ILMU BEDAH SARAF


Dr. Syaiful Saanin, Neurosurgeon.
saanin@padang.wasantara.net.id
Ka. SMF Bedah Saraf RSUP. M. Jamil/FK-UNAND Padang.

Cari dalam ejaan/bahasa Indonesia di situs ini :
Search term:
Case-sensitive - yes
exact fuzzy

5. CEDERA CORD SPINAL
** Pendahuluan
A. Cedera Spinal dan Kord Servikal
B. Pengelolaan Ketidakstabilan
C. Tulang Belakang Toraks dan Lumbar
 
KEMBALI KEHALAMAN UTAMA
       CEDERA SPINAL DAN KORD SERVIKAL
        
        Cedera  tulang  belakang  servikal  secara  tradisional 
        dibagi  atas  fraktura dan  dislokasi  tulang  belakang 
        servikal  atas  serta  bawah.  Cedera  tulang  belakang 
        servikal  atas  adalah  fraktura  atau  dislokasi  yang 
        mengenai  basis oksiput hingga C2. Cedera  tingkat  ini 
        jarang pada dewasa, merupakan kurang dari 25%  fraktura 
        dan dislokasi pada tulang belakang servikal. Pada anak-
        anak, kebanyakan cedera tulang belakang servikal adalah 
        terjadi pada tingkat atas.
             Cedera  tulang  belakang servikal  bawah  termasuk 
        fraktura  dan dislokasi ruas tulang belakang C3  hingga 
        C7.  Ruas  tulang  belakang C5  adalah  yang  tersering 
        mengalami fraktura. Cedera pada tulang belakang tingkat 
        bawah lebih sering berkaitan dengan cedera kord spinal, 
        mungkin  karena rasio daerah potongan  melintang  kanal 
        spinal  terhadap  kord spinal lebih kecil  pada  tulang 
        belakang servikal bawah dibanding atas.
             Karena anatomi dan catu vaskuler kord spinal  yang 
        unik,  berbagai sindroma tidak lengkap  dapat  dijumpai 
        pada  cedera kord spinal servikal. Pada  sindroma  ini, 
        fungsi  sensori  dan  motor  tertentu  terganggu   atau 
        hilang, namun lainnya tetap utuh.
        
        1. Sindroma kord sentral paling sering dijumpai setelah 
        suatu  cedera  hiperekstensi  servikal.  Karena   sebab 
        tertentu seperti keadaan mekanik dan catu vaskuler dari 
        kord,  bagian  sentral dapat  mengalami  kontusi  walau 
        bagian lateral hanya mengalami cedera ringan.
             Khas pasien mengeluh disestesi rasa terbakar  yang 
        berat  pada  lengan, mungkin karena  kerusakan  serabut 
        spinotalamik,   mungkin  saat  ia  menyilang   komisura 
        anterior.   Pemeriksaan  fisik  menunjukkan   kelemahan 
        lengan,  dengan  utuhnya  kekuatan  ekstremitas  bawah. 
        Sebagai  tambahan, sensasi nyeri dan suhu hilang  dalam 
        distribusi seperti tanjung. Semua lesi yang menyebabkan 
        cedera  primer  terhadap  kord  spinal  sentral   dapat 
        menimbulkan  gambaran defisit serupa, seperti  siringo-
        mielia,  tomor kord spinal intrinsik, dan  hidromielia. 
        Sindroma  ini  secara jarang dapat  terjadi  pada  kord 
        spinal bawah (konus medularis).
        2. Sindroma  arteria  spinal  anterior  terjadi  karena 
        arteria  ini mencatu substansi kelabu dan putih  bagian 
        ventrolateral dan posterolateral kord spinal. Kerusakan 
        arteria  ini  berakibat sindroma klinis  paralisis  bi-
        lateral dan hilangnya sensasi nyeri serta suhu  dibawah 
        tingkat  cedera,  namun  sensasi  posisi  dan   vibrasi 
        (fungsi  kolom posterior) utuh. Lesi arteria  ini  bisa 
        karena cedera tulang belakang, neoplasma yang  terletak 
        anterior (biasanya metastasis)  dan cedera aortik.
        3. Sindroma  Brown-Sequard,  pada  bentuk  yang  murni, 
        menunjukkan akibat dari hemiseksi kord spinal.  Defisit 
        neurologis  berupa hilangnya fungsi motor  ipsilateral, 
        sensasi  vibrasi dan posisi. Sebagai tambahan,  sensasi 
        nyeri serta suhu kontralateral hilang. Luka tembus  dan 
        peluru   dapat   menimbulkan   sindroma   Brown-Sequard 
        'lengkap',  namun manifestasi tak lengkap sindroma  ini 
        tampak  dengan berbagai ragam pada lesi lain,  termasuk 
        trauma dan neoplasma.
        4. Sindroma   kolom   posterior  terjadi   bila   kolom 
        posterior  rusak secara selektif,  berakibat  hilangnya 
        sensasi  vibrasi  dan proprioseptif  bilateral  dibawah 
        lesi.  Temuan ini tersering dijumpai sekunder  terhadap 
        kelainan  sistemik (neurosifilis), namun secara  jarang 
        dijumpai setelah trauma kord spinal.
        
             Sasaran  utama  pengelolaan  gawat  darurat   awal 
        pada  pasien  dengan  fraktura  dan  dislokasi   tulang 
        belakang  leher adalah untuk mencegah  cedera  sekunder 
        terhadap  kord  spinal maupun akar saraf.  Ini  penting 
        bahkan  pada  pasien  yang  sudah  mengalami  transeksi 
        fungsional  kord spinal seketika pada tingkat fraktura. 
        Utuhnya  bahkan hanya sebuah segmen kord spinal  diatas 
        tingkat  cedera  dapat membuat  perbedaan  yang  sangat 
        besar  dalam  rehabilitasi jangka panjang  pada  pasien 
        dengan cedera kord spinal permanen.
             Immobilisasi leher saat resusitasi atau  penilaian 
        medikal  awal sangat menentukan. Ini sering  terabaikan 
        pada  pasien pada keadaan akut dengan  cedera  berganda 
        dan  fungsi vital yang tak stabil. Petugas medis  gawat 
        darurat terlatih untuk melakukan immobilisasi  terhadap 
        pasien  yang mengalami cedera tersangka. Kantung  pasir 
        atau  kolar  servikal  kaku  adalah  jenis  yang  biasa 
        digunakan petugas sejak tempat kecelakaan. Apapun jenis 
        immobilisasi  yang  dilakukan, ia  tetap  dipertahankan 
        ditempatnya  hingga  tulang belakang  servikal  dinilai 
        dengan radiograf lateral. Bila fraktura tulang belakang 
        servikal  dijumpai,  stabilitas  fraktura   ditentukan. 
        Semua  pasien dengan fraktura tulang belakang  servikal 
        yang  diperkirakan tak stabil harus  segera  diletakkan 
        dalam fiksasi skeletal eksternal dan traksi dengan ring 
        halo  atau  kaliper (tong).  Beban  traksi  bervariasi, 
        namun  umumnya  ditentukan  sekitar 3-5  pon  per  ruas 
        tulang  belakang  servikal.  Jadi  sebesar  15-25   pon 
        digunakan  untuk fraktura C5 tak stabil.  Bila  sinar-x 
        ulang  menunjukkan reduksi tak lengkap dari  pergeseran 
        fraktura atau subluksasi, maka beban tambahan diberikan 
        hingga  fraktura-dislokasi berkurang (maksimum 5kg  per 
        tingkat  diatas  segmen yang cedera).  Pada  kebanyakan 
        fraktura-dislokasi tulang belakang servikal akan  dapat 
        diimmobilisasi  dan  direduksi dengan  efektif  memakai 
        fiksasi skelet eksternal dan traksi.
             Manipulasi leher berlebihan juga berakibat  cedera 
        kord spinal permanen disaat resusitasi awal pada pasien 
        cedera. Walau mempertahankan jalan nafas adalah  vital, 
        ekstensi yang berlebihan leher disaat intubasi  sebelum 
        fraktura servikal dipastikan harus dicegah. Bila  jalan 
        nafas  artifisial  diperlukan  sebelum  film   servikal 
        dibuat,  maka dilakukan krikotiroidotomi atau  intubasi 
        nasal. Namun intubasi bukan kontra indikasi pada pasien 
        dengan fraktura tulang belakang servikal asal dilakukan 
        oleh petugas yang berpengalaman, sebaiknya seorang ahli 
        anestesi terlatih.
             Pegangan  penting atas ada serta  beratnya  cedera 
        tulang   belakang  servikal  adalah   pelebaran   ruang 
        jaringan lunak prevertebral. Cedera dan ketidakstabilan 
        nyata mungkin tampil dengan tanpa kelainan tulang  yang 
        jelas  pada foto polos. Pada keadaan ini  bukti  cedera 
        hanyalah  pelebaran  ruang retrofaringeal  atau  retro-
        trakheal.
             Ruangan  retro faringeal membentang  dari  pinggir 
        posterior  bayangan  udara faringeal ke  aspek  antero-
        inferior  dari  aksis. Pengukuran melebihi  6-7mm  pada 
        anak  dan dewasa adalah abnormal.  Ruang  retrotrakheal 
        ditentukan  oleh  ruangan jaringan lunak  antara  batas 
        posterior  bayangan  udara  trakheal  keaspek   antero-
        inferior badan ruas tulang belakang C6. Walau ruang ini 
        bervariasi menurut usia dan pernafasan, pengukuran yang 
        melebihi  14mm  pada anak dan 22mm pada  dewasa  adalah 
        abnormal,  cedera tulang belakang leher  yang  bermakna 
        harus diduga.
             Penting  untuk  menampilkan  seluruh  ruas  tulang 
        belakang  servikal pada foto lateral pada  pasien  yang 
        mengalami trauma yang jelas. Sering foto pertama  tidak 
        memadai  menampilkan C7 karena bertumpuk  dengan  bahu. 
        Kerusakan  kord  spinal  irreversibel  secara  sekunder 
        dapat  diakibatkan  oleh manipulasi leher  pada  pasien 
        dengan fraktura atau dislokasi C7 tak stabil disaat  C7 
        tak tampak pada foto pertama.
             Ada  beberapa  indikasi  untuk  pemasangan  traksi 
        leher  pada  pengelolaan awal  cedera  tulang  belakang 
        servikal:
          1. Immobilisasi tulang belakang servikal pada pasien 
             dengan fraktura tak stabil.
          2. Reduksi dislokasi atau subluksasi.
          3. Distraksi  foramina  intervertebral  pada  pasien 
             dengan kompresi radikuler.
          4. Mengurangi nyeri yang diakibatkan cedera jaringan 
             lunak bersangkutan.
             Terdapat  dua indikasi yang jelas  untuk  tindakan 
        operasi  gawat  darurat  atas  fraktura  dan  dislokasi 
        tulang belakang servikal:
          1. Defisit neurologis progresif.
          2. Adanya cedera kord spinal tak lengkap.
        Pada  keadaan  tersebut operasi  hanya  dilakukan  bila 
        terdapat  kompresi  ekstrinsik atas  kord  spinal  yang 
        tampak pada mielografi. Intervensi bedah gawat  darurat 
        untuk stabilisasi atau reduksi jarang diperlukan karena 
        biasanya dapat dicapai dengan traksi skelet.
             Walau  dilaporkan perbaikan neurologis nyata  pada 
        pasien  dengan  kehilangan  fungsi  neurologis  lengkap 
        dibawah tingkat cedera yang mendapat operasi dekompresi 
        dalam  24  jam setelah cedera, umumnya  tidak  diyakini 
        bahwa intervensi bedah emergensi selalu diperlukan pada 
        pasien  yang menampakkan kehilangan  fungsi  neurologis 
        segera  dan lengkap dibawah tingkat fraktura pada  saat 
        kecelakaan.
        
        
        A. DISLOKASI ATLANTO-OKSIPITAL (DAO)
        
        Ditemukan lebih banyak dibanding masa-masa  sebelumnya, 
        karena  membaiknya resusitasi ditempat  kecelakaan  dan 
        cepatnya transportasi ke UGD.
        
        
        MEKANISME CEDERA
        Biasa  mengenai penumpang mobil atau pejalan kaki  yang 
        mengalami kecelakaan lalu lintas.
             Sendi  kranioservikal  terdiri dari  dua  kelompok 
        ligamen  yang  terpisah. Tengkorak  melekat  dengan  C1 
        melalui  ligamen kapsul sendi, ligamen  membran  kapsul 
        sendi  AO  anterior dan posterior, dan dua  ligamen  AO 
        lateral. Ligamen krusiat (berstruktur longitudinal yang 
        berhubungan dengan ligamen transvers atlas)  memberikan 
        stabilitas tambahan pada sendi ini. Harus diingat bahwa  
        kelompok  kedua  yang berjalan dari oksiput  menuju  C2 
        memberikan  struktur  penyokong yang utama  pada  sendi 
        kranioservikal  ini. Pada ligamen ini, dimana  termasuk 
        ligamen  dental  apikal, pasangan  ligamen  alar  serta 
        membran tektorial, juga membatasi gerakan ekstrim  pada 
        sendi kraniovertebral. Terutama, hiperekstensi dibatasi 
        oleh membran tektorial dan fleksi lateral oleh  ligamen 
        alar  (fleksi  berlebihan dibatasi oleh  kontak  proses 
        odontoid dengan basion).
             Walau  dislokasi kranium kedepan  terhadap  tulang 
        belakang  servikal terjadi setelah  pemotongan  ligamen 
        alar  serta  membran tektorial, DAO  traumatika mungkin 
        mencakup cedera ligamen yang lebih luas.  Hiperekstensi 
        akan menyebabkan robeknya membran tektorial, dan cedera 
        ligamen  alar disebabkan oleh komponen  fleksi  lateral 
        yang  ekstrim. Terpisahnya elemen posterior  aksis  dan 
        atlas,  mungkin  diakibatkan oleh  hiperfleksi,  tampak 
        pada beberapa pasien.
             DAO tampaknya mempunyai insidens yang tinggi  pada 
        kelompok  pediatrik yang mungkin ada  kaitannya  dengan 
        insidens  yang  relatif tinggi akan  kecelakaan  mobil-
        pedestrian,  dengan immaturitas sendi  kraniovertebral, 
        atau  keduanya. Hubungan kranioservikal secara  keselu- 
        ruhan,  pada  anak tampaknya  kurang  stabil  dibanding 
        dewasa karena dua faktor. Pada anak-anak dataran  sendi 
        diantara   kranium  dengan  atlas  hampir   horizontal. 
        Perkembangan kondilus oksipital terjadi bersama  dengan 
        maturasi  yang akan memungkinkan  sendi  kranioservikal 
        berfungsi lebih stabil pada bidang yang lebih vertikal. 
        Selanjutnya kondilus oksipital pada bayi dan anak tidak 
        terletak  lebih  dalam terhadap  fossa  faset  superior 
        atlas.  Dengan maturasi, massa kondiler  bertambah  dan 
        fossa dari faset superior C1 berkembang lebih  lengkap, 
        dengan akibat persendian yang lebih stabil.
        
        
        GAMBARAN KLINIS
        Disfungsi  neurologis  akibat DAO bisa  dibagi  kedalam 
        lesi  yang  mengenai batang otak, saraf  kranial,  kord 
        spinal atas, dan akar saraf spinal. Banyak pasien  yang 
        disertai  cedera  kepala  hingga  memperrumit  gambaran 
        neurologis.
             Cedera  batang otak walau sering pada  DAO,  tidak 
        selalu  tampil lengkap. Postur deserebrasi atau  adanya  
        kehilangan  fungsi batang otak lengkap mungkin  tampak, 
        walau  sulit untuk memastikan apakah seluruhnya  akibat 
        DAO pada pasien yang disertai cedera kepala.  Kerusakan 
        piramidal  diskreta mungkin mengakibatkan  paraparesis. 
        Ketidakstabilan  kardiopulmoner berakibat  bradikardia, 
        respirasi  yang  irreguler,  atau  bahkan  apnea  dapat 
        terjadi setelah kerusakan batang otak. Kerusakan batang 
        otak  berat  paling mungkin sebagai  penyebab  kematian 
        yang tinggi.
             Dislokasi kranioservikal mungkin berakibat  avulsi 
        atau  peregangan  saraf kranial  bawah.  Saraf  kranial 
        keenam, sembilan hingga duabelas, adalah yang  terutama 
        berrisiko.  Etiologi sebenarnya disfungsi saraf  keenam 
        sulit  dipastikan  pada  pasien  yang  disertai  cedera 
        kepala.  Hipertensi  berat mungkin  timbul  bila  kedua 
        sinus karotid mengalami denervasi setelah cedera  saraf 
        kesembilan.
             Gangguan fungsi kord spinal atas berakibat kuadri-
        plegia, walaupun hemiparesis lebih sering terjadi  pada 
        pasien dengan DAO (setiap disfungsi motori mungkin juga 
        menunjukkan cedera batang otak).
             DAO  traumatika mungkin juga disertai cedera  akar 
        servikal. Cedera unilateral multipel pada akar servikal 
        bisa menyerupai lesi pleksus brakhial.
             Sebagai  tambahan atas kerusakan neural  langsung, 
        cedera  arteria vertebral mungkin menyebabkan   iskemia 
        atau disfungsi neural. DAO berhubungan dengan kompresi, 
        robekan intimal, spasme, dan trombosis pembuluh ini.
             Beberapa  pasien  dengan DAO bisa  dengan  defisit 
        yang timbul tidak sejak awal. Ini mungkin karena trauma 
        tambahan  terhadap  sistema  saraf  (sekunder  terhadap 
        pergerakan  pada tulang belakang yang tak stabil)  atau 
        terhadap  masalah  lain seperti iskemia  akibat  emboli 
        atau  trombosis pembuluh yang rusak. Pasien DAO  sering 
        dengan  cedera  berganda dan  karenanya  harus  dinilai 
        secara  lengkap  atas  cedera  lainnya. 
        
        
        GAMBARAN RADIOLOGIS
        Diagnosis  definitif  DAO  dibuat  berdasar  radiograf. 
        Walau  temuan  mungkin  tidak  jelas,  adanya  hematoma 
        retrofaringeal, yang tak selalu ada, harus mewaspadakan 
        pemeriksa akan cedera tulang belakang serius.
             Diagnosis  DAO mungkin dipastikan oleh  satu  dari 
        beberapa kriteria radiografik. Powers telah  menentukan 
        bahwa hubungan antara basis tengkorak dan C1 ditentukan 
        oleh rasio panjang dua buah garis. Garis pertama adalah 
        jarak antara basion dengan arkus posterior C1, dan yang 
        lainnya adalah jarak antara opistion dan arkus anterior 
        atlas. Rasio rata-rata garis I dan garis II pada  orang 
        normal adalah 0.77. Nilai yang lebih dari satu  mungkin 
        menunjukkan  DAO.  Rasio ini tak  dipengaruhi  dimensi, 
        karenanya  tidak  dipengaruhi pembesaran  yang  mungkin 
        terjadi pada posisi film yang tidak baku. Rasio ini tak 
        berlaku  pada pasien dengan anomali kongenital  foramen 
        magnum atau fraktura arkus neural atlas. Rasio  mungkin 
        kurang  dari  satu pada pasien  DAO  longitudinal  atau 
        posterior.
             Lee  menilai hubungan kraniovertebral dengan  cara 
        pasangan  garis (garis-x): sebuah dari  basion  ketitik 
        tengah  garis C2 spinolaminer (BC2Sl) dan lainnya  dari 
        opistion  ke  sudut posteroinferior dens  (C2O).  Garis 
        BC2Sl  memotong tangensial aspek  posterosuperior  dens 
        dan garis C2O memotong tangensial titik tertinggi garis 
        C1  spinolaminer pada pasien normal yang berusia  lebih 
        dari 5 tahun. Hubungan ini berubah pada DAO.
             Metoda  garis-x mungkin lebih sensitif dari  rasio 
        Powers. Validitasnya tergantung hubungan normal C1  dan 
        C2, dan pada lebih dari 50% pasien dengan DAO, terdapat 
        pemisahan abnormal dari elemen posterior C1 dan C2.
             DAO  mungkin  pula  didiagnosa  dengan  menentukan 
        pertambahan jarak dari lokasi paling posterior  korteks 
        mandibuler  terhadap  arkus  anterior  C1  serta proses 
        odontoid. Posisi radiografik yang tepat, dengan film 72 
        sm, diperlukan untuk mendapatkan pengukuran yang  benar 
        dan  hal ini tidak selalu tersedia di UGD.  Metoda  ini 
        tidak  bernilai pada DAO posterior, karenanya  fraktura 
        mandibuler yang tergeser dapat membatalkan pengukuran.
             Kaufman menyelidiki jarak dari kondilus  oksipital 
        ke faset superior C1 pada anak dan mendapatkan jaraknya 
        tidak  lebih dari 5mm. Diperkirakan bahwa  bila  setiap 
        pergeseran  lebih dari 5mm menunjukkan DAO.  Pengukuran 
        ini  mungkin didapat dari foto AP ataupun lateral,  dan 
        tampaknya  terutama  berguna  dalam  menentukan  adanya 
        dislokasi  longitudinal. Jarak ini belum  dinilai  pada 
        orang dewasa.
             Terdapat  tiga  jenis spesifik DAO:  DAO jenis  I 
        terdiri  dari pergeseran anterior oksiput terhadap  C1, 
        jenis  II adalah distraksi longitudinal  primer  dengan 
        separasi  oksiput  dari atlas, dan DAO jenis  III  bila 
        oksiput dislokasi keposterior dari C1.
        
        
        PENGELOLAAN DAN OUTCOME
        Semua korban kecelakaan, terutama dengan cedera  kepala 
        dan leher, harus diduga mengalami DAO. Pengelolaan awal 
        adalah  mempertahankan ventilasi adekuat dengan  tulang 
        belakang  servikal diimmobilisasi pada  posisi  netral. 
        Intubasi nasotrakheal harus dilakukan pada pasien  yang 
        memerlukan  perlindungan  jalan  nafas  atau  menderita 
        distress  pernafasan. Bila gagal atau  sulit,  trakheo-
        stomi harus segera dilakukan.
             Terdapat  kontroversi  akan keamanan  dan  manfaat 
        traksi  pada  tahap awal pengelolaan pasien.  Walau ada 
        dugaan  struktur  neural akan  terganggu  oleh  traksi, 
        hingga  saat ini hal ini tak pernah  dilaporkan  dengan 
        jelas.  Pembagian DAO menjadi tiga jenis berguna  untuk 
        membimbing  terapi  awal. Pasien dengan DAO  jenis  II, 
        masalah primer adalah distraksi longitudinal, karenanya 
        traksi  mungkin akan menyebabkan distraksi lebih  jauh, 
        karenanya dikontraindikasikan. Namun pada pasien dengan 
        DAO jenis I (anterior) dan III (posterior) dan  defisit 
        neurologis, traksi  diindikasikan  untuk  mengembalikan 
        struktur tulang dan untuk mendekompresi elemen  neural. 
        Resolusi  yang  cepat  dari  defisit  neurologis  major 
        didapatkan  untuk pasien jenis I dan III yang  ditindak 
        dengan cara ini.
             DAO jenis I atau III yang berdiri  sendiri-sendiri 
        tidak mutlak merupakan suatu keharusan untuk pemasangan 
        traksi.  Bila malalignmentnya hanya  minimal,  dan/atau 
        defisit ringan, mungkin realignment bisa dipertanggung-
        jawabkan  dengan  pengaturan  posisi  secara  hati-hati 
        dengan  bantuan  fluoroskopi. Hanya pada  keadaan  mis-
        alignment  yang  parah atau defisit  neurologis  major, 
        traksi bisa dipertimbangkan.
             Tindakan dengan traksi harus hati-hati, beban  2.5 
        kg  atau kurang. Beban yang berlebihan  harus  dicegah, 
        pengamatan ketat radiologis dan neurologis  diperlukan. 
        Setelah adanya perbaikan dari defisit atau  realignment 
        radiografik dari tulang belakang, traksi bisa dikurangi 
        hingga  0.5-1kg,  atau bahkan dihentikan  serta  pasien 
        diimmobilisasi.
             Setiap  traksi dengan beban ringan tersebut  harus 
        dilakukan dengan alat halter servikal. Perhatian khusus 
        diarahkan  pada pemeliharaan jalan nafas yang  adekuat. 
        Traksi  bisa juga dengan tong Gardner-Wells  atau  ring 
        halo. Anak memerlukan pertimbangan khusus. Setelah usia 
        4  tahun  (dan  mungkin sejak dua  tahun)  sudah  cukup 
        perkembangan kalvaria yang aman untuk pemasangan  tong. 
        Bila  jarak  interpin minimal dari  tong  Gardner-Wells 
        sangat  besar untuk memungkinkan fiksasi  adekuat  dari 
        tengkorak yang masih kecil, tong University of Virginia 
        mungkin  merupakan alternatif. Alat halo  mungkin  juga 
        dipertimbangkan.  Pin  halo  harus  dipuntirkan  dengan 
        torsi  2kg pada pasien 2-4 tahun. Pada anak  dibawah  2 
        tahun,  kawat  yang  dipasang  melalui  2  lubang  burr 
        mungkin  digunakan untuk traksi. Teknik ini  memerlukan 
        pengamanan  kulit  dengan  meletakkan  bantalan  antara 
        kawat dan kulit. Walau beberapa pasien berhasil  dengan 
        baik  dengan tindakan traksi serta  immobilisasi  lama, 
        sisanya tetap tidak stabil dan memerlukan fusi terbuka. 
        Cedera  yang primer pada ligamen, seperti  DAO,  sering 
        tetap tak stabil setelah terapi konservatif,  karenanya 
        dianjurkan  sebagai  tindakan  definitifnya adalah fusi 
        posterior  sesegera keadaan medikal memungkinkan.  Fusi 
        dari oksiput hingga C1 dan C2 (terkadang C3) diperlukan 
        walau  nyatanya  hal ini mungkin  mengurangi  mobilitas 
        tulang  belakang  servikal sekitar  50%.  Disukai  fusi 
        dengan  fiksasi  kawat dan  tandur  tulang.  Penggunaan 
        kawat  dan metil metakrilat adalah  metoda  alternatif, 
        dan walau teknik ini memerlukan pemasangan benda asing, 
        fiksasi internal dapat segera dilakukan.
             Pasien yang hidup setelah DAO dalam 48 jam pertama 
        mempunyai outcome yang baik. Hingga seperempat  mungkin 
        dengan  neurologis intak, dan 25% lainnya hanya  dengan 
        defisit minor.