1. STRATEGI TINDAKAN TERHADAP
PENDERITA CEDERA SARAF TEPI
Dalam mengelola pasien dengan cedera saraf tepi perlu
mengetahui mekanisme cedera, respons patologis, dan
kapasitas regenerasi yang akan terjadi. Rencana atas
apakah akan dilakukan operasi, bila akan dioperasi, dan
apa yang dilakukan bila lesi terbuka berdasar pada
tidak hanya atas pengertian akan patologi pemulihan,
namun juga akan beberapa hal yang membatasi regenerasi
neural dalam arti pemulihan fungsional praktis.
Pemeriksaan klinis, pemeriksaan elektrodiagnostik, dan
pemeriksaan radiologis akan membantu dalam membuat
keputusan. Pemilihan pasien untuk operasi seperti juga
saat, jenis operasi, dan nilai operasi tetap kontro-
versial.
PATOKAN PENILAIAN CEDERA
Faktor yang paling menentukan apakah cedera saraf akan
dioperasi atau tidak adalah:
1. mekanisme cedera
2. beratnya kehilangan neurologis
3. adanya nyeri yang hebat.
Laserasi tajam atau tumpul yang mengenai jaringan lunak
atau saraf dengan kehilangan fungsi distal yang berat
memerlukan operasi. Cedera tumpul yang berkaitan dengan
regangan, fraktura, kontusi, kompresi, dan bahkan luka
tembak lebih sering meninggalkan beberapa bagian saraf
yang utuh secara fisik yang dengan operasi mungkin
membaik atau tidak.
Bila kehilangan fungsi distal lengkap, perbaikan
sempurna jarang terjadi dengan perjalanan waktu, namun
jarang-jarang bisa terjadi. Bila kehilangan tidak
lengkap dan kesinambungan saraf dimungkinkan karena
mekanisme cedera, fungsi biasanya akan membaik dengan
majunya waktu. Kekecualian: (1) bila saraf cedera
parsial, walau dalam kesinambungan, tertekan oleh
pseudoaneurisma atau klot yang meluas, dan (2) bila
tempat cedera saraf dekat area yang berpotensi jeratan,
yaitu saraf ulnar pada takik olekranon, saraf median
pada pergelangan, saraf interoseus posterior didaerah
supinator, atau saraf peroneal pada kepala fibula.
Walau regenerasi setelah lesi saraf proksimal
lebih cepat dibanding cedera distal, namun akson harus
melintas jarak yang jauh untuk mencapai daerah target
distal. Jadi pada kebanyakan kasus, hasil yang baik
lebih sulit didapat setelah lesi proksimal dibanding
distal dan penundaan reparasi harus dicegah.
Pertimbangan Regenerasi Aksonal
Saraf perifer yang cedera mempunyai respons neuronal
dan aksonal yang khas. Beratnya cedera secara sebagian
menentukan derajat regenerasi aksonal. Walau tingkat
pertumbuhan aksonal dan maturasi fungsi motor lambat,
tingkat regenerasi dapat diperkirakan. Regenerasi
berjalan 1 mm perhari atau 1 inci perbulan. Ini
membantu menentukan perkiraan waktu penentuan, sesuai
dengan saat cedera atau reparasi yang dilakukan
sebelumnya, akan suatu tanda klinis yang diharapkan
dari reinervasi.
Bila otot sasaran terdekat mulai berfungsi pada
saat yang diharapkan dan kekuatan membaik dalam 1-2
bulan, rencana menghindari operasi sudah jelas. Bila
sasaran jadwal waktu tidak didapat, atau terjadinya
perbaikan aktifitas motor dini pada otot sasaran
terdekat tidak cocok dengan yang diharapkan setelah
perbaikan, diindikasikan pendekatan bedah. Sayangnya
terlalu banyak waktu yang diperlukan agar lesi saraf
mencapai patokan regeneratif awal. Dalam keadaan ini,
bila reparasi ditunda hingga setelah batas waktu
dicapai, hasilnya tidak sebaik reparasi dini.
Waktu yang diperlukan untuk regenerasi antaranya:
1. Adanya keterlambatan sebelum akson yang mengalami
regenerasi mencapai saraf didistal dari cedera atau
jahitan reparasi. Segmen degenerasi retrograd proksimal
terhadap cedera pertama-tama harus diatasi, dan
biasanya ada selang waktu 1-2 minggu sebelum akson
mempenetrasi cedera atau daerah reparasi dan mencapai
puntung distal. Periode ini makan waktu 2-4 minggu.
2. Sekali serabut mencapai puntung distal, tingkat
pertumbuhan aksonal menurun karena jarak cedera dari
neuron bertambah.
3. Perlambatan terminal beberapa minggu hingga bulan
berperan antara saat dimana akson mencapai target
distal dan bila maturasi memadai dari akson dan
reseptor terjadi yang memungkinkan fungsi maksimal.
Jadi ini tidak cukup bagi akson mencapai target
distalnya, ia harus juga memiliki jumlah yang memadai
dan dengan kaliber serta mielinasi yang cukup untuk
menghasilkan fungsi memadai.
Bukti regenerasi, yang ditunjukkan oleh kembalinya
fungsi saraf, dapat mengarahkan pengelolaan awal dari
setiap lesi. Bukti positif atas beberapa fungsi saraf
yang bermakna, baik segera maupun dalam 6 bulan sejak
cedera, menunjukkan hasil yang baik. Bila sejumlah
bermakna akson terhindar dari disfungsi awal atau
hanya mengalami derajat minor cedera serabut saraf,
terjadi regenerasi, perbaikan saraf yang luas bisa
diharapkan.
Keadaan klinis yang lebih sering adalah disfungsi
saraf total dimana lesi belum disaksikan secara
operasi, atau dimana tampilan saat bedah menunjukkan
neuroma. Bila reparasi saraf sudah dilakukan dalam
keadaan yang tidak jelas, dilema pengelolaan yang sama
akan ditemui. Pada keadaan ini, eksplorasi bedah tunda
dengan pencatatan potensial aksi saraf intrabedah tidak
ternilai dalam menentukan keputusan akhir akan reseksi
dan reparasi saraf yang rusak.
Penilaian Klinis
1. Pemeriksaan Motor
Penekanan atas pemeriksaan motor secara klinis untuk
cedera saraf spesifik adalah tahap terpenting dalam
mengelola semua cedera saraf, adalah pemeriksaan teliti
anggota, dengan perhatian besar pada semua fungsi motor
dan sensori. Pemeriksaan harus menentukan apakah
kehilangan distal sisi cedera lengkap atau tidak. Hanya
ini yang akan menjelaskan pada pemeriksaan selanjutnya
terjadi perubahan atau tidak.
Pemeriksaan motor adalah cukup sebagai bukti
regenerasi bila pemulihan jelas. Pengamatan klinis
fungsi motor volunter dapat juga ditentukan dengan
respons motor terhadap stimulasi. Stimulasi saraf
terutama berguna dalam pengenalan awal adanya pemulihan
peroneal memadai dan mencegah perlunya operasi.
Pasien dengan cedera saraf peroneal tidak mampu
memulai aksi volunter pada otot peroneal dan tibial
anterior (eversi dan dorsifleksi kaki). Ini berlangsung
beberapa minggu setelah perbaikan elektrofisiologis
yang ditunjukkan oleh kontraksi otot yang kuat pada
stimulasi saraf peroneal: (1) tepat dibelakang kepala
fibula, atau (2) tepat didalam hamstring lateral,
dimana batang saraf mudah dipalpasi. Penting pertama-
tama memastikan bahwa otot yang diamati berkontraksi
pada distribusi dari saraf yang diharapkan untuk
distimulasi.
2. Tanda Tinel
Bila parestesi dihasilkan oleh perkusi saraf distal
dari cedera, ini menunjukkan beberapa akson sensori
utuh dari titik perkusi melalui lesi kesistema saraf
pusat. Bila respons selanjutnya bergerak kedistal
dengan berjalannya waktu, terutama bila berkaitan
dengan berkurangnya parestesi sebagai respons atas
ketukan pada daerah cedera, membuktikan regenerasi
serabut saraf terus berlangsung melewati puntung distal
terjadi (tanda Tinel positif). Tanda Tinel positif
hanya menunjukkan regenerasi serabut halus dan tidak
menunjukkan apapun tentang kuantitas dan kualitas yang
sebenarnya dari serabut yang baru.
Dsisi lain, interupsi saraf total ditunjukkan oleh
tiadanya respons sensori distal (tanda Tinel negatif)
setelah waktu yang memadai telah berlalu untuk
terjadinya regenerasi serabut halus (4-6 minggu). Tanda
Tinel negatif lebih bernilai dalam penilaian klinis
dibanding tanda Tinel positif.
3. Berkeringat
Kembalinya keringat didaerah otonom menunjukkan
regenerasi serabut simpatis bermakna. Pemulihan ini
mungkin mendahului pemulihan motori atau sensori dalam
beberapa minggu atau bulan, karena serabut otonom pulih
dengan cepat. Pemulihan berkeringat tidak selalu
berarti akan diikuti fungsi motori atau sensori.
4. Pemulihan Sensori
Pemulihan sensori sejati adalah tanda yang berguna,
terutama bila terjadi didaerah otonom dimana tumpang
tindih saraf berdekatan minimal. Daerah otonom saraf
median adalah permukaan volar dan dorsal telunjuk dan
permukaan volar jempol. Saraf radial tidak mempunyai
daerah otonom yang tegas. Bila terjadi kehilangan
sensori pada distribusi ini, biasanya mengenai sejumput
daerah anatomis tertentu. Daerah otonom saraf ulnar
adalah permukaan palmar 11 falang distal kelingking.
Daerah otonom saraf tibial adalah tumit dan sebagian
telapak kaki, sedang saraf peroneal adalah tengah
dorsal kaki. Sayangnya pemulihan sensori, bahkan pada
daerah otonom, tidak pasti diikuti pemulihan motori.
Pemeriksaan Elektrofisiologik
1. Elektromiografi
Pemeriksaan EMG dasar 2-3 minggu setelah cedera
menunjukkan perluasan denervasi dan menegaskan pola
atau distribusi cedera. Pemeriksaan EMG harus dilakukan
serial untuk mencari tanda-tanda reinervasi atau
denervasi yang persisten. Pada regenerasi, aktifitas
insersional mulai pulih dan fibrilasi serta potensial
denervasi berkurang dan terkadang digantikan oleh
potensial aksi motor yang timbul sewaktu-waktu. Setiap
perubahan menunjukkan bahwa beberapa serabut yang
mengalami regenerasi mencapai otot dan terjadi beberapa
rekonstruksi hubungan akson-motor end plate.
Tanda-tanda tersebut tidak berarti apa-apa atas
kemungkinan perluasan atau kualitas regenerasi. Bila
terjadi pengurangan fibrilasi atau timbulnya potensial
terjadi pada otot pada distribusi saraf yang cedera,
dianjurkan tindakan konservatif selanjutnya untuk
interval yang singkat. EMG menjadi penting karena dapat
membuktikan regenerasi beberapa minggu atau bulan
sebelum fungsi motor volunter tampak. Ia juga melacak
adanya sisa unit motor yang berarti lesi parsial segera
setelah cedera.
EMG terutama membantu menentukan tingkat cedera
lesi pleksus brakhial hingga bisa menyeleksi pasien
untuk dioperasi beserta jenis operasi yang akan
dilakukan. Denervasi otot paraspinal mengarahkan pada
lesi proksimal pada satu atau lebih akar dan karenanya
merupakan temuan negatif. Kerusakan proksimal pada tiga
akar terbawah dapat berakibat denervasi paraspinal
ekstensif dimana akar C5 dan bahkan C6 mungkin cedera
lebih kelateral dan karenanya dapat diperbaiki.
Elektromiografer memiliki kesulitan membedakan tingkat
spinal didalam otot paraspinal karena sangat tumpang
tindih.
Operasi biasanya diindikasikan pada lesi pleksus
brakhial bila terjadi kerusakan lengkap pada satu atau
lebih akar saraf atas (C5,C6,C7) dan hantaran kedistal
tidak mulai pulih secara klinis maupun elektrik pada
bulan-bulan awal pasca cedera.
Adanya perubahan EMG yang menunjukkan reinervasi
tidak menjamin pemulihan fungsi, dan pemeriksaan harus
digabung dengan temuan klinis dan data elektrikal lain.
Karena EMG dapat terus menunjukkan perubahan denervasi
berat bahkan walau otot berkontraksi volunter, EMG
tidak pernah menggantikan pemeriksaan klinis yang
teliti. Namun hanya melengkapi pemeriksaan klinis. EMG
terutama bernilai mengenal anomali dari inervasi,
seperti sering terjadi pada lengan bawah dan tangan.
2. Potensial Aksi Saraf Sensori (SNAP)
Pemeriksaan SNAP membantu menilai tingkat regangan pada
cedera pleksus brakhial. Lesi tingkat akar yang
terbatas didaerah preganglion dan tidak meluas kedaerah
postganglion berakibat hilangnya sensori distal lengkap
dan tetap mempertahankan konduksi sensori distal. Yang
terakhir ini bertahan karena kerusakan serabut sensori
distal ganglion akar saraf tidak berdegenerasi.
Retensi konduksi sensori dari daerah anestetik
dapat diperiksa dengan merangsang jari pada distribusi
C6 (jempol dan telunjuk), C6-7-8 (jari tengah) dan C8-
T1 (kelingking dan jari manis) dan pencatatan saraf
median, radial dan ulnar diproksimal. Adanya potensial
aksi saraf sensori campuran memastikan cedera pre-
ganglionik pada distribusi satu akar atau lebih. Karena
distribusi sensori akar didistal tumpang tinduh dengan
satu atau lebih akar lain, sulit menentukan dengan
pemeriksaan ini bahwa satu akar, misalnya C6, adalah
suatu cedera preganglionik.
Stimulasi telunjuk (bahkan jempol) yang anestetik
dapat menimbulkan SNAP pada distribusi saraf median
bila baik akar C6 atau C7, atau C6 dan C7, rusak pada
tingkat preganglionik. Ini menjadikannya sulit untuk
menentukan pada pemeriksaan SNAP apakah cedera akar C6
terjadi preganglionik. Keadaan ini kurang jelas pada
akar C5 karena tidak ada stimulasi noninvasif spesifik
atau daerah pencatatan untuk hantaran ini: Penilaian
teliti akar sebelah atas dengan pencatatan SNAP tidak
mungkin pada tingkat ini.
3. Somatosensory-Evoked Potential (SSEP)
Pemeriksaan SSEP digunakan menilai tingkat cedera,
apakah praganglionik atau postganglionik, pada lesi
pleksus brakhial. Ia bernilai terbatas pada bulan-bulan
pertama cedera.
Pemeriksaan somatosensori berguna pada saat
operasi atas cedera brakhial karena regangan atau
kontusi. Bila cedera postganglionik, stimulasi akar
proksimal dari tingkat cedera membangkitkan potensial
somatosensori diatas tulang belakang servikal (SSP) dan
membangkitkan (evoked) respons kortikal diatas kranium
kontralateral (ECR). Bila cedera praganglionik atau pra
dan postganglionik, stimulasi terhadap akar, bahkan
didalam atau dekat foramen intervertebral, tidak akan
membangkitkan respons apapun. Reparasi jarang berhasil.
Sayangnya, timbulnya SSP atau ECR mungkin hanya
memerlukan beberapa ratus serabut yang intak antara
daerah yang distimulasi dan daerah perekaman, hingga
respons positif hanya memastikan keutuhan minimal saraf
atau akar spinal. ECR negatif lebih penting dari ECR
positif.
4. Potensial Aksi Saraf Intrabedah (NAP)
Mencakup pemeriksaan NAP batang saraf pada setiap sisi
lesi. Karena pelacakan yang ideal untuk memutuskan
apakah akan mereparasi saraf 8 minggu setelah cedera,
NAP menjadi pemeriksaan definitif yang penting bila
dicurigai adanya neuroma yang parah pada kontinuitas
dan otot sasaran pertama berjarak lebih dari 3 inci
dibawahnya.
Hal penting pada perekaman NAP adalah:
1. Tampilan neuroma yang parah pada kontinuitas tidak
perlu berhubungan dengan arsitektur internal.
2. Bila akson mempunyai kemampuan melintas lesi, sudah
dapat direkam oleh NAP jauh sebelum akson mampu
mencapai target.
3. Tehnik ini terutama berguna pada lesi saraf
ekstremitas bawah dimana otot sasaran pertama terletak
6-8 inci dibawah lesi. Jadi stimulasi saraf dan EMG
tidak dapat memastikan hal ini untuk 6-8 bulan atau
lebih, jadi penting bahwa rencana reseksi diambil
sebelum masa tersebut.
4. Perekaman NAP juga sangat membantu menentukan
perluasan lesi pleksus brakhial dan memberikan indeks
atas berapa banyak puntung proksimal dari lesi akan
direseksi. Kebanyakan cedera pleksus brakhial yang
dipilih untuk operasi akan memiliki satu atau lebih
elemen keutuhan, namun dengan sejumlah variabel
kkerusakan intraneural. Perekaman NAP intrabedah
membantu menentukan akan perlunya reseksi.
Disaat operasi, pengamatan terpenting adalah
merekam ada atau tidaknya respons, bukan bentuk atau
bahkan kecepatannya. Respons NAP regeneratif adalah
kecil dan biasanya lambat, sedang yang diakibatkan
adanya sisa bagian yang utuh mungkin kecil namun
biasanya lebih cepat atau mempunyai hantaran pada
jangkauan normal. Bila cedera praganglionik tanpa
cedera postganglionik, perekaman yang lebih distal akan
memperlihatkan penghantaran cepat, NAP besar, tepat
seperti mendiagnostik tiadanya SSP atau ECR bila akar
distimulasi pada tingkat ini.
Pemeriksaan Radiologis
1. Sinar-X Tulang Belakang Servikal dll
Fraktura tulang belakang servikal sering berhubungan
dengan cedera regang proksimal yang berat yang tidak
dapat direparasi, paling tidak pada tingkat akar ruas
tulang belakang bersangkutan. Fraktura tulang lain
seperti humerus, klavikula, skapula dan/atau iga, bila
diamati memberikan perkiraan kasar atas kekuatan yang
menghantam bahu, lengan atau leher, namun tidak selalu
membantu menentukan tingkat atau luasnya cedera.
Kerusakan pleksus biasanya lebih proksimal dibanding
sisi fraktura yang tampak, sering pada tingkat akar.
Fraktura humerus tengah terutama berkaitan dengan
cedera saraf radial. Fraktura kominuta radius dan ulna
pada tingkat lengan bawah tengah juga berkaitan dengan
cedera saraf median dan ulner, dan terkadang dengan
palsi saraf interosseus posterior. Komponen peroneal
saraf siatik sering, namun tidak selalu, terkena secara
khusus pada dislokasi atau cedera panggul. Fraktura
femur bawah dan fraktura tibial dan fibuler bisa
mengenai saraf peroneal dan/atau tibial. Sekali lagi,
cedera saraf mungkin lebih proksimal dari daerah
fraktura yang diperkirakan. Fraktura femur tengah bisa
berkaitan dengan cedera regang siatik lebih keproksimal
pada tingkat bokong.
Radiograf dada bisa menampakkan elevasi diafragma
yang tidak berfungsi, yang berarti paralisis saraf
frenik. Ini tanda prognosis yang relatif buruk untuk
reparasi akar saraf C5 setelah cedera tertutup, karena
biasanya berarti kerusakan proksimal pada tingkat
leher.
2. Mielografi
Bisa menjadi bagian penting dalam mengelola pasien
dengan cedera regang pleksus brakhial berat. Biasanya
tidak diindikasikan untuk lesi pleksus ditingkat infra-
klavikuler atau aksiler (kebanyakan luka tembak pada
pleksus), kecuali ada bukti radiologis kerusakan tulang
belakang servikal atau trayeknya supraklavikuler medial.
Meningosel pada tingkat bersangkutan menunjukkan tenaga
yang cukup telah terjadi pada tingkat akar proksimal
yang merobek arakhnoid dan menyebabkan bocornya agen
kontras. Ini tidak harus berarti bahwa akar mengalami
avulsi dari kord spinal. Lebih sering adanya meningosel
menunjukkan walau akar mungkin secara kasar masih utuh,
terdapat kerusakan internal yang bermakna pada tingkat
yang sangat proksimal.
Sejumlah pasien dengan kerusakan tingkat akar
dimana tidak terdapat meningosel (biasanya ditingkat
akar yang lebih atas) dapat direparasi dengan baik,
walau terdapat meningosel pada akar lain (biasanya pada
tingkat yang lebih bawah). Walau demikian, bila
terdapat meningosel, paling sering kerusakan pada
proksimal akar, karenanya tidak dapat direparasi.
Temuan ini juga menjadikan bahwa kerusakan pada tingkat
lain yang tidak dengan adanya meningosel adalah sangat
proksimal lebih mungkin. Mielografi modern dengan
kontras larut air bisa menampilkan akar-akar pada ruang
subarakhnoid, dan membandingkan sisi terkena dan sisi
sehat menentukan daerah disrupsi akar. Mielografi tetap
berguna membantu perencanaan pada cedera pleksus.
3. Tomografi Terkomputer (CT) dan
Pencitraan Resonansi Magnetik (MRI)
Pemayaran tomografi terkomputer dengan kontras intra-
tekal dimanfaatkan pada cedera regang walau terkadang
abnormalitas tetap tidak dijumpai karena irisan
biasanya tidak cukup rapat untuk mencakup semua daerah
akar pada setiap tingkat. Akibatnya, mielografi tetap
merupakan pemeriksaan radiologis yang disukai.
Pencitraan resonansi magnetik mungkin membantu
menampilkan akar saraf. Pemeriksaan MRI ini hanya
memperkuat mielogram dan tidak menggantikannya. CSS
didalam meningosel dapat tampak pada MRI, namun
biasanya kurang jelas bila dibanding mielografi.
PATOKAN MENENTUKAN SAAT MELAKUKAN OPERASI
Pertimbangan Umum
Dalam menentukan saat operasi, tentukan: (1) bila waktu
yang diperlukan untuk pemulihan dengan regenerasi
spontan telah dilampaui, (2) waktu yang dilampaui
ketika reparasi saraf diperkirakan sedikit. Bila durasi
denervasi otot total melampaui 24 bulan ('24-month
rule'), kebanyakan otot menjadi subjek atas pembatasan
waktu yang relatif berat untuk kembalinya fungsi yang
bermanfaat. Ini kurang lazim terjadi pada otot yang
besar, seperti bisep dan gastroknemius-soleus, bila
dibanding otot yang lebih kecil seperti pada lengan
bawah dan tangan. Kekecualian adalah otot fasial yang
walau relatif kecil, mungkin diuntungkan oleh re-
inervasi dengan reparasi saraf fasial atau prosedur
neurotisasi.
Kekecualian lain atas patokan 24 bulan mungkin
terjadi pada beberapa lesi yang mempertahankan keutuhan
berapa serabut saraf. Bila beberapa serabut saraf
melintas lesi, bahkan walau jumlahnya tidak cukup untuk
menghasilkan fungsi yang bermanfaat didistalnya, mereka
mungkin menjaga keutuhan arsitektur didistal puntung.
Perbaikan yang sangat terlambat setelah reseksi lesi
pada batang saraf terkadang menghasilkan fungsi.
Jarak dari daerah cedera saraf keotot yang
dikehendaki mempengaruhi saat untuk operasi. Bila
daerah cedera jauh dari otot penting, perlu melakukan
reparasi dalam beberapa bulan setelah cedera. Ini
terutama berlaku untuk cedera saraf siatik dan pleksus
brakhial.
Reparasi yang relatif dini atas cedera saraf
lainnya juga bermanfaat. Misalnya bila saraf radial
cedera karena fraktura humerus tengah, besar
kemungkinan atas pemulihan yang baik. Eksplorasi harus
dilakukan bila tidak ada pemulihan dalam 4 bulan. Dalam
masa ini cedera aksonotmetik humerus tengah dari saraf
radial akan mengalami regenerasi keotot dibawahnya,
brakhioradialis. Bila saraf radial mengalami cedera
serius antara fragmen fraktur, reparasi yang sangat
terlambat memberikan hasil yang kurang menggembirakan
atas pulihnya fungsi motor.
Sebaliknya terdapat kasus dimana jarak antara
cedera saraf dan otot yang akan direinervasi, dimana
reparasi baik segera atau terlambat, tidak akan pulih
ketingkat yang bermanfaat. Misalnya reparasi saraf
ulnar didekat aksila atau saraf peoneal diatas paha
tengah mungkin fungsinya membaik sedikit untuk otot
distal yang penting. Reparasi tinggi lainnya mungkin
diindikasikan, baik karena adanya otot proksimal yang
berguna (seperti trisep dan ekstensor lengan bawah
proksimal dalam kasus saraf radial) atau karena
pemulihan sensori akan bermanfaat (seperti distribusi
saraf median).
Batasan waktu kurang tegas pada pemulihan sensori
dibanding pemulihan motori. Ini hal penting yang
mendukung untuk melakukan reparasi saraf median
setinggi tingkat aksiler, bahkan walau hanya hanya
dengan fungsi motor minimal pada tingkat tangan.
Reparasi saraf median tinggi terutama penting bila
tangan yang secara mekanik berguna dapat dicapai dengan
mengganti atau memindahkan beberapa fungsi motor radial
dan ulnar yang ada.
Hal serupa, reparasi komponen tibial dari saraf
siatik pada tingkat setinggi takik siatik bisa
diindikasikan. Perlindungan terhadap beban tubuh pada
daerah plantar bisa didapat bahkan oleh pemulihan
fungsi sensori pada derajat yang rendah. Jadi pemulihan
sensasi protektif pada telapak kaki cukup penting dalam
membenarkan reparasi proksimal. Juga beberapa derajat
fleksi plantar yang berguna.
Akhirnya, pemulihan motor dari regenerasi spontan
(tanpa reparasi saraf) juga mempunyai batasan waktu.
Lesi saraf tinggi biasanya akan menghasilkan hilangnya
fungsi motor distal yang berguna bila otot melebihi 24
inci didistal lesi dan mengalami denervasi total oleh
cedera. Bukti dini relatif atas pemulihan fungsi motor,
bahkan bila hanya dapat dideteksi oleh EMG, akan sangat
penting memperbaiki prognosis. Temuan ini harus tampak
2-3 bulan pasca cedera. Karenanya, pada beberapa lesi
tinggi, tindakan untuk mengkompensasi kehilangan fungsi
motor dapat diambil segera. Transfer tendon dapat
dilakukan tanpa menunggu adanya pertanda kemungkinan
regenerasi lambat dari lesi ulnar tinggi atau proksimal.
Reparasi Dini (Primer) dan Tunda (Sekunder)
Intervensi bedah dini jarang diperlukan pada kebanyakan
cedera regang saraf. Ada beberapa kekecualian. Hematoma
yang besar dan kantung aneurisma akan merubah cedera
parsial menjadi lengkap dan dengan berjalannya waktu
akan menjadi ireversibel kecuali massa dibuang sesegera
mungkin. Lengan bawah yang mengalami kontusi parah atau
fraktura humeral distal yang bersamaan dengan cedera
arteria brakhial merupakan predisposisi akan kontraktur
iskemik Volkmann dan merupakan kekecualian lain dalam
menunda operasi. Pada keadaan ini, fasiotomi segera,
tindakan terhadap cedera vaskuler, dan pada beberapa
kasus neurolisis pada satu atau beberapa saraf akan
diperlukan.
Sindroma serupa dapat mengenai kompartemen
anterior tungkai bawah, memerlukan intervensi emergensi
untuk mencegah terjadinya perubahan saraf atau otot
yang ireversibel. Sindroma nonkausalgik berat sekunder
atas ruda paksa misil terhadap saraf juga sering
mendapatkan manfaat dengan operasi segera yang disertai
pengangkatan fragmen misil. Cedera pada saraf didaerah
yang potensial menjerat juga memerlukan pembebasan
saraf segera disertai seksi struktur jaringan ikat yang
mungkin akan menjerat. Ini dilakukan untuk mencegah
perubahan saraf yang potensial ireversibel.
Reparasi dini (primer) adalah pilihan yang berlaku
untuk cedera laserasi sederhana serta bersih, seperti
diakibatkan oleh kaca dan pisau. Pada cedera sipil,
reparasi primer terbaik untuk cedera transeksi tajam
saraf siatik dan pleksus brakhial tingkat supra-
klavikuler dan aksiler; eksplorasi segera memberikan
kesempatan terbaik akan identifikasi akurat serta
reparasi ujung-ujung tanpa diperlukannya tandur.
Ini terutama untuk cedera pleksus tajam dimana
terdapat kerusakan vaskuler yang harus diperbaiki
segera. Bila setiap sisi luka dieksplorasi beberapa
minggu kemudian, biasanya akan dihadapi parut yang
parah dengan akibat diseksi dan identifikasi elemen
saraf yang terkena menjadi sulit. Pada saat eksplorasi,
pertama harus dipastikan bahwa transeksinya tajam dan
bersih sebelum reparasi primer dilakukan. Bila dijumpai
saraf yang transeksi, faktor berikut menunjuang
reparasi primer:
1. Puntung saraf mudah ditentukan tempatnya dan
hubungannya dengan jaringan sisi cedera lain
biasanya utuh.
2. Puntung saraf mengalami retraksi minimal.
3. Tindakan operasi tunggal adalah definitif dan
mungkin merupakan satu-satunya operasi yang
diperlukan untuk memperbaiki cedera jaringan
lunak dan saraf.
Reparasi primer hanya dilakukan oleh dokter yang
memahami anatomi daerah cedera dan terlatih akan tehnik
bedah saraf makro dan mikroperiferal.
Tidak semua cedera transeksi berarti reparasi
primer. Bila ujungnya tidak rata atau kontusi, lebih
disukai reparasi tunda. Pada keadaan ini kita tidak
mengetahui berapa banyak puntung harus direseksi untuk
mendapatkan jaringan saraf sehat. Bahkan pada cedera
yang disebabkan benda tajam, dapat menyebabkan kontusi
lebih dari pada transeksi, hinga reparasi sekunder
diutamakan. Bila pemulihan EMG atau klinis tidak
terjadi dalam 2-3 bulan pertama, operasi ulang untuk
menilai keutuhan lesi dan membuat rencana untuk atau
menghindari reseksi dan reparasi diindikasikan.
Sebagai kesimpulan, alasan yang menyokong reparasi
tunda atau sekunder adalah:
1. Kerusakan puntung proksimal atau distal telah
mendapat cukup waktu yang ditunjukkan dengan
parut intraneural yang tampak pada potongan
melintang. Karenanya operator dapat memastikan
reseksi telah sampai pada jaringan saraf normal.
2. Cedera yang menyertai telah mendapat kesempatan
mengalami pemulihan, infeksi telah ditekan, dan
telah belajar menggunakan anggota badannya
sebelum menjadi subjek operasi dan terkadang
immobilisasi dengan segala ketidaknyamanannya.
3. Epineurium telah lebih tebal hingga memudahkan
meletakkan jahitan epineural.
4. Operasi elektif hingga dapat dilakukan akurat.
5. Puntung distal bersih dari aksoplasma dan
mielin yang berdegenerasi.
6. Sekitar 15-20% dari laserasi tidak mentranseksi
saraf atau saraf-saraf pada anggota yang
disertai dengan kehilangan fungsi lengkap pada
distribusi satu saraf atau lebih. Tidak mungkin
menentukan segera setelah cedera, untuk
mereseksi lesi atau tidak.
Bila saraf tidak diketahui telah mengalami
transeksi (cedera tertutup) namun dengan tidak adanya
fungsi, terutama setelah luka tembak kecepatan tinggi,
reparasi tunda (sekunder) diindikasikan. Kebanyakan
cedera tertutup pada saraf diakibatkan regangan atau
kontusi. Saraf tidak terputus dan terdapat berbagai
derajat kerusakan intraneural. Ia bisa berupa campuran
aksonotmesis, neurotemesis dan neuropraksia, atau bisa
karena neurotemesis lengkap. Jadi penundaan beberapa
bulan diperlukan, karena akan memungkinkan (1) semua
elemen neuropraksia untuk pulih, (2) cedera yang
menyertai untuk sembuh, dan (3) terpenting, penilaian
fisiologis atas lesi dimeja operasi. Bila regenerasi
adekuat terjadi, aktifitas spontan dapat dilacak dengan
tehnik perekaman NAP intrabedah 8-10 minggu pasca
cedera.
Bila NAP tampil, saraf akan membaik dengan hanya
neurolisis sederhana. Yang paling sering, dilakukan
eksternal neurolisis. Ini berupa pembebasan saraf dari
jaringan sekitarnya, termasuk parut, dan menampilkan
semua jaringan disekitar saraf. Neurolisis internal,
adalah reseksi jaringan parut dari fasikel saraf,
biasanya dicadangkan untuk lesi saraf tertentu yang
memerlukan reparasi pemisahan dan pengelolaan nyeri
neuritik yang refrakter.
Neurolisis bisa bermanfaat dan bisa tidak dalam
perjalanan regenerasi dan dalam mempercepat pemulihan.
Beberapa ahli mempercayai bahwa adesi dan jaringan
parut dapat mengobstruksi atau memperlambat pertumbuhan
akson yang berregenerasi dan bahkan menghambat konduksi
serabut saraf. Penelitian lain menyatakan bahwa
pemulihan dalam keadaan ini akan terjadi bahkan bila
belum dilakukan neurolisis.
Neurolisis mungkin juga mengurangi nyeri neuralgik
nonkausalgik dengan membuang adesi atau parut yang
konstriksi yang melekat pada dan mendeformasi saraf.
Neurolisis atau reparasi saraf jarang mengurangi nyeri
pada cedera nonfokal, seperti regangan-kontusi terutama
pada pleksus. Pemberian setiap hari karbamazepin dan
amitriptilin mungkin membantu mengurangi nyeri. Terapi
fisik yang ketat penting dalam mengurangi nyeri.
Mobilisasi segera anggota yang terkena harus ditekankan
pada pasien dan keluarganya. Memberikan jaminan akan
asal nyeri yang temporer, paling tidak pada pasien
dengan cedera sarf akut, juga bermanfaat. Terkadang
pasien diuntungkan oleh stimulasi saraf periferal
transkutaneus.
Bila NAP tidak tampil dan 8 minggu telah berlalu,
pemulihan tidak akan terjadi kecuali reseksi hingga
kejaringan saraf yang sehat dan reparasi dilakukan.
Disukai reparasi ujung-ujung. Pemakaian tandur autolog,
biasanya digunakan saraf sural, adalah cara terpilih
untuk menjembatani celah yang tidak dapat disambungkan
tanpa terjadinya tegangan oluh penyatuan ujung-ujung.
Keberhasilan penanduran saraf akan berkurang dengan
bertambahnya panjang tandur, karena cedera yang
memerlukan tandur yang lebih panjang biasanya lebih
berat.
Penanduran atas kerusakan yang sangat panjang
tidak bermanfaat pada beberapa saraf, karena kesempatan
untuk mendapatkan semua fungsi yang berguna sangat
jauh. Pada kasus ini, cara alternatif seperti tindakan
neurotisasi harus dipikirkan. Ini termasuk penggunaan
pleksus servikal, saraf aksesori, atau saraf inter-
kostal sebagai pencurah proksimal yang dihubungkan
ketandur sural. Semua tindakan terkadang berakibat
abduksi bahu atau kontraksi bisep/brakhial. Neurotisasi
sulit mengganti kehilangan lebih dari satu fungsi,
walau laporan mutakhir (1992) menunjukkan sejumlah
pasien tetap diuntungkan.
Setelah jelas pemulihan tidak terjadi, saraf yang
cedera harus direparasi dengan penundaan sesingkat
mungkin. Batang saraf distal yang minimal dan atrofi
fasikuler ini akan menyebabkan hasil yang buruk.
Menurut Sunderland, setiap atrofi jelas pada akhir
bulan pertama sejak kecelakaan, mencapai puncaknya
antara bulan ketiga dan keempat, lalu menetap. Sebagai
patokan umum, lesi fokal atas kesinambungan (berkaitan
dengan fraktura, kontusi jaringan lunak, dan beberapa
luka tembak) dapat dengan tepat dinilai intrabedah pada
2-3 bulan pasca cedera.
Cedera regang atau kontusi berat (berkaitan dengan
kecelakaan kendaraan atau ski, jatuh, bentur, dan
peluru) berakibat panjangnya lesi dan perlu pemantauan
lebih lama untuk menilai kemampuan regeneratif penuh.
Lesi ini biasanya dapat dinilai intrabedah secara tepat
dengan perekaman elektrik pada 3-5 bulan pasca cedera.
Terlambatnya rujukan, penyembuhan luka yang menyertai,
dan pengelolaan infeksi akan merubah saat yang tepat
untuk melakukan operasi. Walau patokan ini untuk lesi
pada kesinambungan saraf, bila ada kebingungan mengenai
perjalanan pemulihan, terbaik adalah menaksir saraf
dengan melihat langsung. Penundaan berlebihan reparasi
saraf menyebabkan hasil buruk.