ILMU BEDAH SARAF


Dr. Syaiful Saanin, Neurosurgeon.
saanin@padang.wasantara.net.id
Ka. SMF Bedah Saraf RSUP. Dr. M. Djamil/FK-UNAND Padang.

Cari dalam ejaan/bahasa Indonesia di situs ini :
Search term:
Case-sensitive - yes
exact fuzzy

5. CEDERA CORD SPINAL
** Pendahuluan
A. Cedera Spinal dan Kord Servikal
B. Pengelolaan Ketidakstabilan
C. Tulang Belakang Toraks dan Lumbar
 
KEMBALI KEHALAMAN UTAMA
 


        
5. CEDERA CORD SPINAL
        
        ___________________________________
        
                ETIOLOGI
        Kecelakaan  jalan  raya adalah penyebab  terbesar,  hal 
        mana  cukup kuat untuk merusak kord spinal serta  kauda 
        ekuina.  Dibidang olah-raga, tersering karena  menyelam 
        pada air yang sangat dangkal.
        
        
        KLASIFIKASI
        Sebelum membicarakan macam-macam cedera tulang belakang 
        serta kord spinal secara khusus, akan dibicarakan  dulu 
        secara  garis besar. Harus diingat bahwa cedera  tulang 
        belakang  mempunyai komponen tulang dan komponen  saraf 
        hingga  pengelolaan akan ditentukan oleh  faktor-faktor 
        dari kedua aspek tersebut.
        
        
        A. CEDERA TULANG
        
        a. Stabil
        Cedera  yang  stabil adalah bila fragmen  tulang  tidak 
        mempunyai  kemampuan untuk bergeser lebih  jauh  selain 
        yang  terjadi pada saat cedera. Komponen  arkus  neural 
        intak,  serta ligamen yang  menghubungkan  ruas  tulang 
        belakang,  terutama  ligamen  longitudinal   posterior, 
        tidak  robek.  Cedera stabil  diakibatkan  oleh  tenaga 
        fleksi,  ekstensi dan kompresi yang sederhana  terhadap 
        kolumna  tulang  belakang  dan  tersering  tampak  pada 
        daerah toraks bawah serta lumbar. Fraktura  baji  badan 
        ruas tulang belakang yang diakibatkan oleh fleksi  akut 
        pada  tulang  belakang  adalah contoh  yang  umum  dari 
        fraktura stabil.
        
        b. Tak stabil
        Fraktura  mempunyai  kemampuan  untuk  bergerak   lebih 
        jauh. Kelainan ini disebabkan oleh adanya elemen rotari 
        terhadap  cedera fleksi atau ekstensi yang cukup  untuk 
        merobek  ligamen longitudinal posterior  serta  merusak 
        keutuhan  arkus  neural,  baik  akibat  fraktura   pada 
        pedikel   dan  lamina,  maupun  oleh  dislokasi   sendi 
        apofiseal.
        
        
        B. CEDERA NEUROLOGIS
        
        a. Tanpa defisit neurologis
        Pemeriksaan  klinis  tak  menunjukkan  adanya  kelainan 
        neurologis.
        
        b. Dengan defisit neurologis
        Kerusakan neurologis yang terjadi saat kecelakaan dapat 
        lengkap dengan hilangnya fungsi dibawah tingkat  cedera 
        atau  tidak lengkap. Defisit neurologis paling  mungkin 
        terjadi  setelah  cedera pada  daerah  punggung  karena 
        kanal spinal tersempit didaerah ini. Adanya spondilosis 
        servikal memperberat kerusakan neurologis bahkan karena 
        cedera minor sekalipun pada orang tua. Ancaman terhadap 
        leher juga bertambah karena artritis rematoid.
             Harus selalu diingat bahwa tulang belakang  toraks 
        adalah  daerah  utama  terjadinya  fraktura   patologis 
        karena proses metastatik.
        
        
        TEMUAN KLINIS
        Cedera  tulang belakang harus selalu diduga pada  kasus 
        dimana  setelah  cedera  pasien  mengeluh  nyeri  serta 
        terbatasnya  pergerakan leher dan pinggang.  Deformitas 
        klinis  mungkin  tidak jelas dan  kerusakan  neurologis 
        mungkin  tidak tampak pada pasien yang  juga  mengalami 
        cedera  kepala  atau  cedera  berganda.  Tidak  lengkap 
        pemeriksaan pada suatu cedera bila fungsi anggota gerak 
        belum  dinilai  untuk  menyingkirkan  kerusakan  akibat 
        cedera tulang belakang.
        
        
        PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
        Karena  alasan  diatas,  perlu  dilakukan   pemeriksaan 
        radiografi  tulang belakang servikal pada semua  pasien 
        cedera kepala sedang dan berat. Radiograf yang  diambil 
        di  UGD  kualitasnya tidak selalu baik dan  bila  tetap 
        diduga   adanya  cedera  tulang   belakang,   radiograf 
        selanjutnya  diambil lagi termasuk tampilan oblik  bila 
        perlu,  serta (pada daerah servikal) dengan leher  pada 
        fleksi  serta  ekstensi  bila  diindikasikan.  Tampilan 
        melalui mulut terbuka perlu untuk memperlihatkan proses 
        odontoid pada bidang antero-posterior.
        
        
        PENGELOLAAN
        
        Sasaran terapi adalah mempertahankan fungsi  neurologis 
        yang  masih  ada, memaksimalkan  pemulihan  neurologis, 
        tindakan atas cedera lain yang menyertai, dan  mencegah 
        serta  mengobati  komplikasi  serta  sekuele  kerusakan 
        neural. Reduksi atas subluksasi untuk mendekompres kord 
        spinal dan tindakan immobilisasi tulang belakang  untuk 
        melindungi  kord  spinal adalah  merupakan  dasar  dari 
        tindakan.
             Operasi lebih awal diindikasikan untuk  dekompresi 
        neural, fiksasi internal, atau debridemen luka terbuka. 
        Pasien dengan kelainan patologis kompresif dan  defisit 
        neurologis tidak lengkap atau dengan defisit neurologis 
        progresif  adalah  kandidat  operasi  dekompresi  gawat 
        darurat. Fiksasi internal elektif dilakukan pada pasien 
        dengan ketidakstabilan tulang belakang, cedera  ligamen 
        tanpa  fraktura, deformitas tulang belakang  progresif, 
        cedera yang tak dapat direduksi, fraktur yang nonunion.
             Mediator  sekunder  dari cedera  adalah  perubahan 
        metabolik  serta patofisiologik yang berperan  terhadap 
        progresi dari respons cedera kord spinal setelah cedera 
        primer  atau  mekanikal.  Cedera  jaringan  menyebabkan 
        perubahan  biokimia, seluler, serta perubahan  jaringan 
        yang  akan  menimbulkan iskemia jaringan.  Iskemia  dan 
        infarksi  kord  spinal pasca  cedera  adalah  mekanisme 
        kunci.  Iskemia pasca cedera mempunyai efek  lokal  dan 
        sistemik.  Secara  sistemik terjadi  pengurangan  curah 
        jantung, hipotensi dan vasodilatasi simpatetik.  Secara 
        lokal,  autoregulasi dapat hilang serta  mikrosirkulasi 
        pada  dan sekitar segmen kord spinal yang  cedera  bisa 
        berkurang.  Efek vaskuler pasca cedera  harus  ditindak 
        untuk  mengoptimalkan  pemulihan. Ekspansi  volume  dan 
        vaso-presor digunakan untuk memperbaiki keadaan  normo-
        tensif.  Aliran  darah  kord  spinal  dapat  diperbaiki 
        dengan  cara ekspansi volume, steroid, nimodipin,  atau 
        dopamin.  Dosis tinggi metilprednisolon (bolus  30mg/kg 
        diikuti 5.4mg/kg/jam untuk 23 jam berikutnya) yang bila 
        diberikan  dalam  8 jam sejak cedera  akan  memperbaiki 
        pemulihan  neurologis.  Gangliosida mungkin  juga  akan 
        memperbaiki pemulihan setelah cedera kord spinal.
             Penilaian  keadaan neurologis setiap jam  termasuk 
        pengamatan  fungsi sensori, motori dan refleks  penting 
        untuk  melacak  defisit yang  progresif  atau  asenden. 
        Mempertahankan  perfusi jaringan yang  adekuat,  fungsi 
        ventilasi  dan melacak keadaan  dekompensasi  merupakan 
        hal yang vital.
         
        1. Cedera stabil tanpa defisit neurologis
        Pada  kelompok ini diantaranya angulasi atau baji  dari 
        badan ruas tulang belakang, fraktura proses transversus 
        dan  spinosus,  dll.  Tindakannya  simtomatik,  seperti 
        istirahat  baring  hingga  nyeri  berkurang,   kemudian 
        mobilisasi bertahap dengan fisioterapi untuk memulihkan 
        kekuatan otot.
        
        2. Fraktura tak stabil tanpa defisit neurologis
        Bila  terjadi pergeseran, fraktura memerlukan  reduksi, 
        dan posisi yang sudah lebih baik harus dipertahankan. 
        
        Metoda reduksi antaranya:
        a. Traksi
        Fraktura  servikal  paling tak stabil  dapat  direduksi 
        dengan  memuaskan dengan melakukan traksi  pada  tulang 
        belakang  servikal memakai sepit (tong) metal  (seperti 
        tong Gardner-Well atau Crutchfield) yang dipasang  pada 
        tengkorak. Beban sekitar 20 kg (tergantung tingkat ruas 
        tulang belakang, mulai sekitar 2.5 kg pada fraktura C1) 
        digunakan dalam mengusahakan reduksi.
        b. Manipulasi
        Dislokasi  serta  locking dari  faset  sendi  apofiseal 
        servikal mungkin menghambat reduksi fraktura bila hanya 
        semata dengan traksi. Manipulasi hati-hati leher  dalam 
        anestesi umum dapat membebaskan faset.
        c. Reduksi terbuka
        Kadang-kadang  terhadap faset pada daerah servikal  dan 
        toraks diperlukan operasi untuk mengembalikan alignment 
        normalnya.
        
        Metoda immobilisasi setelahnya adalah:
        a. Ranjang khusus, rangka, atau selubung plester dengan 
        pasien  dapat  dirawat  untuk waktu  yang  lama  dengan 
        mempertahankan posisi yang telah direduksi bahkan  saat 
        membalik untuk memandikan atau merawat kulit.
        b. Traksi  tengkorak.  Hanya  diperlukan  beban  sedang 
        untuk mempertahankan cedera leher yang sudah direduksi.
        c. Plester  paris  dan  splin  eksternal  lain.  Pasien 
        dengan  cedera  servikal  nyatanya  dapat  dimobilisasi 
        dengan leher disangga dengan plester paris dalam posisi 
        memadai  atau  dengan splin metal yang  dirancang  agar 
        kepala tetap immobil disaat pergerakan tubuh.
        d. Operasi.  Fusi secara bedah melintas  garis  fraktur 
        dapat dilakukan. Pada tulang belakang servikal  operasi 
        dilakukan baik dari depan maupun belakang. Pada  daerah 
        toraks tulang belakang difiksasi dengan pelat metal dan 
        tandur  tulang  yang menyatukan  lamina  dengan  proses 
        spinosus berdekatan.
        
        3. Cedera stabil dengan defisit neurologis
        Bila fraktura stabil, kerusakan neurologis  diakibatkan 
        oleh:
        
        a. Pergeseran yang cukup besar yang terjadi saat cedera 
        menyebabkan  trauma langsung terhadap kord spinal  atau 
        kerusakan  vaskuler, namun dengan bagian  tulang  dalam 
        konfigurasi yang lebih normal.
        b. Tulang   belakang  sebelumnya  sudah  rusak   akibat 
        penyakit sebelumnya seperti pada spondilosis servikal.
        c. Fragmen tulang atau diskus terdorong kekanal spinal.
        
        Pengelolaan  kelompok ini tergantung derajat  kerusakan 
        neurologis  yang  tampak pada saat  pertama  diperiksa. 
        Suatu  transeksi  neurologis lengkap,  terbaik  dirawat 
        konservatif.  Pada  cedera  didaerah  servikal,   leher 
        diimmobilisasi  dengan kolar atau sepit  (kaliper)  dan 
        pasien  diberi  metil  prednisolon.  Pemeriksaan  lebih 
        lanjut seperti mielografi atau MRI harus dilakukan bila 
        pemeriksaan  menunjukkan adanya potensi akan  perbaikan 
        neurologis.  Kesempatan  perbaikan pada  pasien  dengan 
        defisit total disaat diperiksa adalah kecil dan semakin 
        jauh bila tidak ada perbaikan dalam 48 jam.
             Pada  cedera  neurologis tak lengkap  pasien  juga 
        mulanya  dirawat konservatif. Bila  kerusakan  didasari 
        adanya spondilosis servikal, traksi tengkorak digunakan 
        disamping  pemberian metil prednisolon. Perkiraan  atas 
        kerusakan  dilakukan dan bila perbaikan terjadi  dengan 
        memuaskan, tidak ada lagi tindakan lain yang diperlukan 
        kecuali  bila  spondilosis yang  sudah  ada  sebelumnya 
        memerlukan  tindakan  bedah. Bila tidak  ada  perbaikan 
        atau ada perbaikan namun diikuti perburukan,  dilakukan 
        mielografi untuk menampilkan daerah fraktura yang  akan 
        didekompresi.  Dengan kata lain,  tindakan  konservatif 
        memungkinkan  kord  spinal  yang  rusak  memperlihatkan 
        potensinya  untuk membaik dan tindakan bedah  dilakukan 
        pada  saat risiko pertambahan defisit neurologis  sudah 
        dikurangi.
        
        4. Cedera tulang tak stabil dengan defisit neurologis
        Bila  lesinya  total, dilakukan  reduksi  yang  diikuti 
        dengan immobilisasi seperti halnya pada seksi 2  dengan 
        tambahan perawatan paraplegik. Bila defisit  neurologis 
        tak  lengkap, reduksi dan diikuti  immobilisasi  sesuai 
        dengan  jenis cederanya, dan bila  diperlukan  operasi, 
        dekompresi kanal spinal dilakukan pada saat yang  sama. 
        Setelah  setiap  tindakan,  kebijaksanaan   konservativ 
        seperti  pada seksi 3 dapat diteruskan karena  fraktura 
        sekarang telah berubah dari tak stabil menjadi stabil.
        
        
        CEDERA YANG MENYERTAI DAN KOMPLIKASI CEDERA KORD SPINAL
        
        Efek  dari cedera kord spinal akut mungkin  mengaburkan 
        penilaian  atas  cedera lain dan mungkin  juga  merubah 
        respon terhadap terapi. 60% lebih pasien dengan  cedera 
        kord spinal bersamaan dengan cedera major: kepala  atau 
        otak,  toraks,  abdominal, atau vaskuler.  Berat  serta 
        jangkauan cedera penyerta yang berpotensi didapat  dari 
        penilaian primer yang sangat teliti dan penilaian ulang 
        yang  sistematik  terhadap pasien setelah  cedera  kord 
        spinal. Dua penyebab kematian utama setelah cedera kord 
        spinal adalah aspirasi dan syok.
        
        
        Pengelolaan Hemodinamik
        Bila  pasien hipotensif, cari sumber perdarahannya  dan 
        atasi.  Syok  neurogenik mungkin  tertutupi  oleh  syok 
        hemoragik.
             Syok  neurogenik disebabkan oleh hilangnya  aliran 
        adrenergik  dari sistema saraf simpatetik pada  jantung 
        dan  vaskulatur perifer setelah cedera  diatas  tingkat 
        T6. Terjadi hipotensi, bradikardia, dan hipotermi. Syok 
        neurogenik  akan  lebih  mengganggu  distribusi  volume 
        intravaskuler dari pada menyebabkan hipovolemi  sejati. 
        Atropin, dopamin, atau fenilefrin harus dipertimbangkan 
        untuk  mengobati  syok neurogenik, yang  tak  berreaksi 
        atas penggantian volume intravaskuler.
             Syok spinal berbeda dari sindroma fisiologik  syok 
        neurogenik. Syok spinal menunjukkan kehilangan  lengkap 
        aktifitas motori, sensori dan refleks segmental  dengan 
        flaksiditas dibawah tingkat cedera. Keadaan ini mungkin 
        berakhir  setelah 6 minggu. Bila syok  spinal  bertahan 
        lebih dari 24 jam, prognosis untuk ambulasi betul-betul 
        tidak ada. Akhir dari syok spinal akan ditunjukkan oleh 
        kembalinya  refleks  spinal, namun fenomena  ini  belum 
        dimengerti.
             Selama  fase akut setelah cedera,  beberapa  jalur 
        intravena  perifer ukuran besar (no. 16)  dan  pengamat 
        tekanan  darah  melalui  jalur  arteri  dipasang,   dan 
        resusitasi  air dimulai. Bila pasiennya hipotensif  dan 
        tak berreaksi atas cairan atau produk darah  intravena, 
        kateterisasi  pada arteri pulmoner  merupakan  pembantu 
        diagnostik  untuk membimbing manipulasi terapeutik  dan 
        untuk membedakan antara mekanisme hipovolemik,  kardio-
        genik dan neurogenik.
             
        
        Pengelolaan Respiratori
        Disfungsi  respirasi  bisa  terjadi  karena   kegagalan 
        ventilatori  akibat  hilangnya  fungsi  neural   dengan 
        paralisis  muskulatur toraks. Mungkin juga karena  atau 
        eksaserbasi dari beberapa faktor parenkhimal.  Tindakan 
        terhadap  kelainan  patologi  dan  pencegahan  terhadap 
        kelainan pulmoner sekunder atau didapat sangat penting. 
             Pembalikan  tubuh  berulang,  perangsangan  batuk, 
        pernafasan  dalam, spirometri insentif, dan  pernafasan 
        bertekanan positif yang sinambung dengan masker  adalah 
        cara  mempertahankan ekspansi paru-paru atau  kapasitas 
        residual  fungsional. Tekanan pernafasan  positif  yang 
        sinambung  dengan masker merupakan cara  optimal  untuk 
        mempertahankan   kapasitas  residual  fungsional   pada 
        pasien yang tidak diintubasi. Cara ini digunakan  dalam 
        usaha mencegah pamakaian ventilasi mekanik.
             Pasien  dengan saraf frenik intak (C3,4,5)  dengan 
        trauma kord spinal servikal tengah atau toraks  mungkin 
        semula tampil dengan gas darah normal dan memburuk atau 
        mengalami  dekompensata  secara akut  dengan  kegagalan 
        pernafasan. Hilangnya inervasi otot pernafasan aksesori 
        dan otot interkostal menimbulkan gangguan  pengembangan 
        toraks  dan  menyebabkan  atelektasis  progresif.  Dada 
        fungsinya menjadi inkompeten dan kurang compliant.
             Gangguan  fungsi ventilatori, sekret, dan  infeksi 
        bronkhopulmoner,  serta keadaan lain  yang  menyebabkan 
        eksaserbasi  insufisiensi respirasi  haruslah  ditindak 
        efektif. Trakheostomi dilakukan bila pasien tak mungkin 
        dilepaskan  dari  ventilator.  Umumnya  bila  ventilasi 
        diperlukan, lebih dari dua minggu.
        
        
        Pengelolaan Nutrisional dan Gastrointestinal
        Pasien dengan cedera kord spinal lengkap dan akut harus 
        mendapatkan  pemeriksaan  CT scan abdomen  atau  lavasi 
        peritoneal  bila  diduga  ada  perdarahan  atau  cedera 
        abdominal.  Tanda dan gejala cedera  abdominal  mungkin 
        tidak  ada  pada cedera kord  spinal  akibat  hilangnya 
        sensasi. 
             Cedera  kord  spinal akut,  terutama  pada  daerah 
        toraks  dan  lumbar biasanya dengan ileus  akibat  efek 
        mekanik  langsung atau hilangnya fungsi neural  otonom. 
        Ileusnya  harus  ditindak dengan  suction  nasogastrik, 
        penggantian elektrolit, dan pengamatan status cairan.
             Walau paralisis, pasien dengan cedera kord  spinal 
        jelas  dengan peningkatan tingkat metabolisme  (50-100% 
        diatas normal) dan segera menjadi katabolik. Dianjurkan 
        terapi  nutrisional  dini. Pemberian  dukungan  nutrisi 
        dalam  24  jam  sejak  cedera  menunjukkan  pengurangan 
        infeksi, trombosis vena dalam, dan komplikasi katabolik.
             Pemberian  makanan  oral atau  alimentasi  enteral 
        lebih disukai. Selang duodenal yang fleksibel  dipasang 
        dengan  bantuan  fluoroskopi  bila  diperkirakan  perlu 
        hiperalimentasi enteral elemental. Pasien dengan  ileus 
        atau  tidak  mampu mentolerasi  makanan  enteral  harus 
        segera  mendapatkan  hiperalimentasi  parenteral  total 
        (TPN).  Pencegahan ulkus biasanya  dengan  antihistamin 
        (simetidin, ranitidin) atau antasid.
             Pengosongan lambung yang terlambat sesudah  cedera 
        mungkin  menyebabkan  pneumonia  aspirasi  bila  pasien 
        mendapatkan   gastric  feeding.   Penggunaan   duodenal 
        feeding  mencegah aspirasi. Penambahan zat  warna  akan 
        melacak adanya aspirasi atau refluks.
             Cairan  makanan  hipertonik,  penurunan   absorpsi 
        intestinal, atau keduanya, dapat menyebabkan diare pada 
        pasien  dengan  makanan enteral.  Keadaan  ini  diatasi 
        dengan mencoba berbagai konsentrasi formula atau dengan 
        menambahkan  difenoksilat hidrokhlorida dengan  atropin 
        sulfat (Lomotil) atau obat sejenis.
             Kehilangan  fungsi  sfingter  anal  ditindak  bila 
        ileus  dan syok spinal berlalu.  Pemberian  supositoria 
        bisakodil  (Dulcolax)  dengan  dilatasi  manual  rektal 
        memberikan  rangsangan  untuk kontraksi  uniform  untuk 
        pengosongan "volitional".
        
        
        Gangguan Koagulasi
        Koagulopati  intravaskuler  diseminata  jarang  terjadi 
        pada  cedera  kord spinal terbatas,  bila  dibandingkan 
        dengan  cedera  kepala berat.  Namun  pasien  paralisis 
        mempunyai  risiko besar atas terjadinya trombosis  vena 
        dalam dan emboli paru-paru.
             Heparin  dosis  mini (5000 U  subkutan,  2-3  kali 
        sehari),  ranjang  yang  berosilasi,  ekspansi  volume, 
        stoking  elastik setinggi paha, stoking pneumatik  anti 
        emboli,  antiplatelet serta anti  koagulasi  dianjurkan 
        untuk pencegahan, namun belum ada cara yang superior.
        
        
        Pengelolaan Genitourinari
        Setelah  cedera,  kandung kemih menjadi  atonik  secara 
        akut. Kateter Foley yang indwelling harus sejak  semula 
        digunakan  untuk  mengamati  output  cairan  dan  untuk 
        mencegah  distensi kandung kemih. Kateterisasi  berkala 
        kandung  kemih dimulai setelah keadaan  medikal  pasien 
        stabil   dan  dilakukan  untuk  mempertahankan   volume 
        kandung kencing dibawah 400ml. Kateterisasi  intermiten 
        dan bersih mengurangi risiko sistitis dan pielonefritis 
        pada pasien dengan kandung kemih neurogenik. Antibiotik 
        profilaktik  tidak dianjurkan, namun  infeksi  spesifik 
        harus segera diobati. 
        
        
        Ulkus Dekubitus
        Segera  terbentuk pada pasien paralisis akibat  tekanan 
        langsung  pada dermal, kurangnya perfusi jaringan,  dan 
        kurangnya mobilitas. Busa atau kulit kambing  penyangga 
        tonjolan  tulang, pemutaran tubuh  berulang,  perawatan 
        kulit  yang  baik, dan ranjang berosilasi  atau  udara, 
        dapat  membantu pencegahan ulkus dekubitus.  Pencegahan 
        komplikasi kulit adalah sangat penting.
        
        
        Pengelolaan Pasien Paraplegik
        Penderita  cacad paraplegik terbukti banyak yang  dapat 
        kembali  aktif dan gembira sebagai anggota  masyarakat, 
        berperanan  dirumah,  dilingkungan  serta  dipekerjaan. 
        Perawatan dikelompokkan kedalam:
        
        1. Respirasi.  Peran  utama saraf  frenik  adalah  pada 
        tingkat C4 dan cedera servikal tengah dapat berpengaruh 
        pada fungsi diafragma baik pada satu maupun kedua sisi. 
        Defisit yang ditimbulkannya bisa temporer atau menetap. 
        Pada tahap awal pasien mungkin memerlukan ventilasi dan 
        tube endotrakheal yang dipasang sebagai tindakan  gawat 
        darurat  harus  diganti  dengan  trakheostomi  sesegera  
        mungkin.  Sebagai tambahan pada  pernafasan  artifisial 
        adalah  kemungkinan  aspirasi  yang  efisien   terhadap 
        sekresi  paru-paru  dan  mencegah  terjadinya  bronkho-
        pneumonia.  Perbaikan keadaan  neurologis  memungkinkan 
        pasien untuk dilepas dari ventilator untuk  selanjutnya 
        menutup trakheostomi.
        
        2. Kulit.  Kulit yang anestetik pada pasien  paraplegik 
        menyebabkan  sakrum, trokhanter major dan  tumit  cepat 
        menjadi  merah dan ulserasi bila  perawatan  terlantar. 
        Pikirkan bahwa semua bed sores dapat dicegah bila tidak 
        ada defek intrinsik pada kulit yang akan menjadi sumber 
        luka.  Pasien harus dibalik setiap dua jam  dan  apapun 
        cara  yang digunakan untuk mengimmobilisasi pasien pada 
        fraktura  tak stabil, harus tetap efektif  saat merubah 
        posisi.
        
        3. Kandung kemih. Cedera akut kord spinal mengakibatkan 
        periode  syok spinal yang berakhir dalam beberapa  hari 
        hingga  beberapa  minggu, disaat mana  aktifitas  semua 
        refleks  dibawah tingkat lesi akan menghilang.  Kandung 
        kencing berekspansi tanpa disertai adanya nyeri  dengan 
        tiadanya  refleks untuk mengosongkannya hingga  terjadi 
        inkontinensia overflow dan dribbling. Bila syok  spinal 
        berlalu,  aktifitas  refleks pulih dan  sebagian  usaha 
        untuk  mengosongkan kandung kemih dimulai.  Bila  kauda 
        ekuina  mengalami  transeksi, maka  tidak  ada  harapan 
        pengosongan  secara refleks karena  muskulatur  kandung 
        kemih terputus dari pusat refleks dikord spinal  bawah. 
        Harapan diberikan pada sebagian aktifitas otot detrusor 
        intrinsik, digabung  dengan kompresi manual  yang  akan 
        mengosongkan kandung kemih secara lengkap dan teratur.
             Sasaran  semua cara perawatan dini  kandung  kemih 
        pada pasien paraplegik adalah agar pasien dengan  jalur 
        kencing yang steril mampu mengosongkan kandung  kencing 
        secara  sempurna  pada selang waktu yang  sesuai  tanpa 
        adanya  stasis  atau retensi air kencing  yang  mungkin 
        akan menimbulkan hidronefrosis atau pielonefritis.
             Ada  dua cara selain yang dijelaskan diatas  untuk 
        pengelolaan dini pada kandung kencing paraplegik: 
        a. Kateterisasi intermiten dilakukan dalam cara  steril 
        menggunakan  teknik aseptik (sering oleh  dokter)  tiga 
        kali sehari hingga refleks atau pengosongan manual yang 
        efektif dapat dicapai.
        b. Kateter indwelling kecil dan non iritan dipasang dan 
        sistem  tertutup penampungan kencing  secara  sinambung 
        atau  berkala dilakukan hingga risiko  infeksi  asenden 
        dapat ditekan. 
             Tindakan bedah kemudian atas leher kandung kencing 
        serta  sfingter  eksternal  mungkin  diperlukan   untuk 
        mendapatkan  pengosongan  yang efektif.  Bila  ternyata 
        tidak  mungkin didapat dengan cara ini,  mungkin  perlu 
        untuk   melakukan  cara  lain  untuk  mengalirkan   dan 
        menampung air kencing seperti ureterostomi atau  aliran 
        keileal.
        
        4. Berak. Sasaran untuk mendapatkan pengosongan  rektum 
        teratur  dan  terperkirakan  tanpa  inkontinensia  atau 
        mendadak. Ini memerlukan tambahan diet dengan  sejumlah 
        serat serta penggunaan laksatif, suppositori dan  enema  
        reguler.
        
        5. Anggota  gerak. Penting bahwa anggota yang  paralisa 
        harus secara teratur mendapatkan pergerakan pasif untuk 
        mencegah  kekakuan  sendi. Kontraktur  yang  disebabkan 
        perbedaan  spastisitas kelompok otot  berlawanan  harus 
        dicegah  dengan  latihan  sesuai,  medikasi,   akhirnya 
        pemisahan tendo tertentu.
        
        6. Nutrisi umum. Perlu mempertahankan masukan berkalori 
        tinggi  untuk mencoba dan menekan akibat  dari  keadaan 
        katabolik  yang tak dapat dielakkan yang  terjadi  pada 
        pasien bersangkutan pada masa segera setelah cedera.
        
        
        Rehabilitasi Pasien Paraplegik
        Rehabilitasi  dan  mempersiapkan pasien  untuk  mandiri 
        harus  dimulai segera setelah  pengelolaan  frakturanya 
        memungkinkan. Keberhasilan rehabilitasi ditentukan oleh 
        ambisi  mental dan fisiknya ketingkat  kenyataan  tanpa 
        kehilangan rasa kepercayaan diri dan kehormatannya.

        1. Rehabilitasi fisik
        Meningkatkan penggunaan kelompok otot yang berfungsi:
        a. Fisioterapi  dan latihan peregangan untuk otot  yang 
        masih aktif pada lengan atas dan batang tubuh.
        b. Pembiasaan terhadap alat dan perangkat rumah  tangga 
        hingga  mereka dapat memanipulasinya  dengan  cara-cara 
        tertentu.
        c. Perlengkapan splint dan kaliper.
        d. Transplantasi tendon.
        
        Perbaikan mobilitas:
        a. Latihan dengan kaliper dan kruk untuk pasien  cedera 
        tulang belakang bawah.
        b. Latihan  kursi roda untuk pasien dengan otot  tulang 
        belakang dan tungkai tak berfungsi.
        c. Kendaraan khusus untuk dijalan raya.
        
        2. Rehabilitasi psikologis
        Pertama  dimulai agar pasien segera  menerima  ketidak-
        mampuannya dan merancang kembali keinginan dan rencana. 
        Ancaman kerusakan atas kepercayaan diri dan harga  diri 
        datang  dari  ketidakpastian  finansial,  sosial  serta 
        seksual yang semuanya memerlukan semangat, hal-hal yang 
        menjamin dan bantuan.
        
        3. Penerimaan dirumah
        Pelebaran  pintu, pengadaan ram dan bahkan  perancangan 
        kembali rumah agar memudahkan pasien dengan kursi roda. 
        Perubahan paling sederhana adalah pada kamar mandi  dan 
        dapur  hingga  menghilangkan ketergantunag  pada  orang 
        lain.
        
        4. Latihan untuk pekerjaan
        Pasien  yang bekerjanya duduk mungkin hanya  memerlukan 
        sedikit pengaturan. Yang bekerja dengan mobilitas  yang 
        lebih  tinggi  atau  kerja fisik  harus  dilatih  dalam 
        keterampilan  baru dan didaftarkan sebagai orang  cacad 
        hingga dapat kembali kepekerjaan bermanfaat.