ILMU BEDAH SARAF


Dr. Syaiful Saanin, Neurosurgeon.
saanin@padang.wasantara.net.id
Ka. SMF Bedah Saraf RSUP. M. Jamil/FK-UNAND Padang.

Cari dalam ejaan/bahasa Indonesia di situs ini :
Search term:
Case-sensitive - yes
exact fuzzy

8. INFEKSI
A. Sistema Pertahanan Tubuh dan Invasi Mikrobial
B. Infeksi Sistemik pada Pasien Bedah Saraf
yang Dirawat Intensif
C. Infeksi Bakterial SSP
D. Infeksi Virus pada SSP
E. Sindroma Immunodefisiensi Didapat (AIDS)
F. Infeksi Fungal pada SSP
G. Infeksi Parasit pada SSP
 
KEMBALI KEHALAMAN UTAMA
 

        
        INFEKSI SISTEMIK PADA PASIEN 
        BEDAH SARAF YANG DIRAWAT INTENSIF
        
        PATOGENESIS DAN PENCEGAHAN INFEKSI SISTEMIK 
        PADA PASIEN KRITIS
        
        Perlunya  perawatan intensif pasien bedah saraf  kritis 
        berakibat secara fungsional mengumpulkan banyak  pasien 
        pada  ruangan  yang  relatif  kecil.  Dengan  seringnya 
        intervensi  perawatan, berakibat  penyebaran  organisme 
        dari  pasien  kepasien.  Teori  penanggulangan  infeksi 
        mutakhir  mengira infeksi silang oleh perawat,  dokter, 
        dan  staf  lainnya  menjadi  medium  utama   penyebaran 
        bakteri nosokomial. Tangan berperanan penting pada 
        
        
        

Tabel I-1
Sitokin Utama Yang Berperan Pada Sistema Pertahanan Tubuh

Sitokin Sumber Pengaruh
Interferon Alfa Makrofag Hambat proliferasi sel,
Aktifkan sel pembunuh alamiah (NK cells)
Faktor Nekrosis Tumor (TNF) Makrofag

Rangsang pelepasan reaktan fase akut;
Rangsang produksi IL-1;
Induksi demam, kemotaksis neutrofil, dan katabolisme otak

Interleukin 1 (IL-1) Makrofag Aktifkan sel T;
Tingkatkan sintesis limfokin; Induksi demam, kemotaksis neutrofil
Interleukin 6 (IL-6) Makrofag dan Sel T Rangsang pertumbuhan sel B dan T;
Aktifkan sel B matang
Interleukin 2 (IL-2) Sel T Rangsang pertumbuhan dan aktifkan limfosit
Interleukin 4 (IL-4) Sel T CD4 Rangsang pengaktifan dan pertumbuhan limfosit dan makrofag
Interferon Gamma Sel T Aktifkan makrofag, dan sel NK
Interleukin 5 (IL-5) Sel T Aktifkan eosinofil dan sel B
infeksi silang dan mencuci tangan adalah 'satu-satunya tindakan terpenting untuk mencegah infeksi nosokomial'. Sayangnya disiplin mencuci tangan pada perawat dan dokter sangat buruk. Walau pemakaian gaun pelindung adalah bijaksana, kebijaksanaan dan tindakan higienis lain seperti pemakaian masker, topi, pelapis sepatu, penyemprotan disinfektan, penyinaran ultraviolet, karpet yang lengket, pengawasan bakteriologis, dan aliran udara laminer saat ini dianggap kuno. Semua komponen sistema pertahanan tubuh dapat terganggu pada pasien yang dirawat intensif. Sawar epitel rusak melalui berbagai cara; epidermis dapat rusak karena cedera atau tindakan bedah, dan mukosa dapat cedera oleh pipa endotrakheal, pipa nasogastrik, dan kateter uretra. Karena beratnya penyakit, kateter vaskuler terpasang sering diperlukan dan membawa risiko invasi mikrobial. Durasi pemasangan jalur periferal pada satu tempat serta perawatan terhadap tempat pemasangan berhubungan langsung dengan kemungkinan sepsis. Jalur sering dipasang saat keadaan emergensi. Semua kateter harus dipindahkan ketempat yang lebih terpantau dan dengan tindakan aseptik sesegera mungkin. 'Center for Disease Control' menganjurkan cairan intravena diganti setiap hari, sedangkan selang dan kateter intravena diganti setiap 2-3 hari, dan kateter arterial diganti tiap 4 hari untuk mencegah sepsis. Tindakan profilaktik lain adalah mengganti sirkit ventilator setiap 2 hari. Peningkatan pemakaian kateter vena sentral tiga lumen berakibat meningkatnya sepsis. Hubungan temporal antara saat memasang kateter, onset kolonisasi kateter, dan onset sepsis telah diketahui, dan mengganti jalur intravaskuler letak sentral setiap 7 hari mengurangi sepsis yang berhubungan dengan jalur. Pasien kritis mekanisme pertahanannya sangat terganggu dalam mempertahankan homeostasis orofaring. Dalam keadaan normal orofaring merupakan koloni bakteria anaerob nonpatogen (mikroflora residen) dan terkadang sejumlah kecil Staphylococcus, Streptococcus, dan Haemophylus sp. Pertumbuhan bakteria patogen, virus dan ragi yang baru tertelan dihambat oleh lingkungan yang diciptakan oleh mikroflora dan oleh refleks orofaring dengan salivasi dan menelan. Penggunaan yang sering agen antimikrobial, terutama penisilin, membunuh mikroflora residen anaerob hingga merusak mekanisme pertahanan yang penting ini. Pasien bedah saraf sering memiliki gangguan salivasi dan menelan karena gangguan kesadaran. Telah dibuktikan hampir semua infeksi nosokomial didahului kolonisasi orofaring oleh bakteria penginfeksi. Pasien trauma dan pasca bedah sering mengalami ileus serta telah terbukti bahwa peristaltik membantu mengurangi kolonisasi mikroba patogen pada traktus GI. Yang umum digunakan untuk mengurangi keasaman lambung pada pasien koma adalah antasida dan antagonis H2, yang terbukti berperan pada kolonisasi lambung oleh bakteri patogen gram negatif. Kolonisasi sering 24-48 jam setelah pasien masuk dan biasanya didahului kolonisasi orofaring. Penelitian mutakhir memperlihatkan bahwa peninggian pH hingga lebih dari 4 oleh antasida dan antagonis H2 tidak memperlihatkan manfaat dalam hal pembentukan ulkus. Dengan majunya agen-agen pelindung lambung yang efektif seperti sukralafat, dianjurkan penghentian pemakaian antasida dan antagonis H2 untuk pencegahan ulkus. Refleks 'gag' dan batuk membantu terciptanya keadaan asepsis sistema bronkhopulmoner. Mekanisme pertahanan ini sering terganggu atau hilang pada pasien bedah saraf, mempermudah aspirasi. Tindakan seperti pemasangan pipa nasogastrik dan intubasi jalan nafas juga membawa mikroba orofaring patogen kesistema pulmoner. Dihipotesakan bahwa bahwa infeksi nosokomial dapat dicegah dengan menghambat kolonisasi bakteria patogen dan fungi diorofaring. Insidens pneumonia nosokomial pada pasien gawat yang diintubasi turun dari 15-59 hingga 3-8 % dengan pemakaian lokal tobramisin, polimiksin E dan amfoterisin B berupa pasta pada orofaring dan berupa larutan kedalam pipa gastrik. Juga terjadi pengurangan kasus infeksi traktus kemih dan sepsis dengan cara ini. Tidak pernah dilaporkan adanya strain basiler gram negatif yang resisten akibat antimikrobial enteral yang tak diabsorbsi ini. Tentu terapi ini akan bermanfaat pada pasien bedah saraf yang mendapatkan intubasi jangka lama seperti pasien cedera otak dan pasien perdarahan subarakhnoid derajat parah. Kesimpulan, pencegahan infeksi adalah dengan mengurangi risiko, mencegah infeksi silang, tehnik aseptik optimum, dan pemberian terapi tepat bila timbul infeksi. PNEUMONIA Seperti telah dikatakan diatas, penurunan kesadaran dengan keharusan intubasi endotrakheal menjadi pre- disposisi timbulnya infeksi pulmoner nosokomial pada pasien bedah saraf yang gawat. Demam, leukositosis perifer dan memberatnya hipoksemia merupakan tanda- tanda yang biasa dijumpai. Foto sinar-x dada bisa memperlihatkan infiltrat yang baru, namun proses pulmoner yang mendasari membuat interpretasi menjadi sulit. Pewarnaan Gram terhadap sputum dengan sedikit kontaminasi sel-sel epitelial berlapis gepeng sangat penting; adanya jumlah yang besar dari neutrofil mendukung diagnosis pneumonia, dan organisme predominan biasanya bisa disaksikan. Tindakan terhadap pneumonia harus dituntun oleh hasil biakan. Sementara hasil kultur belum ada, pengetahuan epidemiologis lokal sering bermanfaat dalam menentukan tindakan awal. Sering organisme tertentu 'bersirkulasi' diruangan; kewaspadaan akan hal tersebut menuntun terapi segera. Bila tidak ada organisme predominan, pendekatan umum adalah tindakan secara empiris terhadap organisme yang mungkin paling sulit, P. aeruginosa, menunggu hasil kultur. Penisilin anti- pseudomonal dikombinasi dengan aminoglikosida, atau monoterapi dengan seftazidim dianjurkan. S. aureus bisa sebagai penyebab infeksi pulmoner dan adanya organisme yang tampilannya menyerupai stafilokokus memerlukan penambahan antibiotik tahan penisilinase, beta laktam atau vankomisin. Toilet pulmoner ketat dan hidrasi yang memadai merupakan tindakan tambahan yang penting, walau hidrasi terkadang dikontraindikasikan pada beberapa pasien bedah saraf. Penggunaan bed yang berosilasi bermanfaat mencegah pneumonia pada pasien dengan cedera tumpul dan merupakan tindakan tambahan yang bermanfaat pada infeksi pulmoner yang telah terjadi. Walau telah dengan tindakan agresif, mortalitas tetap tinggi pada pneumonia nosokomial. SINUSITIS Sering sulit didiagnosis pada pasien gawat karena tidak dapat mengeluhkan nyerinya. Sinusitis nosokomial harus diperkirakan pada pasien dengan demam dan leukositosis yang tidak dapat dijelaskan. Faktor risiko utama adalah pipa nasogastrik dan nasotrakheal, terutama pada in- tubasi jangka lama. Fraktura tengkorak dan sumpal hidung dapat berperan. Patogen respiratori atas tradisional adalah H. inflenzae dan S. pneumoniae, namun patogen gram negatif nosokomial sering terjadi. Sinusitis memerlukan terapi tepat karena komplikasi intrakranialnya, seperti osteomielitis, empiema sub- dural, meningitis, dan abses otak memiliki insidens 4 persen. INFEKSI GENITOURINER Infeksi traktus kemih sering terjadi diruangan serta sering merupakan fokus dari bakteremia sekunder. Kateterisasi kandung kemih adalah yang paling bertanggung-jawab atas terjadinya bakteriuria. Risiko infeksi berhubungan dengan lamanya kateterisasi kandung kemih dan sistema drainasi uriner yang tidak tertutup. Semua usaha harus dilakukan untuk mengurangi lamanya kateterisasi dan memakai tehnik aseptik saat mengambil spesimen. Penggunaan antibiotik dan antimikroba profilaktik tidak efektif untuk menjaga kesterilan kateter indwelling. Urinalisis serta biakan tetap merupakan patokan diagnosis. Infeksi patogen tersering adalah batang gram negatif enterik, P. aeruginosa dan Streptococcus faecalis. BAKTEREMIA Bakteremia pada pasien parah tersering sekunder atas fokus di traktus uriner, kulit, jaringan lunak, atau paru-paru. Bila tidak ada fokus yang jelas, peralatan intravaskuler yang terinfeksi harus dipersangkakan dan dilakukan biakan semikuantitatif dari tip kateter. Organisme seperti Staphylococcus epidermidis, S. aureus, dan Candida sp. adalah patogen tersering; namun basil gram negatif tetap harus diperhitungkan. Terapi atas persangkaan bakteremia akibat alat intravaskuler adalah kombinasi vankomisin dengan sefalosporin generasi ketiga, agen pertama untuk S. epidermidis, juga terhadap S. aureus yang tahan metisilin yang kasusnya meningkat pada banyak rumah sakit. Terapi kemudian disesuaikan dengan hasil biakan dan hasil tes sensitifitas.