Jaksa Agung Andi Muhammad Galib
dalam kunjungannya ke Surabaya Jumat (7 Agt 1998) menyatakan, perkosaan massal yang
terjadi 13-14 Mei lalu, terlalu dibesar-besarkan oleh LSM, karena bukti-buktinya sampai
sekarang tidak ada. |
Tentang Kapok Jadi Nonpri
(23 Juni 1998) - NORMALISASI pelecehan memang tengah terjadi. Mengutip sebuah sumber, Ariel Heryanto dalam tulisannya: Kapok Jadi Nonpri (Kompas, 12 Juni 1998) memaparkan tentang "ratusan" wanita turunan Cina mengalami perkosaan atau pelecehan seksual lainnya ketika kerusuhan di Jakarta pada 14 Mei 1998. Kita juga sama-sama mengetahui ribuan toko milik warga turunan Cina hancur dan isinya dijarah. Termasuk milik warga turunan Cina yang miskin. Tentang kasus perkosaan massal wanita turunan Cina di Jakarta, Ariel Heryanto cenderung menempatkan orang-orang yang terorganisir sebagai pelopor. "Bukan kejutan jika penelitian lebih lanjut akan menyimpulkan kejahatan itu merupakan sebuah paket program yang dipersiapkan dan dikomando oleh kelompok yang ahli dalam kekerasan dan teror." Selanjutnya Ariel menulis: "Tindakan immoral bulan Mei itu hanya mampu dilakukan oleh mereka yang berada jauh di bawah atau jauh di atas rata-rata manusia Indonesia." Ariel barangkali benar, barangkali salah. Anehnya peristiwa biadab itu seperti sepi-sepi saja dari hujatan masyarakat. Ariel kemudian memberikan dua macam postulasi. Pertama, kebrutalan itu sudah kelewat jauh dari akal waras manusia. Manusia rata-rata tidak sanggup lagi berkata-kata karena derajat kesadisannya sangat tinggi. Kedua, tradisi diskriminasi telah melembaga menjadi sesuatu yang dianggap normal. Melecehkan orang turunan Cina baik dari segi pemakaian bahasa, penggunaan KTP atau apa saja, seakan-akan sah-sah saja. Tentang kebungkaman Sebelum tulisan ini dilanjutkan, siapa pun akan sepakat, siapa saja pelaku kerusuhan dan pemerkosaan 14 Mei 1998 di Jakarta, apakah itu dari kelompok terorganisir, kelompok setengah terorganisir atau kelompok berantakan perlu diusut, diadili, dan dihukum. Mengapa masyarakat bungkam? Bungkam pada kejadian besar itu memang biasa. Biasanya, yang ribut memberi respons di media massa ketika terjadi ketidakadilan: Kasus keluarga Acan, gugurnya mahasiswa Trisakti, penculikan Pius dan kawan-kawan, adalah kelompok menengah urban seperti kita-kita ini. Sekitar 170 juta masyarakat "Ruralite" Indonesia yang bernama rakyat biasa selama ini juga biasa bungkam, apa pun yang terjadi tidak terdengar respons mereka. Mereka barangkali sudah takdir untuk selalu tersisihkan apakah secara ekonomi, dalam mengemukakan pendapat atau dalam bentuk ketersisihan sosial dan psikologis. Mereka juga bungkam soal Marsinah, soal Pius, soal Trisakti dan beribu soal lainnya. Mereka hanya bicara sekali-kali saja dengan bahasa yang sangat jelas yaitu jika sesak di dada tidak tertahankan lagi, hanya satu kata yang mereka miliki: ganyang. Normalisasi pelecehan dan kebiadaban memang tengah terjadi. Sekadar memberi contoh kenistaan, tidak ribuan tapi jutaan bayi Indonesia mati sebelum berumur satu tahun menghirup udara dunia. Selama 30 tahun terakhir tidak kurang dari 10 juta bayi yang mengakhiri hidupnya dengan nista. Jangankan untuk berbahasa, untuk ber-KTP, untuk diperkosa, untuk hidup pun mereka seperti tidak kita perkenankan. Sepuluh juta tunas bangsa mati, kita bungkam, tetapi segelintir bayi mati pada peristiwa klinik pengguguran di Jakarta, kita ribut. Seluruh literatur demografi bersepakat, kematian yang demikian karena orangtuanya renta, miskin, tersisihkan dari dunia pengetahuan, dan terasing dari kehidupan yang wajar. Akibatnya bayi-bayi itu kurang gizi, rentan terhadap penyakit, lalu mati. Mengapa Profesor Grant dan Morris, penggagas Indeks Mutu Hidup (Physical Quality of Life Index), dan UNDP, penggagas Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index), yang sangat terkenal itu, menempatkan kematian bayi dan angka harapan hidup (indikator paralel dari kematian bayi) sebagai satu di antara tiga indikator utama kelayakan kehidupan manusia, refleksi dari apakah manusia mampu hidup sebagai manusia? Peristiwa bayi-bayi Indonesia yang mati karena kemiskinan hanyalah satu contoh di antara banyak kenistaan besar lainnya yang dialami ratusan juta rakyat yang menyebabkan mereka tidak sanggup lagi menangis, nurani sudah koma, kaku, lidah tinggal tegak lurus merasakan ketersisihan hidup. Normalisasi pelecehan memang tengah terjadi. Kita semua bingung untuk menentukan mana ranking kebiadaban yang lebih tinggi. Barangkali itu sebabnya kelompok menengah yang disebut "bungkam" itu justru hanya mampu bersuara pada kasus-kasus yang relatif gampang dicerna untaian permasalahannya (kasus Pius, kasus Trisakti, keluarga Acan dan beberapa yang lain). Mengapa turunan Cina? Sisi lain kehidupan ini, selama 30 tahun terakhir keturunan Cina menikmati kelimpahruahan harta benda yang luar biasa. Kita semua bungkam. Kita tidak berani mendiskusikan ini secara terbuka karena takut dikatakan SARA. Adalah keliru jika Ariel Heryanto mengatakan hanya beberapa puluh (dari empat juta) orang turunan Cina yang menikmati kenikmatan KKN secara berlimpah. Justru bagian terbesar turunan Cina menikmatinya, hanya sebagian kecil yang miskin. Di hampir seluruh kota, kota kecil sekali pun, di mana birokrasi pemerintah ada yang menikmati kontrak-kontrak dari proyek pembangunan mulai dari kontraktor jalan, perumahan, pengadaan barang seperti ATK (alat tulis kantor) sampai ke percetakan kop surat instansi, sebagian besar hanya dari dua kelompok: keluarga-keluarga pejabat atau pengusaha, besar dan kecil, turunan Cina. Selama 30 tahun ini hotel-hotel mewah, pesawat udara, supermarket, gedung-gedung bioskop, tempat-tempat hiburan mewah, melancong ke luar negeri, restoran-restoran prestigious, sebagian besar penikmatnya adalah turunan Cina. Bahkan bila kita pergi ke tempat-tempat yang disebutkan terkadang kita bingung sendiri kita sedang di Indonesia atau sedang di Hongkong. Ratusan juta rakyat hanya menjadi penonton. Mereka seakan tidak punya hak untuk menikmati semua itu. Hak mereka telah dijarah dan diperkosa. "Pemerkosaan" dan "pelecehan" sudah menjadi normal-normal saja. Ketersisihan kelompok mayoritas, kesenjangan ekonomi, sosial dan kultural itulah penyebab dari tragedi antiketurunan Cina yang selalu berulang, dan jika diabaikan akan terus meledak. Tidak hanya di zaman Orba, sejarah mencatat sejak zaman dulu ketegangan itu telah muncul. Pergolakan anti-Cina pada tahun 1913 yang terjadi di seluruh pantai utara Jawa dan Solo bukankah sangat dahsyat? Begitu juga peristiwa pembantaian Cina di kota Kudus tahun 1918, dan banyak lagi sesudah itu. Tidak hanya di Indonesia rakyat yang tersisih cenderung akan berbuat apa saja. Bukankah peristiwa Lambing Flat, Australia 30 Juni 1861, yang sangat terkenal itu, mungkin lebih kejam dari peristiwa 14 Mei 1998. Buruh-buruh turunan Inggris yang tersisih dalam berusaha di pertambangan emas Lambing Flat mengganyang ribuan turunan Cina yang mereka anggap eksklusif dan serakah. Petugas keamanan kewalahan. Jika saat ini masyarakat putih Australia tidak melakukan itu hanya karena kesejahteraan mereka sudah layak. Bukankah orang-orang Aborigin sangat akrab menerima dan berasimilasi dengan migran asal Jepang dan dengan para sahabat mereka dari Makassar yang datang di awal abad ke-19. Tetapi justru terhadap turunan Cina ternyata sangat mereka benci. Mereka menganggap keturunan Cina sebagai pengecut dan hanya mau bergaul dengan kelompoknya (baca: Anderson and Mitchel, Kubara: A. Kuku - Yalanji of the Chinese in North Queensland. Aboriginal History). Lalu bagaimana? Persoalan pribumi dan turunan Cina bukanlah persoalan bahwa yang satu berkulit sawo matang dan yang satu berkulit kuning. Persoalannya adalah kelompok pendatang, yang umumnya datang pada abad ke-19 bersamaan dengan masa eksodus imigran Cina ke Semenanjung Malaya, memiliki tradisi merkantilistik yang berbeda "nilai-nilai" dengan tradisi merkantilistiknya orang Melayu. Walaupun orang Minang, orang Banjar, orang Bugis dan turunan Arab serta Pakistan memiliki tradisi merkantilistik yang tinggi, tetapi sebagian besar orang Melayu memandang mereka tidak setamak dan seeksklusif turunan Cina. Barangkali nuansanya sama dengan Aborigin memandang turunan Jepang dan orang Makassar. Secara umum kehidupan para turunan Cina sangat eksklusif, tinggal berkelompok-kelompok yang baik secara fisik, ekonomi, sosial dan psikis terpisah oleh tembok yang kukuh dengan rakyat banyak. Pengaruh-pengaruh kebudayaan, tekanan kehidupan di masa lalu di tanah leluhur, baik oleh alam maupun oleh penguasa mereka telah menjadikan perantau-perantau Cina memiliki sifat haus harta melebihi bangsa, suku, dan ras mana pun di dunia. Postulasi tentang kehausan berlebihan ini gampang dibuktikan. Seperti yang mungkin dirasakan oleh masyarakat Lambing Flat, bukan rahasia, ketika turunan Cina berkehendak sesuatu, apa pun seakan bisa dikorbankan untuk mencapai tujuannya. Seperti dikemukakan oleh Kwik Kian Gie: "ciri mereka berbisnis dengan kotor dan gaya hidup berlebihan" (Republika, Minggu 14 Juni 1998). Inilah yang membuat pejabat banyak yang bertekuk lutut lalu, dengan mudah memberikan proyek kepada mereka. Orang Melayu sangat tipis dengan tradisi yang demikian, dan tentu saja, kalah. Adalah tidak masuk akal jika di kota besar mana pun di Indonesia hampir seluruh pertokoan besar berada di tangan turunan Cina, yang populasi mereka hanya 2-3 persen dari penduduk Indonesia. Persoalan-persoalan yang disebutkan inilah yang menjadi inti dan akar masalah dari berbagai kerusuhan yang terjadi. Mengapa selama ini melulu kita hanya melihat akibat-akibatnya? Kita yakin sebagian terbesar rakyat ini masih cukup waras untuk membedakan: mana yang hak, mana yang batil. *(Jousairi Hasbullah, lulusan Flinders University Australia; tinggal di Bandung.) |