Kalau Karl Marx terkenal dengan jargon agama adalah candu, A.N. Wilson yang dikutip Nurcholish Madjid dalam Tekad No. 17/22-28 Feb '99, melebihkan bahaya agama dari sekedar candu karena dianggapnya cinta Tuhan adalah akar segala kejahatan. Karena agamalah terjadi tragedi umat manusia yang diakibatkan dorongannya membuat orang menganiaya sesamanya untuk mempertahankan kebenaran.
Pernyataan Wilson tersebut pada akhimya akan mencerminkan kemustahilan untuk menjadikan agama sebagai sebuah sistem kehidupan yang mengayomi setiap manusia. Karena setiap pemeluk agama akan cenderung menganggap agamanya yang paling benar, paling luhur dan paling tinggi. Akibatnya sering timbul konflik antar pemeluk agama, yang mengarah kepada tindak kekerasan, tirani, peperangan dan penindasan kebenaran. Kemustahilan tersebut semakin didukung Cak Nur dengan mengungkapkan sifat agama yang eksklusif, tertutup dan penuh kefanatikkan. Dalam tulisan lain di Republika, 31 Maret '99, Syamsul Arifin mengilustrasikan sisi lain kebangkitan agama sebagai wajah yang menakutkan, karena sangat memungkinkan munculnya sikap emosional dan eksklusif yang bisa mengarah pada tindak kekerasan terhadap kelompok yang lain. Sedangkan Faisar Ananda Arfa lebih spesifik dalam menuduh politisasi Islam dalam negara adalah sumber konflik sosial (Kompas, 15 Maret'99)
Fakta Konflik Politik
Ketakutan akan timbulnya konflik dalam wacana Islam politik sebenamya kerap muncul dalam masyarakat. Pasca masa awal orde Baru, saat pemerintahan Soeharto memberikan kepercayaan dan kekuasaan penuh kepada CSIS sebagai think thank pemerintah terutama dalam bidang ekonomi dan politik, kalangan kristen (katolik) mendapat tempat yang lebih terhormat dibanding Islam sebagai mayoritas. Dominasi mereka tampak dalam kebijakan-kebijakan ekonomi yang jelas-jelas memihak Cina dan menindas ekonomi kerakyatan yang berbasis pribumi muslim yang pada era sebelumnya sempat berjaya. Didalam militer Menhankam/Pangab saat itu, L.B. Moerdani, merupakan momok tersendiri di kalangan aktivis Islam. Setiap aktivitas keislaman yang memang dengan jelas atribut keislamannya jangan harap akan mendapat kesempatan untuk hidup. Sehingga pada saat itu umat Islam biasa menyembunyikan identitas keislamannya karena khawatir dianggap fanatik atau bahkan subversif. Misalnya untuk sekedar mengucap Assalamualaikum, seseorang harus siap dituduh fundamentalis. Konon, dalam sebuah rapat kabinet, Ali Said, Menteri Kehakiman saat itu yang mengawali sambutannya dengan salam, langsung ditegur keras oleh L.B.Moerdani, "Ini bukan negara Islam", katanya. Sehingga pada saat itu muncullah pemyataan Abdurrahman Wahid yang mengusulkan penggantian Assamualaikum dengan ucapan Selamat pagi. Jilbab sebagai simbol keislaman seorang muslimah juga dipandang sebagai ciri eksklusivisme Islam. Maka pada waktu itu beberapa ulama beramai ramai memfatwakan bahwa jilbab tidak wajib seraya memamerkan istri atau anaknya tanpa mengenakan pakaian khas itu.
Sebenamya Islamo-phobia mulai menggejala ketika Soeharto menolak rehabilitasi Masyumi -parpol Islam yang dinilai sangat fundarnentalis- yang dibubarkan Soekamo pada tahun 1960, disusul dengan dikeluarkannya "daftar hitam" sekitar 2500 tokoh Masyumi. Mereka tidak boleh dicalonkan oleh Parmusi, Partai Islam satu-satunya di awal orba (l 968). Menurut Hartono Mardjono, langkah tersebut diambil untuk membatasi perkembangan Parmusi yang berasaskan Islam. Jauh sebelum peristiwa itu, golongan Islam yang didefinisikan sebagai orang yang beragama Islam, memiliki orientasi politik dan pemikiran Islam, setelah meraih ± 45 % suara dalam pemilu 1955, berusaha menuntut perubahan dasar negara dan UUD 1945. Nafnun pejuangan mereka untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara, gagal setelah Soekamo mencanangkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk kembali kepada Pancasila dan UUD '45. Proses marginalisasi umat Islam kembali meruyak selaina dua dasawarsa berikutnya (1969-1989), melalui proses "depolitisasi Islam" dan "deislamisasi politik". Apalagi sejak dikeluarkannya UU No. 3/1985 yang menegaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas Parpol, maka tertutuplah peluang untuk menjadikan Islam sebagai asas Parpol, apalagi untuk dipejuangkan sebagai dasar negara. Dominasi pemerintah orba dalam mengekang kehidupan politik warganegara merupakan upaya untuk meredam konflik, demikian menurut Masykuri Abdullah (Kompas, April 1999).
Ketika era reformasi bergulir seiring dengan dibukanya kran kebebasan untuk berpolitik dengan asas agama sekalipun, masih dinilai menyimpan potensi konflik oleh beberapa kalangan. Paling tidak, Eep S. Fatah (Republika, 2 Januari 1999) menyimpulkan ada 4 kategori Parpol di kalangan Islam. Yakni Parpol yang menjadikan komunitas muslim sebagai target massa (Partai Rakyat Miskin, Partai Rakyat Jelata, dsb); Parpol yang memakai label Islam tapi tidak berasas Islam (PKB, PKU); Parpol berasas Islam (PK, PPP, PUI); dan Parpol yang agenda dan platformnya secara tegas melayani kepentingan dan ideologi kalangan Islam (sulit diidentifikasi). Fakta itu memungkinkan teladinya konflik baik intem muslim atau lintas aqidah, baik konflik fisik (insiden PKB-PPP di Dongos, Jepara 30/499) atau non fisik. Haedar Nashir (Republika, 8/4'99) menyatakan bahwa terdapat gejala paradoksal keberagamaan -yaitu keyakinan sebagai pemegang dan penyebar kebenaran suci (mission sacre) untuk cenderung berbuat radikalisme politik- dengan menempatkan lawan politiknya baik yang berbeda agama maupun seagama di garis kebatilan.
Solusi Cak Nur dkk. Dalam Meniadakan Konflik
Demi menghilangkan stereotipe Islam sebagai sumber/pemicu konflik, beberapa intelektual muslim menawarkan beberapa konsep dalam kemasan yang relatif baru, dengan gagasan tentang wajah Islam yang lebih "ramah dan terbuka" .. Eep Saefullah Fatah misalnya, untuk menghindarkan praktek kekeliruan politik di kalangan Islam, dia menawarkan konsep Islam yang terbebas dari sistem politik yang eksklusif, non partisipatif dan anti publik (Republika, 4/1/99). Dalam kesempatan lain, Nurcholish Madjid menuliskan bahwa eksklusivisme dalam beragama akan berakibat pada bentuk-bentuk kekerasan yang cepat atau lambat akan membawa kepada kehancuran manusia (Tekad, No. 17/22-28 Februari'99). Hal Ku tedadi karena menurut Haedar Nashir perilaku-perilaku politik atas nama agama yang bersdat truembelieverakan lahir sebagai manifestasi perilaku politik radikal dengan sepenuh hati dan penuh taklid buta. Agar terhindar dari kondisi-kondisi semacam itu menurut mereka perlu untuk menata ulang fungsi agama.
Secara umum mereka menggambarkan solusinya dalam empat cara. Pertama, menghadirkan Islam sebagai agama inklusif/terbuka. Cak Nur merumuskan inidusif sebagai agama-agama lain adalah bentuk implisit agama kita, sehingga seluruh kebenaran agama lain ada juga dalam agama kita, yang berbeda hanya dalam bentuk syari'atnya. A. Mukhlis Yusuf-kaum Gema Mathla'ul Anwar- mengemukakan agar umat beragama tidak berupaya menonjolkan perbedaan-perbedaan pandangan dan keyakinan agama, tetapi harus mencari titik persamaan dengan agama lain agar tercipta program lintas agama dalam berbagai bidang kehidupan (Republika, 12 Januari '99).
Kedua, menawarkan konsep pluralisme dan toleransi. Konsepsi ini diutarakan karena sesuai dengan kondisi manusia yang beragam agama, etnis, sukubangsa dan ideologi. Oleh Cak Nur pluralisme harus ditedemahkan sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (Tekad No. 18/ 1-7 Maret '99). Inilah yang menurut Gus Dur dipedukan untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa di negeri dengan keragaman yang besar (Media Indonesia, 11 maret'99). Bahkan Masykuri Abdillah -dosen pasca sadana IAIN Jakarta- menganggap pencoretan "tujuh kata" dalam Pancasila yang terdapat dalam Piagam Jakarta merupakan penghargaan bagi pluralisme (Kompas, April'99). Agar pluralisme terwujud, dipedukan toleransi apalagi bila menyangkut masalah ras dan agama. Toleransi menurut Cak Nur berasal dari pandangan hidup yang berakar dalam ajaran agama yang benar.
Ketiga-depolitisasi Islam dengan mengembangkan faham bahwa agama harus dijauhkan dari tindakan politik praktis. Paradigma yang mereka kembangkan: Pertama adalah asas parpol tidak harus Islam karena bila demikian akan terjadi pembatasan dalam peduangan Islam yang hanya beflaku orams/Parpol Islam hanya untuk umat Islam. Kedua sinkretisasi Islam dengan demokrasi. Islam digambarkan sebagai agama yang demokratis karena menganut prinsip syuro', ijtihad dan ijma', yang mereka anggap sebagai cerminan kebebasan berpendapat. Matori Abdul Djalil bahkan memparalelkan nilai-nilai Islam yang dikategorikan sebagai civil values (hablum minannass) berupa Al huriyyah, Al Musawwa dan Al ukhuwwah dengan liberte, egalite dan fraternite yang menjadi ide utama dalam Revolusi Perancis pada abad ke-19 dan dikembangkan sebagai prinsip-prinsip demokrasi (Media Indonesia, 9/4'99). Ketiga, kemustahilan pendirian negara Islam. Alasannya adalah ketidaksesuaian dengan prinsip nasionalisme dan juga disebabkan pandangan mereka bahwa negara Islam adalah negara theokrasi yang bila diterapkan akan bertabrakan dengan Pancasila. Amien Rais menilai umat Islam Indonesia telah bersepakat untuk menjadikan Pancasila sebagai filosofi dan dasar negara, sehingga tak mungkin negara syari'ah akan ditegakkan karena tidak akan mewakili aspirasi keluarga besar Islam di Indonesia (Republika, 8/2'99). Alternatif yang mereka tawarkan adalah bentuk masyarakat madani yang diadopsi dari negara-negara barat yang demokratis, walaupun mereka mengklaimnya sebagai penjabaran masyarakat Madinah pada masa Rasulullah SAW. Cak Nur sebagai salah satu penggagas masyarakat madani menegaskan meskipun negara sekuler, yang penting kokoh dan memiliki pemimpin yang memiliki komitmen yang kuat terhadap penegakan etika (Republika, 13/1'99). Sehingga yang penting adalah penegakkan substansi ajaran Islam bukan lagi bertumpu pada "simbol"nya.
Keempat, sosialisasi semangat Islam sebagai agama yang menjunjung moral dan etika. Menurut Cak Nur etika harus dijadikan salah satu syarat kepemimpinan bangsa. Karena itulah perjuangan Islam tidak harus diterapkan pada level politik tapi bisa juga dengan pendidikan dan tabligh (Haedar Nashir dalam Republika 8/1'99). Wacana tersebut dikembangkan dengan jargon Islam kultural yang membawa kebaikan untuk semua umat manusia tanpa eksklusivisme komunal(Kh i Zada, Media Indonesia 30/4'99). Diharapkan dengan strategi ini umat Islam akan memperoleh kemenangan yang hakiki karena orientasi Islam kultural lebih otentik, murni dan berjangka panjang dalam proses pencerdasan umat dibandingkan Islam struktural.
Bila dicermati keempat solusi di atas mempunyai akar yang sama, yaitu berusaha menjauhkan faham Islam sebagai sebuah sistem khas yang mengatur secara tuntas urusan duniawi-ukhrawi dalam tataran ideal dan praktis. Ada keseragaman ide dasar dalam konsep inklusivisme, pluralisme dan toleransi, depolitisasi Islam dan Islam kultural yang mengarah pada sekularisasi Islam, walaupun untuk inklusivisme dan pluralisme mereka menggunakan cara simpatik yang mengedepankan kajian sosiologi masyarakat.
Justru solusi-solusi tersebut menyimpan potensi untuk merevisi, mengasimilasi dan akhimya mereduksi ajaran Islam. Inklusivisme misalnya, bila diterapkan akan membuat kebenaran sebagai suatu kerelatifan. Maka wajar bila nilai Islain fidak lagi dijadikan sebagai standarisasi amal. Nilai-nilai "moral universal"-Iah yang menjadi tolak ukur benar-salah, baik-buruk perbuatan. Padahal siapa yang bisa menjamin nilai-nilai tersebut bisa bedaku obyektif dalam tinjauan ruang dan waktu manapun dan kapanpun. Masyarakat Solo misainya, tentu akan lebih puritan dalam mengukur norma-norma pergaulan daripada masyarakat Jakarta, begitu pula yang menjadi standar bapak-ibu kita 20 tahun lalu tentu lebih njlimet daripada kondisi menjelang millenium baru ini. Lebih parah lagi bila inklusivisme bergandengan dengan pluralisme yang mengizinkan kemajemukan itu sebagai suatu keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Akibatnya, agar tidak terjadi benturan kepentingan diantara manusia yang berbeda-beda maka harus dikembangkan sikap toleran terhadap keanekaragaman, sekalipun bertentangan dengan prinsip-prinsip aqidah Islam.
Pluralisme pula yang akan menghantarkan kepada kebolehan berkembangnya faham-faham sekuler yang meniadakan peran agama, dalam level perpolitikan. Akibatnya setiap parpol, gerakan atau ormas yang didirikan untuk memperjuangkan ideologi manapun layak diakui. Lebih jauh, kebebasan tersebut akan memudahkan berkembangnya gerakan-gerakan kebhatilan yang mengajak kepada yang diharamkan Allah seperti pembelaan terhadap kebebasan bagi wanita, aborsi, penyimpangan seksual, perzinahan, judi, miras/narkotika, gerakan komunis, atheis dan sebagainya.
Ketiadaan standar yang jelas untuk mengukur perbuatan atau sesuatu, menjadikan setiap manusia bebas mendefinisikan makna kebenaran. Kondisi yang serba permissif itu akan memicu kondisi seperti yang berkembang di Barat. Walaupun kalangan mujaddid berasumsi bahwa dengan adanya warisan budaya leluhur yang menjunjung tinggi budaya Timur, mereka tak akan dapat menjamin bebasnya umat dari dekadensi moral, sesuatu yang mereka ingin pejuangkan sebagai pengganti simbolitas negara Islami.
Keterbukaan Islarn juga akan mengundang faham-faham politik untuk mengisi "kekosongan" wacana politik Islam akibat paradigma Islam kultural, non struktural. Oleh karena itu harus ada upaya mereka untuk menghalangi masuknya Islarn sebagai wacana politik. Jadi bila ada gerakan atau ormas yang cenderung ingin menerapkan Islam sebagai sistern yang utuh dalam bentuk negara, mereka akan menuduhnya sebagai gerakan eksidusif, primordial, sektarian, fanatis serta fundamentalis yang akan meruntuhkan konsep demokratis yang diyakini sebagai alternatif tunggal sistern kenegaraan.