Hankam
dan Politik Pembangunan Nasional
Sebagai negara kecil yang
berpenduduk 10 juta jiwa, Tunisia memiliki kekuatan
pertahanan dan keamanan dengan skala kecil juga.
Angkatan bersenjata hanya beranggotakan 49.000 orang,
terdiri dari 27.000 tentara angkatan darat, 5000 tentara
angkatan laut, 3.500 tentara angkatan udara, dan wajib
militer 13.500 orang. Wajib militer selama 2 tahun
diharuskan bagi laki-laki yang berumur di bawah 45 tahun.
Kementerian Dalam Negeri Tunisia membawahi satuan khusus
yang tergabung dalam Garda Nasional yang beranggotakan
12.000 orang, di samping satuan polisi yang jumlah
anggotanya 60.000 orang. Kedua unit tersebut merupakan
tulang punggung sistem keamanan di Tunisia. Tunisia
terkenal dengan tingkat keamanan yang tinggi serta
jaminan stabilitas dalam negeri, hal mana telah berperan
sangat besar dalam menjamin kelancaran investasi dan
program pembangunan nasional.
Kebijaksanaan politik luar negeri Tunisia diarahkan
untuk kepentingan ekonomi dan keamanan. Hubungan
bilateral dengan negara-negara tetangga yang berbatasan
langsung, seperti Aljazair dan Libya dan negara-negara
lainnya termasuk dengan Indonesia sangat dinamis. Dalam
bidang politik dan keamanan Tunisia juga telah membangun
hubungan pembinaan dengan negara-negara Barat.
Negara-negara barat pada umumnya memberi dukungan
terhadap kebijakan pembangunan di bidang ekonomi dan
politik yang selama ini dilakukan oleh pemerintahan
Presiden Ben Ali, di samping mereka juga mengharapkan
berlangsungnya proses demokrasi dan kemajuan di bidang
Hak Asasi Manusia (HAM). Namun negara-negara
barat tetap menjaga diri dari melakukan tekanan-tekanan
terhadap pemerintah Tunisia dengan mengatasnamakan
demokrasi dan HAM.
Tunisia, yang terletak di kawasan Afrika Utara atau juga
dikenal sebagai kawasan Arab Maghribin (Arab Kawasan
Barat), secara regional tergabung dalam
Uni Maghreb Arab (UMA). UMA didirikan berdasarkan perjanjian
Marakech pada 17 Februari 1989 oleh masing-masing kepala
negara Aljazair, Libya, Maroko, Mauritania dan Tunisia.
Tujuan pembentukan UMA adalah untuk memelihara dan
memperkokoh perdamaian serta kemakmuran di kawasan berpenduduk lebih dari 70 juta jiwa
tersebut,
melalui pembentukan wadah kesatuan ekonomi.
Hingga kini, UMA masih dianggap jauh dari cita-cita
penyatuan Maghribi. Hambatan utamanya adalah
ketidaksepakatan antara sebagian kepala negara anggota
terhadap berbagai masalah di bidang politik dan ekonomi,
serta diperburuk lagi oleh potensi konflik antara
Aljazair dan Maroko menyangkut Sahara Barat. Di samping
itu, juga berbagai masalah dalam negeri Aljazair,
persoalan embargo PBB yang pernah diterapkan terhadap
Libya, dan sudut pandang yang berbeda menyangkut proses
perdamaian Arab-Israel, semakin menghambat usaha
penyatuan tersebut.
|