ILMU BEDAH SARAF
saanin@padang.wasantara.net.id
Ka. SMF Bedah Saraf
RS. M. Jamil/FK-UNAND Padang.
YANG ANDA INGIN KETAHUI DAN YANG HARUS ANDA KETAHUI,
6. KELAINAN SEREBRO-VASKULER
__________________________________
I. PERDARAHAN SUBARAKHNOID (PSA/SAH)
PSA primer terjadi bila sumber perdarahan (aneurisma)
terletak pada rongga subarakhnoid dan PSA sekunder
adalah bila perdarahan terjadi pada substansi otak
dengan kemungkinan hematoma bocor kedalam CSS melalui
robekan ventrikel atau melalui permukaan otak.
ANATOMI PERDARAHAN INTRAKRANIAL:
1. Aneurisma terletak pada rongga subarakhnoid dan
berdarah ke CSS atau jaringan otak sekitarnya.
2. Angioma serebral (AVM).
3. Perdarahan primer (hipertensif).
2 dan 3 masing-masing berdarah didalam jaringan otak.
Bekuan darah mungkin pecah ke CSS ventrikel atau ke
permukaan otak.
TAMPILAN PSA
Seperti semua CVA, PSA adalah kejadian mendadak. Adanya
darah pada ruang subarakhnoid menimbulkan gejala dan
tanda meningisme hingga pasien tampil dengan gambaran
meningitis onset akut. Gejalanya adalah nyeri kepala,
nyeri leher dan punggung, muntah, fotopobia, dan
iritabilitas. Sedang tanda-tandanya adalah kaku kuduk,
tanda Kernig positif dan pasien terbaring diam serta
menghindari gerakan dan gangguan sekitar.
Komplikasi terpenting yang umumnya menyebabkab
outcome yang buruk adalah: vasospasme, perdarahan
ulang, hidrosefalus dan bangkitan (seizure).
Kelainan neurologis lain yang bisa dijumpai:
1. Perubahan kesadaran
Semua perdarahan spontan intrakranial berakibat
peninggian tekanan intrakranial yang cukup untuk
sementara menghentikan sirkulasi serebral hingga pasien
kehilangan kesadarannya. Periode ini mungkin berakhir
dalam beberapa menit namun beberapa pasien mungkin
tetap tidak sadar atau stupor pada saat masuk rumah
sakit. Adanya darah disekitar arteria perforating pada
dasar otak berakibat spasme dan bersama dengan hematoma
yang cukup besar untuk mendistorsikan batang otak
merupakan alasan lain terjadinya kehilangan kesadaran
dini tersebut.
2. Tanda-tanda neurologis fokal
Bila perdarahan inisial menimbulkan hematoma didalam
jaringan otak, pasien mungkin tampil dengan tanda-tanda
neurologis fokal sesuai posisi hematomanya disamping
adanya meningisme tersebut. Adanya kelainan seperti
hemiplegia, disfasia dll. yang jelas timbul sejak saat
terjadinya perdarahan memperkuat kemungkinan bahwa
hematoma adalah suatu bagian dari gambaran patologi.
KRITERIA suatu PSA menurut Hunt dan Hess:
Grade I - Asimtomatis, atau nyeri kepala minimal dan
rigiditas nukhal ringan
Grade II - Nyeri kepala sedang hingga berat, rigiditas
nukhal, tidak ada defisit neurologis selain
palsi saraf kranial
Grade III - Drowsi, konfusi, atau defisit fokal ringan
Grade IV - Stupor, hemiparesis sedang hingga berat,
mungkin dengan rigiditas deserebrasi dini,
dan gangguan vegetatif.
Grade V - Tampilan moribund
PROTOKOL PENGELOLAAN PERDARAHAN SUBARAKHNOID
Pengelolaan memerlukan integrasi diagnosis klinis dan
pengelolaan di UGD, penilaian pencitraan neurologis
segera, pertimbangan jenis operasi dan anestesi khusus,
dan perawatan intensif.
Kunci penting dari langkah pertama di UGD adalah
memikirkan, dan kemudian memastikan, diagnosis dari PSA
sambil mempertahankan tanda-tanda vital. Tanda khas PSA
adalah nyeri kepala, dengan karakteristik yang
mendadak, tidak biasa dialami sebelumnya, dan sering
unilateral dan disertai nyeri atau kaku kuduk.
Kemungkinan lain, pasien datang dengan obtundasi atau
koma, dengan atau tanpa defisit neurologis. Pada kasus-
kasus demikian, PSA harus disangka dan CT scan adalah
tindakan penting berikutnya. CT scan akan mendiagnosa
sekitar 90 persen kasus dan dapat melacak komplikasi
segera yang penting seperti perdarahan intraserebral
(ICH), perdarahan intraventrikuler, dan hidrosefalus.
Pungsi lumbar diperlukan bila indeks persangkaan adalah
tinggi, namun CT scan negatif.
Pengelolaan di UGD juga termasuk penstabilan
tanda-tanda vital dan memulai tindakan atas hipertensi
arterial sistemik yang sering timbul setelah PSA.
Tekanan darah harus dikontrol dalam usaha meminimalkan
risiko akan perdarahan ulang dini. Lebih disukai obat
intravena yang reversibel dengan cepat seperti nitro-
prusida sodium. Tujuannya adalah mencegah hipertensi
sistolik yang berat dan untuk menstabilkan tekanan
darah sistolik dibawah 150 mmHg. Hipotensi dicegah agar
tidak mengurangi aliran darah serebral (CBF) ketingkat
yang berbahaya. Karena adanya risiko hipertensi yang
diinduksi oleh bangkitan, semua pasien diberikan anti-
konvulsan.
Tabel 1. Pengelolaan Perdarahan Subarakhnoid (UCLA,'93)
-------------------------------------------------------
A. Unit Gawat Darurat
1. Kontrol atas hipertensi
2. Intubasi (bila koma)
3. CT scan segera
4. Pungsi lumbar bila hasil CT scan negatif
5. Ventrikulostomi (akut hidrosefalus simtomatis)
B. Angiografi
1. Dilakukan sesegera mungkin setelah masuk UGD.
2. Pengamatan klinis ketat
3. Pemeriksaan empat pembuluh
C. Operasi
1. Dilakukan dalam 24 jam pada kebanyakan kasus
2. Bedah tunda (untuk 10-12 hari) bila lebih dari
3 hari sejak perdarahan serta tampilnya vaso-
spasme yang nyata
D. Perawatan Intensif
1. Nimodipin
2. Antikonvulsan
3. Ekspansi volume dengan koloid
4. Pengamatan klinis
5. Pengamatan fisiologis
a. Tekanan darah
b. Tekanan arteri pulmoner atau
tekanan vena sentral
c. TIK (bila ventrikulostomi terpasang)
d. Doppler transkranial
e. Aliran Darah Serebral
6. Hipervolemi, hemodilusi, hipertensi untuk vaso-
spasme
7. Angioplasti transluminal untuk vasospasme yang
refraktor terhadap obat-obatan
-------------------------------------------------------
Pasien koma diintubasi dengan hiperventilasi
ringan untuk memastikan perlindungan jalan nafas dan
oksigenisasi adekuat selama tindakan diagnostik dan
terapeutik awal, dan juga untuk mengurangi efek
peninggian TIK. Hanya pasien yang memperlihatkan tanda
penekanan batang otak (abnormalitas pupiler) yang
diberikan mannitol. Kateter ventrikuler dipasang pada
pasien koma dalam usaha memantau TIK dan mengalirkan
CSS bila perlu.
Setelah pasien distabilkan di UGD dan diagnosis
PSA sudah ditegakkan, angiogram serebral segera
dilakukan pada kebanyakan kasus tanpa menunggu-nunggu
lagi. Angiografi karotid dan vertebral dilakukan untuk
mengetahui lokasi perdarahan dan untuk menilai adanya
aneurisma berganda. Penting untuk memantau pasien
secara ketat selama angiografi, dengan perhatian khusus
terhadap tekanan darah, TIK (bila ventrikulostomi
terpasang), dan keadaan neurologis.
Setelah menyelesaikan angiogram, operasi dilakukan
dalam 24 jam. Pengelolaan anestetik selama operasi
harus mengutamakan pemeliharaan tekanan darah arterial
normal; dengan mencegah hipotensi atau hipertensi yang
nyata, hiperventilasi ringan bersama infus mannitol,
dan pengaliran ventrikuler untuk memungkinkan relaksasi
otak. Kateter arteria pulmoner rutin dipasang untuk
memantau hemodinamik. Proteksi otak dengan barbiturat
bisa diberikan disaat diseksi aneurisma, digunakan
untuk melindungi otak disaat oklusi arterial temporer
diperlukan. Hipotensi dalam, yang pernah dilakukan
untuk mengurangi risiko rupturnya aneurisma saat
diseksi, sudah ditinggalkan demi mencegah agar otak
yang sudah terganggu tidak mengalami iskemia global.
Setelah aneurisma diklip, hasil operasi dipastikan
dengan angiografi intra bedah. Selama pemulihan dari
anestesi, tekanan darah dipertahankan pada tingkat
normal atau sedikit hipertensi untuk memastikan perfusi
serebral yang adekuat.
Pasien yang memperlihatkan tanda kompresi batang
otak dan CT scan awal menunjukkan perdarahan intra-
serebral dengan efek massa disamping adanya PSA,
angiografi harus ditunda dan pasien langsung dibawa
kekamar operasi untuk bedah dekompresi segera. Pada
kebanyakan kasus, topografi ICH menunjukkan lokasi
aneurisma yang bersangkutan, dan eksplorasi pembuluh
tersangka dilakukan setelah dekompresi atas hematoma.
Kemungkinan lain, angiogram intra bedah dilakukan
segera setelah pengangkatan hematoma untuk melokalisir
aneurisma.
Pengelolaan pasca bedah termasuk pemberian
nimodipin (60mg lewat mulut atau NGT tiap 4 jam) dan
infus koloid (albumin 5%, 250ml tiap 6-12 jam) untuk
mencegah iskemia serebral tertunda. Pemberian cairan
dititrasi hingga mempertahankan tekanan vena sentral
atau tekanan arteria pulmoner optimal. Drainasi
ventrikuler dilanjutkan untuk mempertahankan TIK kurang
dari 15mmHg dan untuk mengeluarkan hasil hancuran darah.
Pemantauan intensif dipusatkan pada pemeriksaan
neurologis frekuen, pemantauan TIK, dan penilaian atas
vasospasme dengan Doppler transkranial serta dengan
pemeriksaan ADS (CBF). Begitu tanda pertama defisit
neurologis atau adanya gangguan ADS akibat vasospasme,
terapi hipervolemik-hemodilusi-hipertensif (tripel-H)
segera dimulai. Kateter arteria pulmoner (PA) segera
dipasang bila belum terpasang. Bila tindakan ini gagal
memulihkan defisit neurologi atau berkurangnya ADS,
angiografi ulang segera dilakukan. Bila terjadi
vasospasme arterial berat, angioplasti dilatasi dengan
balon harus segera dipertimbangkan. Pemantauan terus
dilanjutkan hingga drainasi ventrikuler tidak lagi
diperlukan dan hingga keadaan neurologis, hasil Doppler
transkranial, dan nilai ADS sudah stabil.
Pasien tetap dirumah sakit hingga hari ke 8-10
sejak perdarahan. Pasien dipulangkan bila secara medis
dan neurologis sudah stabil dan bila Doppler trans-
kranial tidak lagi menunjukkan adanya vasospasme. Bila
spasme masih ada, pasien tetap dirumah sakit hingga
resolusi.
PUNGSI LUMBAR
Pungsi lumbar dilakukan bila diduga suatu PSA. CSS akan
berwarna darah segera setelah perdarahan namun kemudian
sel darah merah menghilang dan warna cairan menjadi
xantokhromik (kuning) karena produk hancuran pigmen
hemoglobin. Pungsi lumbar hanya dilakukan bila hasil CT
scan negatif.
Pungsi lumbar dikontraindikasikan bila diduga
adanya hematom yang ukurannya cukup untuk meninggikan
tekanan intrakranial dimana pengurangan CSS mendadak
akan mempresipitasi terjadinya 'coning'.
Pada tahap ini, diagnosis klinis akan penyebab
perdarahan secara kasar dapat diperkirakan berdasarkan
usia pasien beserta gambaran kliniknya.
1. Pasien berusia dibawah 21 tahun, perdarahan mungkin
akibat suatu malformasi arterio-venosa (AVM) terutama
bila dijumpai tanda-tanda hematoma intraserebral.
2. Pasien usia antara 35 dan 65 tahun, dengan atau
tanpa gambaran hematoma atau hipertensi, mungkin adalah
suatu aneurisma serebral yang ruptur.
3. Pasien berusia diatas 50 tahun dengan riwayat
hipertensi, datang dengan peninggian tekanan darah yang
ekstrem, gangguan kesadaran serta kelainan neurologis
fokal (seperti hemiparesis) lebih sering memiliki
perdarahan intraserebral primer.
Hanya pemeriksaan neuroradiologi seperti angio-
grafi akan memastikan penyebab perdarahan dan karenanya
semua pasien dibawah usia 65 tahun dengan keadaan
klinis memungkinkan, harus dibawa keunit radiologi.
PEMERIKSAAN NEURORADIOLOGIS UNTUK PSA
Tomografi terkomputer (CT Scan)
Hematoma intraserebral tampak sangat jelas dan pada 90%
kasus etiologinya dapat diperkirakan secara tepat
berdasarkan lokasi anatomisnya. Adanya koleksi darah
pada sisterna subarakhnoid didasar otak bisa dideteksi
pada hari-hari pertama setelah perdarahan. CT scan juga
memperlihatkan faktor-faktor komplikasi lain seperti
hidrosefalus dan pada kasus yang jarang terjadi,
perdarahan yang berasal dari tumor yang tak diduga
sebelumnya. Malformasi arterio-venosa mungkin juga
mengandung bercak-bercak kalsium yang dapat disaksikan
pada CT scan dan memperlihatkan penguatan setelah
penyuntikan zat kontras.
Angiografi
Kelainan anatomi yang pasti yang bertanggungjawab atas
perdarahan hanya dapat diketahui dengan angiografi.
Riwayat klinis dan tanda-tanda neurologis serta hasil
CT scan menentukan pembuluh serebral didaerah mana
terjadinya perdarahan, yang mana merupakan daerah yang
pertama-tama diselidiki. Angiografi setelah suatu PSA
mempunyai sedikit risiko tertentu, tergantung keadaan
pasien saat pemeriksaan.
Diagnosis klinis dan radiologis kemudian dapat
dibuat sebagai salah satu dari berikut:
1. Ruptur aneurisma serebral
2. PSA tanpa kelainan vaskuler yang dapat dideteksi
3. Perdarahan dari malformasi arterio-venosa
4. Perdarahan intraserebral primer (hipertensif).
A. ANEURISMA SEREBRAL
Patologi
Arteria intrakranial berbeda dengan dibagian lain tubuh
dimana ia tidak memiliki lamina elastika internal. Juga
selubung otot tidak sempurna pada daerah dimana
percabangan penting terbentuk. Ini keadaan yang normal
yang mempertinggi dugaan bahwa aneurisma akan timbul
didaerah kelemahan kongenital pada dinding arteria.
Lokasi terpenting adalah:
1. Sekitar arteria komunikating anterior
2. Arteria karotid internal pada hubungannya dengan
arteria komunikating posterior atau pada ujungnya
3. Cabang-cabang utama arteria serebral media
4. Sirkulasi posterior pada akhir dari arteria basiler
atau pada asal arteria serebelar posterior inferior
dari arteria vertebral.
Hipertensi sistemik dan ateroma merupakan katalis untuk
terjadinya aneurisma yang bisa sakuler dan dapat pula
multilokuler. Diameter kurang dari 4 mm jarang ruptur,
namun bila ia tumbuh membesar akan berakibat kerusakan
endotelial baik karena arus turbulen didalamnya ataupun
akibat trombus mural, merupakan predisposisi untuk
ruptur. Penyebab yang jarang dari aneurisma serebral
adalah:
1. Endokarditis bakterial subakut (aneurisma mikotik)
2. Cedera penetrating otak
30% pasien dengan perdarahan akibat aneurisma, pada
pemeriksaan menunjukkan aneurisma multipel.
Epidemiologi
Ruptur aneurisma serebral adalah jarang, 5 per 100.000
pertahun. Lebih dari setengahnya adalah hipertensif dan
kebanyakan adalah pada kelompok usia 45-60. Umumnya
predominan pada wanita. Perdarahan dapat terjadi setiap
saat dan tidak perlu tergantung pada keadaan fisik atau
mental yang diperkirakan merubah tekanan intrakranial
atau aliran darah serebral. Karenanya perdarahan dapat
terjadi saat tidur.
Gambaran klinis aneurisma serebral
Kebanyakan pasien tampil dengan PSA seperti dijelaskan
diatas. Pada keadaan yang jarang, aneurisma dapat
membesar mencapai ukuran besar tanpa ruptur dan tampil
dengan epilepsi atau dengan tanda-tanda kompresi lokal
serebral. Pembesaran aneurisma arteria komunikating
posterior mungkin menekan saraf okulomotor. Bila
aneurisma tidak ruptur selama pembesarannya, pasien
tampil dengan palsi saraf ketiga yang nyeri yang timbul
mendadak.
Ruptur aneurisma serebral yang tidak ditindak
12% pasien segera mati setelah perdarahan. Hanya
sekitar 65% pasien dengan aneurisma yang ruptur
mencapai unit neurosurgeri. Tingkat kematian bulan
pertama setelah perdarahan sekitar 60%. Tingkat
kematian akibat perdarahan rekuren pada pasien dengan
kondisi yang layak untuk dilakukannya angiografi, namun
tidak mendapat tindakan bedah bentuk apapun adalah 40%
selama enam minggu pertama sejak perdarahan inisial.
Perdarahan kedua berakibat mortalitas yang lebih
tinggi (70%) dibanding perdarahan pertama. Dari semua
perdarahan kedua yang terjadi pada enam minggu pertama,
setengahnya terjadi dalam dua minggu pertama dan
sisanya diantaranya dengan akhir periode enam minggu.
Risiko perdarahan selanjutnya menurun cepat
setelah enam bulan berikut untuk selanjutnya aneurisma
ruptur yang tanpa tindakan bedah mempunyai risiko
perdarahan sekitar 3.5% pertahun.
Tampak dari gambaran tersebut bahwa bahaya
perdarahan rekuren pada pasien yang hidup setelah
episode inisial dapat dibagi kedalam dua periode. Yang
pertama mulai dari segera setelah perdarahan serta
merupakan risiko tinggi dan berkurang cepat setelah
enam minggu. Setelahnya lebih kecil, namun secara
kumulatif sekitar 25% dari pasien yang hidup perdarahan
ulang terjadi dalam 10 tahun pada pasien yang tidak
ditindak bedah.
KOMPILIKASI NEUROLOGIS PERDARAHAN SUBARAKHNOID
Komplikasi neurologis setelah PSA aneurismal adalah,
berdasar frekuensi dan arti penting relatifnya: vaso-
spasme, perdarahan ulang, hidrosefalus dan peninggian
TIK, dan bangkitan. Vasospasme adalah sebab terpenting
dari outcome yang buruk pada pasien yang datang dalam
keadaan baik.
1. SPASME ARTERIAL (VASOSPASME) DAN ISKEMIA SEREBRAL
Vasospasme (spasme arterial serebral) adalah penyebab
tersering dari morbiditas dan mortalitas pasien yang
datang kerumah-sakit dengan PSA.
Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa vasospasme
berhubungan dengan ketebalan klot periarterial setelah
rupturnya aneurisma. Ternyata terbukti bahwa vasospasme
tidak terjadi segera setelah rupturnya aneurisma, namun
tampil pada hari keempat hingga kesepuluh setelah
perdarahan. Beratnya vasospasme mencapai puncaknya
selama minggu kedua setelah PSA dan berkurang selama
minggu ketiga (Neil Martin, 1993).
Setelah 24-48 jam pasien memperlihatkan perburukan
tingkat kesadaran secara gradual serta adanya tanda-
tanda neurologis fokal. Terjadi peningkatan meningisme
dengan memburuknya nyeri kepala serta kaku kuduk yang
ekstrim.
Angiogram ditingkat ini memperlihatkan konstriksi
segmental arteria serebral ukuran besar dan sedang.
Walau perubahan terutama nyata pada daerah aneurisma,
biasanya tidak terbatas pada daerah tersebut dan
mungkin tampak pada hemisfer seberang. Sirkulasi
serebral menjadi lambat dan diduga bahwa perubahan yang
tampak pada pembuluh yang lebih besar pada angiogram
juga terjadi pada pembuluh intraserebral yang lebih
kecil dengan akibat iskemia fokal. Spasme arterial ini
cenderung menuju perbaikan spontan dengan resolusi
simtomatik pada area tersebut dimana iskemia tidak
cukup parah untuk menimbulkan infarksi.
Penting untuk membedakan temuan angiografik atas
penyempitan arterial (vasospasme angiografik) dan
'vasospasme simtomatik', yang khas dengan perburukan
neurologis akibat dari iskemia serebral. Penyempitan
arterial angiografik terjadi pada 60-70 % pasien bila
dilakukan 10-12 hari setelah PSA. Namun defisit
neurologik iskemik akibat penyempitan arterial terjadi
hanya pada sekitar 30 % pasien.
Vasospasme umumnya mengenai pembuluh utama didasar
otak: arteria karotid interna supraklinoid, arteria
serebral media (MCA), arteria serebral anterior,
arteria vertebral intrakranial, arteria basiler, dan
arteria serebral posterior. Bila PSA meluas kefisura
sylvian dan sisterna insuler, atau bila mengenai fisura
interhemisfer, penyempitan arterial perifer bisa
terjadi.
Zat-zat farmakologis yang bertanggung-jawab atas
spasme belum begitu pasti, walau telah dilakukan
penelitian atas serotonin, siklik AMP, ATP dan
prostaglandin. Keadaan patologis yang diperlukan untuk
terjadinya spasme adalah adanya hematoma pada ruang
subarakhnoid, pembuluh darah yang ruptur dan kerusakan
lokal jaringan otak. Hal ini menggambarkan banyaknya
substansi penyebab vasokonstriksi serebral. Mereka
dapat masuk keCSS hingga berefek baik lokal atau difus.
Vasospasme arteria serebral utama merupakan risiko
yang penting pada pasien dengan PSA. Walau terkadang
vasospasme yang simtomatis adalah reversibel, sekitar
50% mati atau tetap dengan infarksi serebral parah.
Vasospasme tidak pernah terjadi sebelum hari keempat
setelah perdarahan, dengan puncak insidens antara hari
ke 7 dan ke 14 setelah perdarahan, terkadang ditemukan
hingga hari ke 21 setelah PSA.
Pada penelitian, bila tak ada perdarahan yang
tampak pada CT scan inisial, vasospasme berat hampir
tidak pernah terjadi. Bila tampak suatu bekuan darah
subarakhnoid yang tebal, spasme yang berat sangat umum
terjadi.
PREDIKSI ATAS VASOSPASME
Karena vasospasme disebabkan oleh klot darah peri-
arterial, tidak mengherankan bila sejumlah darah sub-
arakhnoid yang tampak pada CT scan inisial adalah
prediktor terkuat akan terjadinya vasospasme. Takemae,
1978, yang pertama memperlihatkan hubungan klot sub-
arakhnoid dengan vasospasme. Fisher, tahun 1980,
mengembangkan sistem gradasi jumlah klot subarakhnoid
yang berguna untuk menentukan kelompok berrisiko paling
tinggi akan vasospasme. Ditemukan bahwa CT scan yang
memperlihatkan klot subarakhnoid yang terlokalisir
berhubungan erat dengan akan terjadinya penyempitan
arterial yang bermakna pada arteri berdekatan. Saat ini
jumlah dan pola darah subarakhnoid yang tampak pada CT
scan inisial adalah merupakan tampilan yang luas
digunakan untuk menduga risiko vasospasme atas pasien.
Kelainan klinis dan radiologis lain juga berhubungan
dengan kejadian vasospasme (keadaan klinis buruk,
hidrosefalus, serta perdarahan intraventrikuler), namun
mungkin hal ini juga menunjukkan perburukan dari
perdarahan inisial.
DIAGNOSIS DAN PEMANTAUAN VASOSPASME
Pengamatan Klinis. Nyeri kepala adalah gejala dini
vasospasme, namun tanda klinis khas adalah terjadinya
perburukan kesadaran secara progresif atau adanya
defisit neurologis fokal dalam beberapa menit atau jam.
Tanda lain seperti demam, takhikardia, dan hipertensi
mungkin timbul, namun karena relatif tidak spesifik,
tanda-tanda ini mempunyai nilai terbatas atas diagnosis
vasospasme.
Karena defisit neurologis yang berhubungan dengan
penyempitan arterial sering tak jelas, perubahan ringan
dari tingkat kesadaran, atau drift pronator yang ringan
atau afasia, pemeriksaan neurologis yang teliti dan
berulang adalah sangat penting. Bila defisit iskemik
oleh vasospasme ditemukan pada tahap ini, tindakan yang
tepat sering menghasilkan resolusi yang sempurna. Bila
tindakan terlambat hingga defisit neurologis berat,
mungkin terjadi infarksi yang irreversibel. Penilaian
laboratorium dan CT scan segera perlu dilakukan untuk
menentukan penyebab sistemik lainnya (hiponatremia,
hipotensi, hipoksia) atau penyebab neurologis lain
(hidrosefalus, perdarahan) atas terjadinya perburukan.
Ultrasonografi Doppler Transkranial. Karena angiografi
bersifat invasif, kegunaannya untuk diagnosis terbatas
dan tidak mungkin digunakan sebagai sarana pemantau.
Doppler yang non invasif dapat memperkirakan derajat
penyempitan arteria. Terdapat tiga buah jendela untuk
menaksir arteria intrakranial utama. Jendela trans-
orbital digunakan mengukur sifon karotid dan arteria
karotid internal supraklinoid. Jendela transtemporal
untuk segmen proksimal arteria serebral anterior dan
media. Jendela suboksipital untuk arteria basiler dan
vertebral.
Perlu diingat bahwa kecepatan aliran yang tinggi
tidak selalu menandakan iskemia serebral yang
berbahaya. Pada beberapa pasien dengan vasospasme
secara angiografi tetap asimtomatik, sebagian pasien
yang dengan Doppler menunjukkan vasospasme tidak
menunjukkan iskemia serebral. Selanjutnya, pengukuran
menunjukkan kecepatan normal, tidak menjamin iskemia
serebral yang berbahaya tidak akan terjadi, karena
spasme mungkin mengenai segmen arterial yang tidak
tercapai oleh pemeriksaan Doppler. Untuk alasan ini,
pengukuran langsung terhadap ADS (CBF) menambah nilai
Doppler dalam memantau pasien dengan PSA.
Pengukuran Aliran Darah Serebral. Untuk mengukur ADS
regional, antaranya dengan bersihan xenon radioaktif
(IV atau inhalasi), CT xenon stabil, SPECT (single
photon emission CT) dan PET (positron emission tomo-
grafi). Semua memungkinkan pengukuran intermiten atas
ADS.
ADS hemisfer normal sekitar 50ml/100gr/min, namun
defisit neurologis tidak terjadi hingga ADS jatuh
dibawah 20-25 ml/100gr/min. Gangguan nyata dari aliran
darah serebral tanpa tanda klinis hipoperfusi serebral
dapat terjadi. Sekali defisit neurologis tampil,
tambahan penurunan ADS yang relatif kecil (dibawah 15-
18ml/100gr/min) mungkin berakibat cedera neuronal yang
irreversibel dan infarksi serebral. Karenanya
pengukuran ADS memungkinkan pelacakan atas berkurangnya
ADS jauh sebelum timbulnya defisit neurologis iskemik.
Pemeriksaan klinis hanya melacak hipoperfusi serebral
bila pasien menampilkan tanda-tanda iskemia (bila ADS
turun secara berbahaya mendekati ambang rangsang
kerusakan otak irreversibel).
PENGELOLAAN VASOSPASME
TINDAKAN PROFILAKTIK
Antagonis Kalsium.
Allen melaporkan bahwa nimodipin menyebabkan terjadinya
pengurangan insidensi cacad berat dan kematian, sedang
Pickard membuktikan terjadinya pengurangan insidensi
infarksi serebral dan outcome yang buruk. Beberapa
penelitian lain membuktikan bahwa nimodipin secara IV
atau sisternal bermanfaat pada pengelolaan PSA karena
aneurisma. Menarik bahwa penyempitan arterial secara
angiografik tidak berkurang oleh antagonis kalsium.
Lebih mungkin bahwa mekanisme aksinya adalah efeknya
terhadap jalur leptomeningeal untuk memperbaiki arus
kolateral, atau proteksi langsung pada sel neuron.
Bukti klinis mendukung penggunaan profilaktik
antagonis kalsium pada pasien dengan aneurisma yang
ruptur. Saat ini nimodipin diberikan pada semua pasien
dengan aneurisma intrakranial yang ruptur dimulai sejak
pasien datang. Dosis yang dianjurkan adalah 60mg tiap 4
jam secara oral (di USA, 1993, hanya tersedia bentuk
oral), dilanjutkan hingga 21 hari. Pada beberapa kasus
nimodipin menyebabkan penurunan tekanan darah sistemik,
dan pada kasus ini dosis dikurangi atau dibagi menjadi
30mg tiap 2 jam. Pada pasien yang tak dapat menelan,
nimodipin diberikan melalui selang nasogastrik (dosis
nimodipin per infus pelajari sendiri).
Ekspansi Volume
ADS menurun secara bertahap selama minggu pertama
setelah PSA dan mencapai titik rendah selama minggu
kedua sebelum naik menuju normal. Selain vasospasme
adalah penyebab primer pengurangan progresif aliran
darah, pengurangan volume darah sirkulasi tampaknya
juga berperan atas efek ini. Maroon dan Nelson
membuktikan pengurangan baik volume darah dan massa sel
darah merah pada pasien PSA. Sebab pengurangan volume
darah sirkulasi diantaranya 'cerebral salt-wasting',
diuresis saat istirahat baring terlentang, penurunan
eritropoiesis, kehilangan darah iatrogenik, atau hiper-
aktifitas simpatetik.
Untuk mengatasi hipervolemia yang mengikuti PSA,
terapi cairan adalah komponen kunci dari tindakan
pencegahan. Koloid, umumnya albumin 5 %, diberikan 250
ml dua hingga tiga kali sehari (pada pasien tanpa
disfungsi kardiak atau edema paru-paru) atau dititrasi
untuk mempertahankan CVP 5-10 torr, atau tekanan baji
kapiler pulmoner 12-15 torr.
Hipervolemik Hemodilusi dan Hipertensi Arterial
(Terapi Tripel-H)
Pengurangan ADS akibat vasospasme serebral bersamaan
dengan gangguan autoregulasi serebral. Dalam lingkungan
fisiologis ini, induksi hipertensi arterial menyebabkan
peninggian ADS. Dibuktikan bahwa hipertensi arterial
memperbaiki defisit neurologis iskemik. Muizelaar,
Becker dan Rosentein membuktikan tindakan hipertensif
akan memperbaiki ADS. Kosnik dan Hunt melaporkan
perbaikan defisit iskemik tunda (delayed) pada pasien
vasospasme yang diinduksi hipertensi arterial yang
dikombinasi dengan vipervolemia. Kassel menganjurkan
ekspansi volume agresif dan induksi hipertensi sangat
agresif (sering tekanan sistolik lebih dari 200mmHg)
dan menemukan perbaikan neurologis pada 74 % pasien.
Hemodilusi saja terbukti menurunkan viskositas
darah dan memperbaiki aliran darah didaerah yang hipo-
perfusi. Hemodilusi hampir selalu didapat dari ekspansi
volume yang agresif memakai infus koloid, dan hanya
beberapa peneliti yang menganjurkan flebotomi untuk
merendahkan hematokrit. Umumnya disepakati bahwa hema-
tokrit optimal untuk menurunkan viskositas darah tanpa
sangat mengurangi kapasitas angkut oksigen dari darah
adalah sekitar 35 %.
Sebagai tindakan pertama pada terapi tripel-H,
tekanan vena sentral atau kateter PA diinsersikan untuk
pemantauan hemodinamik. Ekspansi volume dilakukan
dengan tujuan mendapatkan tekanan vena sentral sekitar
10mmHg, atau tekanan baji arteria pulmoner sekitar
15mmHg. Albumin 5 % adalah cairan terpilih. Infus
koloid umumnya menurunkan hematokrit, dan jarang
memerlukan flebotomi untuk mendapatkan hematokrit
sekitar 35 %. Pada pasien anemik mungkin perlu
menginfuskan packed RBC sebagai komponen pengekspansi
volume untuk mendapatkan hematokrit yang diinginkan.
Tekanan darah sistemik sering meninggi karena ekspansi
volume, dan ini dapat dipacu dengan penghentian agen
antihipertensif. Pada beberapa kasus terapi presor
diperlukan. Dopamin adalah agen yang pertama digunakan,
namun terkadang walau pada dosis besar tak dapat
menghasilkan tekanan darah yang dikehendaki. Dalam hal
ini digunakan fenilefrin. Bila dilakukan bersama dengan
hipervolemia, fenilefrin sangat efektif untuk
menginduksi hipertensi arterial yang nyata. Tekanan
darah sistolik dinaikkan hingga 160 sampai 200mmHg pada
pasien yang aneurismanya telah diklip. Pada beberapa
kasus yang bandel, tekanan darah 220mmHg atau lebih
dapat digunakan. Hipertensi yang berat berbahaya pada
pasien dengan aneurisma yang belum diklip, dan dalam
hal ini batas tertinggi sekitar 170mmHg. Pada tahap
hipervolemia dan hipertensi arterial sistemik ini,
beberapa pasien muda akan mengalami buangan urin yang
tinggi. Pada keadaan ini volume infus koloid diatur
untuk mempertahankan tekanan vena sentral atau tekanan
arteria pulmoner yang diinginkan. Bila buangan urin
sangat tinggi (lebih dari 200-300ml/jam), diuresis
ditekan dengan florinef atau vasopressin (Pitresin).
Bila obat ini ditambahkan, penting untuk memantau
elektrolit serum dan mengamati dengan ketat kemungkinan
terjadinya hiponatremia.
Bisa diduga, komplikasi medikal akan ditimbulkan
oleh terapi tripel-H. Tersering adalah edema pulmoner,
dan pasien harus sering diauskultasi dan sinar-x dada
dilakukan tiap hari. Saturasi oksigen harus diamati
teratur, seperti juga oksimetri denyut. Aritmia kardiak
dan iskemia miokardial jarang terjadi, dan diperlukan
EKG yang sinambung. Kadang-kadang mengherankan, bahwa
edema serebral dan perdarahan serebral jarang menjadi
komplikasi, hampir dipastikan karena spasme arterial
mencegah transmisi tekanan arterial sistemik yang
tinggi kevaskulatur serebral distal. Namun, PSA rekuren
mungkin terjadi pada pasien yang ditindak sebelum
aneurismanya diklip. Untuk mencegah komplikasi ini,
tingkat hipertensi arterial dibatasi pada pasien yang
aneurismanya belum diklip. Ini salah satu alasan bahwa
bedah aneurisma akut atau dini adalah menguntungkan.
Angioplasti
Bahkan dengan hipervolemik, hemodilusi dan hipertensi
arterial yang agresif, sejumlah yang bermakna dari
pasien dengan vasospasme simtomatis mengalami defisit
neurologis permanen. Awad melaporkan sejumlah 40 %
pasien dengan defisit neurologis iskemik akibat
vasospasme gagal membaik dengan terapi hemodinamik
agresif. 16 % pasien terus memburuk walau terapi
maksimal, dan 19 % tetap dengan defisit neurologis
berat atau mati.
Keterbatasan tindakan terapi tripel-H berakibat
ditemukannya modalitas terapi baru untuk vasospame yang
berat dan tidak berreaksi atas obat-obatan. Angioplasti
adalah tehnik endovaskuler dengan memasukkan kateter
balon untuk dilatasi mekanik daerah pembuluh yang
stenosis. Mikrokateter balon berdiameter 2.5-3mm dengan
panjang 12-15mm. Dimasukkan transfemoral dan cukup
lentur untuk diarahkan kearteria utama didasar otak.
Angioplasti diindikasikan untuk pasien dengan
defisit iskemik tunda yang gagal membaik dengan tripel-
H agresif, dan pada CT scan tidak menunjukkan sudah
terjadinya infarksi. Perbaikan terjadi pada 60-70 %
kasus. Tampaknya angioplasti menyebabkan dilatasi
jangka lama segmen arterial yang menyempit. Pemeriksaan
Doppler umumnya tidak menampakkan spasme rekuren.
Intervensi dini adalah faktor menentukan pada
penggunaan angioplasti pada vasospasme. Kebanyakan
kegagalan klinis disebabkan oleh adanya cedera iskemik
irreversibel sebelum tindakan. Tampaknya arteria yang
sempit lebih mudah didilatasikan pada tahap awal
vasospasme. Pada tahap lanjut pembuluh lebih kaku, dan
tekanan dilatasi yang lebih besar diperlukan untuk
mengatasi penyempitan arterial.
Dilaporkan ruptur arterial fatal dan embolisasi
distal akibat kerusakan endotel. Perdarahan intra-
serebral tunda didaerah bersangkutan juga pernah
dilaporkan, mungkin karena reperfusi daerah yang semula
infarksi.
Kesulitan tehnik membatasi kegunaan angioplasti
transluminal hanya untuk arteria serebral basal yang
besar. Arteria serebral anterior proksimal, karena
sering membelok tegak lurus dari arteria karotid
internal, mungkin sulit dikateter dan didilatasi.
Cabang sekunder MCA sering terlalu kecil untuk angio-
plasti, dan cabang distal MCA dan PCA belum bisa
dicapai.
Tindakan endovaskuler yang baru atas vasospasme
arterial mungkin dapat mengobati iskemia yang tak
berreaksi atas obat-obatan akibat penyempitan pembuluh
perifer kecil. Infus dosis besar papaverin intra-
arterial mendilatasi daerah spasme arterial yang parah
pada sejumlah kecil kasus. Infus intra-arterial
vasodilator mungkin bermanfaat untuk cabang arterial
yang tak terjangkau angioplasti balon.
Pengelolaan Vasospasme Terpadu
Dalam mengelola vasospasme setelah ruptur aneurisma,
strategi 'klasik' merupakan standar, terdiri atas
pengelolaan profilaktik dengan nimodipin dan dengan
mempertahankan normovolemia atau hipervolemia moderat,
dilanjutkan dengan hemodilusi hipervolemik dan hiper-
tensi arterial sistemik agresif hanya bila pasien
menunjukkan tanda-tanda klinis dari defisit neurologis
iskemik. (Angioplasti dilakukan pada pasien yang gagal
dengan tindakan medikal). Strategi ini memerlukan
pemantauan neurologis klinis yang sangat ketat dan
kekurangannya adalah terapi agresif hanya dilakukan
bila spasme arterial cukup berat untuk menurunkan ADS
pada titik berbahaya dimana sangat dekat dengan ambang
rangsang untuk infarksi yang permanen, irrevesibel.
Dengan strategi ini, kerusakan neurologis permanen
hanya dapat dicegah bila tindakan agresif dimulai
sangat segera setelah onset defisit. Vasospasme
simtomatis dapat ditindak efektif pada kebanyakan
pasien, namun perbaikan neurologis gagal terjadi pada
25-40 % pasien. Pada pasien dengan defisit akibat
vasospasme serebral, mungkin sulit memastikan apakah
defisit akibat dari iskemia reversibel atau infarksi
irreversibel, dan tindakan agresif mungkin berakibat
komplikasi perdarahan kedalam jaringan yang infark.
Strategi terapi kedua adalah kombinasi nimodipin
dengan hipervolemia moderat, hemodilusi, dan induksi
hipertensi arterial untuk semua pasien, simtomatis atau
tidak. Hasilnya efektif untuk mencegah penurunan
gradual ADS yang umum terjadi setelah PSA. Regimen ini
juga berguna mengurangi (namun tidak menghilangkan)
defisit neurologis iskemik akibat vasospasme.
Tabel 1
Protokol Pengelolaan Vasospasme
(tanpa pemantauan Doppler/ADS) (UCLA, 1993)
-------------------------------------------------------
Defisit Iskemik Tindakan
-------------------------------------------------------
Semua pasien PSA Nimodipin 60mg po/NGT tiap 4 jam
250ml Albumin 5 % IV tiap 6 jam
Dengan defisit Rawat Intensif
Ekspansi volume, hingga PCWP 15mmHg
HT 33-37 %
Hipertensi hingga sistol 170-220
Defisit kebal atas Angioplasti transluminal
tindakan medikal
Defist membaik Penghentian bertahap hipervolemia,
hipertensi
-------------------------------------------------------
PCWP=pulmonary capillary wedge pressure
Tabel 2
Protokol Pengelolaan Vasospasme
(dengan pemantauan Doppler/ADS) (UCLA, 1993)
-------------------------------------------------------
Doppler ADS Defisit Iskemik Tindakan
-------------------------------------------------------
Semua Semua Tak ada Nimodipin 60 po/NGT/4j
pasien pasien Albumin 5%, 250, IV/6j
PSA
>150sm/d Normal Tak ada Monitor klinis ketat
>150sm/d Rendah Tak ada Intensif, hipertensi :
sistol 150-170mmHg
>150sm/d Rendah Ada Intensif,ekspansi vol,
hipertensi : sistol
170-220mmHg
>150sm/d Rendah Ada, Angiopplasti
kebal transluminer
<150sm/d Normal Membaik Penghentian hipertensi
-------------------------------------------------------
Strategi ketiga termasuk tindakan profilaktik semua
pasien setelah PSA dengan nimodipin dan infus koloid
untuk menginduksi hipervolemia moderat. Semua pasien
dipantau serial dengan Doppler transkranial dan
pemeriksaan ADS diranjang untuk melacak terjadinya
vasospasme dan ADS yang rendah sebelum tampilan klinis
disfungsi neurologis iskemik terjadi. Terapi hiper-
volemik agresif serta induksi hipertensi arterial
digunakan hanya apabila tes Doppler dan/atau ADS
menunjukkan gangguan hemodinamik serebral yang
progresif dan bermakna. Pengukuran dikerjakan sebelum
timbulnya iskemia yang simtomatis. Tindakan terapeutik
yang paling agresif (hipertensi arterial yang hebat,
angioplasti) dicadangkan untuk pasien yang klinis
menunjukkan adanya perburukan neurologis. Protokol ini
memiliki beberapa keuntungan penting. Pertama, pasien
yang tidak mengalami vasospasme yang jelas tidak
dihadapkan pada terapi yang diarahkan pada hal hemo-
dinamik yang intensif yang berrisiko dan mahal. Kedua,
terapi dimulai sebelum terjadinya iskemia pada pasien
dengan vasospasme yang jelas, karenanya mencegah pasien
yang berrisiko tinggi ini atas timbulnya perburukan
neurologis. Ketiga, pasien yang berrisiko tinggi atas
iskemia serebral berat dikenal dan karenanya dipantau
dengan ketat. Bila pasien mengalami defisit iskemik, ia
terdeteksi segera, dan tindakan intensif dapat dimulai
sebelum kerusakan irreversibel terjadi.
Selain cara-cara diatas, hal berikut ini pernah
dilakukan atas spasme arterial serebral:
1. Mengurangi tekanan intrakranial. Diberikan steroid
dosis besar dan pada episode perburukan yang akut
diberikan mannitol.
2. Agen vasodilator atau antikonstriktor. Beberapa agen
farmakologis berakibat vasodilatasi temporer, namun
tidak ada yang efektif secara terapeutik. Seperti semua
masalah akibat pengurangan aliran darah, daerah yang
paling rusak akan paling kecil kemungkinannya dijangkau
oleh obat yang bersirkulasi.
3. Tindakan untuk meningkatkan perfusi jaringan.
Dextran dengan berat molekul rendah dapat diberikan dan
bila viskositas meninggi, dapat dikurangi dengan cara
rehidrasi atau kadang-kadang dengan 'venesection'.
Tekanan darah dipertahankan pada tingkat normal karena
perburukan neurologis akan mengikuti episode hipotensi.
Vasospasme dan perdarahan ulang dari aneurisma
adalah penyebab perburukan tersering dalam dua minggu
setelah PSA dan diferensiasi antara keduanya biasanya
tidak sulit. Rupturnya aneurisma lebih mendadak dan
adanya darah segar pada CSS dapat dipastikan dengan
pungsi lumbar. Pada suatu spasme arterial, perjalanan
waktunya kurang begitu akut dan CSS lumbar tidak
memperlihatkan perdarahan baru.
Operasi aneurisma pada saat adanya vasospasme
meninggikan mortalitas dan morbiditas. Pasien harus
menunggu hingga keadaannya membaik dan operasi akan
aman dilakukan.
Perdarahan ulang dari aneurisma adalah risiko
pengancam nyawa yang paling awal pada pasien. Kematian
akibat perdarahan ulang sekitar 50%. Statistik mutakhir
menunjukkan bahwa perdarahan ulang paling sering
terjadi pada 24 jam pertama setelah perdarahan inisial,
dan risiko perlahan-lahan berkurang pada 14 hari
berikutnya. Selama periode ini, 20-30% pasien akan
mengalami perdarahan ulang. Pasien yang hidup 1 bulan
setelah perdarahan mempunyai kemungkinan sekitar 2-3%
perdarahan ulang setiap tahunnya selama sisa hidupnya.
2. PERDARAHAN ULANG
Perdarahan ulang aneurisma tetap merupakan penyebab
terpenting atas kematian dan kecacadan pada pasien yang
hidup setelah perdarahan pertama. Terjadi sekitar 20 %
kasus selama 2 minggu pertama sejak perdarahan inisial
dari aneurisma bila aneurisma tetap tidak ditindak.
Masa dengan risiko tertinggi perdarahan ulang adalah 24
jam pertama setelah perdarahan inisial, dimana risiko
sebesar 4 %. Lalu risiko berkurang hingga 1-2 % sehari.
Mortalitas perdarahan ulang mencapai 70 %. Beberapa
langkah terapi dilakukan untuk mengurangi risiko
perdarahan ulang. Segera setelah pasien datang, penting
untuk menentukan bahwa hipertensi arterial yang berat
harus dicegah. Beberapa kasus memerlukan obat anti-
hipertensif yang diberikan secara hati-hati. Umumnya
digunakan nifedipin untuk hipertensi sedang, dan sodium
nitroprusida untuk hipertensi yang lebih berat atau
yang refraktor. Penting untuk tidak 'overtreat'; otak
yang sudah cedera oleh PSA mungkin rawan akan hipotensi
karena gangguan autoregulasi. Sasaran secara umum
adalah mengurangi tekanan arterial sistolik hingga
kurang dari 150mmHg, walau sedikit lebih tinggi bisa
dianjurkan untuk pasien dengan hipertensi arterial
kronik.
Operasi Segera
Strategi paling efektif untuk mencegah perdarahan ulang
adalah melakukan operasi sesegera mungkin. Namun saat
untuk operasi aneurisma merupakan topik kontroversial
dalam 30 tahun terakhir. Operasi aneurisma dini
mempunyai keuntungan mencegah perdarahan ulang, mungkin
mengurangi beratnya vasospasme dengan membuang klot
periarterial yang tampaknya merupakan penyebab spasme,
dan memungkinkan tindakan medikal terhadap vasospasme
lebih agresif (dengan induksi hipertensi arterial).
Namun peneliti klinik masa lalu menyatakan bahwa
operasi segera berkaitan dengan morbiditas dan
mortalitas yang tinggi karena masalah tehnis, karena
otak yang bengkak dan aneurisma yang baru ruptur adalah
fragil. Operasi tunda (10-14 hari setelah perdarahan)
menguntungkan karena otak kurang bengkak dan mungkin
lebih toleran terhadap manipulasi operasi, berakibat
morbiditas operasi yang lebih rendah. Namun banyak
pasien mati atau menjadi cacad karena efek perdarahan
ulang atau vasospasme serebral yang terjadi saat
menunggu operasi tunda. The International Cooperative
Study on the Timing of Aneurismal Surgery menilai
hubungan interval operasi terhadap outcome. Ditemukan
bahwa outcome operasi dini (0-3 hari sejak perdarahan)
adalah sama dengan operasi tunda (> hari ke 11 sejak
perdarahan). Outcome jelas lebih buruk bila operasi
dilakukan pada interval 4 hingga 10 hari sejak
perdarahan, mungkin karena kenyataan bahwa periode ini
adalah paling berrisiko atas iskemik serebral karena
vasospasme. Kenyataan bahwa operasi segera tidak
menunjukkan manfaat yang jelas dibanding operasi tunda
agak tidak disetujui. Tampaknya walau perdarahan ulang
(sebagai penyebab utama outcome yang buruk) berkurang
pada kelompok operasi segera, morbiditas dan mortalitas
akibat vasospasme mengkompensasi faktor ini. Tampak
pada banyak pasien terutama derajat III dan IV, adalah
berrisiko tinggi baik atas perdarahan ulang maupun
vasospasme. Disaat operasi segera mungkin mencegah
pasien dari perdarahan ulang, mereka kemudian menyerah
pada efek vasospasme. Penelitian ini dilakukan awal
1980, sebelum penggunaan yang luas dari nimodipin,
sebelum penyempurnaan terapi tripel-H, dan sebelum
pengenalan angioplasti. Dapat diharapkan bahwa
penggunaan tindakan atas vasospasme dikombinasi dengan
operasi segera untuk mencegah perdarahan ulang,
berakibat perbaikan outcome keseluruhan yang lebih baik
pada PSA.
Terapi Antifibrinolitik
Digunakan pada pasien dengan aneurisma intrakranial
yang ruptur sejak lebih dari 20 tahun. Asam epsilon
aminokaproat (EACA, AMICAR) umumnya digunakan. Dipakai
untuk menahan disolusi klot fibrin yang menyumbat
robekan pada aneurisma, karenanya mengurangi risiko
perdarahan ulang pada pasien yang direncanakan operasi
tunda. Obat ini mengurangi kejadian perdarahan ulang,
namun efeknya sebanding dengan penambahan risiko akan
timbulnya iskemia serebral fokal. Penelitian terakhir
menunjukkan bahwa penggunaan antifibrinolitik tidak
berakibat perbaikan outcome klinis secara keseluruhan.
Karenanya pemakaiannya berkurang dramatis pada dekade
terakhir, disaat mana pelaksanaan operasi segera
meningkat. Karenanya pemakaian dilakukan hati-hati dan
hanya pada pasien yang diyakini bukan kandidat untuk
operasi segera. Pasien yang mendapat terapi ini harus
dipantau ketat akan terjadinya iskemia serebral, dan
dihentikan bila tanda-tanda vasospasme simtomatis
muncul.
Bila EACA digunakan, dosis loading inisial adalah
48gr melalui infus IV setiap hari selama dua hari,
diikuti 36gr sehari hingga aneurisma telah dioperasi.
Pemberian dihentikan dulu 6 jam sebelum tindakan
operasi atau angiografi.
Oklusi Aneurisma Endovaskuler
Berkembangnya tehnik endovaskuler memberi pilihan untuk
tindakan terhadap aneurisma intrakranial yang ruptur
pada pasien yang, karena keadaan neurologis atau medis
yang buruk, bukan merupakan kandidat untuk operasi
segera. Tehnik yang paling menjanjikan saat ini adalah
penempatan dan pelepasan elektrolit dari koil platinum
halus pada kantung aneurisma. Cara ini digunakan dengan
berhasil sejak 1990. Tehnik ini terbukti bermanfaat,
terutama untuk pasien dengan gangguan medis berat (
edema paru-paru neurogenik, iskemia miokardial) atau
vasospasme berat. Pemasangan klip secara elektif akan
lebih ditolerasi dan berhasil karena pasien telah
mengalami pemulihan.
3. HIDROSEFALUS
Masuknya darah keruang subarakhnoid akibat perdarahan
dibawa oleh CSS ketempat absorbsi, villi arakhnoid
sepanjang sinus sagital. Mereka menjadi tersumbat oleh
sel darah merah hingga menyebabkan gangguan absorbsi
serta pembesaran ventrikel akibat tekanan balik. Ini
jarang menimbulkan masalah serius namun bila diduga
menghambat perbaikan pasien, pungsi lumbar serial harus
dilakukan hingga keadaan tersebut membaik.
Riwayat pernah terjadinya PSA adalah faktor
yang penting dalam menentukan penyebab hidrosefalus
komunikating kronis pada penderita dengan riwayat
dementia, inkontinensia urine dan ataksia langkah.
Pasien dengan hidrosefalus komunikating dengan riwayat
etiologi yang jelas paling sering mendapatkan hasil
yang baik setelah tindakan pintas (shunting).
Bahkan pada pasien yang pernah membaik setelah PSA
dan berhasil dalam pemasangan klip pada aneurismanya,
mungkin memburuk beberapa minggu atau bulan berikutnya.
Sering pasien dengan konfusi, letargi, atau kehilangan
ambisi. Dalam keadaan ini, hidrosefalus yang timbulnya
belakangan sering bertanggung-jawab. Hidrosefalus
timbul sekunder akibat darah pada ruang subarakhnoid
mengganggu absorpsi CSS oleh granulasi arakhnoid.
Hidrosefalus terjadi pada sekitar 20 % pasien PSA.
Heros membagi hidrosefalus pasca PSA kedalam tiga pola
[akuta, subakuta, dan tunda (late)]. Hidrosefalus akuta
tampak pada CT scan saat masuk, umumnya pada pasien
derajat parah dan sering bersamaan dengan perdarahan
intraventrikuler. Bila keadaan ini bersamaan dengan
depresi yang nyata dari tingkat kesadaran atau dengan
perburukan neurologis berat, diindikasikan drainasi
ventrikuler segera. Bila terdapat pengisian sistema
ventrikuler oleh darah, ventrikulostomi bilateral
sering diperlukan. Drainase CSS secara cepat harus
dicegah, karena perubahan TIK mendadak bisa memacu
pecahnya aneurisma. Umumnya tekanan ventrikuler tidak
diturunkan kurang dari 15sm H2O. Bila drainasi
diperlukan lebih dari 5-7 hari, kateter ventrikulostomi
harus dilepas serta dipindahkan untuk mengurangi
kolonisasi bakteri dan inveksi ventrikuler. Pintas
ventrikuloperitoneal diperlukan pada perawatan TIK
kronik. Pemasangan pintas permanen ditunda hingga CSS
sudah jernih dari darah yang dapat menyumbat pintas.
Hidrosefalus subakuta adalah temuan yang umum
pasca PSA dan umumnya timbul selama minggu pertama.
Jenis ini biasanya hidrosefalus komunikating, dan pada
banyak kasus tidak berkaitan dengan perburukan
neurologis yang nyata. Tindakan terhadap ventri-
kulomegali jenis ini dicadangkan untuk pasien yang
menunjukkan gangguan neurologis progresif. Hidrosefalus
jenis ini sering membaik tanpa pintas permanen. CT scan
serial dilakukan untuk memastikan pembesaran
ventrikuler tidak terjadi.
Hidrosefalus tunda tampil beberapa minggu atau
bulan setelah perdarahan inisial dan sering bersamaan
dengan sindroma klinis hidrosefalus tekanan normal.
Ataksia langkah, diikuti demensia dan pada beberapa
kasus inkontinensia, adalah gejala klasik. Keadaan ini
berreaksi baik terhadap pintas ventrikuler.
4. EPILEPSI
Perdarahan dapat menyebabkan serangan epilepsi GM dan
hal ini kadang-kadang membingungkan diagnosis inisial.
Epilepsi yang timbul kemudian lebih sering berkaitan
dengan hematoma dilobus temporal akibat rupturnya
aneurisma arteria serebral media.
Bangkitan yang berhubungan dengan PSA terjadi pada
10-25 % kasus. Terapi antikonvulsan karenanya penting
pada tahap akut untuk mencegah timbulnya bangkitan dan
hipertensi arterial yang sering terjadi bersamaan.
Umumnya digunakan fenitoin (Dilantin) dengan dosis
pembebanan (loading) sekitar 1000mg (18mg/kg pada
dewasa) diikuti dosis pemeliharaan sekitar 300-400mg
perhari (dosis diatur sesuai kadar dan aktifitas
bangkitan). Fenobarbital bisa menggantikan fenitoin
bila diinginkan pasien dengan efek sedatif. Bila tidak
terjadi bangkitan, tidak jelas berapa lama terapi
antikonvulsan diberikan setelah perbaikan dari PSA.
Biasanya untuk 3-6 bulan dan diturunkan dosisnya
secara berangsur pada pasien yang tak pernah mengalami
bangkitan.
5. KOMPLIKASI MEDIS DARI PSA
Sebagai tambahan atas komplikasi neurologis pasca PSA
yang sudah diketahui dengan baik, beberapa masalah
medis mungkin terjadi dan mengakibatlan morbiditas
serius dan bahkan kematian. Yang tersering adalah
aritmia dan iskemia kardiak, edema paru-paru, pneumonia
dan sindroma distres pernafasan pada dewasa (ARDS),
anemia, perdarahan gastrointestinal, sekresi hormon
antidiuretik tidak memadai (SIADH). Hal tersebut harus
didiagnosis dini dan ditindak agresif.
Tabel 3
Komplikasi Medis PSA Aneurismal (Kassell)
-------------------------------------------------------
Kardiovaskuler
Hipertensi
Aritmia
Hipotensi
Gagal Kardiak
Tromboflebitis
Infark Miokard
Angina
Pulmoner
Pneumonia
Atelektasis
ARDS
Edema Pulmoner
Asma
Embolisma Pulmoner
Lain-lain
Anemia
Perdarahan Gastrointestinal
SIADH
Diabetes Mellitus
Gagal Hepatik
Gagal Renal
Hepatitis
-------------------------------------------------------
a. Komplikasi Kardiak
PSA sering bersamaan dengan aritmia kardiak yang
transien serta gambaran EKG abnormal terjadi pada 60-
100 % pasien PSA. Kelainan EKG umumnya tampak pada 48
jam pertama setelah PSA termasuk depresi gelombang Q
dan depresi atau elevasi segmen ST serta inversi
gelombang T, pemanjangan interval QT, gelombang U
menonjol, dan kelainan irama, kelainan mana menyerupai
infarksi miokardial. Ini disebabkan kerusakan langsung
pusat regulasi otonom pada hipotalamus dan batang otak
atau sekunder atas pelepasan katekolamin pada saat
perdarahan.
Aritmia tersering adalah takhikardia supra-
ventrikuler, fluter atau fibrilasi supraventrikuler,
kontraksi atrial dan ventrikuler prematur. Iskemia
miokardial, terutama perdarahan dan nekrosis subendo-
kardial, terjadi pada 1 % kasus. Kebanyakan aritmia
pada pasien tidak berhubungan dengan iskemia mio-
kardial. Insidensi yang tinggi dari kelainan kardiak,
seperti disebut diatas, dikira berhubungan dengan
stimulasi simpatetik neurogenik dan humoral yang
berlebihan pasca PSA. Iskemia miokardial juga mungkin
sekunder atas terapi tripel-H dan terjadi pada 2 %
pasien.
Bloker beta-adrenergic (propranolol) akan efektif
mengatasi aritmia ini dan juga mencegah lesi subendo-
kardial. Flutter atau fibrilasi ventrikuler ditindak
dengan defibrilasi dan obat anti aritmik.
b. Komplikasi Pulmoner
Edema pulmoner neurogenik kadang-kadang dijumpai dan
lebih sering pada kasus yang fatal. Sindroma ini
berkaitan dengan stimulasi simpatetik berlebihan,
sekunder terhadap peninggian TIK. Tekanan dan aliran
yang tinggi pada vaskulatur pulmoner, sekunder
terhadap pelepasan simpatetik menyebabkan kerusakan
endotelium dan mengakibatkan perubahan permeabilitas.
Dekompensasi kardiak jarang menyebabkan edema pulmoner
setelah PSA. Cairan edema pada edema pulmoner neuro-
genik mengandung protein lebih tinggi dibanding edema
pulmoner kardiogenik. Tindakan ditujukan kepada
perbaikan oksigenisasi sistemik dengan intubasi dan
ventilasi mekanik dengan PEEP. Diperlukan kontrol TIK
dengan diuretik, mannitol, dan drainasi CSS.
Edema pulmoner juga terjadi sekunder terhadap
terapi tripel-H dan terjadi pada sekitar 17 % kasus.
Komplikasi iatrogenik ini sekunder terhadap beban lebih
volume dan dapat dicegah dengan kontrol dan pengamatan
ketat atas ekspansi volume.
Trombosis vena dalam terjadi pada 2 % pasien
setelah ruptur aneurisma, dan pada 1 % pasien akan
mengalami embolus pulmoner. Pada pasien yang mengalami
komplikasi ini selama masa prabedah atau segera pasca
bedah, dilakukan tindakan pemasangan filter vena cava.
Pencegahan trombosis vena dalam umumnya dianjurkan
seperti latihan pasif, stoking bertekanan elastis dan
intermiten, mobilisasi segera, dan (pada pasien
berrisiko tinggi) heparin dosis rendah.
c. Komplikasi Gastrointestinal
Perdarahan gastrointestinal sekunder terhadap ulserasi
stres terjadi pada 4 % pasien pasca PSA. Peninggian
insidens dijumpai pada kasus koma dan fatal.
Hipersekresi asam dan gastrin yang umum tampak pada
pasien dengan peninggian TIK berkaitan dengan rusaknya
pertahanan mukosa lambung, hingga pasien mempunyai
predisposisi akan terjadinya ulkus esofagus, lambung,
atau duodenum dengan peninggian risiko perforasi (ulkus
Cushing). Tindakan terdiri dari intubasi nasogastrik
dengan pengisap, lavasi salin, penggantian cairan, dan
transfusi. Terapi antasid dan H2 antagonis diberikan.
Bila perdarahan tak terkontrol berlanjut, gastrektomi
parsial dengan vagotomi diindikasikan. Pencegahan
dengan antasid dan antagonis H2 umumnya digunakan pada
semua pasien PSA.
d. Gangguan biokimia
1. Kelainan paling sering adalah penurunan konsentrasi
sodium serum yang dapat terjadi setelah ruptur
aneurisma arteria komunikating anterior yang terletak
dekat hipotalamus. Penurunan ringan dapat diatasi
dengan restriksi cairan, namun selama masa kehilangan
garam yang parah perlu memberikan masukan sodium
klorida melalui oral.
Hiponatremia terjadi pada sekitar 4 % pasien
setelah ruptur aneurisma. Adanya peninggian ADH (SIADH)
bersama dengan berlanjutnya masukan cairan dapat
menyebabkan ekspansi volume cairan ekstraseluler dan
hiponatremia. Hiponatremia dapat juga lebih karena
natriuresis dari pada SIADH, sindroma mana dikenal
sebagai 'cerebral salt wasting'. Baik SIADH maupun CSW
tampil dengan hiponatremia dan penurunan osmolalitas
serum, namun hiponatremia pada CSW bersamaan dengan
pengurangan volume darah, dimana hiponatremia pada
SIADH adalah karena efek dilusi sekunder terhadap
retensi air bebas. Kebanyakan pasien dengan hipo-
natremia pasca PSA adalah kekurangan cairan,
menunjukkan bahwa CSW adalah penyebab primer dari
hiponatremia pasien tersebut. Gejala pada masing-masing
sindroma berhubungan dengan derajat hiponatremia, dan
termasuk anoreksia, mual, muntah, iritabilitas,
letargi, kelainan neurologis, bangkitan dan koma.
Pasien dengan SIADH ditindak dengan restriksi
cairan dan, bila terjadi hiponatremia berat (< 115mmol/
L), infus salin 3 % bersama dengan restriksi cairan.
Pasien dengan CSW memerlukan penggantian sodium dan
cairan.
2. Peninggian gula darah transien serta adanya gula
pada urine terjadi setelah PSA. Kelainan ini biasanya
sementara dan tidak memerlukan tindakan. Ini akibat
kombinasi dua faktor. Pertama, adanya penurunan ambang
rangsang ginjal atas glukosa dan kedua, peninggian
glukosa darah disebabkan pelepasan katekolamin yang
menyertai PSA.
PENGOBATAN ANEURISMA SEREBRAL YANG PECAH
1. Tindakan medikal dan perawatan umum selama perbaikan
dari perdarahan.
2. Pencegahan perdarahan berikutnya.
3. Membuang hematoma intraserebral yang simtomatis.
Tindakan umum:
1. Istirahat baring dilingkungan tenang.
2. Analgesik untuk nyeri kepala.
3. Anti-emetik untuk muntah.
4. Koreksi terhadap gangguan biokimia.
5. Tindakan terhadap komplikasi seperti vasospasme dan
peninggian TIK.
Tindakan medikal:
Setelah ruptur, lubang pada dinding aneurisma cepat
tersumbat platelet dan fibrin, namun CSS mengandung
fibrinolisin yang aktivitasnya akan meningkat setelah
perdarahan. Agen-agen antifibrinolitik sistemik bisa
diberikan pada pasien setelah PSA untuk mencoba
mencegah lisisnya sumbat fibrin yang berarti mencegah
perdarahan selanjutnya dari aneurisma. Asam traneksamat
dan asam epsilon amino kaproat (EACA) diberikan
intravena atau oral untuk sedikit tapi nyata mengurangi
insidensi perdarahan. Bentuk tindakan medikal ini
memperkecil risiko saat menunda operasi hingga kondisi
pasien membaik hingga ketitik dimana risiko operasi
dapat dipertanggung-jawabkan.
Namun demikian, penelitian terakhir menunjukkan
bahwa walau obat ini mungkin mengurangi perdarahan
ulang (hal ini belum terbukti dengan jelas), ia akan
secara jelas meninggikan insidens komplikasi iskemik
setelah PSA. Seluruh jenis antifibrinolitik gagal
memperlihatkan manfaatnya dalam mengurangi morbiditas
akibat PSA aneurismal.
'Calcium channel blockers' digunakan untuk
mencegah vasospasme serebral pasca PSA. Sebuah
penelitian memperlihatkan manfaatnya dalam mencegah
iskemia setelah PSA, bahkan walau vasospasme yang
tampak pada angiogram tidak berkurang. Namun beberapa
penelitian lain gagal memperlihatkan manfaatnya dalam
mencegah maupun menghilangkan vasospasme, serta suatu
penelitian terakhir atas pasien yang dioperasi dini
disertai pengobatan Nimodipine memperlihatkan tidak
adanya pengurangan insidens komplikasi iskemik pada
pasien. Saat ini manfaat obat ini tak dapat didukung
lagi.
Ekspansi volume untuk tindakan simtomatis pasien
dengan defisit iskemik yang timbul belakangan setelah
PSA memperlihatkan beberapa manfaat. Penelitian
menunjukkan bahwa pasien pasca PSA dengan iskemia yang
timbul belakangan mempunyai volume darah sirkulasi yang
berkurang. Tampaknya masuk akal bahwa ekspansi volume
darah akan memperbaiki sirkulasi kardiak melalui bed
vaskuler yang vasospastik yang mana telah kehilangan
autoregulasi normalnya. Banyak penelitian klinis telah
memperlihatkan manfaat bentuk terapi ini.
Pada kebanyakan pasien, kateter vena sentral
mutlak diperlukan, walau monitoring Swan-Ganz mungkin
diperlukan pada pasien dengan cadangan kardiaknya
marginal. Hematokrit umumnya dipertahankan dibawah 30
dan tekanan vena sentral dinaikkan hingga sekitar 12
mmH2O dengan kristaloid, koloid, atau produk darah
tergantung keadaan klinis. Bila pasien sebelumnya telah
mendapatkan pemasangan klip terhadap aneurismanya,
hipertensi dapat dilakukan dengan dopamin atau agen
sejenis bila ekspansi volume saja tidak menunjukkan
perbaikan klinis.
Tindakan bedah:
Bila semua pasien dengan aneurisma yang ruptur
dioperasi segera setelah diagnosis dipastikan dengan
angiografi, risiko perdarahan berikutnya dapat ditekan
hingga nol. Sayangnya, risiko operasi berhubungan
langsung dengan keadaan pasien yang biasanya buruk pada
hari-hari segera setelah perdarahan. Saat melakukan
operasi menghadapkan operator akan suatu dilema.
Operasi segera | | Operasi tunda
Tak ada perdarahan ulang | VS | Risiko lebih rendah
Risiko lebih tinggi | | Perdarahan ulang >
Kebijaksanaan berikut dipakai bila pasien dengan
PSA diduga karena aneurisma serebral yang ruptur datang
keunit neurosurgeri.
1. Pasien dengan 'good risk' layak untuk operasi segera
bila aneurismanya sudah dideteksi. Angiografi karenanya
dilakukan sesegera mungkin !!
2. Pasien dengan 'poor risk', obtundan atau koma
setelah perdarahan, mula-mula dikelola konservatif.
Antifibrinolitik diberikan bersama dengan steroid dan
manitol untuk mengurangi tekanan intrakranial bila
diduga meninggi. Banyak pasien adalah hipertensif namun
usaha yang berlebihan untuk menurunkan tekanan darah
pada tahap ini bisa memperburuk keadaan neurologis
karena aliran darah serebralnya berkurang. Tindakan ini
dilanjutkan hingga keadaan membaik, dengan harapan
tidak terjadi perdarahan ulang dari aneurisma. Bila
perbaikan cukup untuk dilakukannya operasi dengan aman,
angiografi dibuat mendahului operasi.
Operasi terhadap aneurisma yang ruptur:
Pada era pramikroskop, ligasi arteria karotid leher
yang lazim dilakukan. Demikian pula cara penyelubungan
aneurisma seperti dengan muslin katun. Namun saat ini
cara tersebut tidak lagi dapat dipertahankan. Saat ini
ada dua pendekatan yang dianut:
1. Kraniotomi segera serta tindakan ligasi dengan klip
terhadap aneurisma, atau:
2. Tindakan konservatif selama 10 - 14 hari sebelum
kraniotomi untuk tindakan pemasangan klip.
Operasi segera akan memberi keuntungan mencegah
perdarahan ulang dari aneurisma dan karenanya
mengurangi penyebab utama morbiditas dan mortalitas.
Namun operasi dini tampaknya tidak memperlihatkan
pengaruh atas terjadinya iskemia serebral yang terjadi
kemudian dikarenakan vasospasme. Hambatan utama operasi
aneurisma segera adalah bahwa operasi secara teknis
lebih sulit dibanding operasi tunda. Otak lebih tegang,
lebih sulit diretraksi, dan karenanya lebih mudah untuk
tercederai.
Operasi tunda dapat dilakukan dengan morbiditas
yang sangat rendah, karena semua kandidat operasi jenis
ini sudah melewati periode kritis akibat vasospasme
serebral, dan operasi ini secara teknis lebih mudah
dibanding operasi segera. Namun pasien berada dalam
risiko perdarahan ulang disaat menunggu operasi.
Tampaknya terbukti bahwa morbiditas dan mortalitas
dari kedua cara ini adalah sama.
Angiografi pasca bedah sangat penting pada
aneurisma raksasa, terutama bila hanya leher aneurisma
yang tampak saat operasi dan fundus aneurisma belum
dieksisi. Kegagalan mempelajari angiografi ini akan
menyebabkan pasien tetap dalam risiko karena aneurisma
mungkin diklip tidak sempurna, pembuluh penting mungkin
terjepit, atau pasien mungkin juga mempunyai spasme
asimtomatis yang parah.
Membuang hematoma intraserebral:
Hematoma intraserebral dengan ukuran cukup besar untuk
dapat menimbulkan tanda-tanda neurologis fokal yang
diperkirakan tidak mungkin mengalami penyerapan spontan
memerlukan operasi evakuasi yang dikombinasikan dengan
operasi terhadap aneurismanya sendiri.
RANGKUMAN
Perawatan pasien PSA diarahkan pada tindakan pencegahan
atau tindakan segera terhadap sekuele yang sering
terjadi pada kelainan ini : vasospasme, perdarahan
ulang, hidrosefalus, bangkitan, dan masalah medis yang
bersangkutan.
Perluasan PSA pada CT scan dapat mengetahui pasien
dengan risiko terbesar untuk terjadinya vasospasme, dan
semua pasien harus diamati ketat dengan pemeriksaan
neurologis serial, Doppler transkranial, pemeriksaan
ADS. Obat penghambat kanal kalsium dan ekspansi volume
(koloid) dianjurkan untuk pencegahan pada semua pasien.
Terapi hipertensif, hemodilusi dan hipervolemik agresif
(termasuk pemasangan kateter PA) diindikasikan untuk
vasospasme simtomatik. Angioplasti transluminal
digunakan untuk vasospasme yang kebal terhadap tindakan
tersebut.
Frekuensi perdarahan ulang dapat ditekan dengan
operasi dini, terapi antifibrinolitik (untuk minggu
pertama setelah PSA), dan oklusi aneurismal endo-
vaskuler. Hidrosefalus dapat terjadi akut, subakut,
atau beberapa minggu atau bulan pasca PSA dan ditindak
secara efektif dengan diversi CSS secara eksternal
(hidrosefalus akuta) atau internal. Bangkitan, yang
dapat menyebabkan peninggian hipertensi arterial,
kebutuhan metabolik serebral yang tinggi, dan cedera
neurologis tunda, harus dicegah dengan antikonvulsan.
Integrasi tepat waktu dari tehnik ini, dengan
tambahan penemuan dan tindakan yang dini atas
komplikasi kardiak dan pulmoner yang berkaitan, akan
memperbaiki outcome pasien dengan PSA aneurismal.
B. PSA DENGAN ETIOLOGI TIDAK DIKETAHUI
14% kasus PSA primer dengan pemeriksaan neuroradiologis
lengkap tidak mempunyai kelainan vaskuler sebagai
sumber perdarahan. Pada keadaan yang jarang, didapatkan
kelainan pembekuan darah hingga harus selalu ditanyakan
riwayat memar atau perdarahan tanpa sebab, serta
dilakukan pemeriksaan skrining pembekuan rutin.
Kemungkinan paling besar pasien ini mengalami
ruptur dari aneurisma kecil yang pada saat perdarahan
segera mengalami trombosis atau hancur sama sekali.
Risiko vasospasme serebral kecil dan perdarahan ulang
jarang. Tindakannya dengan istirahat baring hingga
melewati periode meningisme dan lalu dimobilisasi
keaktivitas normal secara bertahap.
C. MALFORMASI ARTERIO-VENOSA (AVM)
AVM adalah anomali kongenital yang terjadi pada otak
dan menings sekitarnya serta bertanggung-jawab atas
perdarahan, epilepsi dan migren. Seperti malformasi
dilain tempat, ia mungkin mengandung komponen cabang
vaskuler, arteria, kapiler serta vena. Namun yang
bertanggung-jawab atas perdarahan biasanya elemen
kapiler atau vena.
Riwayat sebenarnya dari AVM belum diketahui benar,
namun gambaran klinis dan perjalanannya sangat
dipengaruhi usia pasien. AVM diduga sebagai suatu lesi
kongenital walau ia jarang tampil pada dekade pertama
kehidupan. Bila ia muncul pada usia dini, gagal
jantung, hidrosefalus dan epilepsi adalah tampilan yang
paling sering. AVM yang simtomatis umumnya terjadi pada
usia dekade ketiga dan keempat dengan kebanyakan pasien
menderita nyeri kepala, perdarahan, epilepsi atau
defisit neurologis sebagai akibat adanya AVM. Risiko
yang paling serius yaitu perdarahan, terjadi 2-3% pada
kelompok usia ini. Pasien dengan perdarahan memiliki
mortalitas 10% saat kejadian dan selanjutnya 6% pada
tahun pertama setelah perdarahan. Setelah masa ini,
diperkirakan sepertiga pasien tetap baik, 28% dengan
cacad ringan, 29% cacad, dan 10% mati karena AVMnya.
Pada pasien yang simtomatis usia pertengahan, tingkat
kematian 1-2% pertahun dan tingkat kesakitan 3-4%
pertahun. Selama dekade kelima dan setelahnya, risiko
perdarahan dan morbiditas menurun dibanding dekade
pertengahan dan mungkin menunjukkan adanya keseimbangan
antara AVM dan otak sekitarnya dicapai pada kelompok
usia yang lebih tua.
PATOLOGI
Malformasi vaskuler umumnya dibagi 4 kelompok, masing-
masing dengan patologi, riwayat, dan pengelolaan yang
berbeda. Berdasarkan frekuensi, dibagi:
1. Malformasi vena
2. Telangiektasis
3. Malformasi arterio-venosa
4. Malformasi kavernosa,
dimana hanya dua terakhir yang memerlukan intervensi
bedah saraf.
Malformasi vena adalah kelainan vena yang terpisah
dari vena otak normal dan biasa terletak pada substansi
putih sebelah dalam dengan konfigurasi radial pada fase
vena angiografi. Ia tidak memiliki input arterial dan
jarang menimbulkan gejala klinis seperti perdarahan
atau trombosis. Reseksi bedah bisa berakibat infarksi
venosa daerah otak sekitarnya dan karenanya jarang
diindikasikan.
Telangiektasis adalah kelompok pembuluh menyerupai
kapiler yang paling sering dijumpai pada pons. Tidak
tampak pada CT scan atau angiografi dan biasanya
dijumpai pada pemeriksaan postmortem.
Malformasi jenis kavernosa terdiri dari kelompok
pembuluh jenis sunusoid yang terkumpul padat tanpa
mengintervensi jaringan otak. Makroskopis seperti
'mulberry' dan sering mengalami kalsifikasi. Lesi
sering terjadi pada substansi putih subkortikal lobus
frontal dan temporal namun bisa dimana saja termasuk di
kord spinal dan batang otak. Kelainan ini dapat dan
akan mengalami perdarahan dan jarang tampak pada
angiogram karena arteria pencatunya sangat halus. MRI
dan CT scan sangat berguna dalam menentukan diagnosis
dan bisa dijumpai kalsifikasi, darah yang mengalir dan
perdarahan. Eksisi bedah dilakukan baik untuk diagnosis
maupun mencegah perdarahan selanjutnya.
AVM adalah kumpulan arteria dan vena abnormal yang
saling berhubungan tanpa adanya bed kapiler dan sering
mengandung parenkhim neuronal didalamnya. Pembuluhnya
secara patologi sangat abnormal, mungkin menebal,
mengalami hialinisasi atau mengandung kalsium. Aliran
darah melalui kelainan ini sangat kuat hingga
mengalihkan atau meng 'steal' catu darah dari otak
sekitarnya dengan akibat defisit neurologis. Sering
dijumpai pada saat operasi atas perdarahan yang klinis
tenang adanya suatu AVM, dan otak sekitarnya mungkin
gliotik atau terkalsifikasi. Intervensi bedah serta
radiologis sering diperlukan untuk mencegah perdarahan
ulang dari lesi ini.
Sekitar 6% AVM adalah multipel dan 8% bersamaan
dengan aneurisma, biasanya terletak pada pembuluh
pencatu AVM.
AVM yang secara angiografi okulta atau kriptik
mungkin menyerupai gejala tumor primer atau metastatik,
atau perdarahan hipertensif. Hanya operasi yang dapat
memastikan diagnosis lesi yang tak tampak sebagai AVM
pada angiogram (jarang terjadi) dan biasanya didapatkan
sebagai malformasi kavernosa saat operasi.
Malformasi vena Galen tampil pada neonatus dengan
bruit kranial, hidrosefalus, dan kardiomegali. Fistula
arterio-venosa dengan aliran kuat ini dapat berakibat
gagal jantung bila tidak ditindak segera.
Vasospasme jarang pada AVM. AVM biasanya berbentuk
piramidal dengan dasarnya pada korteks dan titik
puncaknya kearah ventrikel. 90% dari AVM adalah
supratentorial dan 10% infra tentorial. Adanya bruit
kranial sangat mendukung malformasi, namun sangat
jarang terdengar.
Adanya lesi kulit vaskuler kutanosa mungkin
menunjukkan adanya anomali vaskular seperti yang tampak
pada sindroma Sturge-Weber. Pada keadaan ini warna
'port wine' dijumpai pada distribusi kulit saraf
trigeminal dan berhubungan dengan adanya malformasi
kortikal yang berakibat hemiparesis, kejang berulang,
dan retardasi mental.
9% PSA dan 1% strok berhubungan dengan AVM
serebral. Adanya PSA singel atau multipel dengan
angiografi serebral negatif mungkin menandakan adanya
AVM kord spinal. Lesi ini hanya sepersepuluh AVM yang
terjadi pada serebral dan mungkin terjadi pada
substansi kord sendiri atau diluar dari kord.
Autoregulasi pada sistema vaskuler serebral
sekitar AVM mungkin terganggu setelah reseksi AVM. Ini
mungkin menimbulkan ketidakmampuan pembuluh serebral
mengatasi aliran yang meningkat pada otak disekitar AVM
yang direseksi dan mungkin berakibat perdarahan atau
peninggian tekanan intrakranial pasca bedah.
Malformasi vena serta variks vena (vena yang
berdilatasi) jarang tampil sebagai lesi simtomatis dan
reseksi bedah biasanya menimbulkan komplikasi infarksi
venosa.
Perdarahan serebelar pada pasien dibawah 40 tahun
biasanya sekunder karena perdarahan AVM atau tumor.
Bruit kranial kadang-kadang diakibatkan oleh AVM
dura sekitarnya dan bukan dari korteks. Malformasi
dural jarang dan mungkin juga tampil dengan perdarahan
dan terkadang dengan demensia. Tindakannya eksisi bedah
dari duramater, embolisasi, dan observasi, tergantung
ukuran, lokasi dan gejala malformasi dura.
TAMPILAN AVM SEREBRAL
1. Perdarahan.
AVM serebral tampil paling sering dengan perdarahan
yang biasanya terjadi sebelum usia 30. Perdarahan pada
jaringan otak serta kemudian ke CSS. Hematoma
intraserebral tak selalu cukup besar untuk menimbulkan
kelainan neurologis fokal. Tampilan klinis karenanya
mungkin tidak berbeda dengan aneurisma serebral yang
ruptur, dan adanya angioma diperkirakan dari kelompok
usia yang muda dan bila tidak ada riwayat yang
mendahului (mungkin epilepsi), sangat mungkin diduga
suatu angioma. Pemeriksaan inisial karenanya serupa
dengan kasus PSA.
2. Sindroma 'steal'.
AVM yang mengandung kelainan pembuluh darah, memiliki
daerah dengan tahanan vaskuler yang lebih rendah. Ini
mempertinggi aliran darah daerah tersebut sedangkan
otak normal sekitarnya kekurangan aliran. Arteri
pencatu AVM membesar untuk mengatasi peningkatan aliran
dan mungkin dengan pembesaran ukuran lesi sendiri
karena penambahan volume darah. Ini menjelaskan tanda-
tanda neurologis fokal yang diakibatkan AVM bahkan pada
tiadanya ruptur karena otak sekitarnya menjadi relatif
berperfusi rendah. Penjelasan lain adalah tekanan vena
sekitar yang tinggi karena AVM bertanggung-jawab atas
kegagalan perfusi yang adekuat pada otak didekatnya.
3. Epilepsi.
AVM serebral dapat menyebabkan serangan epilepsi fokal
atau umum.
4. Migren.
Migren adalah keadaan yang umum sedangkan diagnosis AVM
serebral adalah jarang, hingga sulit menghubungkan
keduanya. Namun tampaknya peningkatan insidens migren
berhubungan dengan angioma yang terutama bila mengenai
daerah parietal dan oksipital otak.
PEMERIKSAAN NEURORADIOLOGIS
1. Foto polos tengkorak.
Positif bila pembuluh abnormal pada AVM mengalami
kalsifikasi.
2. Sken otak isotop.
AVM besar diperlihatkan sebagai daerah peninggian
konsentrasi isotop yang terkadang mencapai konsentrasi
seperti meningioma dan abses.
3. Tomografi terkomputer.
Kalsium pada AVM biasanya terlalu sedikit untuk dapat
tampak pada foto polos, namun akan jelas pada CT scan.
Pada keadaan dimana belum terjadi perdarahan, AVM
tampak sebagai daerah bercak densitas rendah dan tinggi
yang dipertegas oleh pemberian zat kontras. Bila
perdarahan telah terjadi, hematoma akan jelas pada
kebanyakan kasus hingga menyulitkan untuk melacak
perubahan yang ringan pada AVM.
4. Angiografi.
Tampilan AVM mudah tampak:
a. Arteria pencatu terisi cepat dan mempunyai kaliber
yang lebih besar dari biasanya.
b. AVM sendiri terisi pada fase arterial awal dan jelas
tampak sebagai massa pembuluh yang berkelok-kelok.
c. Vena pengalir ukurannya abnormal dan mulai terisi
segera saat sirkulasi serebral pada fase arterial.
d. Bila ada hematoma, tampak pergeseran pembuluh darah
normal sesuai dengan ukuran klot. Pembuluh berbentuk
serpigin tampak sekitar daerah perdarahan.
TINDAKAN
Disamping evakuasi yang perlu untuk menghilangkan
kompresi serebral, tindakan yang sangat penting adalah
mencegah perdarahan selanjutnya. Risiko perdarahan dari
AVM yang belum ruptur belum begitu pasti namun berdasar
insidens perdarahan, pencegahan harus diprioritaskan
pada anak-anak dan dewasa muda. Kebanyakan AVM
didiagnosis setelah ruptur, dan insidens perdarahan
berikutnya sudah diketahui dan sekitar 25% pasien
diharap akan mendapat serangan berikutnya dalam empat
tahun setelah serangan pertama. Skala waktunya berbeda
dengan aneurisma, risiko kumulatifnya lebih bertahap
dibanding dengan kemungkinan risiko yang tinggi pada
periode inisial.
1. Operasi reseksi.
Tindakan yang paling memuaskan dari AVM serebral adalah
eksisi bedah secara lengkap, namun operasi ini agak
sulit karena vaskularitasnya dan bila ada yang tersisa
tetap akan merupakan sumber perdarahan kemudian hari.
Ligasi arteria pencatu saja tanpa disertai eksisi
AVM menyebabkan reduksi temporer pada sirkulasi
patologis. Namun keberadaan AVM sebagai daerah dengan
tahanan vaskuler rendah memungkinkan kanal baru menjadi
terbuka dan dalam waktu singkat vaskularisasinya akan
seperti semula dan mengancam pasien seperti sebelumnya.
2. Embolisasi intravaskuler.
Saat ini mungkin untuk memasukkan kateter kecil dalam
kontrol radiologi kearteria pencatu AVM. Berbagai
material digunakan sebagai emboli kecil yang dimasukkan
melalui kateter ke AVM, dengan harapan menyebabkan
trombosis, misalnya pelet silastik, balon atau jenis
bukrilat. Teknik ini akan memungkinkan untuk segera
mengurangi tampilanlan AVM secara angiografis hingga
menyebabkan sebagian besar darinya menjadi aman untuk
dioperasi. Tindakan embolisasi semata tidak mencegah
perdarahan selanjutnya.
3. Kombinasi dua hal diatas.
4. Radioterapi, iradiasi 'proton beam'.
Dulu dipercaya bahwa radioterapi terhadap AVM, terutama
pada fossa posterior menyebabkan vaskulitis dan
trombosis lokal. Namun hal ini sudah dilupakan dan
tampaknya radioterapi yang efektif hanya mungkin
didapat dengan unit yang mempunyai kemampuan sinar yang
tipis, voltase tinggi dan berkemampuan stereotaktis.
5. Terapi konservatif tanpa intervensi apapun.
Faktor-faktor penting dalam menentukan tindakan operasi
AVM antaranya usia pasien, tampilan klinis perdarahan,
terjangkaunya lesi secara bedah, dan derajat kesulitan
yang diperkirakan dalam usaha mereseksi lesi. Lesi
besar dan sulit dijangkau sebaiknya dilakukan tindakan
bertahap dimulai dengan embolisasi dan kemudian operasi.
D. SINDROMA STURGE-WEBER
Anomali vaskuler yang jarang, dimana malformasi vena
yang luas menutupi satu atau kedua hemisfer dan
berhubungan dengan nevus kutan atau 'port wine stain'
pada distribusi saraf trigeminal. Keadaan ini biasanya
didiagnosa pada usia anak dimana ia bertanggung-jawab
atas defisit neurologis fokal, epilepsi dan retardasi
mental. Sering dapat didiagnosis pada radiograf polos
sebagai korteks serebral abnormal dengan bercak-bercak
deposit kalsium yang jelas.