INFEKSI VIRUS PADA S.S.P
Virus adalah parasit intraseluler yang hanya membawa
satu jenis asam nukleik. Diklasifikasikan menurut jenis
asam nukleiknya dan disubdivisi berdasar ukuran dan
bentuk selubung proteinnya. Ada 10 kelompok virus RNA
dan 5 kelompok virus DNA. Semua virus RNA mengalami
replikasi didalam sitoplasma sel, sedangkan virus DNA
kecuali poxvirus dinukleus sel. Tidak setiap kontak
sel-virus berakhir dengan infeksi. Sel bersangkutan
memiliki sisi reseptor yang memadai pada membrana
sitoplasmiknya yang sebanding dengan molekul pelekat
polipeptida pada permukaan viral. Keterancaman spesies
atau jenis sel tertentu terhadap virus tergantung sisi
reseptor ini.
Virus biasanya memasuki badan melalui membrana
mukosa saluran respiratori, gastrointestinal dan
urinari. Epidermis adalah sawar yang efektif terhadap
masuknya virus, dan rusaknya kulit seperti akibat
gigitan nyamuk atau suntikan hipodermik, diperlukan
untuk penyebaran melalui sawar ini. Sementara beberapa
virus dihambat oleh permukaan, lainnya mampu menyebar
luas melalui sistema limfatik dan sirkulatori. Virus
masuk SSP melalui saraf perifer dan via aliran darah.
Jalur saraf perifer sangat penting dalam migrasi dan
disseminasi virus rabies, herpes simplex dan varicella
zoster. Namun infeksi kebanyakan virus pada SSP terjadi
akibat viremia. Pada viremia yang hebat, virus mencapai
parenkhima otak walau sawar darah otak dibentuk oleh
sel endotel. Virus bisa masuk melalui sel endotel dan
mungkin menyerang dan menginfeksinya. Bila partikel
telah masuk SSP, mereka harus mendapatkan sel yang bisa
dipengaruhi hingga bisa terjadi infeksi. Tidak semua
jenis sel SSP terancam oleh virus bersangkutan dan
progresi penyakit akan terhenti kecuali bila virus
menemukan reseptor sel sesuai.
Terbentuknya kelainan neurologis klinis tergantung
pengaruh virus pada sel yang dimasukinya. Herpes
simplex menyebabkan perubahan metabolisme protein
seluler yang menyebabkan sel segera mati. Virus lainnya
mungkin berakibat sedikit perubahan pada metabolisme
seluler esensial, akan tetapi menyebabkan perubahan
metabolisme fungsional, seperti produksi enzim dan
transmiter neural, menyebabkan kelainan utama fungsi
faal saraf khas. Tapi virus lainnya mungkin bertahan
untuk masa yang lama di SSP sebelum menyebabkan bukti
adanya kelainan. Masa laten yang panjang ini paling
umum tampak pada virus DNA dan berkaitan dengan infeksi
kronik seperti panensefalitis sklerosing subakuta
akibat virus campak dan leukoensefalopati multifokal
progresif yang disebabkan papovavirus.
Variasi luas gejala pada kelainan viral adalah
akibat perbedaan keterancaman populasi sel SSP terhadap
berbagai virus. Keberagaman yang luas dari spesialisasi
dan kompleksitas membrana sel SSP mungkin menjelaskan
keterancaman yang khas kelompok sel saraf dan glia
tertentu terhadap virus tertentu. Misalnya virus rabies
mengenai saraf sistema limbik namun tidak terhadap
saraf neokortikal, sedang papovavirus secara selektif
menyerang oligodendrosit, dan virus herpes memiliki
predileksi pada lobus temporal namun dapat dengan baik
menyerang berbagai jenis sel. Kebanyakan infeksi virus
pada SSP disebabkan oleh virus yang umum dijumpai pada
populasi umumnya dan biasanya berkaitan dengan
perjalanan yang jinak dan self limited. Antibodi atas
virus yang umum menyebabkan infeksi SSP terbentuk
secara luas. Kenyataan ini menunjukkan bahwa infeksi
SSP tidaklah secara sederhana diakibatkan agen virus,
namun lebih oleh karena rusaknya mekanisme pertahanan
tubuh normal. Kemajuan besar dari pengobatan telah
mengembangkan strain viral yang telah dibunuh dan
dilumpuhkan untuk immunisasi terhadap polio, mumps dan
campak.
Meningitis viral, infeksi viral paling umum pada
SSP, tampil sebagai meningitis aseptik. Meningitis
enteroviral dapat mulai mendadak tanpa prodroma,
perjalanannya terkadang menyerupai PSA ringan, dan
mungkin menyebabkannya segera dirujuk kebedah saraf.
Seperti meningitis, ensefalitis viral biasanya ringan
dan self limited; namun mungkin tampil dengan penurunan
derajat kesadaran, kejang, kelemahan atau paralisis
fokal, dan jarang-jarang menyebabkan tanda serebeler
seperti ataksia atau nistagmus. Konsekuensi serius dan
bahkan kematian dapat terjadi karena ensefalitis herpes
simplex, ensefalitides ekuina, dan polio.
Kelainan viral dan kelainan berkaitan dengan viral
yang bisa dijumpai pada praktek bedah saraf adalah
ensefalitis herpes simplex, kelainan Jakob-Creutzfeldt,
sindroma Reye, dan infeksi HIV.
ENSEFALITIS HERPES SIMPLEX
Herpes simplex adalah virus DNA dengan dua subjenis
yang secara antigenikal berbeda, dikenal sebagai HSV
jenis 1 dan HSV jenis 2. HSV jenis 1 menyebar melalui
droplet respirator dan saliva, diketahui dengan baik
sebagai agen yang tersebar dimana-mana dan penyebab
cold sore jinak yang rekuren dari mukosa oral. Sekitar
90 % dewasa memiliki antibodi sirkulatori terhadap
HSV-1 dan sekitar 25 % mengalami cold sore rekuren.
Untuk alasan yang belum jelas, virus ini virulensinya
terhadap SSP bertambah dan menyebabkan ensefalitis
nekrotising terlokalisir pada anak dan dewasa. HSV-2
menyebar melalui kontak seksual, adalah penyebab lesi
mukosal dan dapat menjadi infeksi sistemik mematikan
pada neonatus. Ensefalitis HSV-2 diffusa bisa sebagai
begian kelainan ini. Herpes neonatal dikira ditularkan
dari ibu saat pasasi melalui jalan lahir yang
terinfeksi.
Karakteristik penting HSV-1 adalah kemampuan untuk
tetap pada keadaan 'tidur', keadaan asimtomatik untuk
jangka lama pada badan sel neuron sensori ganglion
trigeminal, dan secara berkala berulang sebagai lesi
mukokutan sekitar mulut. Virus mencapai ganglia
trigeminal melalui transport aksoplasmik retrograd
mencapai akson yang mencatu daerah lesi oral. Virus
yang 'tidur' dapat diaktifkan berbagai stimuli seperti
demam, cedera, sinar ultraviolet, dan trauma pada saraf
trigeminal; membentuk lesi kulit yang baru, diduga
melalui perjalanan sentrifugal partikel virus menuruni
akson sensori. Tidak ada partikel virus atau antigen
viral dapat ditemukan pada ganglia trigeminal selama
keadaan 'tidur'. Virus DNA karenanya dikatakan tidak
memproduksi partikel viral dan tanpa merusak integritas
seluler metabolisme neuron sensori. Setelah stimulasi,
replikasi virus berperan dengan cepat.
Ensefalitis HSV-1 adalah penyebab tersering
ensefalitis fatal yang sporadik di USA. Bila tidak
diobati, angka kematian sekitar 70 %, jauh lebih tinggi
dari kebanyakan ensefalitides. Hubungan ensefalitis
HSV-1 dengan infeksi herpes oral tidak jelas. Walau
beberapa pasien memiliki lesi oral aktif pada saat
onset ensefalitis, ini umumnya tidak ada artinya.
Riwayat lesi herpetik dijumpai pada 25 % kasus
ensefalitis, persentasi yang sama dengan populasi umum.
Mekanisme infeksi SSP adalah invasi HSV-1 pada epitel
nasal dan migrasi sepanjang akson dari saluran
olfaktori kelobus temporal. Proses ensefalitik, umumnya
paling serius pada lobus frontal inferior dan temporal,
yaitu invasi dan diikuti lisis sel glial dan neuronal.
Sekitar 90 % pasien memperlihatkan tanda neuro-
logis segera yang menunjukkan lokalisasi fronto-
temporal: halusinasi, kelainan tingkah-laku, dan
perubahan kepribadian. demam dan nyeri kepala, umum
terjadi pada tahap awal seperti juga kejang, baik motor
fokal, GM, atau kompleks partial. Gangguan memori,
menunjukkan terkenanya temporal basal bilateral, tampak
pada banyak pasien. Defisit motor fokal, biasanya pada
muka dan lengan, bisa terjadi dan afasia sering bila
daerah frontotemporal dominan yang terkena. Dengan
perjalanan penyakit, daerah frontotemporal menjadi
edema dan sering bertindak sebagai massa intrakranial
dan menyebabkan peninggikan TIK serta herniasi unkal.
Koma, pada usia lebih dari 30 tahun, disertai dengan
terlambatnya terapi antiviral menunjukkan prognosis
buruk.
Pemeriksaan CSS hanya sedikit membantu dalam
menegakkan diagnosis ensefalitis HSV. Pleositosis CSS
paling sering berupa campuran sel neutrofil dan
mononuklir dengan yang terakhir lebih dominan. Sel
darah merah, sangat jarang pada ensefalitides lain,
sering tampil dan merupakan kunci penting diagnostik.
Protein cukup meninggi dan glukosa normal. Biakan HSV
jarang positif dari CSS dan perlu waktu lama bila akan
dipakai sebagai nilai diagnostik awal. Tes untuk
melacak antigen HSV juga perlu waktu, dan tidak
terbukti cukup sensitif atau spesifik. Terakhir ini,
tehnik reaksi rantai polimerase untuk mengenal DNA HSV
pada CSS terbukti merupakan tes yang cepat dan
sensitif. Tes ini menjanjikan sebagai tes diagnostik
terpilih.
EEG mungkin membantu dalam memastikan proses fokal
dengan memperlihatkan pelepasan paroksismal periodik
atau kompleks gelombang lambat pada satu atau kedua
lobus temporal. CT scan mungkin memperlihatkan adanya
penurunan penguatan pada hari ketiga penyakit.
Penurunan penguatan ini menunjukkan adanya edema dan
nekrosis didaerah ensefalitis. Penggunaan zat kontras
memperlihatkan daerah dengan penguatan abnormal sekitar
daerah berdensitas rendah. MRI nyata lebih sensitif
dalam melacak perubahan edema awal dan akan mempercepat
ditemukannya perubahan ensefalitik HSV nonhemoragik.
Konfirmasi lengkap diagnosis herpes ensefalitis
sering tergantung hasil kultur atau histologis dari
biopsi otak. Sebagian ahli menyetujui terapi asiklovir
bila kelainan diatas dijumpai. Sayangnya ketepatan
diagnosis tanpa biopsi hanya sekitar 35-45 %. Lainnya
mengatakan bahwa diagnosis ensefalitis HSV dipastikan
dengan biopsi, dengan alasan morbiditas yang rendah dan
akan mengenal kelainan lain yang memerlukan terapi
spesifik. Ahli lainnya sedikit lebih menyukai terapi
empirik dengan asiklovir, namun biopsi otak jelas
berguna pada pasien dengan glukosa CSS rendah pada
pungsi lumbar pertama. Daerah biopsi ditentukan dengan
CT scan atau MRI. Bisa secara terbuka atau stereo-
taktik. Penilaian CSS dengan reaksi rantai polimerase
mungkin mengurangi perlunya biopsi dimasa mendatang.
Saat ini, alasan biopsi tidak hanya untuk memastikan
ensefalitis HSV, namun lebih sebagai pencari kelainan
lain yang dapat ditindak.
Tindakan terpilih untuk ensefalitis HSV jenis 1
adalah asiklovir. Asiklovir adalah analog asiklik
guanosin yang menghambat sintesis DNA viral melalui
ikatan pada polimerase DNA viral setelah fosforilasi
pada sel yang terinfeksi. Terapi harus dimulai segera
setelah diagnosis, karena keterlambatan dimulainya
terapi secara drastis mempengaruhi kematian pasien.
Dosis 30mg/kg per hari diberikan dengan selang 8 jam
untuk paling tidak 10 hari. Kematian keseluruhan tampak
berkurang hingga 19-28 % dengan terapi asiklovir, nyata
kurang dari terapi vidarabin yang sekitar 50 %. Faktor
yang sama pentingnya dalam menindak pasien ini adalah
pengontrolan peninggian TIK sehubungan dengan edema
frontotemporal. Cairan IV harus diamati ketat dan
penggunaan hiperventilasi, steroid, diuretik osmotik,
dan pengamatan TIK semua penting dalam rencana
pengobatan.
KELAINAN JAKOB-CREUTZFELDT
Pentingnya kelainan ini dipraktek bedah saraf adalah
bahwa ia potensial untuk penyebaran iatrogenik.
Kelainan degeneratif progresif ini adalah satu dari
ensefalopati spongiform subakuta, pada kelompok mana
juga termasuk kuru pada manusia dan scrapie pada domba.
Kelainan ini disebabkan 'prion', atau 'unconventional
agent' yang penularannya tidak diketahui. Prion
menyebabkan tidak adanya respon immun dan resisten
terhadap tindakan yang biasanya menginaktifkan virus
seperti panas, radiasi ultraviolet, dan nuklease.
Kelainan ini tersebar luas didunia, insidensi 1-2
per sejuta penduduk. Sekitar 10-15 % kasus adalah
familial. Gejala biasanya dimulai pada dekade kelima
atau keenam. Secara umum dimulai dengan prodroma yang
kabur dari kelelahan, kelainan langkah yang ringan, dan
defisit memori. Ini diikuti demensia progresif cepat
bersamaan dengan ataksia, kebutaan, khoreoatetosis,
dan paling khas mioklonus. Mati mengikuti dalam 8-12
bulan. Tak ada perubahan khas pada CSS atau CT scan.
Perubahan patologis adalah atrofi serebral berat,
hilangnya neuron, astrositosis, dan vakuolisasi
sitoplasmik neuron dan astrosit.
Perhatian yang besar diberikan pada pasien yang
dioperasi dengan demensia progresif. Biopsi dan
tindakan pintas ventrikuler dilakukan hanya setelah
pemikiran matang. Instrumen bedah dan elektroda dalam
yang digunakan pada setiap tindakan terhadap pasien
dengan kelainan yang tak jelas etiologinya harus
ditangani dengan perhatian yang lebih besar dan harus
diperlakukan khusus setelah bedah. Autoklav pada 121o C
(250o F) pada 15 psi untuk 1 jam atau perendaman dalam
sodium hipokhlorida 5 % akan menginaktifkan agen ini.
SINDROMA REYE
Walaupun bukan infeksi viral dari SSP, sindroma Reye
adalah penyakit yang berkaitan dengan viral dimana
intervensi bedah saraf sering merupakan penyelamat
hidup. Sindroma ini jarang, ensefalopati noninflamatori
bersamaan dengan infiltrasi lemak mikrovesikuler
hepatik dan hiperammonemia berat yang terjadi hampir
seluruhnya pada anak-anak. Pertama dijelaskan tahun
1963, sindroma ini khas dengan penyakit viral dengan
prodromal tidak jelas, dengan beberapa hari kemudian
diikuti muntah-muntah hebat serta tabiat abnormal,
memburuk dengan cepat kedalam koma. Hepatomegali
biasanya tampil, pemeriksaan laboratorium menunjukkan
peninggian ammonia serum, peninggian AST dan ALT,
asidemia laktik, dan waktu protrombin memanjang.
Pemeriksaan CSS tak jelas. Postur deserebrasi dan
hiperventilasi menjadi jelas disaat penyakit menberat.
EEG memperlihatkan disfungsi neuronal luas, menunjukkan
beratnya proses, dan ini berguna dalam menentukan
tingkat penyakit bila dikombinasikan dengan kriteria
klinis.
Penyebab penyakit dan etiologi kelainan biokimia
belum begitu dimengerti namun dikira multifaktor. Pada
hampir semua kasus, fase ensefalopatik didahului
kelainan respiratori atau chicken pox. Epidemi
influenza B atau A serta varicella berhubungan dengan
outbreak sindroma Reye. Terdapat hubungan erat antara
pemakaian aspirin saat gejala viral prodromal yang
diikuti timbulnya sindroma Reye. Sejak 1980 terjadi
penurunan kasus walau terjadi epidemi influenza B yang
hebat. Penurunan ini berkaitan dengan peningkatan
kewaspadaan masyarakat akan aspirin dan penurunan
pemakaian aspirin pada anak.
Faktor terpenting pada patogenesis ensefalopati
pada sindroma Reye adalah hiperammonemia. Bersihan hati
atas ammonia menurun karena destruksi enzim siklus
urea. Kadar ammonia arterial bisa mencapai 1000ug/100mm
dan langsung berkaitan dengan kedalaman koma, beratnya
abnormalitas EEG, dan tingkat mortalitas. Pemeriksaan
otak memperlihatkan edema serebral sitotoksik dengan
pembengkakan tonjolan kaki astrosit dan tidak ada tanda
edema interstitial, inflamasi, atau demielinasi.
Edema serebral hampir umum pada kasus fatal dan
mortalitas yang tinggi pada sindroma Reye sangat
berhubungan dengan peninggian TIK. Perbaikan koma dan
pengurangan mortalitas telah diketahui bila pengamatan
TIK serta usaha yang sungguh-sungguh menurunkan TIK
ditambahkan pada protokol tindakan suportif. Mannitol
efektif menurunkan TIK, sedang kortikosteroid tampaknya
tidak efektif.