INFEKSI SISTEMIK PADA PASIEN
BEDAH SARAF YANG DIRAWAT INTENSIF
PATOGENESIS DAN PENCEGAHAN INFEKSI SISTEMIK
PADA PASIEN KRITIS
Perlunya perawatan intensif pasien bedah saraf kritis
berakibat secara fungsional mengumpulkan banyak pasien
pada ruangan yang relatif kecil. Dengan seringnya
intervensi perawatan, berakibat penyebaran organisme
dari pasien kepasien. Teori penanggulangan infeksi
mutakhir mengira infeksi silang oleh perawat, dokter,
dan staf lainnya menjadi medium utama penyebaran
bakteri nosokomial. Tangan berperanan penting pada
Tabel I-1
Sitokin Utama Yang Berperan Pada Sistema Pertahanan Tubuh
Sitokin |
Sumber |
Pengaruh |
Interferon Alfa |
Makrofag |
Hambat proliferasi sel, Aktifkan sel pembunuh alamiah (NK cells) |
Faktor Nekrosis Tumor (TNF) |
Makrofag |
Rangsang pelepasan reaktan fase akut; Rangsang produksi IL-1; Induksi demam, kemotaksis neutrofil, dan katabolisme otak |
Interleukin 1 (IL-1) |
Makrofag |
Aktifkan sel T; Tingkatkan sintesis limfokin; Induksi demam, kemotaksis neutrofil |
Interleukin 6 (IL-6) |
Makrofag dan Sel T |
Rangsang pertumbuhan sel B dan T; Aktifkan sel B matang |
Interleukin 2 (IL-2) |
Sel T |
Rangsang pertumbuhan dan aktifkan limfosit |
Interleukin 4 (IL-4) |
Sel T CD4 |
Rangsang pengaktifan dan pertumbuhan limfosit dan makrofag |
Interferon Gamma |
Sel T |
Aktifkan makrofag, dan sel NK |
Interleukin 5 (IL-5) |
Sel T |
Aktifkan eosinofil dan sel B |
infeksi silang dan mencuci tangan adalah 'satu-satunya
tindakan terpenting untuk mencegah infeksi nosokomial'.
Sayangnya disiplin mencuci tangan pada perawat dan
dokter sangat buruk. Walau pemakaian gaun pelindung
adalah bijaksana, kebijaksanaan dan tindakan higienis
lain seperti pemakaian masker, topi, pelapis sepatu,
penyemprotan disinfektan, penyinaran ultraviolet,
karpet yang lengket, pengawasan bakteriologis, dan
aliran udara laminer saat ini dianggap kuno.
Semua komponen sistema pertahanan tubuh dapat
terganggu pada pasien yang dirawat intensif. Sawar
epitel rusak melalui berbagai cara; epidermis dapat
rusak karena cedera atau tindakan bedah, dan mukosa
dapat cedera oleh pipa endotrakheal, pipa nasogastrik,
dan kateter uretra. Karena beratnya penyakit, kateter
vaskuler terpasang sering diperlukan dan membawa risiko
invasi mikrobial. Durasi pemasangan jalur periferal
pada satu tempat serta perawatan terhadap tempat
pemasangan berhubungan langsung dengan kemungkinan
sepsis. Jalur sering dipasang saat keadaan emergensi.
Semua kateter harus dipindahkan ketempat yang lebih
terpantau dan dengan tindakan aseptik sesegera mungkin.
'Center for Disease Control' menganjurkan cairan
intravena diganti setiap hari, sedangkan selang dan
kateter intravena diganti setiap 2-3 hari, dan kateter
arterial diganti tiap 4 hari untuk mencegah sepsis.
Tindakan profilaktik lain adalah mengganti sirkit
ventilator setiap 2 hari. Peningkatan pemakaian kateter
vena sentral tiga lumen berakibat meningkatnya sepsis.
Hubungan temporal antara saat memasang kateter, onset
kolonisasi kateter, dan onset sepsis telah diketahui,
dan mengganti jalur intravaskuler letak sentral setiap
7 hari mengurangi sepsis yang berhubungan dengan jalur.
Pasien kritis mekanisme pertahanannya sangat
terganggu dalam mempertahankan homeostasis orofaring.
Dalam keadaan normal orofaring merupakan koloni
bakteria anaerob nonpatogen (mikroflora residen) dan
terkadang sejumlah kecil Staphylococcus, Streptococcus,
dan Haemophylus sp. Pertumbuhan bakteria patogen, virus
dan ragi yang baru tertelan dihambat oleh lingkungan
yang diciptakan oleh mikroflora dan oleh refleks
orofaring dengan salivasi dan menelan. Penggunaan yang
sering agen antimikrobial, terutama penisilin, membunuh
mikroflora residen anaerob hingga merusak mekanisme
pertahanan yang penting ini. Pasien bedah saraf sering
memiliki gangguan salivasi dan menelan karena gangguan
kesadaran. Telah dibuktikan hampir semua infeksi
nosokomial didahului kolonisasi orofaring oleh bakteria
penginfeksi.
Pasien trauma dan pasca bedah sering mengalami
ileus serta telah terbukti bahwa peristaltik membantu
mengurangi kolonisasi mikroba patogen pada traktus GI.
Yang umum digunakan untuk mengurangi keasaman lambung
pada pasien koma adalah antasida dan antagonis H
2, yang
terbukti berperan pada kolonisasi lambung oleh bakteri
patogen gram negatif. Kolonisasi sering 24-48 jam
setelah pasien masuk dan biasanya didahului kolonisasi
orofaring. Penelitian mutakhir memperlihatkan bahwa
peninggian pH hingga lebih dari 4 oleh antasida dan
antagonis H
2 tidak memperlihatkan manfaat dalam hal
pembentukan ulkus. Dengan majunya agen-agen pelindung
lambung yang efektif seperti sukralafat, dianjurkan
penghentian pemakaian antasida dan antagonis H
2 untuk
pencegahan ulkus.
Refleks 'gag' dan batuk membantu terciptanya
keadaan asepsis sistema bronkhopulmoner. Mekanisme
pertahanan ini sering terganggu atau hilang pada pasien
bedah saraf, mempermudah aspirasi. Tindakan seperti
pemasangan pipa nasogastrik dan intubasi jalan nafas
juga membawa mikroba orofaring patogen kesistema
pulmoner. Dihipotesakan bahwa bahwa infeksi nosokomial
dapat dicegah dengan menghambat kolonisasi bakteria
patogen dan fungi diorofaring. Insidens pneumonia
nosokomial pada pasien gawat yang diintubasi turun dari
15-59 hingga 3-8 % dengan pemakaian lokal tobramisin,
polimiksin E dan amfoterisin B berupa pasta pada
orofaring dan berupa larutan kedalam pipa gastrik. Juga
terjadi pengurangan kasus infeksi traktus kemih dan
sepsis dengan cara ini. Tidak pernah dilaporkan adanya
strain basiler gram negatif yang resisten akibat
antimikrobial enteral yang tak diabsorbsi ini. Tentu
terapi ini akan bermanfaat pada pasien bedah saraf yang
mendapatkan intubasi jangka lama seperti pasien cedera
otak dan pasien perdarahan subarakhnoid derajat parah.
Kesimpulan, pencegahan infeksi adalah dengan
mengurangi risiko, mencegah infeksi silang, tehnik
aseptik optimum, dan pemberian terapi tepat bila timbul
infeksi.
PNEUMONIA
Seperti telah dikatakan diatas, penurunan kesadaran
dengan keharusan intubasi endotrakheal menjadi pre-
disposisi timbulnya infeksi pulmoner nosokomial pada
pasien bedah saraf yang gawat. Demam, leukositosis
perifer dan memberatnya hipoksemia merupakan tanda-
tanda yang biasa dijumpai. Foto sinar-x dada bisa
memperlihatkan infiltrat yang baru, namun proses
pulmoner yang mendasari membuat interpretasi menjadi
sulit. Pewarnaan Gram terhadap sputum dengan sedikit
kontaminasi sel-sel epitelial berlapis gepeng sangat
penting; adanya jumlah yang besar dari neutrofil
mendukung diagnosis pneumonia, dan organisme predominan
biasanya bisa disaksikan.
Tindakan terhadap pneumonia harus dituntun oleh
hasil biakan. Sementara hasil kultur belum ada,
pengetahuan epidemiologis lokal sering bermanfaat dalam
menentukan tindakan awal. Sering organisme tertentu
'bersirkulasi' diruangan; kewaspadaan akan hal tersebut
menuntun terapi segera. Bila tidak ada organisme
predominan, pendekatan umum adalah tindakan secara
empiris terhadap organisme yang mungkin paling sulit,
P. aeruginosa, menunggu hasil kultur. Penisilin anti-
pseudomonal dikombinasi dengan aminoglikosida, atau
monoterapi dengan seftazidim dianjurkan. S. aureus bisa
sebagai penyebab infeksi pulmoner dan adanya organisme
yang tampilannya menyerupai stafilokokus memerlukan
penambahan antibiotik tahan penisilinase, beta laktam
atau vankomisin.
Toilet pulmoner ketat dan hidrasi yang memadai
merupakan tindakan tambahan yang penting, walau hidrasi
terkadang dikontraindikasikan pada beberapa pasien
bedah saraf. Penggunaan bed yang berosilasi bermanfaat
mencegah pneumonia pada pasien dengan cedera tumpul dan
merupakan tindakan tambahan yang bermanfaat pada
infeksi pulmoner yang telah terjadi. Walau telah dengan
tindakan agresif, mortalitas tetap tinggi pada
pneumonia nosokomial.
SINUSITIS
Sering sulit didiagnosis pada pasien gawat karena tidak
dapat mengeluhkan nyerinya. Sinusitis nosokomial harus
diperkirakan pada pasien dengan demam dan leukositosis
yang tidak dapat dijelaskan. Faktor risiko utama adalah
pipa nasogastrik dan nasotrakheal, terutama pada in-
tubasi jangka lama. Fraktura tengkorak dan sumpal
hidung dapat berperan. Patogen respiratori atas
tradisional adalah H. inflenzae dan S. pneumoniae,
namun patogen gram negatif nosokomial sering terjadi.
Sinusitis memerlukan terapi tepat karena komplikasi
intrakranialnya, seperti osteomielitis, empiema sub-
dural, meningitis, dan abses otak memiliki insidens 4
persen.
INFEKSI GENITOURINER
Infeksi traktus kemih sering terjadi diruangan serta
sering merupakan fokus dari bakteremia sekunder.
Kateterisasi kandung kemih adalah yang paling
bertanggung-jawab atas terjadinya bakteriuria. Risiko
infeksi berhubungan dengan lamanya kateterisasi kandung
kemih dan sistema drainasi uriner yang tidak tertutup.
Semua usaha harus dilakukan untuk mengurangi lamanya
kateterisasi dan memakai tehnik aseptik saat mengambil
spesimen. Penggunaan antibiotik dan antimikroba
profilaktik tidak efektif untuk menjaga kesterilan
kateter
indwelling. Urinalisis serta biakan tetap
merupakan patokan diagnosis. Infeksi patogen tersering
adalah batang gram negatif enterik, P. aeruginosa dan
Streptococcus faecalis.
BAKTEREMIA
Bakteremia pada pasien parah tersering sekunder atas
fokus di traktus uriner, kulit, jaringan lunak, atau
paru-paru. Bila tidak ada fokus yang jelas, peralatan
intravaskuler yang terinfeksi harus dipersangkakan dan
dilakukan biakan semikuantitatif dari tip kateter.
Organisme seperti Staphylococcus epidermidis,
S. aureus, dan Candida sp. adalah patogen tersering;
namun basil gram negatif tetap harus diperhitungkan.
Terapi atas persangkaan bakteremia akibat alat
intravaskuler adalah kombinasi vankomisin dengan
sefalosporin generasi ketiga, agen pertama untuk
S. epidermidis, juga terhadap S. aureus yang tahan
metisilin yang kasusnya meningkat pada banyak rumah
sakit. Terapi kemudian disesuaikan dengan hasil biakan
dan hasil tes sensitifitas.