ILMU BEDAH SARAF


Dr. Syaiful Saanin, Neurosurgeon.
saanin@padang.wasantara.net.id
Ka. SMF Bedah Saraf RSUP. Dr. M. Djamil/FK-UNAND Padang.

Cari dalam ejaan/bahasa Indonesia di situs ini :
Search term:
Case-sensitive - yes
exact fuzzy

2. CEDERA KEPALA
A. Penyebab
B. Klasifikasi
C. Pengelolaan Cedera Kepala
D. Pertimbangan untuk Operasi
E. Obat-obat Terapeutik
F. Pemantauan dan Pengontrolan T.I.K
G. Pengelolaan Cedera Penyerta
H. Sekuele Cedera Kepala
I. Prognosis
J. Konklusi
 
KEMBALI KEHALAMAN UTAMA
 

        7. PENGELOLAAN CEDERA PENYERTA
        
        Cedera  ganda paling sering terjadi  akibat  kecelakaan 
        kendaraan (89 persen, Narayan). Jatuh dan pukulan  pada 
        kepala  hanya  11 persen dari penderita  dengan  cedera 
        multipel.
        
        
        Cedera Scalp
        
        Paling sering, dengan berbagai derajat, pada hampir se- 
        mua  pasien dengan cedera kepala berat.  Scalp  terdiri 
        dari lima lapisan (dengan akronim "SCALP"): skin,  con- 
        nective tissue (dense), aponeurosis (galea  aponeuroti- 
        ca),  loose connective tissue, and  pericranium.  Saraf 
        sensori terutama dicatu divisi oftalmik saraf  trigemi- 
        nal  disebelah anterior dan saraf oksipital major  (C2) 
        disebelah posterior. Didaerah preaurikuler, cabang  au- 
        rikulotemporal dari divisi tiga saraf trigeminal mengi- 
        kuti arteri temporal superfisial, dan daerah dibelakang 
        telinga dicatu oleh saraf oksipital minor dari  pleksus 
        servikal (C2 hingga C3). Scalp memiliki catu darah yang 
        sangat kaya dari lima arteri utama: cabang  supratrokh- 
        lear  dan supraorbital dari arteri  oftalmik  disebelah 
        depan, dan tiga cabang dari karotid  eksternal-temporal 
        superfisial, aurikuler posterior, dan oksipital disebe- 
        lah posterior dan lateral. Pembuluh-pembulah ini terle- 
        tak  pada  lapisan  kedua (jaringan  ikat  padat)  dari 
        scalp. Karenanya pembuluh tidak mengalami retraksi saat 
        putus dan cenderung untuk berdarah profus. Galea apone-
        urotika merupakan lapisan yang padat, fibrosa, nonelas-
        tik  yang  bersatu dengan otot frontal  dan  oksipital. 
        Sangat  vital untuk melakukan perbaikan yang baik  pada 
        lapisan  ini ketika menutup luka scalp.  Jaringan  ikat 
        longgar dapat menimbun hematoma dalam jumlah banyak se- 
        telah  benturan yang merobek vena emissaria yang  mele- 
        wati  tulang  menuju kesinus dura. Bakteri  dan  emboli 
        septik dapat menjalar dari scalp kekranium melalui  ja- 
        lur vena ini.
             Walau laserasi yang luas jarang terluput dari  pe- 
        meriksaan,  tidak demikian halnya dengan  kontusi  atau 
        laserasi  kecil pada pasien koma.  Kenyataannya  bahkan 
        luka  tembak dapat terluput bila tidak adanya  riwayat, 
        dan diagnosis yang benar hanya didapatkan setelah peme- 
        riksaan  yang  lebih teliti setelah  dilakukan  sinar-x 
        tengkorak. Jadi perlu sekali memeriksa scalp pada pasi- 
        en yang cedera.
             Laserasi scalp harus dibersihkan sama sekali,  di- 
        eksplorasi, didebridemen, dan ditutup.  Kesalahan  yang 
        paling  sering yang dilakukan saat menutup setiap  luka 
        adalah  pencukuran yang tidak cukup  serta  pembersihan 
        yang  tidak cukup terhadap rambut, tulang serta  debris 
        lainnya dari luka. Walau scalp relatif tahan karena ka- 
        ya akan catu vaskular, perawatan yang jorok di UGD  da- 
        pat berakibat morbiditas yang tidak perlu dan terkadang 
        serius.  Setelah mencukur sekitar luka  dan  mencucinya 
        dengan salin, dengan menggunakan sarung tangan  dilaku- 
        kan  eksplorasi laserasi scalp dan pastikan  tidak  ada 
        fraktura atau cedera penetrasi dibawahnya.  Bila tulang 
        teraba normal, atau bila sinar-x memastikan bahwa hanya 
        tabula eksterna tengkorak yang fraktura, luka dapat di- 
        irigasi dengan larutan Betadin serta salin, tepinya di- 
        debridemen dengan skalpel, dan luka ditutup dengan  be- 
        nang nonabsorbable (nilon 3-0). Saat melakukan perbaik- 
        an  scalp  tidak penting. Bila  pasien  mempunyai  lesi 
        massa,  scalp dapat diperbaiki setelah evakuasi  massa. 
        Bila  tidak,  perbaikan dapat dilakukan pada  UGD  atau 
        ICU. Lebih baik melakukannya dikamar operasi untuk  la- 
        serasi yang lebih luas serta komplikata.
             Avulsi  scalp  kurang sering terjadi  namun  dapat 
        mengancam  nyawa  akibat kehilangan darah  yang  berat. 
        Scalp  biasanya  avulsi melalui lapisan  jaringan  ikat 
        longgar.  Anastomosis mikrovaskular langsung serta  re- 
        plantasi scalp yang avulsi mungkin dilakukan. Untuk ke- 
        gunaan transportasi, scalp yang avulsi dibersihkan  de- 
        ngan salin, dibungkus dengan kasa steril lembab,  dile- 
        takkan dalam kantung plastik kedap air, dan dibawa  da- 
        lam pecahan es. Ada beberapa pilihan merancang flap ku- 
        lit  untuk  menutup defek scalp. Umumnya,  makin  besar 
        flap, makin kurang kemungkinan untuk hidup. Dasar harus 
        paling tidak seluas atau lebih luas dari ujung.
        
        
        Cedera Maksilofasial
        
        Jumlah yang besar pasien dengan cedera ganda  mempunyai 
        cedera  maksilofasial. Secara umum,  kebanyakan  cedera 
        fasial dapat ditangani semi elektif, beberapa hari  se- 
        telah masuk. Bahkan cedera jaringan lunak dapat  diper- 
        baiki 24 jam setelah masuk pada kebanyakan kasus. Keke- 
        cualian  atas patokan ini adalah obstruksi jalan  nafas 
        sekunder terhadap perpindahan kebelakang dari lidah pa- 
        da fraktura mandibular bilateral dan perdarahan nasofa- 
        rings  yang tidak terkontrol. Walau  tindakan  terhadap 
        cedera fasial definitif relatif prioritas rendah, peni- 
        laian di UGD, baik klinis maupun radiologis,  tidak bo- 
        leh  dikesampingkan. Ini memungkinkan untuk  melengkapi 
        penilaian pendahuluan baik sebelum atau selama  operasi 
        emergensi lainnya dan untuk memilih apakah perlu  dila- 
        kukan  stabilisasi atau tindakan operasi ketika  pasien 
        dalam anestesia. 
             Tampilan Water (oksipitomental) adalah pemeriksaan 
        sinar-x paling bernilai untuk maksila, zigoma, dan  si- 
        nus frontal. Tampilan oblik mandibula memberikan infor-
        masi  terbanyak  untuk fraktura sepertiga  bawah  muka. 
        Tampilan  panoreks mandibula bisa dilakukan  namun  ja- 
        rang dilakukan pada keadaan akut. Bersamaan dengan foto 
        tengkorak anteroposterior dan lateral rutin,  foto-foto 
        ini  harus diperhatikan baik-baik atas adanya  fraktura 
        maksilofasial.  CT scan dengan setelan  jendela  tulang 
        (bone window) merupakan pemeriksaan terpilih.
        
        
        Tabel
        Klasifikasi cedera maksilofasial
        -------------------------------------------------------
        Cedera jaringan lunak
             a. Abrasi kulit, tusukan, laserasi,tatu
             b. Cedera saraf, cabang saraf fasial
             c. Cedera kelenjar parotid atau duktus Stensen
             d. Cedera kelopak mata
             e. Cedera telinga
             f. Cedera hidung
        Cedera tulang
             a. Fraktura sepertiga atas muka
             b. Fraktura sepertiga tengah muka
                  1. Fraktura hidung
                  2. Fraktura maksilari
                       LeFort I, fraktura maksilari transversa
                       LeFort II, fraktura piramidal
                       LeFort III, disjunksi kraniofasial
                  3. Fraktura zigomatika
                  4. Fraktura orbital
             c. Fraktura sepertiga bawah muka 
                (fraktura mandibular)
        -------------------------------------------------------
        
        
        Cedera Jaringan Lunak
        
        Setelah melakukan hemostasis dan pembersihan luka, tin- 
        dakan definitif terhadap jaringan lunak dapat dilakukan 
        hingga 24 jam, walau idealnya harus dilakukan  sesegera 
        mungkin. Hematoma jaringan lunak luas harus dievakuasi, 
        tidak mungkin untuk diabsorpsi. Terutama bila  hematoma 
        terletak sekitar tulang rawan nasal atau telinga. Kega- 
        galan mengalirkan hematoma berakibat 'saddle nose' atau 
        'cabbage ear'.
             Terkadang  cabang-cabang saraf  fasial  (temporal, 
        zigomatika,  bukal,  mandibular  dan  servikal)  terpo- 
        tong. Lesi cabang temporal berakibat gangguan  fungsio- 
        nal yang paling berat karena paralisis kelopak mata  u- 
        mum terjadi. Sebagai patokan, lesi yang terletak medial 
        dari garis midpupil tak memerlukan pebaikan.  Bila lesi 
        lebih proksimal, saraf harus ditampilkan dan epineurium 
        direaproksimasi dalam magnifikasi.
             Hal serupa, laserasi duktus parotid (Stensen)  di- 
        perbaiki  dengan anastomosis end-to-end diatas  kateter 
        silastik  kecil. Laserasi glandula sendiri tidak  perlu 
        dijahit. Luka kulit sekitarnya harus dijahit, dan  fis- 
        tula salivari yang sering terjadi menutup spontan dalam 
        sekitar tiga minggu.
             Perbaikan  anatomi sederhana dari  kelopak  cedera 
        mata adalah pendekatan terbaik. Laserasi sistema lakri- 
        mal harus diperbaiki baik dengan jahitan sederhana atau 
        dengan dakriorinosistostomi.
             Laserasi telinga (full tickness) terbaik  diperba- 
        iki dengan jahitan kutan-perikhondrial. Hematoma  harus 
        dievakuasi. Laserasi nostril diperbaiki dengan  jahitan 
        membran  mukosa dengan benang absorbable dan kulit  de- 
        ngan nilon monofilamen.
        
        
        Cedera Tulang
        
        Fraktura sepertiga atas muka relatif kurang sering  di- 
        banding duapertiga bawah, namun lebih mungkin bersamaan 
        dengan cedera otak. Fragmen tulang harus direposisi da- 
        ri pada dibuang, dan ekstirpasi sinus frontal harus di- 
        cegah sedapat mungkin.
             Fraktura  sepertiga tengah muka sering akibat  ce- 
        dera dashboard pada penderita yang tanpa pengaman  pada 
        mobil. Fraktura nasal paling sering dari semua fraktura 
        fasial  dan terbaik dideteksi secara  klinis,  tampilan 
        foto  sinar-x  kurang layak pada cedera  ini.  Gambaran 
        klinik antaranya perdarahan hidung, deviasi piramid na- 
        sal  dan krepitasi pada palpasi. Walau  fraktura  nasal 
        tanpa  geseran tidak memerlukan reduksi, fraktura  yang 
        bergeser harus mendapatkan reduksi dan immobilisasi de- 
        ngan bidai plester untuk seminggu. Kebanyakan kasus be- 
        reaksi atas reduksi tertutup, yang dilakukan satu hing- 
        ga  tiga minggu setelah cedera bila edema sudah  berku- 
        rang  dan besarnya pergeseran dapat ditaksir lebih  te- 
        pat.
             Fraktura maksilari klasifikasinya dibagi tiga pola 
        oleh ahli Perancis LeFort 1901. Biasanya fraktura  mak- 
        silari merupakan modifikasi atau kombinasi pola klasik. 
        LeFort I adalah fraktura maksilari transversa yang  se- 
        ring akibat dari pukulan pada daerah diatas bibir.  Ba- 
        gian yang lepas terdiri dari proses alveolar,  palatum, 
        proses pterigoid. LeFort II adalah fraktura piramid  a- 
        kibat impak sedikit diatas tengah muka. Segmen  maksila 
        yang terisolasi berbentuk piramid. Gerakan dapat  dipe- 
        riksa  pada medial lantai orbital  dengan  menggerakkan 
        gigi atas kebelakang dan kedepan. LeFort III, atau dis- 
        junksi  kraniofasial, merupakan separasi  yang  lengkap 
        tulang  fasial dari basis tengkorak. Fraktura  maksila- 
        ri  ditindak  dengan reduksi  dan  immobilisasi  batang 
        lengkung  dan pemegang kawat dari arkus zigomatik  atau 
        tulang  frontal. LeFort III memerlukan juga  pengikatan 
        pada sutura zigomatikofrontal.
             Fraktura zigomatika urutan insidennya kedua  sete- 
        lah  fraktura nasal. Fraktura zigomatika paling  sering 
        adalah depresi eminens malar dan disebut fraktura  tri- 
        pod.  Fraktura  biasanya ditemukan  pada  garis  sutura 
        zigomatikotemporal dan zigomatikofrontal serta pada fo- 
        ramen infraorbital. Tindakan berupa reduksi terbuka dan 
        fiksasi  interoseus  internal pada dua dari  tiga  sisi 
        fraktura. Cedera saraf infraorbital dengan baal  diatas 
        daerah pipi kadang-kadang terdapat pada fraktura ini.
             Fraktura orbital dapat mengenai semua tulang  yang 
        membentuk  dinding  orbital,  yaitu  zigoma,  maksilla, 
        frontal, sfenoid dan ethmoid. Cedera paling sering ada- 
        lah mengenai baik lantai maupun atap orbit.  Mereka se- 
        tipis kertas dan merupakan bagian paling rapuh dari or- 
        bit.  Fraktura  lantai orbital dapat  bersamaan  dengan 
        fraktura  depressed zigoma atau setelah suatu  benturan 
        pada  bola mata, suatu fraktura 'blow-out'  yang  khas. 
        Intervensi  bedah segera dianjurkan, dan  lantai  orbit 
        sering diperkuat dengan lembaran silastik saat operasi.  
        Elevasi  akut  TIK, seperti yang terjadi  pada  pukulan 
        yang hebat terhadap atap tengkorak, dapat berakibat ro- 
        beknya atap orbital yang setipis kertas, baik uni maupn 
        bilateral, suatu fraktura 'blow-in' yang khas.
             Fraktura  sepertiga bawah muka (fraktura  mandibu- 
        ler) menduduki frekuensi ketiga setelah hidung dan  zi- 
        goma. Ia agak diperrumit oleh tarikan otot yang melekat 
        padanya. Fraktura mandibular unilateral yang tak berge- 
        ser  biasanya ditindak dengan  fiksasi  intermaksillari 
        dengan gigi dioklusi memakai batang lengkung.  Fraktura 
        yang lebih rumit memerlukan reduksi terbuka dan fiksasi 
        interosseus.
        
        
        Cedera Tulang Belakang
        
        Kecelakaan mobil merupakan penyebab tersering,  sekitar 
        30 hingga 70 persen dari semua cedera. Sebab lain anta- 
        ranya jatuh, pukulan dan olah raga air. Rogers 1957 me- 
        laporkan bahwa 10 persen pasien paraplegik terjadi  bu- 
        kan saat kejadian, namun beberapa waktu setelahnya. De- 
        ngan  perbaikan keterampilan petugas gawat darurat  dan 
        P3K, dipercaya angka kejadiannya nyata berkurang. Tera- 
        khir ini, sejumlah besar pusat mencatat insidens  sebe- 
        sar 4.9 persen perburukan neurologis setelah perawatan. 
        Sebagian  besar perburukan terjadi  berhubungan  dengan 
        tindakan  pengelolaan spesifik.  Sebaliknya  dipastikan 
        bahwa sebagian besar pasien dengan gangguan motor  par- 
        sial dan 15 persen pasien yang semula dengan kehilangan 
        motor lengkap memperlihatkan perbaikan motor.  Akhir-a- 
        khir ini NASCIS II membuktikan pemulihan motor dan sen- 
        sori  pada cedera cord tulang belakang  bila  diberikan 
        metilprednisolon saat delapan jam pertama sejak cedera. 
        Dosisnya 30 mg/kg sebagai bolus, diikuti infus 5.4  mg/ 
        kg/jam untuk 23 jam.
        
        
        Tulang Belakang Leher
        
        Tulang belakang leher mudah terkena pada cedera  multi- 
        pel.  Cedera fleksi merupakan bentuk yang paling sering 
        terjadi, dan terjadi misalnya pada kecelakaan olah-raga 
        selam saat kepala secara keras terdorong kedepan.  Ben- 
        tuk paling sederhana berakibat fraktura keping pada ba- 
        dan tulang belakang sebelah depan. Bila kekuatan penye- 
        bab lebih besar, mungkin terjadi disrupsi elemen poste- 
        rior, fraktura atau 'locking' faset-faset, serta robek- 
        nya ligamen dengan akibat subluksasi serta cedera  cord 
        tulang belakang. Kadang-kadang materi diskus  terdorong 
        keposterior kakanal melalui ligamen longitudinal poste- 
        rior. Ini mengakibatkan sindroma cord anterior,  dimana 
        pasien  kehilangan semua fungsi cord  tulang  belakang, 
        kecuali yang berhubungan dengan kolumna posterior. Sin- 
        droma ini juga bisa terjadi pada fraktura 'burst' badan 
        ruas tulang belakang, dimana kekuatan lebih terarah pa- 
        da  aksis panjang dari tulang belakang.  Contoh  klasik 
        fraktura burst adalah fraktura Jefferson dari C1,  yang 
        terjadi  saat sebuah benturan terhadap  verteks  kepala 
        dan  mendorong kondilus oksipital menentang cincin  C1, 
        berakibat burst dan bergesernya fragmen kelateral.
             Cedera fleksi yang memiliki komponen rotatori  da- 
        pat  menimbulkan 'locking' faset atau  fraktura.  Lock- 
        ing  unilateral biasanya terjadi pada  tulang  belakang 
        servikal bawah. Kerusakan ligamen dan diskus kurang pa- 
        rah, namun cedera tulang lebih sering dari pada locking 
        bilateral. Faset yang terkunci bilateral disebabkan  o- 
        leh fleksi hebat dan rotasi yang bersamaan, menyebabkan 
        robekan luas dan regangan pada semua ligamen serta  ro- 
        beknya  diskus.  Ini biasanya jelas  mengganggu  kanal; 
        cord tulang belakang dan cedera akar saraf servikal ka- 
        renanya lebih sering.
             Cedera ekstensi terjadi bila kepala terdorong  de- 
        ngan  kuat kebelakang. Cedera ini sering bersamaan  de- 
        ngan sindroma cord sentral dan sering tampak pada orang 
        tua dengan kanal servikal yang menyempit. Dalam  posisi 
        hiperekstensi,  ligamentum  flavum  melengkung  kekanal 
        yang  sempit, berakibat kompresi cord tulang  belakang. 
        Keadaan  ini diperberat bila osteofit posterior  mendo- 
        rong cord keanterior. Akibatnya adalah kompresi arteria 
        perforantes yang berjalan kebagian sentral cord  dengan 
        pembuluh sirkumferensial yang tersisa relatif.  Defisit 
        neurologis  terdiri dari kuadriparesis,  biasanya lebih 
        buruk didistal anggota atas, dan motor terganggu  lebih 
        hebat dari sensori.
             Jenis terakhir cedera tulang belakang leher adalah 
        cedera akselerasi-deselerasi atau whiplash. Walau tidak 
        mengancam  nyawa, cedera jenis ini  mencapai  ketenaran 
        yang  besar dalam medikolegal. Dasar fisikalnya  adalah 
        kerusakan pada otot penyokong sebelah anterior,  longus 
        kolli, serta elemen lateral dan posterior.
             Seperti  telah  dinyatakan didepan,  penting  agar 
        dokter menyingkirkan adanya cedera tulang belakang  le- 
        her pada pasien dengan cedera kepala. Pada pasien  yang 
        sadar, nyeri nukhal atau kekakuan mungkin akan mewaspa- 
        dakan dokter akan adanya cedera. Pada pasien koma,  pe- 
        meriksaan radiologis rutin dilakukan sebelum menggerak- 
        kan  posisi pasien. Tampilan  lateral,  anteroposterior 
        dan  mulut  terbuka biasanya cukup  untuk  pendahuluan. 
        Tampilan perenang perlu untuk melihat C6-C7 atau C7-T1. 
        Bila terdapat keraguan, leher harus diimmobilisasi  de- 
        ngan kolar Philadelphia hingga diagnosis yang definitif 
        ditegakkan  dengan politomografi atau CT scan. CT  scan 
        definisi tinggi lebih superior dibanding foto polos dan 
        politomografi dalam menilai cedera tulang belakang  dan 
        akan memberikan lebih banyak informasi pada kasus  ter- 
        tentu  bila CT scan diambil setelah  mielografi  dengan 
        medium kontras larut air. Bila fraktura atau subluksasi 
        ditemukan dan CT scan memutuskan untuk tindakan  opera- 
        tif,  traksi leher dilakukan dengan mengggunakan  tongs 
        Gardner-Wells atau ring halo tanpa jaket.  Bila reduksi 
        tidak  tercapai dengan traksi, operasi reduksi  terbuka 
        diperlukan pada tahap kemudian.  Pasien dengan fraktura 
        tak stabil dapat dikelola dengan berhasil dengan  immo- 
        bilisasi  memakai jaket halo untuk tiga bulan,  diikuti 
        penggunaan  kolar  Philadelphia beberapa  minggu  lagi. 
        Dalam prakteknya terdapat variasi pemikiran yang luas.
             Pembedaan  yang bermakna pada cedera tulang  bela- 
        kang  leher adalah antara fraktura stabil dan tak  sta- 
        bil.  Insidens fraktura tak stabil adalah 25 hingga  30 
        persen.  Fraktur berikut diperkirakan stabil:  fraktura 
        kompresi  atau keping dari badan ruas tulang  belakang, 
        fraktura  faset  unilateral atau massa  lateral,  serta 
        fraktura  prosesus spinosus.  Dislokasi dan  subluksasi 
        menunjukkan cedera ligamen yang menyertainya dan menun- 
        jukkan ketidakstabilan. Fraktura stabil dapat  dikelola 
        dengan kolar Philadelphia. Kadang-kadang ketidakstabil- 
        an tidak ditampilkan secara akut oleh film  fleksi-eks- 
        tensi sebagai akibat splinting tulang belakang oleh  o- 
        tot paraspinal akibat nyeri dan akan menjadi jelas pada 
        pemeriksaan selanjutnya setelah nyeri berkurang.
             Beberapa penulis menganjurkan mielografi mini pada 
        fase akut setelah cedera tulang belakang dengan defisit 
        neurologis. Hasil tindakan ini diakui rendah namun  da- 
        pat dilakukan setelah masalah pengancam nyawa yang  le- 
        bih akut diatasi. MRI dianjurkan bila tersedia.
        

        Tulang Belakang Toraks
        
        Tulang  belakang toraks relatif kaku dan adalah  segmen 
        yang  tidak bergerak dari tulang belakang.  Ini  tampak 
        dari  rendahnya insidens cedera pada daerah ini.  Namun 
        bila  cedera terjadi, menunjukkan bahwa  kekuatan  yang 
        menimpa  adalah  sangat kuat serta  biasanya  berakibat 
        transeksi cord yang lengkap. Cedera tulang belakang to- 
        raks  biasanya  cedera fleksi. Fraktura  kompresi  bisa 
        terjadi bila kekuatan aksial yang terjadi seperti  hal- 
        nya  terjatuh  pada bokong. Ini biasanya  terjadi  pada 
        sambungan  torakolumbar. Cord tulang  belakang  mengisi 
        bagian  terbesar dari kanal didaerah  toraks  dibanding 
        daerah  leher dan lumbar. Ini  memungkinkan  terjadinya 
        cedera neurologis bila terjadi kerusakan tulang.
             Dalam keadaan akut, pada pasien dengan cedera  tu- 
        lang belakang toraks atas harus dipikirkan  kemungkinan 
        kontusi miokardial, transeksi atau diseksi aortik, atau 
        cedera paru-paru. Aortogram mungkin diperlukan. Penting 
        untuk  menekankan immobilisasi dan perawatan dasar  se- 
        lama pengangkutan pasien.
             Kebanyakan pasien dengan fraktura tulang  belakang 
        toraks  dikelola dengan istirahat baring diikuti  brace 
        ekstensi untuk tiga hingga empat bulan. Namun  stabili- 
        sasi  operatif mungkin diperlukan  karena  memungkinkan 
        immobilisasi segera. Bila jelas ada perburukan neurolo- 
        gis  dibanding  saat masuk, MRI atau  mielografi  harus 
        dilakukan, dan tindakan operatif diperlukan bila  dida- 
        patkan  kompresi. Operasi dekompresi  mungkin  disertai 
        stabilisasi  batang Harrington atau Luque atau  mungkin 
        dengan pendekatan transtorasik. Akhir-akhir ini diguna- 
        kan  fiksasi sekrup pedikular dengan pelat Luque  untuk 
        fraktura toraks bawah dan lumbar.
        
        
        Tulang Belakang Lumbar
        
        Seperti  halnya tulang belakang leher, tulang  belakang 
        lumbar  adalah segmen yang mobil dan karenanya terancam 
        untuk cedera, walau tidak sesering tulang belakang  le- 
        her.  L1 dan L2 adalah tempat yang paling sering  untuk 
        fraktura  kompresi. Konus medularis serta kauda  ekuina 
        mungkin terkena, berakibat inkontinens urinari dan dis- 
        fungsi seksual pada pria. Prinsip dasar pengelolaan se- 
        rupa dengan tulang belakang toraks.
        
        
        Cedera Ortopedik
        
        Fraktura  dapat diklasifikasikan secara sederhana  atas 
        terbuka (compound) dan tertutup. Fraktura tertutup ada- 
        lah  bila  jaringan sekitarnya intak,  sedang  fraktura 
        terbuka  adalah bila tulang terbuka dan  bakteri  dapat 
        langsung masuk kedaerah fraktura. Tindakan awal  terha- 
        dap  fraktura  antaranya pembidaian  dan  kadang-kadang 
        traksi. Pasien yang agitatif dengan fraktura harus  di- 
        bidai  segera untuk mencegah kerusakan saraf  dan  pem- 
        buluh utama sekitar daerah fraktura. Denyut nadi  peri- 
        fer distal dari fraktura harus diperiksa periodik untuk 
        memastikan bahwa pembuluh tidak terganggu.  Fungsi neu- 
        rologik  perifer sulit untuk dinilai pada pasien  koma. 
        Sejumlah besar darah dapat terkumpul didaerah  fraktur, 
        dan sindroma kompartemen mungkin terjadi. Ini membutuh- 
        kan penilaian tekanan jaringan  yang bila jelas mening- 
        gi, membutuhkan fasiotomi untuk dekompresi. Ini terjadi 
        lebih sering pada anggota atas dibanding dengan anggota 
        bawah.
             Embolisme lemak paling sering tampak pada fraktura 
        tulang panjang. Etiologinya tidak diketahui pasti.  Ka- 
        rena sindroma klinik tidak patognomonik dan temuan  pa- 
        tologis umumnya jarang, jumlah kematian akibat  keadaan 
        ini tidak diketahui. Beberapa perkiraan menempatkan ke- 
        adaan ini sebagai penyebab 16 persen dari seluruh kema- 
        tian yang diakibatkan trauma. Bentuk yang gawat, pasien 
        yang semula bangun dan berorientasi, menjadi  agitatif, 
        dan dengan cepat jatuh kedalam letargi atau koma, serta 
        mati beberapa jam setelah cedera. Pada otopsi ditemukan 
        embolisme masif pada paru-paru, ginjal, otak dan  organ 
        lainnya.  Diagnosis definitif antemortem  sulit  karena 
        gambaran  yang tidak spesifik dari sindroma  syok  yang 
        sulit diatasi. Bentuk klasik embolisasi lemak tampak a- 
        gak lambat, 24 hingga 72 jam setelah cedera dan sindro- 
        manya  predominan serebral.  Sindromanya dimulai dengan 
        hipotermia  mendadak, diikuti agitasi, letargi,  stupor 
        dan akhirnya koma. Biasanya dengan takhipnea, sianosis, 
        serta  edema paru-paru. Adanya petekhie  dibagian  atas 
        tubuh,  konjungtiva dan fundus hampir  merupakan  tanda 
        klinik yang patognomonis. Temuan lemak pada air kencing 
        atau  darah pada pemeriksaan mikroskopik  adalah  suatu 
        kemungkinan, namun hasil negatif adalah tidak mempunyai 
        nilai. Hipoksemia arterial, hipokarbia dan  trombosito- 
        penia adalah kelainan sistemik yang sering terjadi. Na- 
        mun  ini  sering tetap sebagai diagnosis  yang  berdiri 
        sendiri.  Tingkat mortalitasnya tinggi dan  berhubungan 
        dengan  kedalaman serta durasi koma. Bila pasien  tidak 
        mati,  biasanya terjadi perbaikan sempurna.  Pengobatan 
        terutama  supportif, dengan perhatian  khusus  terhadap 
        ventilasi.
        
        
        Cedera Dada
        
        Sering  terjadi  pada cedera multipel,  dan  komplikasi 
        pulmoner  sering  berakibat morbiditas  dan  kadang-ka- 
        dang  mortalitas bersamaan dengan cedera kepala.  Frak- 
        tura iga sederhana tidak memerlukan tindakan selain an- 
        algesik dan bila perlu infiltrasi lokal anestetik untuk 
        mengurangi nyeri pada pasien yang sadar. Bila  beberapa 
        iga   mengalami  fraktura,  mungkin  berakibat   'flail 
        chest'. Pada keadaan ini dinding dada mungkin tidak la-
        gi kaku, dan tampak pergerakan paradoksik.  Akibat  hi- 
        langnya  tekanan negatif intratorasik selama  inspirasi 
        akan  mengurangi  ventilasi, dan  mungkin  atelektasis. 
        Dipercaya  bahwa dibanding gerakan paradoksik,  kontusi 
        pulmoner dan 'wet lung' yang mendasarinya mungkin meru- 
        pakan  penyebab utama distres respirasi. Karena  alasan 
        ini, pembatasan cairan hingga 1000 hingga 1200 ml/hari, 
        albumin  rendah garam serta penggantian darah yang  hi- 
        lang dengan koloid (darah lengkap, plasmanat)  dianjur- 
        kan.  Bila PO2 dan PCO2 tak dapat  dipertahankan  dalam 
        batas yang memadai dengan tindakan sederhana  tersebut, 
        pada sekitar 10 hingga 20 persen pasien, intubasi serta 
        ventilasi tekanan positif berkesinambungan (PEEP) dian- 
        jurkan. Edema paru-paru neurogenik akhir-akhir ini  ba- 
        nyak dibahas.
             Pneumonitis  aspirasi sering merupakan  komplikasi 
        cedera  kepala berat dan harus dicegah sekuat  mungkin. 
        Dianjurkan  menempatkan selang Salem pada lambung  (de- 
        ngan kuf digembungkan) dan mengosongkan lambung.  Lebih 
        disukai  dan lebih mudah untuk memasukkan selang  naso- 
        gastrik  sebelum intubasi endotrakheal,  namun  refleks 
        gag yang aktif mungkin merangsang muntah saat  mengusa- 
        hakan  memasukkan selang; ini berakibat  aspirasi,  dan 
        petugas tidak dapat mengatasi keadaan ini.
             Indikasi aortografi pada cedera tumpul toraks  di- 
        tetapkan  kembali oleh Gundry yang  menyimpulkan  bahwa 
        semua korban trauma dengan pelebaran mediastinum  harus 
        mendapatkan tindakan aortografi. Tidak ditemukan tanda-
        tanda lain seperti obskurasi knob aortik atau hilangnya 
        ketajaman batas aorta yang mempunyai nilai. Namun  pada 
        pasien setelah pubertas, setiap bukti terjadinya cedera 
        deselerasi  kecepatan tinggi seperti kontusi  paru-paru 
        dan fraktura iga berganda (terutama iga 1 dan 2), cukup 
        beralasan untuk melakukan aortografi.
        
        
        Cedera Kardiak
        
        Cedera kardiak bisa tumpul atau penetrans. Yang  perta- 
        ma biasanya terjadi akibat benturan roda setir pada an- 
        terior  dada pada kecelakaan  mobil.  Elektrokardiogram 
        menunjukkan perubahan ST-T, yang biasanya kembali  nor- 
        mal dalam beberapa hari. Mungkin disertai  takhikardia. 
        Walau  prognosis pasien dengan kontusi jantung  umumnya 
        buruk, setiap operasi harus ditunda bila mungkin.  Iso- 
        enzim kardiak dilakukan untuk memastikan diagnosis, wa- 
        lau fraksi enzim mungkin meninggi sekunder atas  cedera 
        lain yang menyertai.
             Cedera penetrans dari jantung sering terjadi,  wa- 
        lau tidak selalu fatal.  Cedera misil yang  berat  atau 
        luka tusuk dapat berakibat kehilangan darah yang cepat, 
        namun cedera kaliber kecil dan bahkan pecahnya  jantung 
        akibat trauma tumpul dapat berhasil diatasi. Jelas wak- 
        tu  adalah esensial. Pasien dengan setiap  cedera  yang 
        dengan  cepat memperlihatkan tanda  tamponade  kardiak: 
        distensi vena leher, tampilan plethoric, hipotensi (te- 
        kanan  sistolik menurun lebih berat dari penurunan  te- 
        kanan diastolik dengan akibat penurunan tekanan  nadi), 
        denyut nadi paradoksikal, bunyi jantung redup, dan  pe- 
        lebaran mediastinum pada perkusi dan sinar-x dada.
             Tamponade perikardial didiagnosis dengan  aspirasi 
        memakai  jarum ukuran 16 atau 18 yang ditusukkan  tepat 
        pada proses xifoid kiri pada sudut 45o sefalad dan  45o 
        kekanan. Tanpa menggerakkan jarum, sebanyak mungkin da- 
        rah  diaspirasi. Walau tindakan ini terkadang  terapeu- 
        tik,  torakotomi terbuka mungkin diperlukan bila  jelas 
        ada defek kardiak. Peralatan autotransfusi mungkin  tak 
        ternilai dalam pengelolaan kasus ini.
        
        
        Arrest kardiak
        
        Setelah trauma, penyebab tersering arrest kardiak  ada- 
        lah hipoksia dan retensi CO2 sekunder karena  ventilasi 
        yang tak adekuat.  Hal penting lainnya adalah hipotensi 
        karena hipovolemi dengan konsekuensi hipoperfusi  koro- 
        ner. Sebab lain adalah overdosis obat atau  hipersensi- 
        tivitas, serta hiperkalemia atau hipotermi kardiak aki- 
        bat infus yang cepat darah dingin dari bank darah.  Di- 
        tekankan bahwa kebanyakan penyebab yang  mempresipitasi 
        arrest kardiak pada pasien trauma adalah dapat dicegah. 
        Pasien harus cepat diintubasi dan diventilasi baik pada 
        tempat kecelakaan maupun segera setelah sampai di  UGD, 
        dan hipovolemia cepat dikoreksi. Obat-obatan harus  di- 
        gunakan  dengan hati-hati, terutama pada pasien  mabuk, 
        yang terutama sensitif terhadap barbiturat dan  aneste- 
        tik umum.
             Sekali arrest kardiak terjadi, aliran darah  keor- 
        gan vital harus dipulihkan dalam tiga menit. Bila  kea- 
        daan ventilasi dan volume belum terkoreksi, hal ini me- 
        rupakan prioritas.
        
        
        Pneumotoraks
        
        Sering terjadi akibat laserasi paru-paru oleh  fraktura 
        iga,  cedera penetrans, atau ruptura  'pohon'  trakheo- 
        bronkhial. Sering menyebabkan kolapsnya paru-paru serta 
        penurunan kapasitas vital. Tanda-tanda klinis pneumoto- 
        raks antaranya dispnea, perkusi hiperresonans, dan  hi- 
        langnya bunyi nafas diatas paru-paru. Pneumotoraks yang 
        luas dapat dideteksi dengan mudah dengan sinar-x  paru-
        paru, namun diperlukan film ekspiratori berkualitas ba- 
        ik untuk mencari abnormalitas yang lebih ringan.  Walau 
        pasien  dapat mentolerasi kolapsnya satu paru-paru  de- 
        ngan cukup baik, udara dapat terjebak dirongga  pleural 
        oleh  mekanisme  serupa katup,  berakibat  pneumotoraks 
        tension.  Ini berakibat pergeseran mediasdtinum  kesisi 
        seberangnya,  hingga mengurangi  kapasitas  ventilatori 
        paru-paru yang 'normal'. Kecuali dikoreksi, keadaan ini 
        dapat  menjadi fatal. Walau jarum besar  pelubang  yang 
        sederhana untuk sementara dapat membantu  menghilangkan 
        katup, selang dada harus diinsersikan sesegera mungkin.
             Selang dada diinsersikan melalui insisi 1.5 sm pa- 
        da  garis puting, dimana ia memotong garis  midaksiler, 
        dengan skalpel serta jari dibanding dengan trokar.  Du- 
        a jahitan sutra kuat berbentuk U untuk memantek  selang 
        serta  menutup lubang. Selang dada  dihubungkan  dengan 
        perangkat botol pengalir atau sitema Pleurevac,  dengan 
        tekanan negatif sinambung 5 hingga 20 sm H2O.
             Trauma dapat mengakibatkan hemotoraks sejati,  wa- 
        lau hemopneumotoraks jauh lebih sering. Hemotoraks  ku- 
        rang dari 300 ml sering tak dapat ditampilkan oleh film 
        dada tegak.  Hemotoraks luas biasanya bersamaan  dengan 
        syok  sekunder atas kehilangan darah  dibanding  dengan 
        karena  kesulitan paru-paru. Keadaan ini juga  dikorek- 
        si  dengan pengaliran melalui selang  dada.  Torakotomi 
        mungkin diperlukan untuk mengatasi perdarahan  vaskuler 
        berat seperti dari pembuluh mammari internal, interkos- 
        tal,  atau pembuluh paru-paru, namun ini  tidak  sering 
        terjadi.
        
        
        Cedera Vaskuler
        
        Pembuluh perifer kadang-kadang rusak pada pasien cedera 
        multipel, berakibat perdarahan,  fistula arteriovenosa, 
        dan aneurisma. Perawatan perdarahan harus dilakukan se- 
        segera mungkin dengan kompresi. Tornike sering  beraki- 
        bat  cedera iskemik karena pemakaian yang terlalu  lama 
        dan  sirkulasi kolateral juga terbendung.  Ligasi  atau 
        pengkleman lama dari pembuluh juga tidak dipikirkan ka- 
        rena menyebabkan rekonstruksi menjadi lebih sulit serta 
        membahayakan kehidupan anggota tubuh.
             Semua  cedera didaerah pembuluh darah utama  harus 
        dianggap mengenai pembuluh hingga dibuktikan tidak.  A- 
        danya  denyut distal tidak menyingkirkan adanya  cedera 
        vaskuler. Arteriogram harus dilakukan pada setiap kasus 
        walau bahkan pemeriksaan ini terkadang tidak benar.
             Cedera tumpul leher bisa mengakibatkan spasme  ar- 
        teria karotid ekstrakranial yang berat atau diseksi in- 
        timal. Ini bisa mengakibatkan strok, hingga mengacaukan 
        gambaran kompleks yang sudah ada sekunder karena cedera 
        kepala.
        
        
        Cedera Abdominal
        
        Seperti halnya cedera dada, bisa penetrans atau tumpul. 
        Yang  pertama lebih letal secara akut, dan  yang  kedua 
        lebih  sulit didiagnosis dan dapat  merupakan  penyebab 
        kematian kemudian, yang tidak diharapkan. Syok yang tak 
        bisa  dijelaskan,  yang berhubungan dengan  cedera  ab- 
        dominal, adalah akibat cedera abdominal, kecuali dibuk- 
        tikan  lain. Indikasi laparotomi segera  adalah  adanya 
        peritonitis, syok yang tak dapat dijelaskan,  perdarah- 
        an gastrointestinal, dan tap atau lavase peritoneal di- 
        agnostik  yang positif. Tap abdominal pertama  dikerja- 
        kan.  Bila lebih dari 20 ml darah didapatkan atau  bila 
        pertikel  makanan atau feses ditemukan pada rongga  pe- 
        ritoneal, tap dianggap positif. Bila tidak, seliter la- 
        rutan Ringer laktat atau salin normal diinfuskan  keda- 
        lam  abdomen.  Pasien kemudian  dimiringkan  dari  sisi 
        kesisi untuk mendapatkan pencampuran yang baik, dan ca- 
        iran  dibiarkan mengalir keluar.  Bila 200 atau 300  ml 
        cairan sudah keluar, dilakukan pemeriksaan hitung jenis 
        sel. Jumlah lebih dari 100.000 sel darah merah atau 500 
        sel darah putih per sm kubik dianggap positif.  Butter-
        worth menganjurkan lavase peritoneal rutin pada  pasien 
        dengan  cedera kepala berat "dengan atau  tanpa  tanda-
        tanda klinis syok, cedera abdominal, atau adanya perda- 
        rahan tersembunyi". Lavase peritoneal juga bernilai da- 
        lam  mendeteksi  perdarahan pada pasien  dengan  cedera 
        cord  tulang belakang, dimana tanda-tanda  klinis  yang 
        biasa menjadi tersembunyi. Penelitian terakhir  ternya- 
        ta CT scan abdominal lebih baik dari lavase  peritoneal 
        dalam menilai trauma tumbul abdominal. Namun pemeriksa- 
        an ini akan mengambil waktu setengah jam untuk  meleng- 
        kapinya, jadi membatasi kegunaannya pada pasien  dengan 
        massa intrakranial atau ketidakstabilan yang jelas.
        
        
        Cedera Renal
        
        Cedera ginjal terdiri dari tiga jenis: (1) kontusi  re- 
        nal; (2) laserasi renal; dan (3) cedera pedikel.  Hema- 
        turi merupakan temuan primer pada cedera traktus urina- 
        rius.  Ia sering gross, namun mungkin mikroskopik  atau 
        negatif. Biasanya terdapat nyeri abdominal pada  pasien 
        yang sadar. Pemeriksaan mungkin menunjukkan tanda-tanda 
        syok, tenderness lokal, pembengkakan dan ekhimosis. Bi- 
        asanya  jelas spasme otot daerah pinggang  dan  kuadran 
        atas abdomen.
             Pielogram  intravena diikuti nefrotomografi,  bila 
        perlu, harus dilakukan bila diduga adanya suatu  cedera 
        ginjal. Ini tidak hanya membuktikan distorsi ginjal  a- 
        tau sistem ureteral, namun juga memastikan ada dan ber- 
        fungsi baiknya ginjal kontralateral. CT scan abdomen a- 
        dalah  pemeriksaan  terpilih bila anatomi  tidak  dapat 
        tergambarkan dengan baik melalui pemeriksaan  tersebut, 
        sedang aortografi dilakukan untuk kasus terpilih. Keba- 
        nyakan cedera ginjal (85 persen) adalah kontusi dan da- 
        pat dikelola konservatif. 15 persen lainnya adalah  la- 
        serasi major. Kebanyakan dari padanya (95 persen)  ter- 
        bungkus dengan baik dan dapat dirawat konservatif.  Se- 
        kitar  5 persen dari kasus, memerlukan tindakan  opera- 
        tif. Cedera pedikel juga memerlukan eksplorasi  segera. 
        Cedera  ureteral merupakan komplikasi trauma  yang  ja- 
        rang, lebih sering iatrogenik. Drainase urine serta re- 
        konstruksi ureter merupakan tindakan terpilih.  Ekstra- 
        vasasi  saluran urinari atas lebih mudah diketahui  di- 
        banding  saluran bawah karena yang terakhir ini  sering 
        bersamaan dengan cedera kandung kemih dan saluran cerna 
        bawah.
        
        
        Cedera Oftalmologis
        
        Bila  ditempat kejadian diketahui adanya  cedera  mata, 
        paling baik adalah melindunginya dengan berkas kaku se- 
        perti lapisan Foxx. Manipulasi mata, termasuk  mengang- 
        kat  klot darah dan benda asing, harus  dicegah  karena 
        luka sederhana dapat menjadi ekstensif dengan  terjadi- 
        nya herniasi isi okular. Pemeriksaan teliti bisa ditun- 
        da hingga optamologis memeriksanya di UGD.
             Pasien yang mengalami kecelakaan mobil sering  me- 
        meliki benda asing pada matanya, biasanya pecahan  kaca 
        mobil atau kotoran dari jalan. Pada pasien sadar setiap 
        benda  asing  menyebabkan rasa yang sangat  tidak  enak 
        hingga mewaspadakan dokter atas hal tersebut. Pada  pa- 
        sien  tidak sadar, dapat terabaikan hingga  menyebabkan 
        kerusakan lebih lanjut. Bila diduga adanya suatu  benda 
        asing,  mata harus diirigasi sebersih-bersihnya  dengan 
        salin normal memakai siring. Bila benda asing yang ter- 
        benam  dikornea atau konjungtiva tidak  dapat  dibilas, 
        diperlukan  pengangkatan secara mekanik. Ini  dilakukan 
        dengan  aplikator yang dilembabkan dengan salin,  namun 
        setiap tindakan ini dapat menimbulkan kehilangan epitel 
        kornea.  Idealnya digunakan lampu slit  atau  mikroskop 
        korneal  serta jarum hipodermik yang halus.  Antibiotik 
        lokal seperti gentamisin bisa diberikan. Karena  bahaya 
        infeksi, pasien harus diperiksa oftamologis setiap  ha- 
        ri,  dan kornea harus diwarnai dengan fluoresin  hingga 
        penyembuhan terjadi. Pada setiap kasus, pewarnaan fluo- 
        resin harus dilakukan saat masuk bila diduga adanya su- 
        atu  cedera mata superfisial dalam usaha  menyingkirkan 
        abrasi korneal atau konjungtival, yang dapat terinfeksi 
        bila terabaikan.
             Adanya benda asing intraokuler biasanya tidak  di- 
        duga, hingga biasanya terabaikan. Kemungkinan ini harus 
        disingkirkan bila mata menunjukkan laserasi besar  mau- 
        pun  kecil atau cedera penetrasi. Bila bahkan benda  a- 
        sing  yang kecil tetap didalam mata,  bisa  menyebabkan 
        kebutaan akibat perdarahan, infeksi atau kerusakan  re- 
        tinal.  Lokasi benda asing dapat ditentukan dengan  of- 
        talmoskopi,  pemeriksaan  lampu slit, film  dental,  CT 
        scan , ultrasonografi, atau kombinasi darinya. Umumnya, 
        semua benda asing harus dikeluarkan dengan beberapa ke- 
        kecualian. Mata mungkin mentolerasi material inert  se- 
        perti  timah hitam, kaca, aluminium, dan jenis  plastik 
        tertentu. Benda organik seperti kayu, atau tanaman, bi- 
        asanya  menyebabkan reaksi inflamasi yang  hebat.  Pada 
        setiap  kasus antibiotik sistemik diberikan hingga  ba- 
        haya infeksi berlalu. Oftalmia simpatetik, yang  diper- 
        kirakan  sebagai uveitis autoimun, dapat berakibat  ke- 
        hilangan mata yang tak terinfeksi, namun hal ini sangat 
        jarang. Semua mata yang diragukan harus diawasi  selama 
        paling tidak setahun, walau 80 persen dari kasus terse- 
        but muncul pada tiga bulan pertama. Bila sekali  dipas- 
        tikan  kelainan ini, hormon adrenokortikotropik  (ACTH) 
        dan steroid dapat membantu, namun hasilnya biasa buruk.
             Pada kasus laserasi korneal tertentu, atropin atau 
        pilokarpin  mungkin berguna untuk meretraksi iris  dari 
        luka.  Namun zat ini harus dicegah pada  pasien  dengan 
        cedera  kepala berat, paling tidak pada  periode  awal. 
        Hal  ini terutama penting untuk pasien dengan  intubasi 
        dan  paralisa karena satu-satunya cara mendeteksi  sin- 
        droma  ancaman herniasi adalah dengan memeriksa  ukuran 
        dan reaksi pupil. Sekali diagnosis ditegakkan dan pasi- 
        en dalam keadaan stabil dengan pemantau TIK  terpasang, 
        zat  ini dapat digunakan. Dilatasi  pupil  memungkinkan 
        pemeriksaan fundus yang lebih teliti serta mungkin ber- 
        efek terapeutik pada mata yang mengalami inflamasi.
             Paling  sering fundus okular normal,  bahkan  pada 
        cedera  kepala berat. Perdarahan intraretinal kecil  a- 
        tau  luas kadang-kadang bisa disaksikan, namun  sedikit 
        hubungannya dengan keadaan neurologis secara keseluruh- 
        an. Walau diskus optik yang bengkak terkadang  dilapor- 
        kan terjadi dalam beberapa menit setelah peninggian te- 
        kanan  intrakranial, edema papil tampak pada  minoritas 
        pasien dengan cedera kepala serius. Terlebih lagi  pem- 
        bengkakan diskus optik biasanya tak tampak hingga  hari 
        ketiga hingga kelima, kadang-kadang setelah  dekompresi 
        massa intrakranial dan penghilangan tekanan intrakrani- 
        al yang meninggi. Keterlambatan ini aneh, karena  edema 
        papil  adalah disebabkan oleh dilatasi aksonal  sebagai 
        akibat  hambatan mekanik terhadap  aliran  aksoplasmik. 
        Pengurangan hebat arteria retinal terkadang diakibatkan 
        oleh tekanan intraokular yang sangat tinggi karena pem- 
        bengkakan masif jaringan orbital yang mengalami trauma. 
        Infark  retinal dan saraf optik menyusul.  Keadaan  ini 
        berpotensi reversibel bila ditemukan dini, melalui kan- 
        totomi  lateral  sederhana. Berbagai  jenis  retinopati 
        traumatika telah dilaporkan. Satu jenis adalah  retino- 
        pati Purtscher, dengan perdarahan scatter berganda pada 
        lapisan  superfisial retina dan area putih  dalam  pada 
        kutub posterior. Cedera ini berhubungan dengan  pening- 
        gian mendadak tekanan vena sistemik, seperti yang  ter- 
        jadi  pada tabrakan atau benturan hebat pada dada  atau 
        perut.