MENELUSURI IDE PENYAMAAN KEBENARAN AGAMA AGAMA :
UPAYA MUTAJADDID UNTUK MERANCUKAN AQIDAH UMAT
Salma
Majalah Media Dawah edisi Maret 1999 memuat sebuah tulisan yang menarik untuk kita kaji lebih lanjut. Tulisan berjudul "Mangunwijaya Ahli Surga atau Neraka ?" menggugat sikap beberapa tokoh Islam yang secara berlebihan memuji Romo Mangunwijaya, pastor ordo Jesuit yang meninggal pada 10 Februari 1999 lalu. Disebutkan dalam tulisan tersebut bagaimana pujian M. Sobari terhadap Mangunwijaya, "Diam-diam saya menjadikan Romo sebagai kiblat. Ia kiblat rohani, kiblat budaya, kiblat politik. Kiblat kemitraan sosial. Ia tipologi manusia merdeka, dan berusaha memerdekakan manusia lain". Juga ungkapan berlebihan dari Said Aqil Siradj, pewaris pemikiran Gus Dur, yang menulis di harian Duta Masyarakat : " Mangunwijaya Saudaraku Seiman yang Hormat Gus Dur". Memang aneh, seorang pastor ditempatkan sebagai saudara seiman. Tidak heran bila penulis artikel tersebut, Aru Syeif Assad, mensinyalir bahwa ini adalah penyesatan aqidah umat Islam yang amat canggih.
Sobari dan Said Aqil Siradj memang telah dikenal sering membuat manuver-manuver kontroversial. Namun pernyataan-pernyataan mereka di atas, sungguh merupakan perancuan yang berbahaya terhadap aqidah umat. Dengan ucapan mereka bahwa Mangunwijaya adalah kiblat dan saudara seiman, mereka menyamakan antara aqidah Islam dan Kristen. Mereka hendak meniadakan batas antara iman dan kafir.
Sobari dan Said Aqil Siradj tidak sendirian mengusung misi penyamaan agama-agama ini. Mereka kalah dulu dari Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid, yang merupakan corong kelompok mutajaddid (pembaharuan) Islam. Dalam dialog antar umat beragama yang diselenggarakan Yayasan Nur Kebajikan dengan tema :" Kebebasan Beragama dan Wawasan Kebangsaan", Abdurahman wahid mengatakan bahwa dalam Deklarasi Universal HAM disebutkan pindah agama adalah hak azasi. Dia menganjurkan untuk menyelaraskan wawasan universal HAM dengan wawasan Islam melalui upaya penafsiran kembali ajaran-ajaran agama dan pencarian makna lebih dalam dari ajaran agama (Kompas, 17/4/1997). Dalam pandangan Abdurahman Wahid, orang Nasrani dan Yahudi bukanlah orang kafir, yang kafir adalah orang Atheis (Kompas, 1/3/1999).
Inilah tipologi alur berpikir Abdurahman Wahid. Ide-ide yang dia ungkapkan jarang disertai dalil, hanya sekedar ide yang diterima para pengikutnya secara taqlid. Berbeda halnya dengan Nurcholish Madjid, ide-ide yang diembannya sama dengan Abdurahman Wahid, tapi Nurcholish menyampaikan secara ilmiah dan sistematis. Dia banyak menggunakan dalil sebagai penguat pendapat-pendapatnya, juga buku-buku referensi. Metodologi yang digunakan Nurcholish ini bagi sebagian orang, terutama golongan intelektual, nampak sangat meyakinkan, sehingga Nurcholish dapat dianggap sebagai pionir dalam mengemban ide penyamaan kebenaran agama-agama. Karena itulah untuk membahas ide ini, kita terlebih dahulu membedah pemikiran Nurcholish berikut argumentasi dan metodologi yang digunakannya.
Misi Penyamaan Kebenaran Agama-agama Nurcholis Madjid
Ide penyamaan kebenaran agama-agama, khususnya antara Islam, Nasrani dan Yahudi sebenarnya telah lama diemban dan didawahkan oleh Nurcholish Madjid. Djaelani (1993) mencatat, bahwa ide ini pernah disampaikan oleh Nurcholish ketika berceramah di TIM tanggal 21 Oktober 1992 dengan judul makalah :"Beberapa Renungan Tentang Kehidupan Keagamaan di Indonesia untuk Generasi Mendatang". Pemikiran Nurcholish ini semakin meluas seiring dengan makin banyaknya pengakuan dari tokoh-tokoh Islam, seperti Dawam Rahardjo, Imaduddin Abdul Rahim,dsb., terhadap kapasitas intelektual Nurcholish. Pendapat-pendapat Nurcholish juga dipopulerkan oleh media-media massa yang notabene dikuasai oleh orang-orang yang diuntungkan dengan pendapatnya tersebut, yakni orang-orang non muslim, sehingga muluslah perjalanan Nurcholish menjajakan ide. Bahkan mingguan "Tekad" yang dikenal cukup kental warna Islamnya pun, memberikan rubrik khusus bagi Nurcholish untuk menjual ide yaitu "Fatsoen" di halaman 2.
Ide penyamaan kebenaran agama-agama disampaikan Nurcholish dengan beberapa pendekatan alur berpikir, yang ujung-ujungnya sampai kepada kesimpulan yang tidak berbeda, yaitu mempersamakan semua yang ada sekarang ini, khususnya Yahudi, Nasrani dan Islam. Pendekatan-pendekatan ini dapat diringkas menjadi 3 yaitu :
Dengan definisinya terhadap Islam, Nurcholish memiliki terjemahan sendiri untuk QS Ali Imran : 19 dan QS Ali Imran : 85, yang biasa dijadikan sebagai dalil bahwa agama yang benar hanyalah Islam. Untuk QS Ali Imran : 19, Nurcholish terjemahkan ;"Sikap tunduk yang benar yang diakui oleh yang Maha Benar yaitu Tuhan, adalah sikap pasrah pada kebenaran itu". Dan untuk QS Ali Imran : 85 diterjemahkannya :"Barang siapa mencari sebagai sikap ketundukan, selain kepada sikap pasrah pada kebenaran itu, maka pencarian itu tidak akan berhasil dan tidak akan membawa kebahagiaan abadi yang dikehendakinya" (Madjid, 1992). Dengan perkataan ini Nurcholish menafikan Islam sebagai agama yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW, dan memasukkan umat Nasrani dan Yahudi sebagai orang-orang Muslim.
Kesimpulan dari ketiga pendekatan yang digunakan oleh Nurcholish membentuk suatu alur : bahwa Yahudi, Nasrani dan umat Islam adalah muslim, pengikut ketiganya adalah orang-orang yang beriman, sehingga silahkan memilih salah satu dari ketiganya, karena jalan dalam beragama tidaklah satu melainkan banyak, dan sangat tergantung pada masing-masing pribadi yang mempunyai idiom sendiri-sendiri mengenai bagaimana beragama.
Nurcholish memperkuat pendapatnya ini dengan QS Al Baqarah : 62 dan Al Maidah : 16. QS Al-Baqarah : 62 (bukan ayat 66 seperti ditulis Nurcholish di Tekad no. 22) menjadi dalil keharusan inklusif, yakni :"sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, kaum Nasrani dan kaum Sabean, siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berbuat baik, mereka semua mendapatkan pahala dari Tuhan mereka dan tidak akan bersedih".
Sedangkan ayat 16 dari QS Al-Maidah menggambarkan pengakuan pluralisme dalam Islam : "dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti kerelaan-Nya ke berbagai jalan keselamatan (subul as-salam) dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seijin-Nya dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus".
Nurcholish menafsirkan ayat ini (kira-kira, menurutnya) :"Mereka yang sungguh-sungguh mencari jalan-Ku (ridla-Ku) pasti akan kami tunjukkan berbagai jalan-Ku" (Tekad no.17 Th I/22-28 Februari 1999).
Dari pendekatan yang digunakan Nurcholish untuk sampai kepada penyaman kebenaran agama Islam, Nasrani dan Yahudi ada semacam trend pemikiran Nurcholish yang khas, yaitu :
"Semua istilah ini seolah-olah menggambarkan bahwa jalan dalam beragama tidak satu, tetapi banyak, dan sangat tergantung pada masing-masing pribadi " (Tekad no. 17 Th. I/22-28 Februari 1999)
"Sehingga kira-kira tafsirnya, Mereka yang sungguh-sungguh mencari jalan-Ku pasti akan Kami tunjukkan berbagai jalan-Ku" (Tekad no. 17 Th. I/22-28 Februari 1999).
"Tetapi bila karena secara historis Al Quran turun setelah Taurat dan Injil dari sudut pandang iman- ini mengisyaratkan adanya perkembangan. Jadi berarti perbedaan, meskipun -pada akhirnya harus kita katakan- segi persamaannya adalah lebih asasi. Setidaknya, begitulah pandangan Al Quran sendiri " (Tekad no. 22/I/ 29 Maret-4 april 1999)
Trend pemikiran Nurcholish ini adala bentuk dari faham kebebasan berfikir yang dianutnya. Dengan faham ini dia menolak tafsir-tafsir klasik dan bebas meninterpretasikan ayat-ayat dan hadist untuk memperkuat pendapatnya. Malah bisa dikatakan, Nurcholish sudah membuat kesimpulan terlebih dahulu sesuai dengan pemikiran yang melekat padanya, baru kemudian ia mencari dalil untuk melegitimasi kesimpulan tersebut.
Dengan pernyataan Nurcholish bahwa semua agama adalah sama, maka bukanlah suatu yang mengherankan bila Sobari menjadikan Mangunwijaya sebagai kiblat, atau Aqil Siradj menyebutnya saudara seiman. Inilah kerancuan (atau perancuan ?) aqidah yang sangat besar dan membutuhkan penelusuran.
Siapakah Muslim Itu?
Secara bahasa Islam berarti tunduk. Makna inilah yang digunakan Al-Quran dalam mensifati pengikut-pengikut para Nabi dan Rasul sebelum Muhammad, sebagaimana Q.S. Yunus : 72, Al-Baqarah : 128, Ali Imran : 53, dan beberapa ayat lainnya. Namun setelah turunnya wahyu kepada Rasulullah Muhammad SAW, makna ini berubah dari makna bahasa menjadi makna syari yaitu agama yang diturunkan Allah kepada Muhammad SAW. Perubahan makna Islam yaitu sebagai agama, ditunjukkan oleh banyak nash, baik Al-Quran maupun Sunnah. Nash-nash dari Al Quran yang menyebutkan Islam dalam makna-makna agama adalah sebagai berikut :
"Sesungguhnya agama (yang diridlai) disisi Allah hanyalah Islam."
"Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akherat termasuk orang-orang yang rugi."
Tentang dua ayat di atas, para penterjemah dan penafsir Quran sepakat makna Diinul Islam di sini adalah agama Islam, dan bukan sikap pasrah seperti terjemahan Nurcholish. Silahkan lihat terjemahan Al-Quran Depag RI, Tafsir Al Azhar: Hamka, Shofwah Al Tafsir:Muhammad Ali Ash-Shobuni, Al Asasu fi At Tafsir:Said Hawa, Tafsir Al Munir:Imam Nawawi, Tafsir Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir dan tafsir-tafsir lain.
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nimat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam sebagai agama bagimu."
"Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam."
"Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran dan telah menjadi kafir sesudah masuk Islamnya mereka."
"Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya) ?"
"Katakanlah: "Janganlah kamu merasa telah memberi nimat kepadaku dengan keislamanmu"
"Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan dusta terhadap Allah sedang dia diajak kepada agama Islam ?"
Sedangkan dari hadist antara lain :
Ayat-ayat dan hadist-hadist tersebut menyebutkan Islam dalam bentuk isim marifat, bukan isim nakirah (umum), sehingga maknanya terikat dengan makna tertentu yakni Islam sebagai agama yang diturunkan kepada Muhammad SAW. Adalah hal yang mustahil kalau Nurcholish masih memaksakan untuk mengartikan hadist Bukhari Muslim di atas, misalnya dengan "sikap pasrah dibangun berdasarkan lima hal ..dan seterusnya." Dan ini berarti pendapat Nurchalish yang meredefinisikan Islam dengan makna generiknya tertolak secara syari, karena tidak berpijak pada nash.
Karena Islam adalah agama terakhir, Allah mengharuskan setiap manusia untuk masuk Islam dan meninggalkan agama sebelumnya baik agama itu samawiyah atau tidak. Maka siapa yang menerima dan masuk Islam, dia adalah muslim dan siapa yang tidak menerima maka dia kafir, baik Yahudi, Nasrani maupun musyrik. Sabda Rasulullah SAW: "Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mengatakan Laa ilaaha illallah wa anna Muhammadur-Rasuulullah."