TINDAKAN BEDAH PADA KELAINAN SEREBRO-VASKULER.
Dr. Syaiful Saanin, SpBS.
SMF Bedah Saraf RS. M. Djamil.
https://www.angelfire.com/nc/neurosurgery
Peninggian tekanan intrakranial
(TIK) adalah penyebab kerusakan otak dan kematian yang umum yang disebabkan
oleh berbagai kelainan otak akut dan tetap menjadi penyebab tersering kematian
pasien bedah saraf. Kelainan tersebut bisa berupa perdarahan, infark, serta
hidrosefalus yang menyertainya.
Massa yang terbentuk serta
edema yang menyertainya akan meninggikan TIK dan menggeser jaringan otak. Pada
peninggian TIK, gangguan fungsi otak bisa dikarenakan terjadinya herniasi otak,
hilangnya otoregulasi serta terganggunya perfusi. Gejala dan tanda yang timbul
diakibatkan oleh massanya sendiri, peninggian tekanan intrakranial dan herniasi
otak yang terjadi.
Tindakan bedah pada kelaian serebrovaskuler adalah untuk mengatasi
sumber perdarahan dan mencegah perdarahan ulang seperti pada aneurisma atau
malformasi arteriovenosa, melakukan dekompressi untuk mencegah atau mengatasi
peninggian tekanan intrakranial dan herniasi otak, serta memperbaiki sirkulasi
serebral seperti pada infark otak dimana dilakukan anastomosis vaskuler intra
dan ekstrakranial serta tromboendarterektomi karotid servikal. Sirkulasi juga
akan membaik setelah dekompressi, baik otak secara keseluruhan maupun jaringan
sekitar hematoma.
OPERATIVE MANAGEMENT OF CEREBROVASCULAR DISEASES.
Dr. Syaiful Saanin, neurosurgeon.
Department of Neurosurgery M. Djamil Hospital.
Raised intracranial
pressure (ICP) is the final common path to brain damage and death from a
variety of acute intracranial conditions and it is still the commonest cause of
death in neurosurgical patients.. These include hemorrhage, infarction and
hydrocephalus that accompanies them.
Intracranial mass lessions
and brain swelling that accompanies them raise ICP and distort the brain.
Disturbance of brain function in raise of ICP caused by brain herniation, loss
of autoregulation and misery
perfussion. Signs and symptoms caused by mass itself, raise of ICP and brain
herniation.
Surgical treatment of CVD includes three purposes, the first being the
treatment of hemorrhage source, especially prevention of rebleeding like for
cerebral aneurysms or arteriovenous malformation (AVM). Next is management of
intracranial hypertension and cerebral herniation, which is usually achieved by
hematoma removal. Operation intended for decompression. Finally, cerebral
circulation is to be improved (hemodynamics), in case like cerebral infarction
where intra and extracranial vascular anastomosis and cervical carotid
thromboendarterectomy are performed. Brain circulation or peri focal tissue
also improved by decompression.
KETERANGAN : Algoritma pada akhir dokumen.
PENDAHULUAN
Peninggian tekanan intrakranial (TIK) tetap merupakan penyebab kematian
tertinggi pada kasus bedah saraf. Beberapa proses patologi otak dapat
menimbulkan pennggian TIK. Dilain fihak peninggian TIK mempunyai konsekuensi
yang buruk terhadap outcome pasien. Jadi peninggian TIK tidak hanya
menunjukkan adanya masalah, namun sering bertanggung-jawab terhadapnya. Massa
bersama edema sekitarnya, serta hidrosefalus obstruktif yang diakibatkannya,
akan meninggikan TIK dan juga akan mendistorsikan jaringan otak.
Pada saat sutura tengkorak
telah berfusi, volume intra kranial konstan. Isi intrakranial utama adalah
otak, darah, serta cairan serebrospinal yang masing-masing tidak dapat diperas.
Karenanya bila volume salah satu berubah, akan terjadi peninggian TIK kecuali
biala terjadi reduksi yang bersamaan dan ekual dari volume lainnya. Selama fase
kompensasi, terjadi penggantian volume yang hampir ekual sehingga sedikit saja
perubahan pada TIK. Pada titik dekompensasi, peninggian volume selanjutnya akan
menyebabkan penambahan tekanan yang makin makin besar.
Perubahan volume sendiri
bersifat penjumlahan. Efek massa patologis akan sangat membesar oleh adanya
edema sekitarnya. Pada kasus yang lebih kompleks juga karena gangguan absorbsi
CSS akibat perdarahan subarakhnoid atau perdarahan intra ventrikuler. Mungkin
juga dapat juga ditambahkan
vasodilatasi akibat hilangnya autoregulasi atau hiperkarbia.
Efek klinis tingkat
peninggian tertentu TIK sangat bervariasi. Penyebab akhir kegagalan otak adalah
iskemia. Karenanya untuk mengerti hubungan antara TIK dan kegagalan otak perlu
memahami hubungan antara TIK, aliran darah otak dan metabolisme otak, serta
antara TIK dan pergeseran otak.
Peninggian TIK mempengaruhi aliran darah otak melalui kompressi
arteria serebral, peregangan serta perobekan arteria dan vena batang otak,
serta berpengaruh atas perfusi serebral. Aliran darah otak regional berubah
sesuai kebutuhan metabolisme lokal melalui autoregulasi. Jadi aliran darah otak
dipengaruhi oleh tekanan darah arterial, TIK, autoregulasi, stimulasi
metabolik, serta distorsi atau kompressi pembuluh darah oleh massa intrakranial
atau oleh herniasi yang langsung
merusak kapasitas autoregulasi, menyebabkan bendungan vena atau iskemia akibat
kompressi arteria.
Pada kenyataannya, banyak
akibat klinis dari peninggian TIK adalah akibat pergeseran jaringan otak
dibanding dengan tingkat TIK sendiri. Herniasi trans-tentorial terjadi bila massa
terletak lebih kelateral, menyebebkan pergeseran bagian mediallobus temporal
(unkus) melalui hiatus tentorial serta akan menekan batang otak secara
transversal dengan akibat penurunan kasadaran. Saraf ketiga terkiompresi dengan
akibat dilatasi pupil ipsilateral. Penekanan pedunkel serebral berakibat
hemiparesis kontralateral. Penekanan arteria serebral posterior berakibat
infark lobus oksipital sehingga menimbulkan hemianopia.
Herniasi tonsiler merupakan
tahap akhir kompresi otak supratentorial progresif, dan menampakkan tahap akhir
dari kegagalan batang otak. Pada massa fossa posterior herniasi tonsiler
berdiri sendiri, menyebabkan tortikolis, suatu refleks mengurangi tekanan pada
medulla. Kesadaran mungkin tidak terganggu, namun kegagalan pernafasan terjadi
berat dan cepat.
Herniasi subfalsin jarang
berdiri sendiri. Terjadi pergeseran permukaan hemisfer (girus singulata)
didekat falks yang akan menekan arteria serebral anterior dengan akibat
paralisis tungkai kontralateral.
Berdasar hal-hal diatas,
sebagian kasus “stroke” memerlukan tindakan bedah, baik secara gawat darurat,
maupun bedah tunda ataupun bedah pencegahan. Ada tiga tujuan utama tindakan
bedah pada “stroke”. Pertama adalah pencegahan perdarahan ulang seperti
pemasangan klip pada aneurisma serebral atau reseksi total pada malformasi
arterio-venosa (AVM). Selanjutnya adalah mengurangi TIK yang meninggi yang
biasanya dicapai dengan cara membuang hematoma. Terakhir adalah memperbaiki
sirkulasi serebral (hemodinamik), seperti pada trombosis atau kelainan
moyamoya, dimana dilakukan anastomosis vaskuler intra-ekstra kranial serta
trombo-endarterektomi karotid pada stenosis arterial karotid. Pembuangan
hematoma yang menurunkan TIK sendiri akan memperbaiki perfusi pada jaringan
otak.
PENILAIAN DAN PENGELOLAAN INITIAL.
Tidak peduli apakah tindakan bedah atau konservatif yang akan
dilakukan, penilaian dan tindakan inisial adalah sama. Tindakan standar adalah
mempertahankan keutuhan jalan nafas dengan cara membersihkan jalan nafas, pemasangan
kanul oro/nasofaring, termasuk pemasangan pipa endotrakheal pada pasien dengan
GCS £ 8; menjamin
pernafasan yang memadai termasuk pemberian oksigen dan pemakaian respirator
bila GCS £ 8, serta
mempertahankan sirkulasi yang memadai, termasuk mengontrol tekanan darah sesuai
kasus yang dihadapi serta pemasangan jalur vena sentral. Pasang jalur vena
sambil mengambil contoh darah untuk pemeriksaan, serta kateter foley (bila
perlu pasang jalur arterial untuk mengontrol tekanan darah). Lakukan pemeriksaan
neurologis sederhana (GCS dan pupil). Periksa EKG dan foto toraks ditempat.
Setelah resusitasi dan
pasien stabil, lakukan pemeriksaan neurologis lengkap dan sken CT. Periksa
darah lengkap termasuk analisa gas darah serta waktu perdarahan/pembekuan. Tegakkan
diagnosis, bawa pasien keunit radiologis bila perlu tindakan radiologis lain,
kebangsal, ke ICU atau kekamar operasi sesuai indikasi.
I. PERDARAHAN INTRASEREBRAL
NONTRAUMATIKA.
Tindakan segera terhadap pasien dengan PIS
ditujukan langsung terhadap
pengendalian TIK serta mencegah perburukan neurologis
berikutnya. Tindakan medis seperti hiperventilasi, diuretik osmotik
dan steroid (bila perdarahan
tumoral) digunakan untuk mengurangi hipertensi intrakranial yang disebabkan
oleh efek massa perdarahan. Sudah dibuktikan bahwa evakuasi perdarahan yang
luas meninggikan survival pada
pasien dengan koma, terutama yang bila
dilakukan segera setelah
onset
perdarahan.
Walau begitu pasien
sering tetap dengan defisit neurologis yang jelas. Pasien
yang memperlihatkan tanda-tanda herniasi
unkus memerlukan evakuasi yang sangat
segera dari hematoma. Angiogram
memungkinkan
untuk menemukan kelainan
vaskuler. Adalah sangat serius untuk
memikirkan pengangkatan PIS yang besar (Æ > 3 cm) bila ia
bersamaan dengan hipertensi
intrakranial yang menetap dan diikuti
atau telah terjadi defisit neurologis
walau telah diberikan tindakan medis maksimal.
Adanya hematoma dalam
jaringan otak bersamaan dengan adanya kelainan neurologis
memerlukan evakuasi bedah segera sebagai
tindakan terpilih. Beratnya
perdarahan inisial menggolongkan pasien kedalam tiga kelompok:
1. Perdarahan progresif
fatal. Kebanyakan pasien berada pada keadaan medis buruk. Perubahan hebat tekanan
darah mempengaruhi kemampuan otak
untuk mengatur catu darahnya, gangguan elektrolit umum terjadi dan pasien sering dehidrasi.
Hipoksia akibat efek serebral dari perdarahan
serta obstruksi jalan
nafas memperburuk keadaan. Perburukan
dapat diikuti sejak saat perdarahan dengan
bertambahnya tanda-tanda peninggian
TIK dan gangguan batang otak. Pengelolaan inisial pada
kasus berat ini adalah medikal dengan mengontrol tekanan darah ketingkat yang tepat,
memulihkan kelainan
metabolik, mencegah hipoksia dan menurunkan tekanan
intrakranial dengan manitol,
steroid (bila penyebabnya perdarahan tumoral) serta tindakan hiperventilasi. GCS biasanya kurang dari 6.
2. Kelompok sakit ringan
(GCS 13-15).
3. Kelompok intermediet, dimana perdarahan cukup berat
untuk menimbulkan defisit neurologis parah namun tidak cukup untuk menyebabkan pasien tidak dapat
bertahan hidup (GCS 6-12). Tindakan
medikal diatas diberikan hingga
ia keluar dari keadaan berbahaya, namun keadaan neurologis tidak menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Pada keadaan ini pengangkatan hematoma dilakukan
secara bedah.
Bila tanpa disertai efek massa jelas, tidak terbukti bahwa
operasi terhadap PIS kecil, terutama bila terletak superfisial pada substansi putih subkortikal, akan
memperbaiki outcome.
Dalam mempertimbangkan tindakan operasi tersangka PIS hipertensif, angiogram penting
bila dicurigai ada penyebab
potensial lain seperti
aneurisma, AVM atau tumor. Sayangnya kemungkinan amiloid
tidak begitu dapat diprediksi dan bila ditemukan mungkin agak menimbulkan kesulitan saat operasi dalam hal
mengatasi perdarahan. Sangat penting
mencari kelainan perdarahan sebelum
operasi dan mengoreksinya bila mungkin.
Perdarahan primer fossa
posterior mempunyai
keistimewaan dimana evakuasi dini dari hematoma
pada pasien yang hidup setelah perdarahan inisial merupakan urgensi yang sangat. Obstruksi
jalur CSS baik pada akuaduk atau
ventrikel keempat menyebabkan hidrosefalus segera yang memperburuk keadaan
pada pasien yang perdarahannya sendiri
belum tentu mengancam
jiwa. Perdarahan serebeler biasanya timbul tanpa disertai
kehilangan kesadaran, ataupun
defisit motorik atau sensorik. Namun nyeri kepala, pusing, serta kesulitan berjalan,
dan gerak mata
abnormal sering terjadi. Karena perburukan klinis sering terjadi
sangat cepat dan tindakan
evakuasi secara bedah telah
diperlihatkan sangat bermanfaat, penting sekali menemukan kelainan
klinisnya sesegera mungkin.
PENGELOLAAN
SECARA MEDIKAL
Penilaian
dan Pengelolaan Inisial
Pengelolaan spontan terutama tergantung keadaan klinis
pasien serta etiologi, ukuran serta lokasi
perdarahan. Tak peduli apakah tindakan konservatif atau bedah yang akan dilakukan, penilaian dan tindakan
medikal inisial terhadap pasien adalah
sama.
Saat pasien datang
atau berkonsultasi, evaluasi dan pengelolaan awal harus
dilakukan bersama tanpa penundaan yang tidak perlu. Pemeriksaan
neurologis inisial dapat dilakukan dalam 10 menit, harus
menyeluruh. Informasi ini untuk memastikan prognosis, juga untuk
membuat rencana tindakan selanjutnya. Pemeriksaan neurologis serial
harus dilakukan.
Tindakan standar adalah untuk
mempertahankan jalan nafas, pernafasan, dan sirkulasi. Hipoksia harus ditindak segera untuk mencegah cedera
serebral sekunder akibat iskemia. Pengamatan ketat dan pengaturan tekanan
darah penting baik pada pasien
hipertensif maupun
nonhipertensif. Jalur arterial dipasang
untuk pemantauan yang sinambung atas tekanan darah. Setelah PIS,
kebanyakan pasien adalah
hipertensif. Penting untuk tidak
menurunkan tekanan darah secara
berlebihan pada pasien dengan
lesi massa intrakranial dan peninggian TIK, karena secara bersamaan akan menurunkan
tekanan perfusi serebral.
Awalnya, usaha dilakukan untuk mempertahankan tekanan arah
sistolik sekitar 160 mmHg pada pasien yang sadar dan sekitar 180 mmHg pada
pasien koma, walau nilai ini tidak mutlak dan akan bervariasi tergantung
masing-masing pasien. Pasien dengan hipertensi berat dan tak terkontrol mungkin diperkenankan untuk
mempertahankan tekanan darah sistoliknya diatas 180 mmHg, namun
biasanya dibawah 210 mmHg, untuk
mencegah meluasnya perdarahan oleh perdarahan ulang.
Pengelolaan awal hipertensinya, lebih
disukai labetalol, suatu antagonis alfa-1, beta-1 dan beta-2 kompetitif. Drip
nitrogliserin mungkin perlu untuk kasus tertentu.
Gas darah arterial
diperiksa untuk menilai oksigenasi dan status asam-basa. Bila jalan nafas tak dapat
dijamin, atau diduga suatu lesi
massa intra-kranial pada
pasien koma atau
obtundan, dilakukan
intubasi endotrakheal. Cegah pemakaian
agen anestetik yang akan meninggikan TIK seperti oksida nitro.
Agen anestetik aksi pendek lebih
disukai. Bila diduga ada peninggian TIK, dilakukan hiperventilasi untuk
mempertahankan PCO2 sekitar
25-30mmHg, dan setelah kateter Foley terpasang, diberikan mannitol 1.5 g/kg IV. Tindakan
ini juga dilakukan pada pasien
dengan perburukan
neurologis progresif seperti
perburukan hemiparesis,
anisokoria progresif, atau
penurunan tingkat kesadaran.
Dilakukan elektrokardiografi, dan denyut nadi dipantau.
Darah diambil saat
jalur intravena dipasang. Hitung darah lengkap, hitung
platelet, elektrolit, nitrogen
urea darah, kreatinin serum, waktu protrombin, waktu tromboplastin
parsial, dan tes
fungsi hati dinilai. Foto polos
dilakukan bila perlu.
Setelah penilaian secara cepat dan stabilisasi pasien,
dilakukan CT scan kepala tanpa kontras.
Sekali diagnosis PIS ditegakkan, pasien dibawa untuk
mendapatkan pemeriksaan radiologis lain yang diperlukan, keunit perawatan intensif, kamar
operasi atau kebangsal, tergantung
status klinis pasien, perluasan dan lokasi perdarahan, serta etiologi
perdarahan. Sasaran awal pengelolaan adalah
pencegahan perdarahan ulang dan mengurangi efek massa, sedang tindakan berikutnya diarahkan pada
perawatan medikal umum serta
pencegahan komplikasi.
Pencegahan
atas Perdarahan Ulang
Perdarahan ulang jarang pada perdarahan hipertensif.
Saat pasien sampai didokter, perdarahan aktif
biasanya sudah berhenti. Risiko perdarahan ulang dari AVM
dan tumor juga jarang. Tindakan
utama yang dilakukan adalah mengontrol tekanan darah
seperti dijelaskan diatas. Pada perdarahan karena aneurisma yang
ruptur, risiko perdarahan ulang lebih tinggi. Pertahankan
tekanan darah 10-20 % diatas
tingkat normotensif untuk mencegah
vasospasme, namun cukup rendah untuk menekan risiko
perdarahan. Beberapa
menganjurkan asam aminokaproat,
suatu agen
antifibrinolitik. Namun manfaat
serta indikasinya tetap belum jelas.
Kasus dengan koagulasi abnormal, risiko perdarahan ulang atau
perdarahan yang berlanjut
sangat nyata kecuali bila koagulopati dikoreksi. Pasien dengan
kelainan perdarahan lain dikoreksi sesuai dengan penyakitnya.
Mengurangi
Efek Massa
Pengurangan efek massa dapat dilakukan secara medikal maupun bedah. Pasien dengan
peninggian TIK dan/atau dengan area yang lebih fokal
dari efek massa, usaha nonbedah untuk mengurangi
efek massa penting untuk mencegah
iskemia serebral sekunder dan kompresi
batang otak yang mengancam jiwa. Tindakan untuk
mengurangi peninggian TIK antaranya :
(1) elevasi kepala
hingga 30o untuk mengurangi
volume vena intrakranial
serta memperbaiki
drainase vena;
(2) mannitol intravena (mula-mula 1.5 g/kg bolus, lalu
0.5 g/kg tiap 4-6
jam untuk mempertahankan osmolalitas serum 295-310 mOsm/L);
(3) restriksi cairan ringan
(67-75 % dari pemeliharaan) dengan
penambahan
bolus cairan koloid
bila perlu;
(4) ventrikulostomi dengan
pemantauan TIK serta drainasi CSS untuk
mempertahankan
TIK kurang dari 20mmHg; dan
(5) intubasi endotrakheal dan
hiperventilasi, mempertahankan PCO2 25-
30 mmHg.
Pada pasien sadar dengan efek massa regional akibat PIS, peninggian kepala, restriksi cairan,
dan mannitol biasanya memadai. Tindakan ini dilakukan untuk
memperbaiki tekanan perfusi serebral dan mengurangi
cedera iskemik sekunder. Harus ingat bahwa tekanan perfusi serebral adalah sama
dengan tekanan darah arterial rata-rata dikurangi tekanan
intrakranial, hingga tekanan darah sistemik harus dipertahankan pada tingkat normal, atau lebih disukai
sedikit lebih tinggi dari tingkat normal.
Diusahakan tekanan perfusi serebral setidaknya 70 mmHg, bila
perlu memakai vasopresor seperti dopamin intravena atau fenilefrin.
Pasien sadar dipantau dengan pemeriksaan neurologis serial,
pemantauan TIK jarang diperlukan. Pada pasien koma yang tidak
sekarat (moribund), TIK dipantau secara rutin. Disukai ventrikulostomi karena memungkinkan
mengalirkan CSS, karenanya lebih
mudah mengontrol TIK.
Perdarahan intra-ventrikuler menjadi esensial karena sering terjadi
hidrosefalus akibat
hilangnya jalur keluar CSS. Lebih disukai
pengaliran CSS dengan ventrikulostomi dibanding hiperventilasi
untuk pengontrolan TIK jangka lama.
Pemantauan TIK membantu menilai
manfaat tindakan medikal dan membantu
memutuskan apakah intervensi bedah diperlukan.
Pemakaian
kortikosteroid untuk
mengurangi edema serebral akibat PIS pernah dilaporkan bermanfaat pada banyak
kasus anekdotal. Namun
penelitian menunjukkan bahwa deksametason
tidak menunjukkan manfaat,
disamping jelas
meningkatkan komplikasi (infeksi dan
diabetes). Namun digunakan deksametason pada perdarahan parenkhimal karena tumor yang berdarah dimana
CT scan memperlihatkan edema serebral
yang berat.
Perawatan
Umum
Pasien dengan perdarahan
intraventrikuler atau kombinasi dengan perdarahan sub-arakhnoid atau
parenkhimal akibat robeknya aneurisma nimodipin diberikan. Belum ada bukti
pemberian intravena lebih baik. Namun penggunaan pada PIS non-aneurismal belum pasti.
Antikonvulsan diberikan begitu diagnosis PIS
supratentorial ditegakkan, kecuali
bila perdarahan terbatas pada talamus atau ganglia
basal. Secara inisial disukai fenitoin. Antikonvulsan lain seperti
fenobarbital dan karbamazepin.
Kejang bisa bersamaan dengan peninggian dramatik TIK dan
tekanan darah sistemik, yang
dapat menyebabkan perdarahan, karenanya harus
dicegah. Selain itu
hipoksia dan asidosis sering
tampak selama aktifitas
kejang, potensial untuk menambah cedera otak sekunder.
Pengelolaan metabolik
yang baik diperlukan pada pasien dengan PIS. Status cairan,
elektrolit serum, dan fungsi renal harus ditaksir berulang, terutama
pada pasien dengan restriksi cairan, mendapat mannitol atau diuretika lain, atau tidak
makan. Nutrisi memadai adalah esensial.
Perawatan
pulmoner agresif dilakukan
untuk mencegah sumbatan mukus,
aspirasi, dan pneumonia. Stoking kompresi
pneumatik dan tabung anti
embolik dipasang untuk mencegah
trombosis vena dalam. Terapi fisik dimulai dini, memperbaiki
jangkauan gerak. Bidai pergelangan tangan
dan kaki dipasang untuk mencegah kontraktur fleksi.
Pemeriksaan
Lain
Pemeriksaan dengan
pencitraan lain dilakukan
bila etiologi perdarahan tidak jelas. Bisa berupa sidik MRI berulang dengan atau tanpa
gadolinium IV dan / atau angiogram serebral.
CT scan kepala ulang
dilakukan paling tidak sekali
perminggu selama beberapa minggu sejak perdarahan guna menaksir resolusi hematoma dan juga memeriksa terjadinya hidrosefalus komunikating, terutama pada kasus perdarahan intraventrikuler.
Hidrosefalus tunda mungkin
bertanggung-jawab atas tidak adanya
perbaikan klinis atau perburukan pasien. CT
scan harus lebih sering bila pasien menunjukkan tanda perdarahan ulang / perburukan neurologis.
PENGELOLAAN
SECARA BEDAH
Indikasi Operasi
Indikasi tindakan bedah terhadap pasien PIS tergantung pada etiologi, lokasi dan
ukuran perdarahan, serta status klinis pasien. Evakuasi stereotaktik atau pembedahan secara neuroendoskopi
dilakukan pada perdarahan intraparenkhimal PIS yang terletak dalam dan sulit
dijangkau.
Etiologi
Perdarahan
Tindakan bedah pada PIS
hipertensif biasanya dilakukan bila
lesi berukuran lebih dari 3 cm dengan GCS antara 6-12, kecuali
pada keadaan tertentu perdarahan
yang lebih kecil seperti perdarahan
serebeler dan kadang-kadang perdarahan lober atau putaminal
dengan perburukan neurologis progresif, operasi segera
dilakukan. Perdarahan talamus ditindak secara bedah bila perdarahan keventrikel
dengan melakukan ventrikulostomi. Perdarahan batang otak saat ini masih dirawat
konseravatif, namun sedang diteliti manfaat operasi secara endoskopi untuk
perdarahan dilokasi tertentu.
Tindakan bedah atas
PIS spontan karena angiopati
amiloid harus dicegah. Operasi akan
mengakibatkan perdarahan selama
dan sesudah bedah. Dianjurkan bahwa
tindakan terhadap perdarahan
masif serebral akibat angiopati amiloid yang khas pada
tampilan CT scan dibatasi pada tindakan suportif.
Malformasi
arteriovenosa yang berdarah pada kasus dengan
peninggian TIK atau ancaman kompresi
batang otak oleh hematoma yang mengancam jiwa atau GCS menurun hingga
12 atau kurang harus segera dilakukan
operasi pengangkatan hematoma. Bila hal tsb. tidak terjadi, karena risiko perdarahan ulang rendah,
disukai untuk menunggu paling tidak
satu minggu sebelum melakukan tindakan bedah terhadap AVM nya. Ini memberi
waktu agar edema serebral berkurang dan
pasien membaik, serta memungkinkan melakukan angiografi dengan
lebih sedikit distorsi oleh efek massa
hingga rencana operasi lebih
tepat. Pendekatan endovaskuler atau operasi
terbuka dilakukan secara
sendiri-sendiri ataupun kombinasi.
Waktu operasi atas aneurisma serebral yang ruptur tidak ditentukan oleh PIS yang terjadi kecuali pasien memburuk karena efek massa. Bila
diperlukan evakuasi
hematoma, harus dilakukan tindakan
atas aneurismanya pada saat operasi
yang sama.
PIS spontan pada tumor otak mengharuskan eksplorasi bedah
serta biopsi rongga hematomanya. Tidak perlu
dilakukan secara gawat darurat
kecuali terjadi peninggian TIK
yang mengancam jiwa atau adanya defisit neurologis progresif. MRI prabedah harus dilakukan, dan bila perlu
angiografi.
Pengangakatan secara
bedah atas PIS spontan pada pasien dengan
koagulopati tergantung
kondisi klinis pasien serta
kesanggupan untuk memperbaiki kelainan perdarahannya. Pada pasien dengan defisit neurologis
progresif, kelainan koagulasi yang dapat dikoreksi, dan lesi yang
mungkin dijangkau, adalah kandidat
untuk tindakan bedah. Diatesis perdarahan yang
tak dapat dikoreksi tidak
dipertimbangkan untuk operasi. Bila PIS karena terapi antikoagulan, antikoagulan tidak boleh diberikan lagi paling tidak seminggu
sejak operasi. PIS karena suatu trombositopenia, hitung platelet
harus dipertahankan diatas
100.000/mm3 untuk seminggu
pasca bedah. Pasien dengan
hemofilia atau kelainan
von Willebrand, kadar darah
faktor pembekuan harus dipertahankan pada
50-100 % normal untuk 7-10
hari pasca bedah.
Tindakan bedah pada PIS
yang berkaitan dengan agen simpatomimetik (Amfetamin, fenilpropanolamin,
kokain) pada pasien yang tanpa kelainan vaskuler adalah serupa
dengan perdarahan
hipertensif. Pasien dengan ruptur aneurisma serebral atau AVM
yang diinduksi obat-obatan dipertimbangkan untuk operasi.
Lokasi
dan Ukuran Perdarahan Hipertensif
Perdarahan putaminal yang diameternya kurang dari 3 cm atau
perdarahan yang lebih besar dari 6 cm
dan yang meluas ke otak tengah atau
yang berkaitan dengan
tanda-tanda kompresi batang otak tidak akan bermanfaat dengan evakuasi bedah,
kecuali pada kelompok terakhir ini
tindakan bedah adalah
penyelamat jiwa, namun perbaikan
jarang akan melebihi keadaan vegetatif atau cacad berat.
Pengelolaan pasien dengan
perdarahan berdiameter 3-6 cm
hasil akhir terbaik bila operasi dilakukan didalam 6 jam sejak perdarahan, atau
apabila pasien mengalami perburukan
neurologis yang cepat. Fujitsu menyimpulkan bahwa
pasien dengan perburukan neurologis progresif yang cepat
memperlihatkan manfaat fungsional atas
bedah. Pasien dengan perjalanan fulminan
tidak memperlihatkan manfaat fungsional dengan
bedah. Jadi tindakan bedah
dilakukan hanya pada pasien
dengan hematoma ukuran sedang
(3-6 cm) dan yang neurologis
memburuk namun tanpa tanda kompresi batang otak.
Perdarahan
talamik hipertensif dirawat nonbedah atau pembedahan
stereotaktik. Ventrikulostomi segera dilakukan apabila terjadi ekstensi perdarahan keventrikuler atau adanya
tanda-tanda hidrosefalus obstruktif. Pasien dengan perdarahan
berdiameter kurang dari 1 cm
jarang disertai ruptur ventrikuler dan sembuh dengan
baik. Bila perdarahan berdiameter 1-3 cm, juga membaik, namun dengan beberapa kecacadan. Perbaikan dari perdarahan berdiameter
3 cm atau lebih jarang terjadi. Pasien dengan
perdarahan lebih dari 3.3 cm
umumnya mati. Kwak mendapatkan bahwa
perdarahan berdiameter 3 cm atau
lebih akan memberi hasil akhir nonfungsional. Saat
ini diteliti manfaat tindakan bedah endoskopi.
Perdarahan serebeler spontan adalah kelainan yang ditindak bedah. Ojemann dan Heros
telah menegaskan keharusan
tindakan sebelum efek
massa menyebabkan perubahan
tingkat kesadaran dan keadaan klinis yang tak stabil, karena perburukan neurologis
oleh kompresi batang otak sering
tidak dapat diduga dan irreversibel
bila telah terjadi. Ott melaporkan angka kematian 17 % pada pasien yang sadar atau letargi pra bedah dibanding
angka kematian 75 % pada pasien yang
stupor atau koma prabedah. Penting
diingat bahwa evakuasi bedah pada hematoma serebeler adalah diindikasikan,
bahkan pada pasien koma dengan bukti-bukti adanya kompresi batang otak.
Little menemukan bahwa
60 % pasien perdarahan serebeler berdiameter
lebih dari 3 cm pada
CT scan berada dalam koma atau
cepat menjadi koma, sedang yang
berdiameter kurang dari 3 cm adalah
bangun dan sadar serta mempunyai perjalanan yang jinak.
Diindikasikan evakusi bedah pada hematoma serebeler besar (diameter ³ 3 cm) bahkan
pada pasien yang
sadar karena morbiditas
operasi adalah minimal. Lesi ini cenderung
menggeser ventrikel keempat dan
sering menyebabkan hidrosefalus
obstruktif atau kompresi
batang otak. Lesi
dengan diameter kurang dari 3 cm jarang
menggeser ventrikel keempat atau menyebabkan kompresi batang otak dan
biasanya berhasil dirawat secara medikal
intensif. Evakuasi bedah
terhadap hematoma kecil (< 3 cm)
tidak boleh ditunda bila ada tanda-tanda perburukan neurologis.
Ventrikulostomi secara rutin dilakukan saat operasi dan dimanfaatkan untuk pemantauan TIK pasca
bedah. Namun bila pada perdarahan
serebeler spontan dilakukan
ventrikulostomi hanya sebagai suatu
tindakan tunggal, mungkin terjadi herniasi keatas yang fatal.
Perdarahan lober
etiologinya terutama non hipertensif. Namun karena sifatnya
serupa hipertensi, ditindak
bila diameter 3-6 cm atau terjadi perburukan neurologis progresif.
Hanya sedikit peran bedah
pada perdarahan pontin
hipertensif. Lesi yang pada CT scan lebih dari 1 cm hampir
selalu fatal, sedang
bila kurang dari
1 cm menyebabkan cacad berat pada pasien yang hidup setelah apapun bentuk
tindakannya. O'Laorie melaporkan perbaikan pasien
dengan evakuasi perdarahan pontin, namun etiologinya tak diketahui. Evakuasi endoskopik diindikasikan
pada beberapa keadaan.
Perdarahan intraventrikuler yang berkaitan dengan PIS
hipertensif ditindak dengan
ventrikulostomi. Ini akan jadi tindakan penyelamat jiwa pada keadaan hidrosefalus obstruktif.
Status
Klinis
Tingkat kesadaran
saat datang adalah
indikator prognostik penting pada PIS spontan. Dengan kekecualian
perdarahan serebeler hipertensif,
pasien yang datang dengan koma dalam dan tanda-tanda kompresi batang otak
jarang diuntungkan oleh dekompresi
bedah. Pasien yang sadar dan
bangun tidak dipertimbangkan sebagai kandidat
bedah, kecuali pada perdarahan
berdiameter lebih dari 3 cm. Pasien dengan perburukan
neurologis progresif akan
diuntungkan oleh tindakan
evakuasi bedah atas hematomanya.
Pada perdarahan nonhipertensif,
tindakan bedah sangat tergantung etiologi perdarahan.
Saat
Melakukan Operasi
Saat intervensi bedah akan mempengaruhi hasil
akhir. Beberapa
menganjurkan segera (< 24
jam) atau sangat segera (< 6 jam). Karena indikasi untuk operasi dan
pola pemikiran bervariasi, tidak ada kesimpulan yang telah
didapat tentang waktu yang
ideal untuk operasi.
Umumnya disetujui, operasi
segera pada pasien sadar (GCS 13-14-15) dengan
perburukan neurologis.
II.
PERDARAHAN SUB-ARAKHNOID.
PENGELOLAAN PERDARAHAN SUBARAKHNOID.
- GAWAT
DARURAT
- KENDALIKAN
HIPERTENSI
- INTUBASI
BILA GCS £ 8
- CT
EMERGENSI
- LP BILA CT
NEGATIF
- VENTRIKULOSTOMI
BILA HIDROSEFALUS AKUT
- ANGIOGRAFI
- SEGERA
SETELAH MASUK RS
- MONITORING
KETAT
- 4 PEMBULUH
- OPERASI
- DALAM 24
JAM SEJAK MASUK RS PADA UMUMNYA
- TUNDA 10-12
HARI BILA DATANG SETELAH HARI KE 3 ATAU JELAS VASOSPASME.
- PERAWATAN
INTENSIF
- NIMODIPIN
- ANTI KEJANG
- EKSPANSI
VOLUME DENGAN KOLOID
- MONITORING
KLINIS
- MONITORI NG
FISIOLOGIS
A.
TEKANAN DARAH
B.
CVP ATAU TEKANAN ATERI PARU-PARU
C.
TIK BILA VENTRIKULOSTOMI
D.
DOPPLER TRANSKRANIAL
E.
ALIRAN DARAH SEREBRAL
- HIPERVOLEMIA,
HEMODILUSI, HIPERTENSI BILA VASOSPASME
- ANGIOPLASTI
TRANSLUMINAL BILA VASOSPASME REFRAKTER SECARA MEDIKAL
A.
ANEURISMA SEREBRAL YANG PECAH
1. Tindakan medikal dan
perawatan umum selama perbaikan
dari perdarahan.
2. Pencegahan perdarahan
berikutnya.
3. Membuang hematoma
intraserebral yang simtomatis.
Tindakan medikal:
'Calcium channel blockers'
digunakan untuk mencegah vasospasme
dan mencegah iskemia,
bahkan walau vasospasme yang
tampak pada angiogram tidak berkurang.
Namun beberapa penelitian lain gagal memperlihatkan manfaatnya dalam
mencegah maupun menghilangkan vasospasme, serta tidak adanya
pengurangan insidens komplikasi iskemik
pada pasien. Saat ini manfaat
obat ini tak dapat didukung lagi.
Ekspansi volume untuk
tindakan simtomatis pasien dengan defisit iskemik memperlihatkan manfaat. Penelitian menunjukkan bahwa pasien pasca
PSA dengan iskemia yang timbul
belakangan mempunyai volume darah sirkulasi yang berkurang. Tampaknya ekspansi volume darah akan
memperbaiki sirkulasi kardiak melalui bed vaskuler yang vasospastik yang telah kehilangan autoregulasinya.
Pada kebanyakan pasien,
kateter vena sentral mutlak diperlukan, dan
monitoring Swan-Ganz mungkin
diperlukan pada pasien bila
cadangan kardiaknya
marginal. Hematokrit umumnya
dipertahankan dibawah 30 dan tekanan vena sentral dinaikkan hingga sekitar
12 mm Hg dengan kristaloid, koloid, atau
produk darah tergantung keadaan
klinis. Bila pasien sebelumnya telah mendapatkan pemasangan klip terhadap
aneurismanya, hipertensi
dapat dilakukan dengan
dopamin atau agen sejenis bila ekspansi volume saja tidak
menunjukkan perbaikan klinis.
Tindakan bedah:
Bila semua pasien
dengan aneurisma yang
ruptur dioperasi segera setelah
diagnosis dipastikan dengan angiografi, risiko perdarahan
berikutnya dapat ditekan hingga nol.
Sayangnya, risiko operasi
berhubungan langsung dengan keadaan pasien yang biasanya buruk pada
hari-hari segera setelah perdarahan. Saat
melakukan operasi menghadapkan operator akan suatu dilema.
Operasi segera
| |
Operasi tunda
Tak ada perdarahan ulang |
VS | Risiko lebih rendah
Risiko lebih tinggi | | Perdarahan
ulang >
Kebijaksanaan berikut
dipakai bila pasien dengan PSA diduga
karena aneurisma serebral yang ruptur datang keunit neurosurgeri.
1. Pasien dengan 'good risk'
layak untuk operasi segera bila aneurismanya sudah dideteksi. Angiografi
karenanya dilakukan sesegera mungkin !!
2. Pasien dengan 'poor risk', obtundan atau
koma setelah perdarahan, mula-mula
dikelola konservatif. Bila
perbaikan cukup untuk dilakukannya operasi dengan aman, angiografi dibuat
mendahului operasi.
Operasi terhadap aneurisma
yang ruptur:
1. Kraniotomi segera serta
tindakan ligasi dengan klip terhadap
aneurisma.:
2. Tindakan konservatif
selama 10 - 14 hari sebelum kraniotomi untuk tindakan pemasangan
klip.
Operasi segera akan
mencegah perdarahan ulang dari
aneurisma dan karenanya
mengurangi penyebab utama
morbiditas dan mortalitas. Hambatan utama operasi
aneurisma segera adalah bahwa operasi secara
teknis lebih sulit dibanding operasi tunda. Otak lebih tegang, lebih
sulit diretraksi, dan karenanya lebih mudah untuk tercederai.
Operasi tunda dapat
dilakukan dengan morbiditas yang sangat rendah, karena semua
kandidat operasi jenis ini sudah melewati periode kritis akibat
vasospasme serebral, dan operasi ini secara teknis lebih
mudah dibanding operasi segera. Namun pasien berada
dalam risiko perdarahan ulang disaat menunggu operasi.
Tampaknya terbukti bahwa morbiditas dan mortalitas dari kedua
cara ini adalah sama.
Membuang hematoma
intraserebral:
Hematoma intraserebral
dengan ukuran cukup besar untuk
dapat menimbulkan tanda-tanda neurologis fokal
yang diperkirakan tidak mungkin mengalami penyerapan spontan memerlukan
operasi evakuasi yang dikombinasikan
dengan operasi terhadap aneurismanya sendiri. Terbukti vasospasme jarang
terjadi didaerah yang hematomanya sudah
dibuang dan tetap terjadi didaerah yang hematomnya tidak mungkin dievakuasi.
KOMPILIKASI
NEUROLOGIS PERDARAHAN SUBARAKHNOID
Komplikasi neurologis setelah PSA aneurismal
adalah, berdasar frekuensi dan arti
penting relatifnya: vasospasme, perdarahan ulang, hidrosefalus dan peninggian TIK, dan kejang. Vasospasme
adalah sebab terpenting dari outcome yang buruk pada pasien yang
datang dalam keadaan baik.
1. SPASME ARTERIAL
(VASOSPASME) DAN
ISKEMIA SEREBRAL
Vasospasme (spasme arterial serebral) adalah penyebab tersering dari morbiditas dan mortalitas
pasien yang datang kerumah-sakit
dengan PSA.
Vasospasme berhubungan dengan ketebalan klot periarterial setelah rupturnya aneurisma. Ternyata
vasospasme tidak terjadi segera setelah rupturnya aneurisma, namun pada hari
keempat hingga kesepuluh setelah perdarahan.
Beratnya vasospasme mencapai
puncaknya selama minggu kedua
setelah PSA dan berkurang selama minggu ketiga.
Setelah 24-48 jam pasien memperlihatkan perburukan
tingkat kesadaran secara gradual
serta adanya tanda-tanda neurologis fokal. Terjadi peningkatan meningisme dengan memburuknya nyeri kepala serta kaku kuduk yang ekstrim.
Angiogram ditingkat ini memperlihatkan konstriksi segmental arteria
serebral ukuran besar dan sedang. Walau perubahan terutama nyata pada daerah aneurisma, biasanya tidak terbatas
pada daerah tersebut
dan mungkin tampak pada
hemisfer seberang. Sirkulasi serebral menjadi lambat dan
diduga bahwa perubahan yang tampak pada
pembuluh yang lebih besar pada angiogram juga terjadi pada pembuluh
intraserebral yang lebih kecil dengan
akibat iskemia fokal.
PREDIKSI
ATAS VASOSPASME
Karena vasospasme
disebabkan oleh klot darah
peri-arterial, tidak mengherankan
bila sejumlah darah sub-arakhnoid yang
tampak pada CT scan
inisial adalah prediktor terkuat
akan terjadinya vasospasme. CT scan yang memperlihatkan klot
subarakhnoid yang terlokalisir berhubungan
erat dengan akan terjadinya
penyempitan arterial yang bermakna pada arteri berdekatan. Kelainan klinis dan radiologis lain juga
berhubungan dengan kejadian vasospasme
(keadaan klinis buruk, hidrosefalus, serta perdarahan
intraventrikuler), namun mungkin
hal ini juga
menunjukkan perburukan dari perdarahan inisial.
DIAGNOSIS
DAN PEMANTAUAN VASOSPASME
Pengamatan Klinis.
Nyeri kepala adalah
gejala dini vasospasme, namun tanda klinis khas adalah terjadinya perburukan kesadaran
secara progresif atau
adanya defisit neurologis fokal dalam beberapa menit atau jam.
Pemeriksaan neurologis
yang teliti dan berulang adalah
sangat penting. Tindakan yang tepat sering menghasilkan resolusi yang sempurna. Bila tindakan terlambat hingga
defisit neurologis berat, mungkin terjadi infarksi yang irreversibel. Penilaian laboratorium
dan CT scan segera perlu dilakukan
untuk menentukan penyebab sistemik
lainnya (hiponatremia,
hipotensi, hipoksia) atau
penyebab neurologis lain (hidrosefalus, perdarahan) atas
terjadinya perburukan.
Ultrasonografi Doppler
Transkranial.
Doppler yang non invasif dapat memperkirakan derajat penyempitan
arteria. Terdapat tiga buah jendela
untuk menaksir arteria intrakranial utama. Jendela
trans-orbital digunakan mengukur
sifon karotid dan arteria karotid internal supraklinoid.
Jendela transtemporal untuk segmen proksimal arteria serebral anterior
dan media. Jendela suboksipital
untuk arteria basiler dan vertebral.
Perlu diingat bahwa kecepatan aliran yang tinggi tidak selalu
tanda iskemia serebral
yang berbahaya. Pada beberapa
pasien dengan vasospasme secara angiografi tetap asimtomatik,
sebagian pasien yang dengan
Doppler menunjukkan vasospasme
tidak menunjukkan iskemia
serebral. Selanjutnya, pengukuran
menunjukkan kecepatan normal,
tidak menjamin iskemia serebral yang berbahaya tidak akan
terjadi, karena spasme mungkin
mengenai segmen arterial yang
tidak tercapai oleh pemeriksaan
Doppler. Untuk alasan ini, pengukuran langsung terhadap ADS (CBF) menambah nilai Doppler dalam memantau pasien dengan PSA.
Pengukuran Aliran Darah Serebral.
Untuk mengukur
ADS regional, antaranya dengan
bersihan xenon radioaktif (IV atau inhalasi), CT
xenon stabil, SPECT (single photon emission CT) dan PET (positron emission
tomo-grafi), memungkinkan pengukuran intermiten atas ADS.
ADS hemisfer normal sekitar 50ml/100gr/min, namun defisit neurologis tidak terjadi
hingga ADS jatuh dibawah 20-25 ml/100gr/min. Gangguan
nyata dari aliran darah serebral tanpa
tanda klinis hipoperfusi serebral
dapat terjadi. Sekali
defisit neurologis tampil, tambahan penurunan ADS yang relatif
kecil (dibawah 15-18ml/100gr/min)
mungkin berakibat cedera neuronal yang
irreversibel dan infarksi
serebral. Karenanya pengukuran
ADS memungkinkan pelacakan atas berkurangnya ADS jauh sebelum timbulnya defisit
neurologis iskemik. Pemeriksaan klinis hanya melacak hipoperfusi serebral bila pasien menampilkan tanda-tanda iskemia (bila ADS turun
secara berbahaya mendekati
ambang rangsang kerusakan otak
irreversibel).
PENGELOLAAN
VASOSPASME
Profilaksi
1. Antagonis Kalsium.
2. Ekspansi Volume
ADS menurun
secara bertahap selama
minggu pertama setelah PSA
dan mencapai titik rendah
selama minggu kedua sebelum
naik menuju normal.
Untuk mengatasi
hipovolemia yang biasa mengikuti PSA,
terapi cairan adalah komponen kunci
dari tindakan pencegahan.
Koloid, umumnya albumin 5 %, diberikan
250 ml dua hingga
tiga kali sehari (pada pasien
tanpa disfungsi kardiak atau edema paru-paru) atau dititrasi untuk mempertahankan CVP 5-10 torr, atau tekanan baji kapiler pulmoner 12-15 torr.
Hipervolemik Hemodilusi dan
Hipertensi Arterial
(Terapi Tripel-H)
Pengurangan ADS akibat vasospasme serebral
bersamaan dengan gangguan autoregulasi serebral. Dalam lingkungan
fisiologis ini, induksi hipertensi arterial menyebabkan peninggian ADS yang akan memperbaiki defisit
neurologis iskemik. Terjadi perbaikan
defisit iskemik tunda (delayed) pada
pasien vasospasme yang diinduksi
hipertensi arterial yang dikombinasi dengan hipervolemia. Dianjurkan ekspansi volume agresif dan induksi hipertensi sangat agresif (sering tekanan sistolik lebih
dari 200 mmHg) dan ditemukan
perbaikan neurologis pada 74 % pasien.
Hemodilusi saja terbukti
menurunkan viskositas darah dan
memperbaiki aliran darah didaerah yang
hipoperfusi. Hemodilusi hampir selalu didapat dari ekspansi volume yang
agresif memakai infus koloid,
dan hanya beberapa peneliti
yang menganjurkan flebotomi untuk merendahkan hematokrit. Umumnya
disepakati bahwa hematokrit optimal
untuk menurunkan viskositas darah tanpa
sangat mengurangi kapasitas angkut
oksigen dari darah adalah sekitar 35 %.
Sebagai tindakan pertama pada terapi tripel-H, tekanan
vena sentral atau kateter PA diinsersikan untuk pemantauan hemodinamik. Ekspansi volume dilakukan dengan tujuan mendapatkan tekanan
vena sentral sekitar 10mmHg, atau
tekanan baji arteria pulmoner
sekitar 15 mmHg. Albumin 5
% adalah cairan terpilih. Infus koloid umumnya menurunkan hematokrit,
dan jarang memerlukan flebotomi
untuk mendapatkan hematokrit sekitar 35 %. Pada pasien anemik
mungkin perlu menginfuskan packed RBC
sebagai komponen pengekspansi
volume untuk mendapatkan
hematokrit yang diinginkan. Tekanan darah sistemik sering
meninggi karena ekspansi volume, dan ini dapat dipacu dengan penghentian
agen antihipertensif. Pada beberapa
kasus terapi presor diperlukan. Dopamin adalah agen yang
pertama digunakan, namun terkadang walau
pada dosis besar
tak dapat menghasilkan tekanan
darah yang dikehendaki. Dalam hal ini
digunakan fenilefrin. Bila dilakukan bersama dengan hipervolemia, fenilefrin sangat efektif untuk menginduksi hipertensi
arterial yang nyata. Tekanan darah sistolik dinaikkan hingga 160
sampai 200 mmHg pada pasien yang
aneurismanya telah diklip. Pada beberapa kasus yang bandel, tekanan
darah 220 mmHg atau lebih dapat
digunakan. Hipertensi yang berat berbahaya pada pasien dengan
aneurisma yang belum diklip, dan dalam hal
ini batas tertinggi sekitar
170mmHg. Pada tahap hipervolemia
dan hipertensi arterial
sistemik ini, beberapa pasien muda akan mengalami buangan urin yang tinggi. Pada keadaan ini volume
infus koloid diatur untuk mempertahankan tekanan vena sentral atau tekanan arteria pulmoner yang diinginkan.
Bila buangan urin sangat tinggi (lebih
dari 200-300ml/jam), diuresis ditekan dengan florinef atau
vasopressin (Pitresin). Bila obat
ini ditambahkan, penting
untuk memantau elektrolit serum
dan mengamati dengan ketat kemungkinan terjadinya hiponatremia.
Bisa diduga,
komplikasi medikal akan ditimbulkan
oleh terapi tripel-H. Tersering adalah edema
pulmoner, dan pasien harus
sering diauskultasi dan sinar-x dada
dilakukan tiap hari. Saturasi oksigen harus
diamati teratur, seperti juga oksimetri denyut. Aritmia kardiak dan iskemia miokardial jarang terjadi, dan diperlukan EKG yang sinambung. Kadang-kadang mengherankan, bahwa edema
serebral dan perdarahan serebral jarang
menjadi komplikasi, hampir
dipastikan karena spasme arterial mencegah transmisi tekanan arterial
sistemik yang tinggi
kevaskulatur serebral distal. Namun, PSA rekuren mungkin terjadi
pada pasien yang
ditindak sebelum
aneurismanya diklip. Untuk mencegah komplikasi ini,
tingkat hipertensi arterial dibatasi
pada pasien yang aneurismanya belum
diklip. Ini salah satu alasan bahwa
bedah aneurisma akut atau dini adalah menguntungkan.
Angioplasti
Bahkan dengan hipervolemik, hemodilusi dan hipertensi arterial yang
agresif, sejumlah yang bermakna
dari pasien dengan vasospasme
simtomatis mengalami defisit
neurologis permanen. 40 % pasien dengan
defisit neurologis gagal membaik
dengan terapi hemodinamik agresif. 16 %
pasien terus memburuk
walau terapi maksimal, dan
19 % tetap dengan defisit
neurologis berat atau mati.
Keterbatasan tindakan
terapi tripel-H berakibat ditemukannya modalitas terapi baru
untuk vasospame yang berat dan tidak berreaksi atas obat-obatan. Angioplasti
adalah tehnik endovaskuler dengan memasukkan
kateter balon untuk dilatasi
mekanik daerah pembuluh
yang stenosis. Mikrokateter balon berdiameter 2.5-3 mm dengan
panjang 12-15 mm. Dimasukkan
transfemoral dan cukup lentur untuk diarahkan kearteria utama
didasar otak.
Angioplasti diindikasikan untuk
pasien dengan defisit iskemik
tunda yang gagal membaik dengan tripel-H
agresif, dan pada CT scan
tidak menunjukkan sudah terjadinya infarksi. Perbaikan
terjadi pada 60-70 % kasus.
Tampaknya angioplasti menyebabkan dilatasi jangka lama segmen arterial yang menyempit. Pemeriksaan
Doppler umumnya tidak menampakkan spasme rekuren.
Intervensi dini adalah
faktor menentukan pada penggunaan angioplasti pada vasospasme. Kebanyakan kegagalan klinis disebabkan oleh adanya cedera iskemik irreversibel sebelum tindakan.
Kesulitan tehnik
membatasi kegunaan angioplasti transluminal hanya untuk arteria serebral basal
yang besar. Arteria serebral
anterior proksimal, karena sering membelok tegak lurus
dari arteria karotid internal, mungkin sulit dikateter
dan didilatasi. Cabang sekunder MCA sering terlalu kecil untuk angio-plasti, dan cabang distal MCA
dan PCA belum
bisa dicapai.
Tindakan endovaskuler
yang baru atas vasospasme arterial mungkin
dapat mengobati iskemia
yang tak berreaksi atas
obat-obatan akibat penyempitan pembuluh
perifer kecil. Infus
dosis besar papaverin
intra-arterial mendilatasi daerah spasme arterial yang parah pada
sejumlah kecil kasus.
Infus intra-arterial
vasodilator mungkin bermanfaat
untuk cabang arterial yang tak terjangkau angioplasti balon.
Pengelolaan
Vasospasme Terpadu
Strategi 'klasik'
merupakan standar, terdiri
atas pengelolaan
profilaktik dengan
nimodipin dan dengan mempertahankan normovolemia atau hipervolemia moderat, dilanjutkan dengan hemodilusi hipervolemik dan hipertensi
arterial sistemik agresif
hanya bila pasien menunjukkan tanda-tanda klinis dari
defisit neurologis iskemik.
(Angioplasti dilakukan pada pasien yang
gagal dengan tindakan medikal).
Strategi ini memerlukan pemantauan neurologis
klinis yang sangat ketat
dan kekurangannya adalah terapi agresif hanya dilakukan bila spasme arterial cukup berat untuk
menurunkan ADS pada titik berbahaya
dimana sangat dekat dengan ambang
rangsang untuk infarksi yang permanen, irrevesibel. Dengan
strategi ini, kerusakan
neurologis permanen hanya dapat
dicegah bila tindakan
agresif dimulai sangat segera
setelah onset defisit.
Vasospasme simtomatis dapat ditindak
efektif pada kebanyakan pasien, namun perbaikan neurologis gagal
terjadi pada 25-40 % pasien.
Strategi terapi kedua
adalah kombinasi nimodipin dengan hipervolemia moderat, hemodilusi, dan
induksi hipertensi arterial untuk semua pasien, simtomatis atau
tidak. Hasilnya efektif
untuk mencegah penurunan gradual ADS yang umum terjadi
setelah PSA. Regimen ini juga berguna
mengurangi (namun tidak menghilangkan) defisit neurologis iskemik.
Tabel 1
Protokol Pengelolaan
Vasospasme (tanpa pemantauan Doppler/ADS)
--------------------------------------------------------------------------------------------
Defisit Iskemik Tindakan
--------------------------------------------------------------------------------------------
Semua pasien PSA Nimodipin 1-2 mg/kg/jam atau
60mg
po/NGT tiap 4 jam
250ml Albumin 5 % IV
tiap 6 jam
Dengan defisit Rawat Intensif
Ekspansi volume, hingga
PCWP 15mmHg/
CVP 10 10 mm Hg
HT
33-37 %
Hipertensi hingga sistol
170-220
Defisit kebal atas Angioplasti transluminal
tindakan medikal
Defist membaik Penghentian bertahap hipervolemia, hipertensi
---------------------------------------------------------------------------------------------
PCWP=pulmonary capillary
wedge pressure
Tabel 2
Protokol Pengelolaan
Vasospasme (dengan pemantauan Doppler/ADS)
-----------------------------------------------------------------------------------------------
Doppler ADS Defisit Iskemik
Tindakan
-----------------------------------------------------------------------------------------------
Semua Semua Tak ada
Nimodipin sda
pasien pasien Albumin 5%, sda
PSA
>150 cm/d Normal Tak ada
Monitor klinis ketat
>150 cm/d Rendah Tak ada Intensif,
hipertensi :
sistol 150-170mmHg
>150 cm/d Rendah Ada
Intensif,ekspansi vol,
hipertensi : sistol 170-220mmHg
>150 cm/d Rendah Ada, kebal
Angioplasti transluminer
<150 cm/d Normal Membaik
Penghentian hipertensi
-----------------------------------------------------------------------------------------------
Strategi ketiga
termasuk tindakan
profilaktik semua pasien setelah PSA dengan nimodipin dan infus
koloid untuk menginduksi
hipervolemia moderat. Semua pasien dipantau serial dengan Doppler
transkranial dan
pemeriksaan ADS diranjang
untuk melacak terjadinya vasospasme dan ADS yang rendah
sebelum tampilan klinis disfungsi neurologis
iskemik terjadi. Terapi hipervolemik agresif serta induksi
hipertensi arterial
digunakan hanya apabila
tes Doppler dan/atau
ADS menunjukkan gangguan hemodinamik serebral yang
progresif dan bermakna. Pengukuran
dikerjakan sebelum timbulnya iskemia
yang simtomatis. Tindakan terapeutik
yang paling agresif (hipertensi
arterial yang hebat, angioplasti)
dicadangkan untuk pasien
yang klinis menunjukkan adanya
perburukan neurologis. Protokol ini
memiliki beberapa keuntungan penting.
Pertama, pasien yang tidak
mengalami vasospasme yang
jelas tidak dihadapkan pada terapi yang diarahkan pada hal
hemo-dinamik yang intensif yang berrisiko dan mahal. Kedua, terapi dimulai sebelum terjadinya iskemia pada pasien dengan vasospasme yang jelas, karenanya mencegah pasien
yang berrisiko tinggi ini atas timbulnya perburukan
neurologis. Ketiga, pasien yang
berrisiko tinggi atas iskemia serebral berat dikenal dan karenanya dipantau dengan ketat. Bila pasien mengalami
defisit iskemik, ia terdeteksi segera, dan tindakan intensif dapat dimulai sebelum kerusakan irreversibel
terjadi.
2. PERDARAHAN ULANG
Penyebab terpenting atas
kematian dan kecacadan pada pasien yang hidup setelah perdarahan pertama.
Terjadi sekitar 20 % kasus selama 2
minggu pertama sejak perdarahan inisial
dari aneurisma bila aneurisma tetap tidak
ditindak. Masa dengan risiko tertinggi perdarahan ulang adalah 24
jam pertama setelah perdarahan inisial,
dimana risiko sebesar 4 %. Lalu risiko
berkurang hingga 1-2 % sehari. Mortalitas
perdarahan ulang mencapai 70 %.
Penting untuk tidak 'overtreat';
otak yang sudah cedera oleh PSA mungkin rawan akan hipotensi karena gangguan
autoregulasi. Sasaran secara
umum adalah mengurangi tekanan
arterial sistolik hingga kurang dari 150 mmHg, walau sedikit lebih tinggi bisa
dianjurkan untuk pasien
dengan hipertensi arterial kronik.
Operasi
Segera
Strategi paling efektif
untuk mencegah perdarahan ulang adalah
melakukan operasi sesegera mungkin. Operasi aneurisma dini mempunyai keuntungan mencegah perdarahan ulang,
mungkin mengurangi beratnya vasospasme dengan membuang klot
periarterial yang tampaknya merupakan penyebab
spasme, dan memungkinkan
tindakan medikal terhadap vasospasme
lebih agresif (dengan induksi hipertensi
arterial). Namun peneliti klinik
masa lalu menyatakan
bahwa operasi segera berkaitan
dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi karena
masalah tehnis, karena otak yang
bengkak dan aneurisma yang baru ruptur adalah fragil. Operasi tunda (10-14 hari setelah perdarahan) menguntungkan
karena otak kurang bengkak
dan mungkin lebih toleran terhadap manipulasi operasi,
berakibat morbiditas
operasi yang lebih rendah.
Namun banyak pasien mati atau menjadi cacad karena efek perdarahan ulang atau vasospasme serebral
yang terjadi saat menunggu operasi tunda. Ditemukan bahwa outcome operasi dini (0-3 hari
sejak perdarahan) adalah sama dengan operasi tunda (> hari ke 11
sejak perdarahan). Outcome jelas lebih buruk bila operasi
dilakukan pada interval
4 hingga 10
hari sejak perdarahan, mungkin
karena kenyataan bahwa periode ini
adalah paling berisiko atas
iskemik serebral karena vasospasme. Tampaknya walau perdarahan
ulang (sebagai penyebab utama
outcome yang buruk) berkurang pada kelompok
operasi segera, morbiditas dan mortalitas akibat vasospasme mengkompensasi
faktor ini. Disaat operasi
segera mungkin mencegah pasien dari perdarahan ulang,
mereka kemudian menyerah pada efek
vasospasme. Dapat
diharapkan bahwa penggunaan tindakan
atas vasospasme dikombinasi dengan
operasi segera untuk
mencegah perdarahan ulang, berakibat perbaikan outcome
keseluruhan yang lebih baik pada PSA.
Terapi
Antifibrinolitik
Obat ini mengurangi kejadian
perdarahan ulang, namun efeknya sebanding dengan penambahan
risiko akan timbulnya iskemia serebral fokal.
Antifibrinolitik tidak berakibat
perbaikan outcome klinis secara
keseluruhan. Karenanya
pemakaiannya berkurang dramatis pada
dekade terakhir, disaat mana
pelaksanaan operasi segera meningkat. Komplikasi
antifibrinolitik adalah flebitis dan embolisme paru-paru.
Oklusi
Aneurisma Endovaskuler
Pilihan untuk tindakan terhadap aneurisma intrakranial yang
ruptur pada pasien yang, karena keadaan neurologis atau medis yang
buruk, bukan merupakan kandidat
untuk operasi segera. Tehnik
yang paling menjanjikan saat ini adalah
penempatan dan pelepasan elektrolit dari koil
platinum halus pada kantung aneurisma. Tehnik ini terutama untuk
pasien dengan gangguan medis
berat ( edema paru-paru neurogenik, iskemia miokardial)
atau vasospasme berat.
Pemasangan klip secara elektif akan
lebih ditolerasi dan
berhasil karena pasien
telah mengalami pemulihan.
3. HIDROSEFALUS
Masuknya darah keruang
subarakhnoid akibat perdarahan
dibawa oleh CSS ketempat
absorbsi, villi arakhnoid sepanjang sinus sagital. Mereka
menjadi tersumbat oleh sel darah merah hingga menyebabkan gangguan
absorbsi serta pembesaran ventrikel hingga perlu dilakukan
ventrikulostomi. Riwayat pernah terjadinya
PSA adalah faktor yang penting dalam
menentukan penyebab hidrosefalus komunikating kronis
pada penderita dengan
riwayat dementia, inkontinensia urine
dan ataksia langkah. Pasien dengan hidrosefalus
komunikating dengan riwayat
etiologi yang jelas mendapatkan hasil
yang baik setelah tindakan pintas (shunting).
Bahkan pada pasien yang pernah membaik setelah PSA dan berhasil dalam pemasangan klip pada aneurismanya, mungkin memburuk beberapa
minggu atau bulan berikutnya. Sering pasien dengan konfusi, letargi, atau kehilangan ambisi. Dalam keadaan ini,
hidrosefalus yang timbulnya belakangan
sering bertanggung-jawab.
Hidrosefalus terjadi pada sekitar 20 % pasien PSA.
Heros membagi hidrosefalus pasca PSA kedalam tiga pola [akuta, subakuta, dan tunda (late)].
Hidrosefalus akuta tampak pada CT scan saat masuk, umumnya pada
pasien derajat parah dan sering
bersamaan dengan perdarahan intraventrikuler. Bila
keadaan ini bersamaan dengan depresi yang nyata dari tingkat kesadaran atau dengan perburukan
neurologis berat, diindikasikan drainasi ventrikuler
segera. Bila terdapat pengisian
sistema ventrikuler oleh darah,
ventrikulostomi bilateral
sering diperlukan. Pintas
ventrikuloperitoneal diperlukan pada
perawatan TIK kronik. Pemasangan pintas permanen ditunda hingga CSS sudah jernih dari darah yang dapat
menyumbat pintas.
Hidrosefalus subakuta
adalah temuan yang
umum pasca PSA dan umumnya timbul selama minggu
pertama. Jenis ini biasanya hidrosefalus komunikating. Tindakan terhadap
ventrikulomegali jenis ini dicadangkan untuk pasien yang menunjukkan gangguan neurologis
progresif.
Hidrosefalus tunda
tampil beberapa minggu atau bulan
setelah perdarahan inisial dan sering
bersamaan dengan sindroma klinis hidrosefalus tekanan
normal. Ataksia langkah, diikuti demensia dan pada beberapa kasus inkontinensia, adalah
gejala klasik. Keadaan ini bereaksi
baik terhadap pintas ventrikuler.
B.
MALFORMASI ARTERIOVENOSA -AVM
Disamping evakuasi
yang perlu untuk
menghilangkan kompresi serebral, tindakan yang sangat penting adalah mencegah perdarahan selanjutnya.
Risiko perdarahan dari AVM yang belum ruptur belum begitu pasti namun berdasar
insidens perdarahan, pencegahan harus
diprioritaskan pada anak-anak dan
dewasa muda. Kebanyakan AVM didiagnosis
setelah ruptur, dan insidens
perdarahan berikutnya sudah diketahui
dan sekitar 25%
pasien diharap akan mendapat
serangan berikutnya dalam empat tahun
setelah serangan pertama. Skala waktunya
berbeda dengan aneurisma, risiko
kumulatifnya lebih bertahap dibanding dengan kemungkinan risiko yang
tinggi pada periode inisial.
1. Operasi reseksi.
Tindakan yang paling
memuaskan dari AVM serebral adalah eksisi
bedah secara lengkap.
2. Embolisasi intravaskuler.
Saat ini mungkin untuk memasukkan kateter
kecil dalam kontrol radiologi
kearteria pencatu AVM.
Berbagai material digunakan sebagai emboli kecil yang dimasukkan
melalui kateter ke AVM,
dengan harapan menyebabkan trombosis, misalnya pelet silastik, balon atau
jenis bukrilat. Teknik
ini akan memungkinkan untuk segera mengurangi tampilan AVM secara angiografis hingga menyebabkan
sebagian besar darinya menjadi aman
untuk dioperasi. Tindakan
embolisasi semata tidak mencegah perdarahan selanjutnya.
3. Kombinasi dua hal diatas.
4. Radioterapi, iradiasi
'proton beam'.
Radioterapi yang
efektif hanya mungkin didapat dengan unit yang mempunyai
kemampuan sinar yang tipis, voltase tinggi dan berkemampuan stereotaktis.
III.
KELAINAN SEREBROVASKULER OKLUSIF
Prinsip umum pengelolaan adalah trombolitik medik
atau operatif, meninggikan ADS dan
memberikan proteksi neuronal
langsung.
Pemeriksaan diagnostik terutama tergantung kemungkinan
klinis. Misalnya bila
tidak direncanakan tindakan intervensi, beralasan untuk tidak
melakukan pemeriksaan pencitraan
berikutnya. Tes diagnostik yang
dilakukan bila diperkirakan akan memberi
informasi penting adalah
ultrasonografi karotid,
Doppler transkranial, okulopletismografi, angiogram serebral
transfemoral, angiografi
MR, dan ekhokardiografi
transesofageal atau transtorasik. Dalam keadaan yang memadai pada pasien tanpa
dengan tanda-tanda kelainan pembuluh kecil, angiografi
dibuat langsung setelah CT scan
diruang gawat darurat untuk menentukan patologi anatomik bila tindakan yang agresif seperti
bedah atau terapi trombolitik
dipertimbangkan.
TINDAKAN
Tindakan sangat tergantung pada etiologinya. Saat ini tidak ada tindakan efektif terhadap infark lakuner akut. Untungnya banyak pasien ini yang mengalami perbaikan neurologis yang bermakna. Walaupun saat ini tidak ada agen
farmakologis yang jelas untuk
menindak strok tromboembolik, berbagai agen neuroprotektif potensial seperti antagonis Ca++, dan pembersih
radikal bebas, dalam
penelitian klinis. Karenanya
saat ini langkah tindakan berikut dianjurkan:
1. Pertahankan pasien
euvolemik. Harus diketahui bahwa beberapa peneliti menggunakan tehnik hemodilusi termasuk flebotomi untuk menurunkan viskositas
darah yang secara teori
akan meningkatkan aliran
mikro-sirkulasi. Keengganan kita
untuk melakukan hemodilusi adalah berdasarkan
adanya bukti kemungkinan
hal ini akan meningkatkan edema serebral dan bukti lain
akan hasil negatif dari peneliti lain.
2. Dilakukan hidrasi pasien dengan NaCl 0.45 atau 0.9,
bebas dari glukosa. Ini berdasarkan bahwa hiperglikemia memperberat asidosis otak.
3. Pertimbangkan terapi trombolitik. Kontroversi-nya terletak
pada apakah terapi trombolitiknya bedah atau
medikal. Saat ini, terapi
trombolitik medikal adalah dengan pemakaian heparin atau faktor pengaktif plasminogen jaringan (tPA). Sasaran heparin IV adalah profilaktik, untuk mencegah embolisme
berulang seperti yang berasal
dari trombus mural kardiak atau
untuk mencegah penyebaran
trombus kearteria sirkel Willis. Walau semula dihipotesakan heparin
mungkin meningkatkan aliran
mikrosirkulasi, sedikit
bukti yang mendukung postulat
ini. Pilihan lain,
kebanyakan menyetujui
penggunaan heparin pada pasien dengan
embolus kardiak akibat fibrilasi atrial
atau dari embolus paradoksikal. Pemakaian heparin sebagai pencegah
perluasan trombosis jarang digunakan
pada strok spontan. Lebih
khusus, heparin mungkin digunakan pada pasien yang mendapatkan oklusi arteri untuk mengobati aneurisma
intrakranial. Sebelum
memulai heparin, CT scan harus dibuat
untuk menyingkirkan strok hemoragik.
Penggunaan tPA untuk
memacu lisis bekuan sedang diteliti dalam berbagai percobaan
klinis prospektif. Jelas bahwa tehnik paling efektif untuk
meningkatkan aliran darah
haruslah yang memperbaiki aliran
melalui pembuluh yang teroklusi. Risiko berpotensi terbesar
dari terapi trombolitik intravaskuler
adalah risiko infarksi
hemoragik. Yang mendukung hal ini adalah bukti penggunaan streptokinase dalam
menindak trombosis vena perifer dalam yang
berkaitan dengan insidens perdarahan intraserebral sebesar 3 %.
Terapi trombolitik
bedah adalah ekstirpasi bedah dari
embolus atau trombosis melalui embolektomi MCA dan endarterektomi karotid
secara gawat darurat.
Walau telah dibuktikan manfaat
besar dari tindakan agresif ini, pelaksanaannya belumlah seragam.
Mengherankan bahwa risiko perdarahan
intraserebral setelah re-vaskularisasi bedah sangatlah rendah.
Embolektomi MCA dan endarterektomi karotid secara gawat
darurat dapat sangat menguntungkan dalam memperbaiki
fungsi neurologis pada pasien terpilih.
Apakah terapi trombolitik
secara bedah maupun medikal, masa iskemia dan masa perbaikan aliran tetap merupakan masalah
utama. Penelitian telah membuktikan bahwa setelah 4 jam sejak iskemia fokal, akan terjadi infarksi serebral berat. Penelitian
juga membuktikan bahwa perbaikan aliran bahkan setelah 4-5 jam setelah iskemia akan bermanfaat
mengurangi ukuran infarksi. Penelaahan waktu iskemia dan perbaikan aliran setelah embolektomi MCA (A. Serebri Media) serta
endarterektomi karotid tidak memperlihatkan penggal waktu tertentu
dimana perbaikan aliran setelah
selang waktu tersebut menjadi
tidak efektif. Jelas bahwa makin dini tindakan gawat-darurat dimulai,
akan makin baik kesempatan perbaikan
klinis. Umumnya diterima masa
4-6 jam untuk
mengusahakan perbaikan aliran
dengan medikal atau intervensi bedah
agresif.
Disamping embolektomi, trombosis MCA juga diatasi dengan
membuat pintas dari STA (A. Temporal Superfisial). Pintas juga dilakukan dari
A. Oksipital ke MCA/PICA/AICA/SCA dan PCA.
4. Agen protektif serebral. Hingga saat ini belum ada agen neuroprotektif yang sangat
dianjurkan terhadap strok akut. Antagonis kalsium dihidropiridin nimodipin sudah dibuktikan sebagai agen
neuroprotektif pada beberapa
penelitian terhadap strok akut di Eropa, namun hasil ini tidak dapat diulangi oleh
peneliti Amerika Serikat. Perbedaan mungkin akibat saat masuk
pasien, yang mencapai 48 jam setelah onset strok akut.
Agen neuroprotektif
potensial lain yang
sedang diteliti adalah pemusnah
radikal bebas dan antagonis asam amino
eksitatori. Beralasan untuk mempostulasikan, pendekatan campuran mungkin akan
dilaksanakan dimana digunakan tPAdikombinasikan dengan agen neuroprotektif, masing-masing sebagai
antagonis terhadap mekanisme spesifik dari cedera iskemik.
OPERASI
UNTUK TIA
1. Endarterektomi dan
rekonstruksi arteria karotid ekstrakranial mempunyai
morbiditas dan mortalitas rendah dan sangat besar kesempatannya mencegah TIA selanjutnya
maupun oklusi total.
2. Anastomosis
ekstrakranial-intrakranial. Untuk suatu
kelainan yang terletak pada sirkulasi intrakranial, dilakukan anastomosis
arteria temporal superfisial kecabang permukaan
arteria serebral media.
Dengan teknik mikrovaskuler,
operasi dilakukan untuk banyak kelainan accident vaskuler baik akut, kronis, lengkap maupun tak lengkap.
Disamping operasi, TIA juga dapat ditindak secara medikal dengan zat-zat antikoagulasi
dan antiplatelet. Antikoagulasi efektif
dalam menindak emboli berasal kardiak dan mungkin mengurangi
frekuensi TIA vertebral-basiler.
Obat yang mempengaruhi sifat adesif platelet penggunaannya saat ini meningkat
dalam menindak TIA dan mencegah stroke.
Inhibisi platelet juga efektif dalam
mencegah TIA dan stroke, mendukung
teori TIA sebagai tromboembolik
platelet-fibrin. Aspirin juga
sudah dibuktikan bermanfaat mengobati TIA dan mencegah strok.
Aspirin akan mempengaruhi
agregasi platelet dengan menginhibisi sintesa
prostaglandin. Anti agregasi platelet lain seperti
dipiridamol dan sulfinpirazon tidak memperlihatkan manfaatnya terhadap TIA
dan pencegahan strok. Pengurangan
kejadian strok oleh aspirin sekitar 30-50%. Secara
teoritis, dosis pencegahan TIA dan stroke adalah dosis
kecil. Dosis kecil aspirin mungkin tetap menjaga inhibisi prostasiklin antiagregasi, disaat itu ia juga tetap menginhibisi tromboksan A2
proagregasi.
Tindakan bedah untuk
TIA sirkulasi anterior terutama adalah
endarterektomi karotid. Prosedur serebrovaskularisasi lainnya
seperti pintas ekstra-intrakranial dicadangkan
untuk keadaan khusus. Saat endarterektomi karotid, plak ateromatosa diangkat langsung via
arteriotomi karotid. Saat ini
morbiditas dan mortalitas tindakan ini kurang dari 3%.
IV. TROMBOSIS VENA SEREBRAL.
Trombosis vena serebral berupa trombosis vena dalam
atau kortikal dan / atau sinus vena intrakranial. Tanda dan gejala sangat
bervariasi tergantung berbagai kondisi seperti infeksi, kelainan koagulasi,
kelainan inflamatori kronis, serta trauma. Bila tak segera terdiagnosis akan
berakibat edema serebral, peninggian TIK, iskemia serebral, infarksi hemoragik,
dengan akibat perburukan neurologik yang cepat, koma dan bahkan mati. CT, MRI
dan MR venografi menentukan diagnosis serta tindakan dengan hasil perbaikan
outcome. Walau terdiagnosis dini, dengan tindakan medikal perjalanan klinis
tidak bisa diduga. Pemulihan terjadi pada 52-86 % dan kamatian pada 9-33 %
pasien.
Strategi tindakan medikal dan bedah termasuk terapi
antikoagulan, drainase CSS, serta trombektomi sinus secara bedah dengan
berbagai tingkat keberhasilan. Teknik neuroradiologis intervensional membei
akses yang cepat kesistem vena hingga langsung bisa menindak trombus dengan
komplikasi iatrogenik terbatas.
Maseresi klot secara mekanik bersama dengan obat fibrinolitik
memberi hasil baik untuk trombosis sinus dural. Untuk mencegah infark dan
iskemia yang menyebar pada otak akibat obat fibrinolitik yang diberikan
sistemik, obat trombolitik diinfuskan langsung pada pembuluh ybs. Urokinse
disuntikkan langsung ke SSS melalui fontanel dan craniektomi garis tengah
frontal, atau transjugular.
RUJUKAN :
1. Tomio Ohta : Cerebrovascular Diseases. In : Tomio Ohta, ed.
Ilustrated Neurosurgery, 2nd ed, Kyoto : Kinpodo, 1995 : 82-134.
2. P. Sinson, Eric C. Raps, S. L. Galetta et al : Endovascular
thrombolysis for symptomatic cerebral venous thrombosis. Journal of
Neurosurgery, Jan. 99, Vol 90, No.1.
3. R. A. Ratcheson, B.
Tranmer, M. Y. Mayberg et al : Vascular Disease. In Youman, ed. Neurological
Surgery, 4th ed, Philadelphia : W. B. Saunders, 1996 : chapter 44-57.
4. Kristina G. C, H. G. Hardemark, L. Persson : Improved survival
after SAH. Journal of Neurosurgery, April 99, Vol 90, No.4.
5. Tatsuro Mori, Yoichi Katayama, Tatsuro Kawamata et al : Improved
efficiency of hypervolemic therapy with inhibitions of natriuresis by
fludrocortisone in patients with aneurismal SAH. Journal of Neurosurgery, Des.
99, Vol 91, No.6.
6. D. Parkinson, E. Kandel, Raymond N. Kjellberg et al : Surgical
Management of SAH, ICH,. In Operative Neurosurgical Techniques, 2nd
ed, Orlando : Grune & Stratton, 1988 : chapter 71-91.
7. Robert J. Dempers, Steven
P. Kiefer, Wink S. Fisher et al : Occlusive Cerebrovascular Diseases. In :
George D. Tindall, ed. The Practice of Neurosurgery, 1st ed,
Baltimore : Williams & Wilkins, 1996 : 1765-2346.
8. Seppo Juvela : Plasma
endothelin concentrations after aneurysmal SAH. Journal of Neurosurgery, March
2000, Vol 92, No. 3.
9. Ulhoa, F. Vinuela, G. R.
Duckwiller et al : Endovascular treatment of multiple intracranial aneurism by
using Guglielmi detachable coils. Journal of Neurosurgery, May 99, Vol 90,
No.5.
10. J. J. Connors and Joan
C. Wojak : Percutaneus transluminar angioplasty for intracranial
atherosclerotic lesions. Journal of Neurosurgery, Sept. 99, Vol 91, No.3.
11. G.Zimmerman, A. I. Lewis
& J. M. Thew : Pure sylvian fissure AVM. Journal of Neurosurgery, Jan.
2002, Vol 92, No. 1.
12. Jack M. Vein :
Cerebrovascular Surgery, New York : Springer Verlag, 1985 : vol. I/II/III/IV.
13. Neil A. Martin, William
G. Obana, Frederick B. Meyer et al : The Intensive Care Management of Non
Traumatic ICH, Cerebral Ischemia, SAH. In Brian T. Andrews, ed. Neurosurgical
Intensive Care, International ed, New York : McRraw Hill, 1993 : 291-344.
14. Brigitta K. Velthuis, M.
van Leeuwen, G. J. Rinkel et al : CT angiografi in patients with SAH. Journal
of Neurosurgery, Nov. 99, Vol 90, No. 5.