7. PENGELOLAAN CEDERA PENYERTA
Cedera ganda paling sering terjadi akibat kecelakaan
kendaraan (89 persen, Narayan). Jatuh dan pukulan pada
kepala hanya 11 persen dari penderita dengan cedera
multipel.
Cedera Scalp
Paling sering, dengan berbagai derajat, pada hampir se-
mua pasien dengan cedera kepala berat. Scalp terdiri
dari lima lapisan (dengan akronim "SCALP"): skin, con-
nective tissue (dense), aponeurosis (galea aponeuroti-
ca), loose connective tissue, and pericranium. Saraf
sensori terutama dicatu divisi oftalmik saraf trigemi-
nal disebelah anterior dan saraf oksipital major (C2)
disebelah posterior. Didaerah preaurikuler, cabang au-
rikulotemporal dari divisi tiga saraf trigeminal mengi-
kuti arteri temporal superfisial, dan daerah dibelakang
telinga dicatu oleh saraf oksipital minor dari pleksus
servikal (C2 hingga C3). Scalp memiliki catu darah yang
sangat kaya dari lima arteri utama: cabang supratrokh-
lear dan supraorbital dari arteri oftalmik disebelah
depan, dan tiga cabang dari karotid eksternal-temporal
superfisial, aurikuler posterior, dan oksipital disebe-
lah posterior dan lateral. Pembuluh-pembulah ini terle-
tak pada lapisan kedua (jaringan ikat padat) dari
scalp. Karenanya pembuluh tidak mengalami retraksi saat
putus dan cenderung untuk berdarah profus. Galea apone-
urotika merupakan lapisan yang padat, fibrosa, nonelas-
tik yang bersatu dengan otot frontal dan oksipital.
Sangat vital untuk melakukan perbaikan yang baik pada
lapisan ini ketika menutup luka scalp. Jaringan ikat
longgar dapat menimbun hematoma dalam jumlah banyak se-
telah benturan yang merobek vena emissaria yang mele-
wati tulang menuju kesinus dura. Bakteri dan emboli
septik dapat menjalar dari scalp kekranium melalui ja-
lur vena ini.
Walau laserasi yang luas jarang terluput dari pe-
meriksaan, tidak demikian halnya dengan kontusi atau
laserasi kecil pada pasien koma. Kenyataannya bahkan
luka tembak dapat terluput bila tidak adanya riwayat,
dan diagnosis yang benar hanya didapatkan setelah peme-
riksaan yang lebih teliti setelah dilakukan sinar-x
tengkorak. Jadi perlu sekali memeriksa scalp pada pasi-
en yang cedera.
Laserasi scalp harus dibersihkan sama sekali, di-
eksplorasi, didebridemen, dan ditutup. Kesalahan yang
paling sering yang dilakukan saat menutup setiap luka
adalah pencukuran yang tidak cukup serta pembersihan
yang tidak cukup terhadap rambut, tulang serta debris
lainnya dari luka. Walau scalp relatif tahan karena ka-
ya akan catu vaskular, perawatan yang jorok di UGD da-
pat berakibat morbiditas yang tidak perlu dan terkadang
serius. Setelah mencukur sekitar luka dan mencucinya
dengan salin, dengan menggunakan sarung tangan dilaku-
kan eksplorasi laserasi scalp dan pastikan tidak ada
fraktura atau cedera penetrasi dibawahnya. Bila tulang
teraba normal, atau bila sinar-x memastikan bahwa hanya
tabula eksterna tengkorak yang fraktura, luka dapat di-
irigasi dengan larutan Betadin serta salin, tepinya di-
debridemen dengan skalpel, dan luka ditutup dengan be-
nang nonabsorbable (nilon 3-0). Saat melakukan perbaik-
an scalp tidak penting. Bila pasien mempunyai lesi
massa, scalp dapat diperbaiki setelah evakuasi massa.
Bila tidak, perbaikan dapat dilakukan pada UGD atau
ICU. Lebih baik melakukannya dikamar operasi untuk la-
serasi yang lebih luas serta komplikata.
Avulsi scalp kurang sering terjadi namun dapat
mengancam nyawa akibat kehilangan darah yang berat.
Scalp biasanya avulsi melalui lapisan jaringan ikat
longgar. Anastomosis mikrovaskular langsung serta re-
plantasi scalp yang avulsi mungkin dilakukan. Untuk ke-
gunaan transportasi, scalp yang avulsi dibersihkan de-
ngan salin, dibungkus dengan kasa steril lembab, dile-
takkan dalam kantung plastik kedap air, dan dibawa da-
lam pecahan es. Ada beberapa pilihan merancang flap ku-
lit untuk menutup defek scalp. Umumnya, makin besar
flap, makin kurang kemungkinan untuk hidup. Dasar harus
paling tidak seluas atau lebih luas dari ujung.
Cedera Maksilofasial
Jumlah yang besar pasien dengan cedera ganda mempunyai
cedera maksilofasial. Secara umum, kebanyakan cedera
fasial dapat ditangani semi elektif, beberapa hari se-
telah masuk. Bahkan cedera jaringan lunak dapat diper-
baiki 24 jam setelah masuk pada kebanyakan kasus. Keke-
cualian atas patokan ini adalah obstruksi jalan nafas
sekunder terhadap perpindahan kebelakang dari lidah pa-
da fraktura mandibular bilateral dan perdarahan nasofa-
rings yang tidak terkontrol. Walau tindakan terhadap
cedera fasial definitif relatif prioritas rendah, peni-
laian di UGD, baik klinis maupun radiologis, tidak bo-
leh dikesampingkan. Ini memungkinkan untuk melengkapi
penilaian pendahuluan baik sebelum atau selama operasi
emergensi lainnya dan untuk memilih apakah perlu dila-
kukan stabilisasi atau tindakan operasi ketika pasien
dalam anestesia.
Tampilan Water (oksipitomental) adalah pemeriksaan
sinar-x paling bernilai untuk maksila, zigoma, dan si-
nus frontal. Tampilan oblik mandibula memberikan infor-
masi terbanyak untuk fraktura sepertiga bawah muka.
Tampilan panoreks mandibula bisa dilakukan namun ja-
rang dilakukan pada keadaan akut. Bersamaan dengan foto
tengkorak anteroposterior dan lateral rutin, foto-foto
ini harus diperhatikan baik-baik atas adanya fraktura
maksilofasial. CT scan dengan setelan jendela tulang
(bone window) merupakan pemeriksaan terpilih.
Tabel
Klasifikasi cedera maksilofasial
-------------------------------------------------------
Cedera jaringan lunak
a. Abrasi kulit, tusukan, laserasi,tatu
b. Cedera saraf, cabang saraf fasial
c. Cedera kelenjar parotid atau duktus Stensen
d. Cedera kelopak mata
e. Cedera telinga
f. Cedera hidung
Cedera tulang
a. Fraktura sepertiga atas muka
b. Fraktura sepertiga tengah muka
1. Fraktura hidung
2. Fraktura maksilari
LeFort I, fraktura maksilari transversa
LeFort II, fraktura piramidal
LeFort III, disjunksi kraniofasial
3. Fraktura zigomatika
4. Fraktura orbital
c. Fraktura sepertiga bawah muka
(fraktura mandibular)
-------------------------------------------------------
Cedera Jaringan Lunak
Setelah melakukan hemostasis dan pembersihan luka, tin-
dakan definitif terhadap jaringan lunak dapat dilakukan
hingga 24 jam, walau idealnya harus dilakukan sesegera
mungkin. Hematoma jaringan lunak luas harus dievakuasi,
tidak mungkin untuk diabsorpsi. Terutama bila hematoma
terletak sekitar tulang rawan nasal atau telinga. Kega-
galan mengalirkan hematoma berakibat 'saddle nose' atau
'cabbage ear'.
Terkadang cabang-cabang saraf fasial (temporal,
zigomatika, bukal, mandibular dan servikal) terpo-
tong. Lesi cabang temporal berakibat gangguan fungsio-
nal yang paling berat karena paralisis kelopak mata u-
mum terjadi. Sebagai patokan, lesi yang terletak medial
dari garis midpupil tak memerlukan pebaikan. Bila lesi
lebih proksimal, saraf harus ditampilkan dan epineurium
direaproksimasi dalam magnifikasi.
Hal serupa, laserasi duktus parotid (Stensen) di-
perbaiki dengan anastomosis end-to-end diatas kateter
silastik kecil. Laserasi glandula sendiri tidak perlu
dijahit. Luka kulit sekitarnya harus dijahit, dan fis-
tula salivari yang sering terjadi menutup spontan dalam
sekitar tiga minggu.
Perbaikan anatomi sederhana dari kelopak cedera
mata adalah pendekatan terbaik. Laserasi sistema lakri-
mal harus diperbaiki baik dengan jahitan sederhana atau
dengan dakriorinosistostomi.
Laserasi telinga (full tickness) terbaik diperba-
iki dengan jahitan kutan-perikhondrial. Hematoma harus
dievakuasi. Laserasi nostril diperbaiki dengan jahitan
membran mukosa dengan benang absorbable dan kulit de-
ngan nilon monofilamen.
Cedera Tulang
Fraktura sepertiga atas muka relatif kurang sering di-
banding duapertiga bawah, namun lebih mungkin bersamaan
dengan cedera otak. Fragmen tulang harus direposisi da-
ri pada dibuang, dan ekstirpasi sinus frontal harus di-
cegah sedapat mungkin.
Fraktura sepertiga tengah muka sering akibat ce-
dera dashboard pada penderita yang tanpa pengaman pada
mobil. Fraktura nasal paling sering dari semua fraktura
fasial dan terbaik dideteksi secara klinis, tampilan
foto sinar-x kurang layak pada cedera ini. Gambaran
klinik antaranya perdarahan hidung, deviasi piramid na-
sal dan krepitasi pada palpasi. Walau fraktura nasal
tanpa geseran tidak memerlukan reduksi, fraktura yang
bergeser harus mendapatkan reduksi dan immobilisasi de-
ngan bidai plester untuk seminggu. Kebanyakan kasus be-
reaksi atas reduksi tertutup, yang dilakukan satu hing-
ga tiga minggu setelah cedera bila edema sudah berku-
rang dan besarnya pergeseran dapat ditaksir lebih te-
pat.
Fraktura maksilari klasifikasinya dibagi tiga pola
oleh ahli Perancis LeFort 1901. Biasanya fraktura mak-
silari merupakan modifikasi atau kombinasi pola klasik.
LeFort I adalah fraktura maksilari transversa yang se-
ring akibat dari pukulan pada daerah diatas bibir. Ba-
gian yang lepas terdiri dari proses alveolar, palatum,
proses pterigoid. LeFort II adalah fraktura piramid a-
kibat impak sedikit diatas tengah muka. Segmen maksila
yang terisolasi berbentuk piramid. Gerakan dapat dipe-
riksa pada medial lantai orbital dengan menggerakkan
gigi atas kebelakang dan kedepan. LeFort III, atau dis-
junksi kraniofasial, merupakan separasi yang lengkap
tulang fasial dari basis tengkorak. Fraktura maksila-
ri ditindak dengan reduksi dan immobilisasi batang
lengkung dan pemegang kawat dari arkus zigomatik atau
tulang frontal. LeFort III memerlukan juga pengikatan
pada sutura zigomatikofrontal.
Fraktura zigomatika urutan insidennya kedua sete-
lah fraktura nasal. Fraktura zigomatika paling sering
adalah depresi eminens malar dan disebut fraktura tri-
pod. Fraktura biasanya ditemukan pada garis sutura
zigomatikotemporal dan zigomatikofrontal serta pada fo-
ramen infraorbital. Tindakan berupa reduksi terbuka dan
fiksasi interoseus internal pada dua dari tiga sisi
fraktura. Cedera saraf infraorbital dengan baal diatas
daerah pipi kadang-kadang terdapat pada fraktura ini.
Fraktura orbital dapat mengenai semua tulang yang
membentuk dinding orbital, yaitu zigoma, maksilla,
frontal, sfenoid dan ethmoid. Cedera paling sering ada-
lah mengenai baik lantai maupun atap orbit. Mereka se-
tipis kertas dan merupakan bagian paling rapuh dari or-
bit. Fraktura lantai orbital dapat bersamaan dengan
fraktura depressed zigoma atau setelah suatu benturan
pada bola mata, suatu fraktura 'blow-out' yang khas.
Intervensi bedah segera dianjurkan, dan lantai orbit
sering diperkuat dengan lembaran silastik saat operasi.
Elevasi akut TIK, seperti yang terjadi pada pukulan
yang hebat terhadap atap tengkorak, dapat berakibat ro-
beknya atap orbital yang setipis kertas, baik uni maupn
bilateral, suatu fraktura 'blow-in' yang khas.
Fraktura sepertiga bawah muka (fraktura mandibu-
ler) menduduki frekuensi ketiga setelah hidung dan zi-
goma. Ia agak diperrumit oleh tarikan otot yang melekat
padanya. Fraktura mandibular unilateral yang tak berge-
ser biasanya ditindak dengan fiksasi intermaksillari
dengan gigi dioklusi memakai batang lengkung. Fraktura
yang lebih rumit memerlukan reduksi terbuka dan fiksasi
interosseus.
Cedera Tulang Belakang
Kecelakaan mobil merupakan penyebab tersering, sekitar
30 hingga 70 persen dari semua cedera. Sebab lain anta-
ranya jatuh, pukulan dan olah raga air. Rogers 1957 me-
laporkan bahwa 10 persen pasien paraplegik terjadi bu-
kan saat kejadian, namun beberapa waktu setelahnya. De-
ngan perbaikan keterampilan petugas gawat darurat dan
P3K, dipercaya angka kejadiannya nyata berkurang. Tera-
khir ini, sejumlah besar pusat mencatat insidens sebe-
sar 4.9 persen perburukan neurologis setelah perawatan.
Sebagian besar perburukan terjadi berhubungan dengan
tindakan pengelolaan spesifik. Sebaliknya dipastikan
bahwa sebagian besar pasien dengan gangguan motor par-
sial dan 15 persen pasien yang semula dengan kehilangan
motor lengkap memperlihatkan perbaikan motor. Akhir-a-
khir ini NASCIS II membuktikan pemulihan motor dan sen-
sori pada cedera cord tulang belakang bila diberikan
metilprednisolon saat delapan jam pertama sejak cedera.
Dosisnya 30 mg/kg sebagai bolus, diikuti infus 5.4 mg/
kg/jam untuk 23 jam.
Tulang Belakang Leher
Tulang belakang leher mudah terkena pada cedera multi-
pel. Cedera fleksi merupakan bentuk yang paling sering
terjadi, dan terjadi misalnya pada kecelakaan olah-raga
selam saat kepala secara keras terdorong kedepan. Ben-
tuk paling sederhana berakibat fraktura keping pada ba-
dan tulang belakang sebelah depan. Bila kekuatan penye-
bab lebih besar, mungkin terjadi disrupsi elemen poste-
rior, fraktura atau 'locking' faset-faset, serta robek-
nya ligamen dengan akibat subluksasi serta cedera cord
tulang belakang. Kadang-kadang materi diskus terdorong
keposterior kakanal melalui ligamen longitudinal poste-
rior. Ini mengakibatkan sindroma cord anterior, dimana
pasien kehilangan semua fungsi cord tulang belakang,
kecuali yang berhubungan dengan kolumna posterior. Sin-
droma ini juga bisa terjadi pada fraktura 'burst' badan
ruas tulang belakang, dimana kekuatan lebih terarah pa-
da aksis panjang dari tulang belakang. Contoh klasik
fraktura burst adalah fraktura Jefferson dari C1, yang
terjadi saat sebuah benturan terhadap verteks kepala
dan mendorong kondilus oksipital menentang cincin C1,
berakibat burst dan bergesernya fragmen kelateral.
Cedera fleksi yang memiliki komponen rotatori da-
pat menimbulkan 'locking' faset atau fraktura. Lock-
ing unilateral biasanya terjadi pada tulang belakang
servikal bawah. Kerusakan ligamen dan diskus kurang pa-
rah, namun cedera tulang lebih sering dari pada locking
bilateral. Faset yang terkunci bilateral disebabkan o-
leh fleksi hebat dan rotasi yang bersamaan, menyebabkan
robekan luas dan regangan pada semua ligamen serta ro-
beknya diskus. Ini biasanya jelas mengganggu kanal;
cord tulang belakang dan cedera akar saraf servikal ka-
renanya lebih sering.
Cedera ekstensi terjadi bila kepala terdorong de-
ngan kuat kebelakang. Cedera ini sering bersamaan de-
ngan sindroma cord sentral dan sering tampak pada orang
tua dengan kanal servikal yang menyempit. Dalam posisi
hiperekstensi, ligamentum flavum melengkung kekanal
yang sempit, berakibat kompresi cord tulang belakang.
Keadaan ini diperberat bila osteofit posterior mendo-
rong cord keanterior. Akibatnya adalah kompresi arteria
perforantes yang berjalan kebagian sentral cord dengan
pembuluh sirkumferensial yang tersisa relatif. Defisit
neurologis terdiri dari kuadriparesis, biasanya lebih
buruk didistal anggota atas, dan motor terganggu lebih
hebat dari sensori.
Jenis terakhir cedera tulang belakang leher adalah
cedera akselerasi-deselerasi atau whiplash. Walau tidak
mengancam nyawa, cedera jenis ini mencapai ketenaran
yang besar dalam medikolegal. Dasar fisikalnya adalah
kerusakan pada otot penyokong sebelah anterior, longus
kolli, serta elemen lateral dan posterior.
Seperti telah dinyatakan didepan, penting agar
dokter menyingkirkan adanya cedera tulang belakang le-
her pada pasien dengan cedera kepala. Pada pasien yang
sadar, nyeri nukhal atau kekakuan mungkin akan mewaspa-
dakan dokter akan adanya cedera. Pada pasien koma, pe-
meriksaan radiologis rutin dilakukan sebelum menggerak-
kan posisi pasien. Tampilan lateral, anteroposterior
dan mulut terbuka biasanya cukup untuk pendahuluan.
Tampilan perenang perlu untuk melihat C6-C7 atau C7-T1.
Bila terdapat keraguan, leher harus diimmobilisasi de-
ngan kolar Philadelphia hingga diagnosis yang definitif
ditegakkan dengan politomografi atau CT scan. CT scan
definisi tinggi lebih superior dibanding foto polos dan
politomografi dalam menilai cedera tulang belakang dan
akan memberikan lebih banyak informasi pada kasus ter-
tentu bila CT scan diambil setelah mielografi dengan
medium kontras larut air. Bila fraktura atau subluksasi
ditemukan dan CT scan memutuskan untuk tindakan opera-
tif, traksi leher dilakukan dengan mengggunakan tongs
Gardner-Wells atau ring halo tanpa jaket. Bila reduksi
tidak tercapai dengan traksi, operasi reduksi terbuka
diperlukan pada tahap kemudian. Pasien dengan fraktura
tak stabil dapat dikelola dengan berhasil dengan immo-
bilisasi memakai jaket halo untuk tiga bulan, diikuti
penggunaan kolar Philadelphia beberapa minggu lagi.
Dalam prakteknya terdapat variasi pemikiran yang luas.
Pembedaan yang bermakna pada cedera tulang bela-
kang leher adalah antara fraktura stabil dan tak sta-
bil. Insidens fraktura tak stabil adalah 25 hingga 30
persen. Fraktur berikut diperkirakan stabil: fraktura
kompresi atau keping dari badan ruas tulang belakang,
fraktura faset unilateral atau massa lateral, serta
fraktura prosesus spinosus. Dislokasi dan subluksasi
menunjukkan cedera ligamen yang menyertainya dan menun-
jukkan ketidakstabilan. Fraktura stabil dapat dikelola
dengan kolar Philadelphia. Kadang-kadang ketidakstabil-
an tidak ditampilkan secara akut oleh film fleksi-eks-
tensi sebagai akibat splinting tulang belakang oleh o-
tot paraspinal akibat nyeri dan akan menjadi jelas pada
pemeriksaan selanjutnya setelah nyeri berkurang.
Beberapa penulis menganjurkan mielografi mini pada
fase akut setelah cedera tulang belakang dengan defisit
neurologis. Hasil tindakan ini diakui rendah namun da-
pat dilakukan setelah masalah pengancam nyawa yang le-
bih akut diatasi. MRI dianjurkan bila tersedia.
Tulang Belakang Toraks
Tulang belakang toraks relatif kaku dan adalah segmen
yang tidak bergerak dari tulang belakang. Ini tampak
dari rendahnya insidens cedera pada daerah ini. Namun
bila cedera terjadi, menunjukkan bahwa kekuatan yang
menimpa adalah sangat kuat serta biasanya berakibat
transeksi cord yang lengkap. Cedera tulang belakang to-
raks biasanya cedera fleksi. Fraktura kompresi bisa
terjadi bila kekuatan aksial yang terjadi seperti hal-
nya terjatuh pada bokong. Ini biasanya terjadi pada
sambungan torakolumbar. Cord tulang belakang mengisi
bagian terbesar dari kanal didaerah toraks dibanding
daerah leher dan lumbar. Ini memungkinkan terjadinya
cedera neurologis bila terjadi kerusakan tulang.
Dalam keadaan akut, pada pasien dengan cedera tu-
lang belakang toraks atas harus dipikirkan kemungkinan
kontusi miokardial, transeksi atau diseksi aortik, atau
cedera paru-paru. Aortogram mungkin diperlukan. Penting
untuk menekankan immobilisasi dan perawatan dasar se-
lama pengangkutan pasien.
Kebanyakan pasien dengan fraktura tulang belakang
toraks dikelola dengan istirahat baring diikuti brace
ekstensi untuk tiga hingga empat bulan. Namun stabili-
sasi operatif mungkin diperlukan karena memungkinkan
immobilisasi segera. Bila jelas ada perburukan neurolo-
gis dibanding saat masuk, MRI atau mielografi harus
dilakukan, dan tindakan operatif diperlukan bila dida-
patkan kompresi. Operasi dekompresi mungkin disertai
stabilisasi batang Harrington atau Luque atau mungkin
dengan pendekatan transtorasik. Akhir-akhir ini diguna-
kan fiksasi sekrup pedikular dengan pelat Luque untuk
fraktura toraks bawah dan lumbar.
Tulang Belakang Lumbar
Seperti halnya tulang belakang leher, tulang belakang
lumbar adalah segmen yang mobil dan karenanya terancam
untuk cedera, walau tidak sesering tulang belakang le-
her. L1 dan L2 adalah tempat yang paling sering untuk
fraktura kompresi. Konus medularis serta kauda ekuina
mungkin terkena, berakibat inkontinens urinari dan dis-
fungsi seksual pada pria. Prinsip dasar pengelolaan se-
rupa dengan tulang belakang toraks.
Cedera Ortopedik
Fraktura dapat diklasifikasikan secara sederhana atas
terbuka (compound) dan tertutup. Fraktura tertutup ada-
lah bila jaringan sekitarnya intak, sedang fraktura
terbuka adalah bila tulang terbuka dan bakteri dapat
langsung masuk kedaerah fraktura. Tindakan awal terha-
dap fraktura antaranya pembidaian dan kadang-kadang
traksi. Pasien yang agitatif dengan fraktura harus di-
bidai segera untuk mencegah kerusakan saraf dan pem-
buluh utama sekitar daerah fraktura. Denyut nadi peri-
fer distal dari fraktura harus diperiksa periodik untuk
memastikan bahwa pembuluh tidak terganggu. Fungsi neu-
rologik perifer sulit untuk dinilai pada pasien koma.
Sejumlah besar darah dapat terkumpul didaerah fraktur,
dan sindroma kompartemen mungkin terjadi. Ini membutuh-
kan penilaian tekanan jaringan yang bila jelas mening-
gi, membutuhkan fasiotomi untuk dekompresi. Ini terjadi
lebih sering pada anggota atas dibanding dengan anggota
bawah.
Embolisme lemak paling sering tampak pada fraktura
tulang panjang. Etiologinya tidak diketahui pasti. Ka-
rena sindroma klinik tidak patognomonik dan temuan pa-
tologis umumnya jarang, jumlah kematian akibat keadaan
ini tidak diketahui. Beberapa perkiraan menempatkan ke-
adaan ini sebagai penyebab 16 persen dari seluruh kema-
tian yang diakibatkan trauma. Bentuk yang gawat, pasien
yang semula bangun dan berorientasi, menjadi agitatif,
dan dengan cepat jatuh kedalam letargi atau koma, serta
mati beberapa jam setelah cedera. Pada otopsi ditemukan
embolisme masif pada paru-paru, ginjal, otak dan organ
lainnya. Diagnosis definitif antemortem sulit karena
gambaran yang tidak spesifik dari sindroma syok yang
sulit diatasi. Bentuk klasik embolisasi lemak tampak a-
gak lambat, 24 hingga 72 jam setelah cedera dan sindro-
manya predominan serebral. Sindromanya dimulai dengan
hipotermia mendadak, diikuti agitasi, letargi, stupor
dan akhirnya koma. Biasanya dengan takhipnea, sianosis,
serta edema paru-paru. Adanya petekhie dibagian atas
tubuh, konjungtiva dan fundus hampir merupakan tanda
klinik yang patognomonis. Temuan lemak pada air kencing
atau darah pada pemeriksaan mikroskopik adalah suatu
kemungkinan, namun hasil negatif adalah tidak mempunyai
nilai. Hipoksemia arterial, hipokarbia dan trombosito-
penia adalah kelainan sistemik yang sering terjadi. Na-
mun ini sering tetap sebagai diagnosis yang berdiri
sendiri. Tingkat mortalitasnya tinggi dan berhubungan
dengan kedalaman serta durasi koma. Bila pasien tidak
mati, biasanya terjadi perbaikan sempurna. Pengobatan
terutama supportif, dengan perhatian khusus terhadap
ventilasi.
Cedera Dada
Sering terjadi pada cedera multipel, dan komplikasi
pulmoner sering berakibat morbiditas dan kadang-ka-
dang mortalitas bersamaan dengan cedera kepala. Frak-
tura iga sederhana tidak memerlukan tindakan selain an-
algesik dan bila perlu infiltrasi lokal anestetik untuk
mengurangi nyeri pada pasien yang sadar. Bila beberapa
iga mengalami fraktura, mungkin berakibat 'flail
chest'. Pada keadaan ini dinding dada mungkin tidak la-
gi kaku, dan tampak pergerakan paradoksik. Akibat hi-
langnya tekanan negatif intratorasik selama inspirasi
akan mengurangi ventilasi, dan mungkin atelektasis.
Dipercaya bahwa dibanding gerakan paradoksik, kontusi
pulmoner dan 'wet lung' yang mendasarinya mungkin meru-
pakan penyebab utama distres respirasi. Karena alasan
ini, pembatasan cairan hingga 1000 hingga 1200 ml/hari,
albumin rendah garam serta penggantian darah yang hi-
lang dengan koloid (darah lengkap, plasmanat) dianjur-
kan. Bila PO2 dan PCO2 tak dapat dipertahankan dalam
batas yang memadai dengan tindakan sederhana tersebut,
pada sekitar 10 hingga 20 persen pasien, intubasi serta
ventilasi tekanan positif berkesinambungan (PEEP) dian-
jurkan. Edema paru-paru neurogenik akhir-akhir ini ba-
nyak dibahas.
Pneumonitis aspirasi sering merupakan komplikasi
cedera kepala berat dan harus dicegah sekuat mungkin.
Dianjurkan menempatkan selang Salem pada lambung (de-
ngan kuf digembungkan) dan mengosongkan lambung. Lebih
disukai dan lebih mudah untuk memasukkan selang naso-
gastrik sebelum intubasi endotrakheal, namun refleks
gag yang aktif mungkin merangsang muntah saat mengusa-
hakan memasukkan selang; ini berakibat aspirasi, dan
petugas tidak dapat mengatasi keadaan ini.
Indikasi aortografi pada cedera tumpul toraks di-
tetapkan kembali oleh Gundry yang menyimpulkan bahwa
semua korban trauma dengan pelebaran mediastinum harus
mendapatkan tindakan aortografi. Tidak ditemukan tanda-
tanda lain seperti obskurasi knob aortik atau hilangnya
ketajaman batas aorta yang mempunyai nilai. Namun pada
pasien setelah pubertas, setiap bukti terjadinya cedera
deselerasi kecepatan tinggi seperti kontusi paru-paru
dan fraktura iga berganda (terutama iga 1 dan 2), cukup
beralasan untuk melakukan aortografi.
Cedera Kardiak
Cedera kardiak bisa tumpul atau penetrans. Yang perta-
ma biasanya terjadi akibat benturan roda setir pada an-
terior dada pada kecelakaan mobil. Elektrokardiogram
menunjukkan perubahan ST-T, yang biasanya kembali nor-
mal dalam beberapa hari. Mungkin disertai takhikardia.
Walau prognosis pasien dengan kontusi jantung umumnya
buruk, setiap operasi harus ditunda bila mungkin. Iso-
enzim kardiak dilakukan untuk memastikan diagnosis, wa-
lau fraksi enzim mungkin meninggi sekunder atas cedera
lain yang menyertai.
Cedera penetrans dari jantung sering terjadi, wa-
lau tidak selalu fatal. Cedera misil yang berat atau
luka tusuk dapat berakibat kehilangan darah yang cepat,
namun cedera kaliber kecil dan bahkan pecahnya jantung
akibat trauma tumpul dapat berhasil diatasi. Jelas wak-
tu adalah esensial. Pasien dengan setiap cedera yang
dengan cepat memperlihatkan tanda tamponade kardiak:
distensi vena leher, tampilan plethoric, hipotensi (te-
kanan sistolik menurun lebih berat dari penurunan te-
kanan diastolik dengan akibat penurunan tekanan nadi),
denyut nadi paradoksikal, bunyi jantung redup, dan pe-
lebaran mediastinum pada perkusi dan sinar-x dada.
Tamponade perikardial didiagnosis dengan aspirasi
memakai jarum ukuran 16 atau 18 yang ditusukkan tepat
pada proses xifoid kiri pada sudut 45o sefalad dan 45o
kekanan. Tanpa menggerakkan jarum, sebanyak mungkin da-
rah diaspirasi. Walau tindakan ini terkadang terapeu-
tik, torakotomi terbuka mungkin diperlukan bila jelas
ada defek kardiak. Peralatan autotransfusi mungkin tak
ternilai dalam pengelolaan kasus ini.
Arrest kardiak
Setelah trauma, penyebab tersering arrest kardiak ada-
lah hipoksia dan retensi CO2 sekunder karena ventilasi
yang tak adekuat. Hal penting lainnya adalah hipotensi
karena hipovolemi dengan konsekuensi hipoperfusi koro-
ner. Sebab lain adalah overdosis obat atau hipersensi-
tivitas, serta hiperkalemia atau hipotermi kardiak aki-
bat infus yang cepat darah dingin dari bank darah. Di-
tekankan bahwa kebanyakan penyebab yang mempresipitasi
arrest kardiak pada pasien trauma adalah dapat dicegah.
Pasien harus cepat diintubasi dan diventilasi baik pada
tempat kecelakaan maupun segera setelah sampai di UGD,
dan hipovolemia cepat dikoreksi. Obat-obatan harus di-
gunakan dengan hati-hati, terutama pada pasien mabuk,
yang terutama sensitif terhadap barbiturat dan aneste-
tik umum.
Sekali arrest kardiak terjadi, aliran darah keor-
gan vital harus dipulihkan dalam tiga menit. Bila kea-
daan ventilasi dan volume belum terkoreksi, hal ini me-
rupakan prioritas.
Pneumotoraks
Sering terjadi akibat laserasi paru-paru oleh fraktura
iga, cedera penetrans, atau ruptura 'pohon' trakheo-
bronkhial. Sering menyebabkan kolapsnya paru-paru serta
penurunan kapasitas vital. Tanda-tanda klinis pneumoto-
raks antaranya dispnea, perkusi hiperresonans, dan hi-
langnya bunyi nafas diatas paru-paru. Pneumotoraks yang
luas dapat dideteksi dengan mudah dengan sinar-x paru-
paru, namun diperlukan film ekspiratori berkualitas ba-
ik untuk mencari abnormalitas yang lebih ringan. Walau
pasien dapat mentolerasi kolapsnya satu paru-paru de-
ngan cukup baik, udara dapat terjebak dirongga pleural
oleh mekanisme serupa katup, berakibat pneumotoraks
tension. Ini berakibat pergeseran mediasdtinum kesisi
seberangnya, hingga mengurangi kapasitas ventilatori
paru-paru yang 'normal'. Kecuali dikoreksi, keadaan ini
dapat menjadi fatal. Walau jarum besar pelubang yang
sederhana untuk sementara dapat membantu menghilangkan
katup, selang dada harus diinsersikan sesegera mungkin.
Selang dada diinsersikan melalui insisi 1.5 sm pa-
da garis puting, dimana ia memotong garis midaksiler,
dengan skalpel serta jari dibanding dengan trokar. Du-
a jahitan sutra kuat berbentuk U untuk memantek selang
serta menutup lubang. Selang dada dihubungkan dengan
perangkat botol pengalir atau sitema Pleurevac, dengan
tekanan negatif sinambung 5 hingga 20 sm H2O.
Trauma dapat mengakibatkan hemotoraks sejati, wa-
lau hemopneumotoraks jauh lebih sering. Hemotoraks ku-
rang dari 300 ml sering tak dapat ditampilkan oleh film
dada tegak. Hemotoraks luas biasanya bersamaan dengan
syok sekunder atas kehilangan darah dibanding dengan
karena kesulitan paru-paru. Keadaan ini juga dikorek-
si dengan pengaliran melalui selang dada. Torakotomi
mungkin diperlukan untuk mengatasi perdarahan vaskuler
berat seperti dari pembuluh mammari internal, interkos-
tal, atau pembuluh paru-paru, namun ini tidak sering
terjadi.
Cedera Vaskuler
Pembuluh perifer kadang-kadang rusak pada pasien cedera
multipel, berakibat perdarahan, fistula arteriovenosa,
dan aneurisma. Perawatan perdarahan harus dilakukan se-
segera mungkin dengan kompresi. Tornike sering beraki-
bat cedera iskemik karena pemakaian yang terlalu lama
dan sirkulasi kolateral juga terbendung. Ligasi atau
pengkleman lama dari pembuluh juga tidak dipikirkan ka-
rena menyebabkan rekonstruksi menjadi lebih sulit serta
membahayakan kehidupan anggota tubuh.
Semua cedera didaerah pembuluh darah utama harus
dianggap mengenai pembuluh hingga dibuktikan tidak. A-
danya denyut distal tidak menyingkirkan adanya cedera
vaskuler. Arteriogram harus dilakukan pada setiap kasus
walau bahkan pemeriksaan ini terkadang tidak benar.
Cedera tumpul leher bisa mengakibatkan spasme ar-
teria karotid ekstrakranial yang berat atau diseksi in-
timal. Ini bisa mengakibatkan strok, hingga mengacaukan
gambaran kompleks yang sudah ada sekunder karena cedera
kepala.
Cedera Abdominal
Seperti halnya cedera dada, bisa penetrans atau tumpul.
Yang pertama lebih letal secara akut, dan yang kedua
lebih sulit didiagnosis dan dapat merupakan penyebab
kematian kemudian, yang tidak diharapkan. Syok yang tak
bisa dijelaskan, yang berhubungan dengan cedera ab-
dominal, adalah akibat cedera abdominal, kecuali dibuk-
tikan lain. Indikasi laparotomi segera adalah adanya
peritonitis, syok yang tak dapat dijelaskan, perdarah-
an gastrointestinal, dan tap atau lavase peritoneal di-
agnostik yang positif. Tap abdominal pertama dikerja-
kan. Bila lebih dari 20 ml darah didapatkan atau bila
pertikel makanan atau feses ditemukan pada rongga pe-
ritoneal, tap dianggap positif. Bila tidak, seliter la-
rutan Ringer laktat atau salin normal diinfuskan keda-
lam abdomen. Pasien kemudian dimiringkan dari sisi
kesisi untuk mendapatkan pencampuran yang baik, dan ca-
iran dibiarkan mengalir keluar. Bila 200 atau 300 ml
cairan sudah keluar, dilakukan pemeriksaan hitung jenis
sel. Jumlah lebih dari 100.000 sel darah merah atau 500
sel darah putih per sm kubik dianggap positif. Butter-
worth menganjurkan lavase peritoneal rutin pada pasien
dengan cedera kepala berat "dengan atau tanpa tanda-
tanda klinis syok, cedera abdominal, atau adanya perda-
rahan tersembunyi". Lavase peritoneal juga bernilai da-
lam mendeteksi perdarahan pada pasien dengan cedera
cord tulang belakang, dimana tanda-tanda klinis yang
biasa menjadi tersembunyi. Penelitian terakhir ternya-
ta CT scan abdominal lebih baik dari lavase peritoneal
dalam menilai trauma tumbul abdominal. Namun pemeriksa-
an ini akan mengambil waktu setengah jam untuk meleng-
kapinya, jadi membatasi kegunaannya pada pasien dengan
massa intrakranial atau ketidakstabilan yang jelas.
Cedera Renal
Cedera ginjal terdiri dari tiga jenis: (1) kontusi re-
nal; (2) laserasi renal; dan (3) cedera pedikel. Hema-
turi merupakan temuan primer pada cedera traktus urina-
rius. Ia sering gross, namun mungkin mikroskopik atau
negatif. Biasanya terdapat nyeri abdominal pada pasien
yang sadar. Pemeriksaan mungkin menunjukkan tanda-tanda
syok, tenderness lokal, pembengkakan dan ekhimosis. Bi-
asanya jelas spasme otot daerah pinggang dan kuadran
atas abdomen.
Pielogram intravena diikuti nefrotomografi, bila
perlu, harus dilakukan bila diduga adanya suatu cedera
ginjal. Ini tidak hanya membuktikan distorsi ginjal a-
tau sistem ureteral, namun juga memastikan ada dan ber-
fungsi baiknya ginjal kontralateral. CT scan abdomen a-
dalah pemeriksaan terpilih bila anatomi tidak dapat
tergambarkan dengan baik melalui pemeriksaan tersebut,
sedang aortografi dilakukan untuk kasus terpilih. Keba-
nyakan cedera ginjal (85 persen) adalah kontusi dan da-
pat dikelola konservatif. 15 persen lainnya adalah la-
serasi major. Kebanyakan dari padanya (95 persen) ter-
bungkus dengan baik dan dapat dirawat konservatif. Se-
kitar 5 persen dari kasus, memerlukan tindakan opera-
tif. Cedera pedikel juga memerlukan eksplorasi segera.
Cedera ureteral merupakan komplikasi trauma yang ja-
rang, lebih sering iatrogenik. Drainase urine serta re-
konstruksi ureter merupakan tindakan terpilih. Ekstra-
vasasi saluran urinari atas lebih mudah diketahui di-
banding saluran bawah karena yang terakhir ini sering
bersamaan dengan cedera kandung kemih dan saluran cerna
bawah.
Cedera Oftalmologis
Bila ditempat kejadian diketahui adanya cedera mata,
paling baik adalah melindunginya dengan berkas kaku se-
perti lapisan Foxx. Manipulasi mata, termasuk mengang-
kat klot darah dan benda asing, harus dicegah karena
luka sederhana dapat menjadi ekstensif dengan terjadi-
nya herniasi isi okular. Pemeriksaan teliti bisa ditun-
da hingga optamologis memeriksanya di UGD.
Pasien yang mengalami kecelakaan mobil sering me-
meliki benda asing pada matanya, biasanya pecahan kaca
mobil atau kotoran dari jalan. Pada pasien sadar setiap
benda asing menyebabkan rasa yang sangat tidak enak
hingga mewaspadakan dokter atas hal tersebut. Pada pa-
sien tidak sadar, dapat terabaikan hingga menyebabkan
kerusakan lebih lanjut. Bila diduga adanya suatu benda
asing, mata harus diirigasi sebersih-bersihnya dengan
salin normal memakai siring. Bila benda asing yang ter-
benam dikornea atau konjungtiva tidak dapat dibilas,
diperlukan pengangkatan secara mekanik. Ini dilakukan
dengan aplikator yang dilembabkan dengan salin, namun
setiap tindakan ini dapat menimbulkan kehilangan epitel
kornea. Idealnya digunakan lampu slit atau mikroskop
korneal serta jarum hipodermik yang halus. Antibiotik
lokal seperti gentamisin bisa diberikan. Karena bahaya
infeksi, pasien harus diperiksa oftamologis setiap ha-
ri, dan kornea harus diwarnai dengan fluoresin hingga
penyembuhan terjadi. Pada setiap kasus, pewarnaan fluo-
resin harus dilakukan saat masuk bila diduga adanya su-
atu cedera mata superfisial dalam usaha menyingkirkan
abrasi korneal atau konjungtival, yang dapat terinfeksi
bila terabaikan.
Adanya benda asing intraokuler biasanya tidak di-
duga, hingga biasanya terabaikan. Kemungkinan ini harus
disingkirkan bila mata menunjukkan laserasi besar mau-
pun kecil atau cedera penetrasi. Bila bahkan benda a-
sing yang kecil tetap didalam mata, bisa menyebabkan
kebutaan akibat perdarahan, infeksi atau kerusakan re-
tinal. Lokasi benda asing dapat ditentukan dengan of-
talmoskopi, pemeriksaan lampu slit, film dental, CT
scan , ultrasonografi, atau kombinasi darinya. Umumnya,
semua benda asing harus dikeluarkan dengan beberapa ke-
kecualian. Mata mungkin mentolerasi material inert se-
perti timah hitam, kaca, aluminium, dan jenis plastik
tertentu. Benda organik seperti kayu, atau tanaman, bi-
asanya menyebabkan reaksi inflamasi yang hebat. Pada
setiap kasus antibiotik sistemik diberikan hingga ba-
haya infeksi berlalu. Oftalmia simpatetik, yang diper-
kirakan sebagai uveitis autoimun, dapat berakibat ke-
hilangan mata yang tak terinfeksi, namun hal ini sangat
jarang. Semua mata yang diragukan harus diawasi selama
paling tidak setahun, walau 80 persen dari kasus terse-
but muncul pada tiga bulan pertama. Bila sekali dipas-
tikan kelainan ini, hormon adrenokortikotropik (ACTH)
dan steroid dapat membantu, namun hasilnya biasa buruk.
Pada kasus laserasi korneal tertentu, atropin atau
pilokarpin mungkin berguna untuk meretraksi iris dari
luka. Namun zat ini harus dicegah pada pasien dengan
cedera kepala berat, paling tidak pada periode awal.
Hal ini terutama penting untuk pasien dengan intubasi
dan paralisa karena satu-satunya cara mendeteksi sin-
droma ancaman herniasi adalah dengan memeriksa ukuran
dan reaksi pupil. Sekali diagnosis ditegakkan dan pasi-
en dalam keadaan stabil dengan pemantau TIK terpasang,
zat ini dapat digunakan. Dilatasi pupil memungkinkan
pemeriksaan fundus yang lebih teliti serta mungkin ber-
efek terapeutik pada mata yang mengalami inflamasi.
Paling sering fundus okular normal, bahkan pada
cedera kepala berat. Perdarahan intraretinal kecil a-
tau luas kadang-kadang bisa disaksikan, namun sedikit
hubungannya dengan keadaan neurologis secara keseluruh-
an. Walau diskus optik yang bengkak terkadang dilapor-
kan terjadi dalam beberapa menit setelah peninggian te-
kanan intrakranial, edema papil tampak pada minoritas
pasien dengan cedera kepala serius. Terlebih lagi pem-
bengkakan diskus optik biasanya tak tampak hingga hari
ketiga hingga kelima, kadang-kadang setelah dekompresi
massa intrakranial dan penghilangan tekanan intrakrani-
al yang meninggi. Keterlambatan ini aneh, karena edema
papil adalah disebabkan oleh dilatasi aksonal sebagai
akibat hambatan mekanik terhadap aliran aksoplasmik.
Pengurangan hebat arteria retinal terkadang diakibatkan
oleh tekanan intraokular yang sangat tinggi karena pem-
bengkakan masif jaringan orbital yang mengalami trauma.
Infark retinal dan saraf optik menyusul. Keadaan ini
berpotensi reversibel bila ditemukan dini, melalui kan-
totomi lateral sederhana. Berbagai jenis retinopati
traumatika telah dilaporkan. Satu jenis adalah retino-
pati Purtscher, dengan perdarahan scatter berganda pada
lapisan superfisial retina dan area putih dalam pada
kutub posterior. Cedera ini berhubungan dengan pening-
gian mendadak tekanan vena sistemik, seperti yang ter-
jadi pada tabrakan atau benturan hebat pada dada atau
perut.