Jaksa Agung Andi Muhammad Galib
dalam kunjungannya ke Surabaya Jumat (7 Agt 1998) menyatakan, perkosaan massal yang
terjadi 13-14 Mei lalu, terlalu dibesar-besarkan oleh LSM, karena bukti-buktinya sampai
sekarang tidak ada. |
Siapa Memperkosa Siapa?
Perkosaan bisa terjadi kapan saja. Karena, kabar bahwa pada pertengahan Mei yang lalu terjadi perkosaan, masuk akal. Yang tidak masuk akal adalah jumlahnya yang sekitar seratus lima puluh kasus. Karena tidak masuk akal maka banyak orang yang meragukan angka tersebut. Jaringan teknologi informasi global yang antisensor telah dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Mereka tidak memperhitungkan nasib rakyat Indonesia yang tidak berdosa. Memang benar ada orang-orang Indonesia yang bersalah. Mereka layak dihukum, ya koruptor, ya penipu, ya maling, ya penjarah, dan seterusnya. Namun, yang bertingkah laku baik, tidak sedikit jumlahnya. Mereka ikut menjadi korban informasi yang tidak benar masuk ke dalam jaringan internet. Barangkali bagi pelakunya, yang penting nama Indonesia hancur. Sedihnya lagi, jumlah yang masih perlu diragukan sebagai korban perkosaan massal begitu saja dipercaya oleh orang-orang yang punya nama. Kalau mereka intelektual, mestinya meragukan angka-angka. Mereka harus selalu bersikap skeptis alias ragu-ragu menghadapi data atau fakta lebih-lebih yang tidak jelas. Karena ragu-ragu itu diperlukan penelitian. Angka-angka tersebut perlu diselidiki kebenarannya. Apalagi kemudian, dengan penggambaran pelaku perkosaan adalah orang-orang yang beragama Islam. Boleh jadi yang melakukan pengrusakan dan penjarahan adalah orang-orang Islam yang setengah-setengah. Tapi, bagaimana pun, jika mereka memang benar-benar mengakui adanya Allah dan Nabi Muhammad saw, sulit dipercaya jika pemerkosaan dilakukannya sambil menyebut nama Tuhannya. Itu jelas-jelas ingin menyudutkan orang-orang Islam. Sangat masuk akal bila kerusuhan terjadi di daerah yang penduduknya sebagian besar beragama non-Islam, penggambaran yang sejenis tidak akan dilakukan. Laporan-laporan perkosaan di Indonesia tidak jelas jumlahnya. Bila diusut dengan cermat pun tidak dapat diketahui angka korban perkosaan yang pasti. Orang-orang tertentu mengabarkan angka-angka yang diragukan dengan penuh semangat. Jaringan mereka di luar negeri menyambut dengan tidak kalah gegap gempitanya. Anehnya, lebih dari satu orang rohaniawan (di Solo dan Jakarta) menyatakan kesangsiaan angka yang bombastis itu. Namun, sungguh aneh, pelanggaran HAM dan perkosaan sudah bertahun-tahun berlangsung di Aceh tidak ada yang mengabarkan, apalagi dengan gegap gempita di luar negeri. Perkosaan di sana -- seperti halnya perkosaan pada umumnya -- telah dilaksanakan dengan diam-diam. Hampir semua orang diam. Baru akhir-akhir ini dibongkar. Tapi, di Jakarta, lembaga yang perduli hanya sedikit. Yang paling nyaring berteriak hanya Kontras. Ke mana para aktivis HAM dan perkosaan massal terhadap etnis keturunan Tionghoa? Mereka ke mana? Mereka sedang melakukan apa? Apakah karena penduduk Aceh sebagian besar Islam maka harus tidak diberitakan dan diperjuangkan? Mereka memang bukan sejenis korban kerusuhan pertengahan Mei atau orang-orang Timtim. Mengapa pemberi kabar tidak terdengar suaranya. Katanya HAM adalah persoalan yang universal. Menyaksikan sikap yang demikian, kita patut bersedih. Mereka yang biasa mengabarkan perkosaan dan pelanggaran HAM tapi diam untuk kasus Aceh atau Priok atau Lampung atau Haur Koneng. Siapa memperkosa siapa? Mereka boleh dianggap telah melakukan perkosaan juga terhadap fakta yang notabene menyangkut bangsanya. Sumber: Republika Online, 25 Agustus 1998 |