pasti atas
pertanyaan akan kelainan vaskuler yang mendasari.
PENGELOLAAN
Tindakan segera terhadap pasien dengan PIS ditujukan
langsung terhadap pengendalian TIK serta mencegah
perburukan neurologis berikutnya. Tindakan medis
seperti hiperventilasi, diuretik osmotik dan steroid
digunakan untuk mengurangi hipertensi intrakranial yang
disebabkan oleh efek massa perdarahan. Sudah dibuktikan
bahwa evakuasi perdarahan yang luas dan terletak dalam
dapat meninggikan survival pada pasien dengan koma,
terutama yang bila dilakukan segera setelah onset
perdarahan.
Walau begitu pasien sering tetap dengan defisit
neurologis yang jelas. Pasien yang memperlihatkan
tanda-tanda herniasi unkus memerlukan evakuasi yang
sangat segera dari hematoma. Angiogram memungkinkan
untuk menemukan kelainan vaskuler. Adalah sangat serius
untuk memikirkan pengangkatan PIS yang besar terutama
bila ia terletak pada hemisfer yang nondominan, bila ia
bersamaan dengan hipertensi intrakranial yang menetap
dan diikuti perburukan neurologis walau telah diberikan
tindakan medis maksimal.
Adanya hematoma dalam jaringan otak bersamaan
dengan adanya kelainan neurologis tampaknya memerlukan
evakuasi bedah segera sebagai tindakan terpilih.
Beratnya perdarahan inisial menggolongkan pasien
kedalam tiga kelompok:
1. Perdarahan progresif fatal. Kebanyakan pasien berada
pada keadaan medis buruk. Perubahan hebat tekanan darah
mempengaruhi kemampuan otak untuk mengatur catu
darahnya, gangguan elektrolit umum terjadi dan pasien
sering dehidrasi. Hipoksia akibat efek serebral dari
perdarahan serta obstruksi jalan nafas memperburuk
keadaan. Perburukan dapat diikuti sejak saat perdarahan
dengan bertambahnya tanda-tanda peninggian TIK dan
gangguan batang otak. Pengelolaan inisial pada kasus
berat ini adalah medikal dengan mengontrol tekanan
darah ketingkat yang tepat, memulihkan kelainan
metabolik, mencegah hipoksia dan menurunkan tekanan
intrakranial dengan manitol, steroid serta tindakan
hiperventilasi.
2. Kelompok sakit ringan,
3. Kelompok intermediet, dimana perdarahan cukup berat
untuk menimbulkan defisit neurologis parah namun tidak
cukup untuk menyebabkan pasien tidak dapat bertahan
hidup. Tindakan medikal diatas diberikan hingga ia
keluar dari keadaan berbahaya, namun keadaan neurologis
tidak menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Pada keadaan
ini pengangkatan hematoma, terutama yang terletak pada
substansi putih, dilakukan secara bedah.
Akhir-akhir ini diteliti bahwa bila tanpa disertai
efek massa jelas, tidak terbukti bahwa operasi terhadap
PIS kecil, terutama bila terletak superfisial pada
substansi putih subkortikal, akan memperbaiki outcome.
Dalam mempertimbangkan tindakan operasi tersangka
PIS hipertensif, angiogram penting untuk mencari
penyebab potensial lain seperti aneurisma, AVM atau
tumor. Sayangnya kemungkinan amiloid tidak begitu dapat
diprediksi dan bila ditemukan mungkin agak menimbulkan
kesulitan saat operasi dalam hal mengatasi perdarahan.
Juga sangat penting untuk mencari kelainan perdarahan
sebelum operasi dan mengoreksinya bila mungkin.
Perdarahan primer fossa posterior mempunyai
keistimewaan dimana evakuasi dini dari hematoma pada
pasien yang hidup setelah perdarahan inisial merupakan
urgensi yang sangat. Obstruksi jalur CSS baik pada
akuaduk atau ventrikel keempat menyebabkan hidrosefalus
segera yang memperburuk keadaan pada pasien yang
perdarahannya sendiri belum tentu mengancam jiwa.
Perdarahan serebeler biasanya timbul tanpa disertai
kehilangan kesadaran, ataupun defisit motorik atau
sensorik. Namun nyeri kepala, pusing, serta kesulitan
berjalan, dan gerak mata abnormal sering terjadi.
Karena perburukan klinis sering terjadi sangat cepat
dan tindakan evakuasi secara bedah telah diperlihatkan
bermanfaat, penting sekali menemukan kelainan klinisnya
sesegera mungkin.
PENGELOLAAN SECARA MEDIKAL
Penilaian dan Pengelolaan Inisial
Pengelolaan spontan terutama tergantung keadaan klinis
pasien serta etiologi, ukuran serta lokasi perdarahan.
Tak peduli apakah tindakan konservatif atau bedah yang
akan dilakukan, penilaian dan tindakan medikal inisial
terhadap pasien adalah sama.
Saat pasien datang atau berkonsultasi, evaluasi
dan pengelolaan awal harus dilakukan bersama tanpa
penundaan yang tak perlu. Pemeriksaan neurologis
inisial, yang dapat dilakukan dalam 10 menit, harus
menyeluruh. Informasi ini penting tidak saja untuk
memastikan prognosis, namun juga untuk membuat rencana
tindakan selanjutnya. Pemeriksaan neurologis serial
harus dilakukan.
Tindakan standar adalah untuk mempertahankan
jalan nafas, pernafasan, dan sirkulasi. Hipoksia harus
ditindak segera untuk mencegah cedera serebral sekunder
akibat iskemia. Pengamatan ketat dan pengaturan tekanan
darah penting baik pada pasien hipertensif maupun
nonhipertensif. Jalur arterial dipasang untuk
pemantauan yang sinambung atas tekanan darah. Setelah
PIS, kebanyakan pasien adalah hipertensif. Penting
untuk tidak menurunkan tekanan darah secara berlebihan
pada pasien dengan lesi massa intrakranial dan
peninggian TIK, karena secara bersamaan akan menurunkan
tekanan perfusi serebral. Awalnya, usaha dilakukan
untuk mempertahankan tekanan darah sistolik sekitar
160mmHg pada pasien yang sadar dan sekitar 180mmHg pada
pasien koma, walau nilai ini terkadang tidak mutlak dan
akan bervariasi tergantung masing-masing pasien. Pasien
dengan riwayat hipertensi berat dan tak terkontrol
mungkin diperkenankan untuk mempertahankan tekanan
darah sistoliknya diatas 180mmHg, namun biasanya
dibawah 210mmHg, untuk mencegah meluasnya perdarahan
oleh perdarahan ulang. Pengelolaan awal hipertensinya,
lebih disukai labetolol, suatu antagonis alfa-1, beta-1
dan beta-2 kompetitif. Drip nitrogliserin mungkin perlu
untuk kasus tertentu.
Gas darah arterial diperiksa untuk menilai
oksigenasi dan status asam-basa. Bila jalan nafas tak
dapat dijamin, atau diduga suatu lesi massa intra-
kranial pada pasien koma atau obtundan, dilakukan
intubasi endotrakheal. Cegah pemakaian agen anestetik
yang akan meninggikan TIK seperti oksida nitro. Agen
anestetik aksi pendek lebih disukai. Bila diduga ada
peninggian TIK, dilakukan hiperventilasi untuk
mempertahankan PCO2 sekitar 25-30mmHg, dan setelah
kateter Foley terpasang, diberikan mannitol 1.5 g/kg
IV. Tindakan ini juga dilakukan pada pasien dengan
perburukan neurologis progresif seperti perburukan
hemiparesis, anisokoria progresif, atau penurunan
tingkat kesadaran. Dilakukan elektrokardiografi, dan
denyut nadi dipantau.
Darah diambil saat jalur intravena dipasang.
Hitung darah lengkap, hitung platelet, elektrolit,
nitrogen urea darah, kreatinin serum, waktu protrombin,
waktu tromboplastin parsial, dan tes fungsi hati
dinilai. Foto polos dilakukan bila perlu.
Setelah penilaian secara cepat dan stabilisasi
pasien, dilakukan CT scan kepala tanpa kontras. Sekali
diagnosis PIS ditegakkan, pasien dibawa untuk
mendapatkan pemeriksaan radiologis lain yang
diperlukan, keunit perawatan intensif, kamar operasi
atau kebangsal, tergantung status klinis pasien,
perluasan dan lokasi perdarahan, serta etiologi
perdarahan. Sasaran awal pengelolaan adalah pencegahan
perdarahan ulang dan mengurangi efek massa, sedang
tindakan berikutnya diarahkan pada perawatan medikal
umum serta pencegahan komplikasi.
Pencegahan atas Perdarahan Ulang
Perdarahan ulang jarang pada perdarahan hipertensif.
Saat pasien sampai didokter, perdarahan aktif biasanya
sudah berhenti. Hal yang sama, risiko perdarahan ulang
dari AVM dan tumor juga jarang. Tindakan utama yang
dilakukan untuk mencegah perdarahan ulang adalah
mengontrol tekanan darah seperti dijelaskan diatas.
Pada perdarahan karena aneurisma yang ruptur, risiko
perdarahan ulang lebih tinggi. Dilakukan usaha untuk
mempertahankan tekanan darah 10-20 % diatas tingkat
normotensif untuk mencegah vasospasme, namun cukup
rendah untuk menekan risiko perdarahan. Beberapa
menganjurkan pemakaian asam aminokaproat, suatu agen
antifibrinolitik. Namun manfaat serta indikasi untuk
pemakaiannya tetap belum jelas.
Kasus dengan koagulasi abnormal, risiko perdarahan
ulang atau perdarahan yang berlanjut sangat nyata
kecuali bila koagulopati dikoreksi. Pasien dengan PIS
akibat terapi antikoagulan memerlukan koreksi segera
atas faktor koagulasinya. Heparin intravena (waktu
paruh 1-2 jam) harus dihentikan, dan diberikan protamin
sulfat agar segera menghapuskan efek heparin. Pasien
dengan PIS yang mendapat warfarin harus mendapatkan
plasma segar yang dibekukan (FFP) agar segera
menghilangkan antikoagulasi. Vitamin K (fitonadion),
yang memerlukan kurang dari 6 jam untuk mengembalikan
parameter koagulasi kenormal, harus juga diberikan
untuk membantu mempertahankan hemostasis. Pemeriksaan
koagulasi harus diamati dan tambahan FFP dan vitamin K
diberikan bila perlu.
Pasien dengan PIS akibat penyakit von Willebrand
atau hemofilia A atau B harus segera mendapatkan
konsultasi hematologis. Pasien von Willebrand harus
mendapat kriopresipitat. Pasien dengan hemofilia A
harus mendapat kriopresipitat atau konsentrat liofil
faktor VIII. Pasien hemofilia B mungkin bisa diberikan
FFP intravena atau konsentrat yang kaya faktor II, VII,
IX, dan X. Kadar darah faktor pembekuan harus
dipertahankan paling tidak 20-30 % dari normal bila
operasi untuk mengevakuasi hematom tidak akan dilakukan
dan 50-100 % dari normal bila diperlukan operasi. Bila
PIS terjadi pada pasien dengan defek perdarahan
kongenital, FFP harus diberikan. Ini akan memberikan
semua faktor pembekuan kecuali platelet.
PIS akibat suatu trombositopenia harus mendapat
transfusi platelet, tidak peduli etiologi trombosito-
penianya untuk mempertahankan jumlah platelet paling
tidak 100.000/mm3. Pasien dengan penurunan produksi
platelet, waktu hidup platelet biasanya normal hingga
hitung platelet dapat dipertahankan dengan transfusi
berulang. Pada kasus dengan peningkatan penghancuran
platelet, waktu hidup platelet sangat memendek hingga
platelet yang ditransfusikan hanya bersikulasi dalam
masa pendek, sekitar satu jam. Jadi transfusi platelet
mempunyai nilai yang sangat terbatas. Pada kasus ini,
setelah transfusi platelet inisial, kortikosteroid
sering berguna dalam meninggikan hitung platelet.
Sering diperlukan splenektomi untuk membuang daerah
sekuestrasi platelet masif.
Mengurangi Efek Massa
Pengurangan efek massa dapat dilakukan secara medikal
maupun bedah. Pasien dengan peninggian TIK dan/atau
dengan area yang lebih fokal dari efek massa, usaha
nonbedah untuk mengurangi efek massa penting untuk
mencegah iskemia serebral sekunder dan kompresi batang
otak yang mengancam jiwa. Tindakan untuk mengurangi
peninggian TIK antaranya (1) elevasi kepala hingga 30o
untuk mengurangi volume vena intrakranial serta
memperbaiki drainase vena; (2) mannitol intravena
(mula-mula 1.5 g/kg bolus, lalu 0.5 g/kg tiap 4-6 jam
untuk mempertahankan osmolalitas serum 295-310 mOsm/L);
(3) restriksi cairan ringan (67-75 % dari pemeliharaan)
dengan penambahan bolus cairan koloid bila perlu;
(4) ventrikulostomi dengan pemantauan TIK serta
drainasi CSS untuk mempertahankan TIK kurang dari
20mmHg; dan (5) intubasi endotrakheal dan hiper-
ventilasi, mempertahankan PCO2 25-30mmHg.
Pada pasien sadar dengan efek massa regional
akibat PIS, peninggian kepala, restriksi cairan, dan
mannitol biasanya memadai. Tindakan ini dilakukan untuk
memperbaiki tekanan perfusi serebral dan mengurangi
cedera iskemik sekunder. Harus ingat bahwa tekanan
perfusi serebral adalah sama dengan tekanan darah
arterial rata-rata dikurangi tekanan intrakranial,
hingga tekanan darah sistemik harus dipertahankan pada
tingkat normal, atau lebih disukai sedikit lebih tinggi
dari tingkat normal. Diusahakan tekanan perfusi
serebral setidaknya 70mg, bila perlu memakai vasopresor
seperti dopamin intravena atau fenilefrin.
Pasien sadar dipantau dengan dengan pemeriksaan
neurologis serial, pemantauan TIK jarang diperlukan.
Pada pasien koma yang tidak sekarat (moribund), TIK
dipantau secara rutin. Disukai ventrikulostomi karena
memungkinkan mengalirkan CSS, karenanya lebih mudah
mengontrol TIK. Perdarahan intra-ventrikuler menjadi
esensial karena sering terjadi hidrosefalus akibat
hilangnya jalur keluar CSS. Lebih disukai pengaliran
CSS dengan ventrikulostomi dibanding hiperventilasi
untuk pengontrolan TIK jangka lama. Pemantauan TIK
membantu menduga manfaat tindakan medikal dan membantu
memutuskan apakah intervensi bedah diperlukan. Walau
pemantauan TIK bermanfaat menuntun tindakan atas PIS,
belum dapat diputuskan manfaatnya dalam memperbaiki
outcome.
Pemakaian kortikosteroid untuk mengurangi edema
serebral akibat PIS pernah dilaporkan bermanfaat pada
banyak kasus anekdotal dan sering dianjurkan. Namun
penelitian menunjukkan bahwa deksametason tidak
menunjukkan efek yang bermanfaat, disamping jelas
meningkatkan komplikasi (infeksi dan diabetes). Namun
digunakan deksametason IV, 4mg tiap 6 jam pada pasien
dengan perdarahan parenkhimal dimana tampilan CT scan
memperlihatkan edema serebral yang berat.
Perawatan Umum
Manfaat nimodipin dalam mengelola PSA akibat aneurisma
yang pecah sudah sangat jelas. Pasien dengan perdarahan
intraventrikuler atau kombinasi dengan perdarahan sub-
arakhnoid atau parenkhimal akibat robeknya aneurisma,
nimodipin diberikan 60mg melalui mulut atau NGT setiap
4 jam. Namun penggunaan pada PIS nonaneurismal belum
pasti, hingga tidak digunakan pada pasien PIS spontan
nonaneurismal (UCLA, 1993).
Antikonvulsan diberikan begitu diagnosis PIS
supratentorial ditegakkan, kecuali bila perdarahan
terbatas pada talamus atau ganglia basal. Secara
inisial disukai fenitoin karena kadar darah terapeutik
dapat dicapai dalam 1 jam dengan pemberian IV, mudah
pemberiannya, dan efektif mencegah kejang umum. Pada
dewasa, pembebanan 1 g IV (50 mg/mnt) diikuti 300-400
mg IV atau oral perhari. Tekanan darah harus dipantau
selama pembebanan IV karena infus yang terlalu cepat
dapat berakibat penurunan tekanan darah mendadak.
Sebagai tambahan, EKG harus dipantau karena fenitoin
berkaitan dengan aritmia kardiak termasuk pelebaran
interval PR dan gelombang Q dengan diikuti kolaps
vaskuler. Kadar fenitoin dipantau ketat dan dosis
disesuaikan hingga kadar fenitoin serum dalam jangkauan
terapeutik (10-20 ug/mL) dan pasien bebas kejang.
Antikonvulsan lain seperti fenobarbital (60 mg/IV
atao oral, dua kali sehari, kadar terapeutik darah 20-
40 ug/mL) dan karbamazepin (200 mg oral, 3-4 kali
sehari, kadar terapeutik 4-12 ug/mL). Kejang bisa
bersamaan dengan peninggian dramatik TIK dan tekanan
darah sistemik, yang dapat menyebabkan perdarahan,
karenanya harus dicegah. Selain itu hipoksia dan
asidosis sering tampak selama aktifitas kejang,
potensial untuk menambah cedera otak sekunder.
Pengelolaan metabolik yang baik diperlukan pada
pasien dengan PIS. Status cairan, elektrolit serum, dan
fungsi renal harus ditaksir berulang, terutama pada
pasien dengan restriksi cairan, mendapat mannitol atau
diuretika lain, atau tidak makan. Nutrisi memadai
adalah esensial.
Perawatan pulmoner agresif dilakukan untuk
mencegah sumbatan mukus, aspirasi, dan pneumonia.
Stoking kompresi pneumatik dan tabung anti embolik
dipasang untuk mencegah trombosis vena dalam. Terapi
fisik dimulai dini, memperbaiki jangkauan gerak. Bidai
pergelangan tangan dan kaki dipasang untuk mencegah
kontraktur fleksi.
Pemeriksaan Lain
Pemeriksaan dengan pencitraan lain dilakukan bila
etiologi perdarahan tidak jelas. Bisa berupa sidik MRI
berulang dengan atau tanpa gadolinium IV dan/atau
angiogram serebral. CT scan kepala ulang dilakukan
paling tidak sekali perminggu selama beberapa minggu
sejak perdarahan guna menaksir resolusi hematoma dan
juga memeriksa terjadinya hidrosefalus komunikating,
terutama pada kasus perdarahan intraventrikuler. Hidro-
sefalus tunda mungkin bertanggung-jawab atas tiadanya
perbaikan klinis atau perburukan pada beberapa pasien.
CT scan harus lebih sering bila pasien menunjukkan
semua tanda perdarahan ulang atau perburukan neuro-
logis.
PENGELOLAAN SECARA BEDAH
Indikasi Operasi
Indikasi tindakan bedah terhadap pasien PIS terutama
tergantung pada etiologi, lokasi dan ukuran perdarahan,
serta status klinis pasien. Masih ditunggu, apakah
evakuasi stereotaktik perdarahan intraparenkhimal akan
berpengaruh besar atas pengelolaan kasus secara umum,
terutama pada kasus PIS yang terletak dalam.
Etiologi Perdarahan
Tampaknya keberhasilan terapi konservatif pada PIS
hipertensif sama dengan terapi bedah, kecuali pada
keadaan tertentu seperti perdarahan serebeler dan
kadang-kadang perdarahan lober atau putaminal dengan
perburukan neurologis progresif, operasi sangat
dianjurkan. Dilain fihak, manfaat operasi pada PIS non-
hipertensif sudah jelas.
Tindakan bedah atas PIS spontan karena angiopati
amiloid harus dicegah. Operasi akan mengakibatkan
perdarahan selama dan sesudah bedah. Dianjurkan bahwa
tindakan terhadap perdarahan masif serebral akibat
angiopati amiloid yang khas pada tampilan CT scan
dibatasi pada tindakan suportif.
Malformasi arteriovenosa yang berdarah, jarang
memerlukan tindakan bedah, kecuali pada kasus dengan
peninggian TIK atau ancaman kompresi batang otak oleh
hematoma yang mengancaman jiwa harus segera dilakukan
operasi pengangkatan hematoma. Semua usaha medikal
dilakukan karena tindakan ini tidak jarang berakibat
perdarahan yang gawat dan tak terkontrol. Karena risiko
perdarahan ulang rendah, disukai untuk menunggu paling
tidak satu minggu sebelum dilakukan tindakan bedah. Ini
memberi waktu agar edema serebral berkurang dan pasien
membaik, serta memungkinkan melakukan angiografi dengan
lebih sedikit distorsi oleh efek massa hingga rencana
operasi lebih tepat. Pendekatan endovaskuler atau
operasi terbuka dilakukan secara sendiri-sendiri
ataupun kombinasi.
Waktu operasi atas aneurisma serebral yang ruptur
tidak ditentukan oleh PIS yang terjadi kecuali pasien
memburuk karena efek massa. Bila diperlukan evakuasi
hematoma, harus dilakukan perbaikan atas aneurismanya
pada saat operasi yang sama.
PIS spontan pada tumor otak mengharuskan
eksplorasi bedah serta biopsi rongga hematomanya. Tidak
perlu dilakukan secara gawat darurat kecuali terjadi
peninggian TIK yang mengancam jiwa atau adanya defisit
neurologis progresif. MRI prabedah harus dilakukan, dan
bila perlu angiografi.
Pengangakatan secara bedah atas PIS spontan pada
pasien dengan koagulopati tergantung kondisi klinis
pasien serta kesanggupan untuk memperbaiki kelainan
perdarahannya. Pada pasien dengan defisit neurologis
progresif, kelainan koagulasi yang dapat dikoreksi, dan
lesi yang mungkin dijangkau, adalah kandidat untuk
tindakan bedah. Diatesis perdarahan yang tak dapat
dikoreksi tidak dipertimbangkan untuk operasi. Bila PIS
karena terapi antikoagulan, antikoagulan tidak boleh
diberikan lagi paling tidak seminggu sejak operasi. PIS
karena suatu trombositopenia, hitung platelet harus
dipertahankan diatas 100.000/mm3 untuk seminggu pasca
bedah. Pasien dengan hemofilia atau kelainan von
Willebrand, kadar darah faktor pembekuan harus
dipertahankan pada 50-100 % normal untuk 7-10 hari
pasca bedah.
Tindakan bedah pada PIS yang berkaitan dengan agen
simpatomimetik pada pasien yang tanpa kelainan vaskuler
adalah serupa dengan perdarahan hipertensif. Pasien
dengan ruptur aneuriusma serebral atau AVM yang
diinduksi obat-obatan dipertimbangkan unruk operasi.
Lokasi dan Ukuran Perdarahan Hipertensif
Indikasi bedah untuk pengangkatan perdarahan putaminal
tetap belum jelas. Umumnya disetujui perdarahan yang
diameternya kurang dari 3sm atau perdarahan yang lebih
besar yang meluas ke otak tengah atau yang berkaitan
dengan tanda-tanda kompresi batang otak tidak akan
menunjukkan manfaat dengan evakuasi bedah, kecuali pada
kelompok terakhir tindakan bedah adalah penyelamat
jiwa, namun perbaikan jarang akan melebihi keadaan
vegetatif atau cacad berat.
Pengelolaan pasien dengan perdarahan 'sedang'
kurang pasti. Beberapa menyangsikan operasi akan lebih
bermanfaat bila dibanding nonbedah, lainnya melaporkan
adanya perbaikan hasil akhir bila operasi dilakukan
didalam 6 jam sejak perdarahan, atau apabila pasien
mengalami perburukan neurologis yang cepat. Fujitsu
menyimpulkan bahwa hanya pasien dengan perburukan
neurologis progresif cepat yang memperlihatkan manfaat
fungsional atas bedah. Pasien dengan tanpa progresi
atau progresi lambat selama 6 jam pertama atau dengan
perjalanan fulminan tidak memperlihatkan manfaat
fungsional dengan bedah. Jadi tindakan bedah harus
dipertimbangkan hanya pada pasien dengan hematoma
ukuran sedang (3-6sm) dan yang neurologis memburuk
namun tanpa tanda kompresi batang otak.
Perdarahan talamik hipertensif terbaik dirawat
nonbedah. Ventrikulostomi mungkin perlu apabila terjadi
ekstensi perdarahan keventrikuler atau adanya tanda-
tanda hidrosefalus obstruktif. Pasien dengan perdarahan
berdiameter kurang dari 1sm jarang disertai ruptur
ventrikuler dan sembuh dengan baik. Bila perdarahan
berdiameter 1-3sm, juga membaik, namun dengan beberapa
kecacadan. Perbaikan dari perdarahan berdiameter 3sm
atau lebih jarang terjadi. Pasien dengan perdarahan
lebih dari 3.3sm umumnya mati. Kwak mendapatkan bahwa
perdarahan berdiameter 3sm atau lebih akan memberi
hasil akhir nonfungsional. Saat ini tidak ada bukti
bahwa pasien dengan hematoma besar akan diberi manfaat
oleh tindakan bedah.
Perdarahan serebeler spontan adalah kelainan yang
ditindak bedah. Ojemann dan Heros telah menegaskan
pentingnya tindakan sebelum efek massa menyebabkan
perubahan tingkat kesadaran dan keadaan klinis yang tak
stabil, karena perburukan neurologis oleh kompresi
batang otak sering tidak dapat diduga dan irreversibel
bila telah terjadi. Ott melaporkan angka kematian 17 %
pada pasien yang sadar atau letargi pra bedah dibanding
angka kematian 75 % pada pasien yang stupor atau koma
prabedah. Penting diingat bahwa evakuasi bedah pada
hematoma serebeler adalah diindikasikan, bahkan pada
pasien koma dengan bukti-bukti adanya kompresi batang
otak.
Little menemukan bahwa 60 % pasien perdarahan
serebeler berdiameter lebih dari 3sm pada CT scan
berada dalam koma atau cepat menjadi koma, sedang yang
berdiameter kurang deari 3sm adalah bangun dan sadar
serta mempunyai perjalanan yang jinak.
Dianjurkan evakuasi bedah pada hematoma serebeler
besar (diameter > 3sm) dalam 1 minggu sejak onset
bahkan pada pasien yang sadar, karena morbiditas
operasi adalah minimal. Lesi ini cenderung menggeser
ventrikel keempat dan sering menyebabkan hidrosefalus
obstruktif atau kompresi batang otak. Bila pasien
datang setelah lebih dari seminggu, risiko perburukan
lebih lanjut kecil dan dianjurkan tindakan konservatif.
Lesi dengan diameter kurang dari 3sm jarang menggeser
ventrikel keempat atau menyebabkan kompresi batang otak
dan biasanya berhasil dirawat secara medikal intensif.
Evakuasi bedah bahkan terhadap hematoma kecil (< 3sm)
tidak boleh ditunda bila ada tanda-tanda perburukan
neurologis.
Ventrikulostomi secara rutin dilakukan saat
operasi dan dimanfaatkan untuk pemantauan TIK pasca
bedah. Namun bila pada perdarahan serebeler spontan
dilakukan ventrikulostomi hanya sebagai suatu tindakan
tunggal, mungkin terjadi herniasi keatas yang fatal.
Perdarahan lober etiologinya terutama nonhiper-
tensif. Namun karena sifatnya serupa hipertensi,
biasanya pertama ditindak medikal kecuali terbukti ada
perburukan neurologis progresif.
Hanya sedikit peran bedah pada perdarahan pontin
hipertensif. Lesi yang pada CT scan lebih dari 1sm
hampir selalu fatal, sedang bila kurang dari 1sm
menyebabkan cacad berat pada pasien yang hidup setelah
apapun bentuk tindakannya. O'Laorie melaporkan
perbaikan pasien dengan evakuasi perdarahan pontin,
namun etiologinya tak diketahui. Tak seorangpun
diantaranya mempunyai riwayat hipertensi, dan
kebanyakan kasusnya berusia kurang dari 29 tahun.
Perdarahan intraventrikuler yang berkaitan dengan
PIS hipertensif ditindak dengan ventrikulostomi bila
perlu. Ini akan jadi tindakan penyelamat jiwa pada
keadaan hidrosefalus obstruktif.
Status Klinis
Tingkat kesadaran saat datang adalah indikator
prognostik penting pada PIS spontan. Dengan kekecualian
perdarahan serebeler hipertensif, pasien yang datang
dengan koma dan tanda-tanda kompresi batang otak jarang
diuntungkan oleh dekompresi bedah. Pasien yang sadar
dan bangun tidak dipertimbangkan sebagai kandidat
bedah, kecuali pada perdarahan serebeler berdiameter
lebih dari 3sm. Pasien dengan perburukan neurologis
progresif akan diuntungkan oleh tindakan evakuasi
bedah atas hematomanya dalam hal perdarahan putaminal
dan lober hipertensif. Pada perdarahan nonhipertensif,
tindakan bedah sangat tergantung etiologi perdarahan.
Saat Melakukan Operasi
Saat intervensi bedah akan mempengaruhi hasil akhir.
Beberapa menganjurkan segera (< 24 jam) atau sangat
segera (< 6 jam) sejak iktus, lainnya menyukai operasi
tunda. Karena indikasi untuk operasi dan pola pemikiran
bervariasi, tidak ada kesimpulan yang telah didapat
tentang waktu yang ideal untuk operasi. Umumnya
disetujui, operasi sangat dianjurkan pada pasien yang
menunjukkan perburukan neurologis.
HASIL AKHIR
Outcome PIS spontan dipengaruhi berbagai faktor seperti
etiologi, ukuran, lokasi, ruptur ventrikuler, usia
pasien, dan rencana operasi atau medikal.
Secara keseluruhan, mortalitas PIS spontan
diperkirakan 38 % (15-57 %). Kanaya menemukan 22 %.
Penting untuk diingat bahwa gambaran mortalitas adalah
dibawah perkiraan kematian sebenarnya, karena sekitar
35 % pasien dengan PIS spontan mati sebelum tindakan.
Juga gambaran mortalitas tidak mencakup pasien dengan
keadaan vegetatif atau cacad berat. 85-90 % dari
kematian karena PIS spontan terjadi dalam 1 bulan sejak
saat perdarahan, dan kebanyakan didalam beberapa hari
pertama.
SINUS KAVERNOSUS
1. Fistula Karotiko-kavernosa
Tanda dan gejala FKK (CCF) diakibatkan oleh anatomi
sinus kavernosus. Walau anatomi tepat hubungan arteria
dan vena masih kontroversi, konsep dasarnya adalah
bahwa sebelum arteria karotid internal menuju ruang
subarakhnoid ia melalui kantung dura pada setiap sisi
sella tursika, sinus kavernosus, yang berisi jaringan
vena dan juga berisi saraf otak keenam serta saraf otak
ketiga dan keempat pada dindingnya. Divisi satu dan
dua saraf kelima pada daerah dinding yang paling
lateral. Sinus kavernosus berhubungan keanterior dengan
orbit melalui vena oftalmik superior, kemedial dengan
sinus kavernosus sisi berlawanan dan keposterior dengan
pleksus venosus basiler fossa posterior melalui
beberapa kanal vena anastomotik didalam dura dasar
tengkorak, antaranya sinus petrosal. Pada fistula
karotiko-kavernosa terjadi lubang pada bagian kavernosa
arteria karotid internal, menyebabkan darah dengan
tekanan arterial masuk langsung kesistema vena (pleksus
vena) yang mengelilinginya dan biasanya dialirkan
kevena oftalmik superior. Efek klinis diakibatkan oleh
peninggian tekanan dan iskemia daerah bersangkuan
karena darah sekarang dialirkan melalui fistula.
Peninggian aliran darah dan tekanan dari fistula
disinus kavernosus ke orbit melalui vena oftalmik
superior inilah yang menyebabkan gejala yang teramati.
Adanya fistula menimbulkan bruit yang dapat didengar
baik oleh pasien maupun pemeriksa, terbaik didengar
diatas mata. Distensi vena oftalmik berakibat proptosis
bola mata karena pulsasi darah yang berasal arterial,
dan mungkin berpulsasi, baik pada satu maupun kedua
mata. Karena tekanan vena oftalmik meninggi ketingkat
yang cukup untuk mengganggu perfusi normal pada mata,
karena terjadi iskemia arterial sekunder, maka fungsi
retinal akan terganggu yang cukup untuk mengakibatkan
kebutaan. Biasanya mata tampak merah. Saraf otak dalam
sinus kavernosus juga terganggu.
Diplopia mungkin karena sebab mekanik akibat
posisi abnormal mata atau akibat tekanan pada saraf
kranial pada sinus kavernosus.
Walau aliran darah sangat tinggi pada FKK, keadaan
ini jarang mengancam nyawa karena fistula dibungkus
sempurna dalam dinding sinus kavernosus dan karenanya
terpisah dari otak dan ruang subarakhnoid.
Saraf otak keenam, karena lokasinya didalan sinus
kavernosus, dua kali lebih sering terganggu dibanding
saraf yang terletak pada dinding sinus kavernosus (III,
IV, V1, V2).
Diferensial diagnosis mata yang pulsatil dan
protrusi adalah tiadanya sayap sfenoid kongenital
seperti pada neurofibromatosis. Pada keadaan ini dura
lobus temporal berhubungan dengan jaringan orbital
karena adanya defek tulang sfenoid dan pulsasi otak
dihantarkan langsung keorbit, berakibat eksoftalmos
yang pulsatil.
Keadaan lain yang mempunyai gejala seperti FKK
antaranya trombosis sinus kavernosus, eksoftalmos
endokrin (tiroid), tumor retro-orbital, atau malformasi
vaskuler orbital.
Sebagian kecil kasus, FKK dialirkan kepleksus vena
fossa posterior dan mata tidak terganggu.
Karena sinus kavernosus berhubungan satu sama lain
melalui sistem anastomotik vena sekitar sella tursika,
FKK pada satu sisi mungkin mengalirkan darah kesinus
seberangnya hingga menimbulkan gejala yang serupa pada
sisi yang sehat. Pasien akan tampil dengan eksoftalmos
pulsatil bilateral.
Etiologi
1. Trauma. Fraktura dasar tengkorak dapat meluas
melalui kanal karotid dan menyebabkan disrupsi arteria
yang dipegang oleh pita fibrosa didalam sinus
kavernosus. Ini mungkin cukup untuk menimbulkan lubang
pada arteria atau menarik putus pembuluh meningeal
kecil dan menyebabkan arteria berdarah kedalam sinus.
Pembengkakan orbital atau memar sering dijumpai pada
cedera kepala dan penting untuk mendengar bruit diatas
mata pada setiap kasus tersebut. Selain itu bisa akibat
penetrasi langsung benda asing atau saat tindakan
operatif terhadap arteria karotid dan pleksus vena pada
sinus kavernosus.
2. Fistula spontan. Lebih jarang dijumpai dibanding FKK
traumatika. Biasanya terjadi pada wanita berusia
pertengahan atau pasca menopause. Cenderung unilateral
dan diduga akibat AVM didalam bungkus dural sinus
kavernosus. Walau aliran dan tekanan fistula ini lebih
kecil dibanding yang traumatika, ia sulit diatasi
karena mungkin disebabkan oleh beberapa fistula kecil
dan catu darahnya mungkin berasal dari arteria karotid
internal serta eksternal. Jarang diakibatkan oleh
rupturnya aneurisma kecil pada bagian intrakavernosa
arteria karotid atau pada pangkal AVM dural kecil yang
mendapat catu dari cabang meningeal arteria karotid
internal dan berdarah langsung kesinus kavernosus
bersangkutan.
Pemeriksaan
Tindakan terpilih, baik untuk diagnosis maupun terapi
adalah angiografi. Angiogram menunjukkan adanya serta
ukuran dan lokasi fistula, saluran drainase vena,
kemungkinan etiologi fistula serta metode terbaik untuk
terapi.
Tindakan
FKK dapat ditindak dengan cara teknik embolisasi
intravaskuler atau operasi langsung terhadap fistula.
Embolisasi biasanya dilakukan saat tindakan angiografi
diagnostik.
Beberapa fistula karotiko-kavernosa, terutama yang
kecil bisa menutup spontan, sering berkaitan dengan
tindakan angiografi atau dengan tindakan kompresi pada
karotid. Atas alasan ini ada yang menganjurkan untuk
mengajar pasien melakukan kompresi intermiten pada
arteria karotid komunis dileher dengan harapan akan
terjadinya suatu penutupan spontan. Remisi spontan
diperkirakan hanya pada 5-10% kasus.
Tindakan bedah idealnya dilakukan dengan menutup
fistula disaat patensi arteri dipertahankan. Ini sulit,
namun dapat dilakukan embolisasi dengan memasukkan
kateter balon ukuran kecil yang dikontrol secara
radiologi, kemudian diinflasikan didaerah fistula,
kemudian balon kecil yang dapat dilepaskan tersebut
ditinggalkan insitu. Ini cara yang sangat efektif dan
aman dan dapat dilakukan pada kebanyakan FKK. Terkadang
operasi langsung mengobliterasi fistula atau vena
pelimbahnya diperlukan, namun tindakan ini rumit dan
dicadangkan apabila teknik embolisasi gagal. Ligasi
arteria karotid internal diatas dan dibawah fistula
bisa mengatasi, namun merusak arterinya sendiri.
Perubahan ketajaman penglihatan mata bersangkutan
menentukan kecepatan kapan operasi harus dilakukan,
penurunan ketajaman penglihatan yang cepat merupakan
indikasi operasi segera.
2. Trombosis sinus kavernosus
Biasanya terjadi sebagai komplikasi proses infektif
didaerah sistema vena yang dialirkan kesinus. Yang
sudah dapat diterangkan secara jelas adalah sekunder
terhadap sepsis bagian wajah yang darah venanya
dialirkan melalui vena oftalmik.
Trombosis sinus berakibat proptosis mata sisi
bersangkutan dengan palsi saraf ketiga, keempat, keenam
serta divisi oftalmik saraf kelima. Sebagai tambahan,
pasien yang menampilkan tanda-tanda infeksinya seperti
adanya meningisme akibat sinus kavernosus yang
terinfeksi serta trombosis, terletak sangat dekat
dengan ruang subarakhnoid.
Terapi antibiotik dimulai sesegera mungkin setelah
contoh untuk pemeriksaan bakteriologis diambil.
Organisme yang bertanggung-jawab tersering adalah
stafilokokus. Bukti klinis meningisme adalah indikasi
untuk pungsi lumbar dan pemeriksaan bakteriologis CSS
lengkap.
3. Aneurisma Sinus Kavernosus
Aneurisma arteria karotid internal yang terjadi
didalam sinus kavernosus. Pembesarannya menyebabkan
nyeri akibat peregangan dinding sinus dural bersamaan
dengan palsi saraf kranial, terutama keenam dan divisi
oftalmik saraf kelima. Adanya palsi saraf keenam yang
nyeri pada pasien usia pertengahan mengarahkan pada
dugaan adanya suatu aneurisma arteria karotid internal
intrakavernosus. Rupturnya aneurisma memungkinkan
penjelasan atas suatu fistula karotiko-kavernosa, namun
terjadi didalam sinus kavernosus, dimana ia terletak
diluar ruang subarakhnoid maka karenanya tidak
bertanggung-jawab akan PSA.
Tindakan
Trombosis aneurisma yang belum ruptur dapat terjadi
setelah melakukan ligasi arteria karotid komunis
dileher.