Tunis, Januari
2006
Semalam Bersama Mas RojabSenin (2/1) usai
magrib, sekretariat kami kedatangan tamu spesial. Dialah
Muhammad Sahrul Murojab, mantan wakil ketua organisasi
mahasiswa Indonesia di Libya tahun 2003, yang kini
menjadi local staff di KBRI Tripoli.
Kedatangan beliau tak kami sia-siakan begitu saja. Acara
dialog dadakan segera kami gelar, di aula pertemuan
sekretariat kami yang sederhana. Tujuh anggota PPI
Tunisia yang kebetulan berada di sekretariat, duduk
melingkar membuat lingkaran kecil. Mas Rojab, sapaan
akrabnya, kami hujani dengan puluhan pertanyaan tentang
beragam hal; ihwal sistem studi di Libya, beasiswa,
kegiatan KKMI (PPI-nya Libya), iklim sosio-politik Libya,
hingga kisah-kisah pribadinya. Saya bertindak sebagai
pemandu diskusi santai itu.
Dalam suasana yang penuh kekeluargaan, Mas Rojab
bertutur penuh semangat. Tentang aktifitas studi
mahasiswa Indonesia di Libya yang kini berjumlah 78
orang. Tentang kehidupan keseharian di asrama mahasiswa,
juga tentang beasiswa sebesar 30 Dinar. “Mahasiswa yang
najah dalam dua tahun pertama, akan mendapat tiket
liburan ke tanah air”, tutur alumnus The Faculty of
Islamic Call, Tripoli tahun 2004 itu diiringi decakan
iri kami, para mahasiswa Tunis.
Sesekali Mas Rojab juga balik bertanya kepada kami,
tentang Universitas Zaytuna, atau tentang Tunisia secara
umum. Baik menyangkut sistem studi, aktiftas mahasiswa
ataupun iklim belajarnya. Kami pun bergiliran bertutur.
Mohammad Iqbal, ketua PPI kami angkat bicara. Juga rekan
lainnya, baik Diki, Ulung, Hasbi, Hamdi, atau Ayat,
mahasiswi satu-satunya di lingkungan PPI Tunis.
Dialog berlangsung santai dan mengalir. Kami semakin
terlena. Terlebih ketika Mas Rojab yang kini baru
berusia 26 tahun itu bercerita tentang liku-liku
perjalanan hidupnya sejak masa kuliah, persiapan menikah,
hingga bisa kembali ke Tripoli untuk bekerja di KBRI.
Penuturannya sarat dengan filsafat dan hikmah-hikmah
kehidupan.
Menjelang jam 21, dialog dihentikan, karena ada beberapa
rekan kami yang bersiap-siap menghadapi ujian. Tapi
tidak berarti dialog hangat itu berakhir begitu saja.
Beberapa menit kemudian, saya bersama dua rekan lain,
menemani Mas Rojab, menyusuri wajah malam kota Tunis
Modern di Borguiba Avenue. Kali ini, giliran Mas Rojab
yang berdecak, melihat keindahan dan eksotisme kota tua
Tunis. Maka patung Ibnu Khaldun, Tugu 7 November,
Katedral, stasiun kota serta alun-alun Borguiba menjadi
sasaran jepretan kamera Mas Rojab. Hamdi, seorang
mahasiswa senior, tak henti bertutur soal sejarah
Zaytuna, Old Tunis, juga beberapa pesona khas Tunis.
Malam semakin larut dan dingin. Tetapi kami punya jurus
jitu mengusir dingin; duduk di kursi rumah makan Tunis,
menikmati Lablabi, jamuan khas Tunis yang mengandalkan
sumsum sapi sebagai menu utama. Meski aroma lablabi
hangat itu melenakan kami, diskusi kami terus berlanjut….
"Satu malam bersama PPI Tunis, memberikan nuansa
tersendiri. Komunitas anak-anak muda, yang masih
memiliki nafas kebebasan. Di sini, saya menemukan
kenangan lama saya", tutur alumni KMI Gontor 1999 ini
dalam pesan tertulisnya yang kami abadikan di buku tamu
PPI Tunis.
Mas Rojab, terima kasih atas kunjungannya. Juga atas
info-infonya yang menarik tentang Libya. Allah akan
mempertemukan kita lagi suatu saat nanti, Insya'allah.
Salam Manis dari Tunis
Humas PPI-Tunisia
|