Termangu sang Bima di tepian samudera, dibelai kehangatan alun ombak setinggi betis.Tak ada lagi tempat bertanya, sesirnanya sang naga nemburnawa.
Dewaruci, Sang Marbudyengrat, memandangnya iba dari kejauhan, tahu belaka bahwa tirta pawitra memang tak pernah ada dan mustahil akan pernah bisa ditemukan oleh manusia mana pun.
Menghampiri sang Dewa Ruci sambil menyapa, "Apa yang kau cari, hai Werkudara, hanya ada bencana dan kesulitan yang ada di sini. Di tempat sesunyi dan sekosong ini."
Terkejut sang Bima dan mencari ke kanan kiri, setelah melihat sang penanya, lalu ia bergumam: "Makhluk apa lagi ini, sendirian di tengah samudera sunyi. Kecil mungil tapi berbunyi pongah dan jumawa?"
"Serba sunyi di sini", lanjut sang Marbudyengrat. Mustahil akan ada sabda keluhuran di tempat seperti ini, sia-sialah usahamu mencarinya tanpa peduli segala bahaya.
Sang Bima semakin termangu menduga-duga, dan akhirnya sadar bahwa makhluk ini pastilah seorang dewa.
"Ah, paduka tuan, gelap pekat rasa hatiku. Entahlah apa sebenarnya yang aku cari ini. Dan siapa sebenarnya diriku ini," tanya Bima
"Ketahuilah anakku, akulah yang disebut Dewaruci, atau sang Marbudyengrat, yang tahu segalanya tentang dirimu, anakku yang keturunan hyang guru dari hyang brahma, anak kunti, keturunan wisnu yang hanya beranak tiga, yudistira, dirimu, dan janaka. Yang bersaudara dua lagi nakula dan sadewa dari ibunda madrim si putri mandraka," jawab Sang Dewa Ruci.
"Datangmu kemari atas perintah gurumu dahyang Durna, untuk mencari tirta pawitra yang tak pernah ada di sini." berkata Sang Dewa Ruci.
"Bila demikian, pukulun, wejanglah aku seperlunya, agar tidak mengalami kegelapan seperti ini. Terasa bagai keris tanpa sarungnya," ujar Bima.
"Sabarlah anakku,.memang berat cobaan hidup. Ingatlah pesanku ini senantiasa. Jangan berangkat sebelum tahu tujuanmu, jangan menyuap sebelum mencicipinya, tahu hanya berawal dari bertanya, bisa berpangkal dari meniru, sesuatu terwujud hanya dari tindakan. janganlah bagai orang gunung membeli emas, mendapat besi kuning pun puas menduga mendapat emas. Bila tanpa dasar, bakti membuta pun akan bisa menyesatkan," berkata Sang Dewa Ruci.
"Duh, pukulun, tahulah sudah di mana salah hamba. Bertindak tanpa tahu asal tujuan. Sekarang hamba pasrah jiwaraga terserah paduka," pasrah Bima berkata.
"Nah, bila benar ucapanmu, segera masuklah ke dalam diriku," lanjut sang marbudyengrat.
Sang Bena tertegun tak percaya mendengarnya.
"Ah, mana mungkin hamba bisa melakukannya. Paduka hanyalah anak bajang sedangkan tubuh hamba sebesar bukit. Kelingking pun tak akan mungkin muat.
"Wahai Werkudara si dungu ,anakku. Sebesar apa dirimu dibanding alam semesta? Seisi alam ini pun bisa masuk ke dalam diriku. Jangankan lagi dirimu yang hanya sejentik noktah di alam. " jawab Sang Dewa Ruci.
Mendengar ucapan sang Dewa Ruci, sang Bima merasa kecil seketika. Dan segera melompat masuk ke telinga kiri sang Dewa Ruci.
Yang telah terserap ke arahnya.
"Hai, Werkudara, katakanlah sejelas-jelasnya segala yang kau saksikan di sana," ujar Dewa Ruci.
"Hanya tampak samudera luas tak bertepi," ucap sang Bima. Alam awang-uwung tak berbatas hamba semakin bingung, tak tahu mana utara selatan atas bawah depan belakang," ujar Bima lagi.
"Janganlah mudah cemas," ujar sang Dewa Ruci. Yakinilah bahwa di setiap kebimbangan senantiasa akan ada pertolongan dewata.
Dalam seketika sang Bima menemukan arah mata angin dan melihat surya. Setelah hati kembali tenang tampaklah sang Dewa Ruci di jagad walikan.
"Hai, Bima! Ceritakanlah dengan cermat segala yang kau saksikan," ujar Dewa Ruci.
"Awalnya terlihat cahaya terang memancar, " kata sang Bima. Kemudian disusul cahaya hitam, merah, kuning, putih. Apakah gerangan semua itu?" tanya Bima.
"Ketahuilah Werkudara, cahaya terang itu adalah pancamaya, penerang hati, yang disebut mukasipat (mukasyafah), penunjuk ke kesejatian, pembawa diri ke segala sifat lebih. Cahaya empat warna, itulah warna hati. Hitam, merah, dan kuning adalah penghalang cipta yang kekal. Hitam melambangkan nafsu amarah, merah nafsu angkara, kuning nafsu memiliki. Hanya si putihlah yang bisa membawamu ke budi jatmika dan sanggup menerima sasmita alam. Namun selalu terhalangi oleh ketiga warna yang lain. Hanya sendiri tanpa teman melawan tiga musuh abadi. Hanya bisa menang dengan bantuan sang sukma. Adalah nugraha bila si putih bisa kau menangkan. Di saat itulah dirimu mampu menembus segala batas alam tanpa belajar.
"Duhai pukulun, sedikit tercerahkan hati hamba oleh wejanganmu," jawab Bima.
"Setelah lenyap empat cahaya, muncullah nyala delapan warna. Ada yang bagai ratna bercahaya, ada yang maya-maya, ada yang menyala berkobar," lanjut Bima.
"Itulah kesejatian yang tunggal, anakku terkasih. Semuanya telah senantiasa ada dalam diri setiap mahluk ciptaan. Sering disebut jagad agung dan jagad cilik. Dari sanalah asal arah mata angin dan empat warna hitam merah kuning putih itu. Seusai kehidupan di alam ini semuanya akan berkumpul menjadi satu, Tanpa terbedakan lelaki perempuan tua muda besar kecil kaya miskin, akan tampak bagai lebah muda kuning gading," ujar Dewa Ruci melanjutkan wejangannya.
"Amatilah lebih cermat, wahai werkudara anakku," lanjut Dewa Ruci.
"Semakin cerah rasa hati hamba," ucap Bima.
"Kini tampak putaran berwarna gading, bercahaya memancar. Warna sejatikah yang hamba saksikan itu?" tanya Bima.
"Bukan, anakku yang dungu, bukan," jawab Dewa Ruci.
"Berusahalah segera mampu membedakannya. Zat sejati yang kamu cari itu tak tak berbentuk tak terlihat. Tak bertempat-pasti namun bisa dirasa keberadaannya di sepenuh jagad ini. Sedang putaran berwarna gading itu adalah pramana yang juga tinggal di dalam raga namun bagaikan tumbuhan simbar di pepohonan. Ia tidak ikut merasakan lapar, kenyang, haus, lelah dan mengantuk dan sebagainya. Dialah yang menikmati hidup sejati dihidupi oleh sukma sejati. Ialah yang merawat raga. Tanpanya raga akan terpuruk menunjukkan kematian.
"Pukulun, jelaslah sudah tentang pramana dalam kehidupan hamba. Lalu bagaimana wujudnya zat sejati itu?" tanya Bima.
"Itu tidaklah mudah dijelaskan," ujar sang Dewa Ruci. Gampang-gampang susah.
"Sebelum hal itu dijelaskan," kejar sang Bima. Hamba tak ingin keluar dari tempat ini, Serba nikmat aman sejahtera dan bermanfaat terasa segalanya.
"Itu tak boleh terjadi, bila belum tiba saatnya, hai Werkudara," jawab Dewa Ruci.
"Mengenai zat sejati, engkau akan menemukannya sendiri. Setelah memahami tentang penyebab gagalnya segala laku serta bisa bertahan dari segala goda. Di saat itulah sang sukma akan menghampirimu. Dan batinmu akan berada di dalam sang sukma sejati. Janganlah perlakukan pengetahuan ini seperti asap dengan api, bagai air dengan ombak, atau minyak dengan susu. Perbuatlah, jangan hanya mempercakapkannya belaka. Jalankanlah sepenuh hati setelah memahami segala makna wicara kita ini. Jangan pernah punya sesembahan lain selain sang maha luhur. Pakailah senantiasa keempat pengetahuan ini. Pengetahuan kelima adalah pengetahuan antara, yaitu mati di dalam hidup, hidup di dalam mati. Hidup yang kekal, semuanya sudah berlalu, tak perlu lagi segala aji kewijayaan, semuanya sudah termuat di sini.
Maka selesailah wejangan sang Dewa Ruci. Sang guru merangkul sang Bima dan membisikkan segala rahasia rasa terang bercahaya seketika wajah sang Bima menerima wahyu kebahagiaan.
Bagaikan kuntum bunga yang telah mekar, menyebarkan keharuman dan keindahan memenuhi alam semesta.
Dan blassss . . . !
Sudah keluarlah sang Bima dari raga Dewa Ruci sang marbudyengrat. Kembali ke alam nyata di tepian samudera luas sunyi tanpa sang Dewa Ruci.
Sang Bima melompat ke daratan dan melangkah kembali, siap menyongsong dan menyusuri rimba belantara kehidupan.